Samar-samar terdengar suara kicauan burung. Semakin lama semakin jelas Adra mendengarnya. Dingin, dia menggigil kedinginan. Mimpi yang tak jelas terus berulang-ulang di alam bawah sadarnya.
“Kita akan sering bertemu, hahaha...”
Sesaat ketika Adra mulai tersadar, suara berat yang menakutkan memenuhi pendengarannya. Antara sadar dan tidak.
“Kita akan sering bertemu... ”
“Sering bertemu...”
“Bertemu...”
“Ber–te–mu...”
Seketika mata Adra terbuka lebar. Napasnya memburu bersamaan dengan detak jantung yang sangat terasa, seakan dia baru saja berlari dari sesuatu. Keringat dingin memenuhi wajahnya yang pucat. Sejenak tak bergeming, menatap nanar sekitar beranda rumah. Sinar matahari sudah agak tinggi di ufuk timur. Dan dia baru sadar jika semalaman telah tertidur di ambang pintu. Bukan, lebih tepatnya tak sadarkan diri. Adra menghela napas, dirinya mulai tenang. Lalu bangkit, berjalan ke dalam rumah dengan sempoyongan. Sekujur tubuhnya terasa linu, serta kepala yang masih berdenyut hebat.
Ini tak baik, kondisinya di luar kendali. Padahal hari ini dia masih ada jadwal wawancara pekerjaan. Sungguh disayangkan, tapi mau bagaimana lagi, untuk berjalan saja rasanya berat. Jika Adra memaksakan diri pasti nanti tak akan baik, lagi pula dia hidup sendirian. Siapa yang mengurusnya jika dia jatuh sakit. Teman? Jangan tanyakan. Tentangga? Sekali lagi jangan tanyakan pada Adra yang anti sosial. Alia, adiknya? Apalagi dia. Keberadaannya saja Adra tak tahu di mana.
“Sial!” pekik Adra sambil memukul pintu kulkas.
Lalu meminum air mineral dingin dengan beratakan sampai membuat bajunya basah. Segar, terasa ke seluruh tubuhnya. Adra menghirup napas dalam-dalam lalu menghaburkan tubuhnya di atas sofa.
“Kenapa jadi seperti ini,” gumam Adra pelan sambil menutup matanya dengan punggung tangan.
Sepi, sangat terasa. Kesunyian yang menakutkan, harapan yang hilang. Keinginan tak menentu, dan kenyataan yang teramat kejam. Pikiran Adra melayang ke mana-mana sebelum akhirnya dia kembali terlelap.
Di dalam mimpinya dia bertemu dengan sosok gadis yang berlari-lari riang di sebuah taman bermain. Berteriak keasyikan ketika mencoba satu per satu permainan yang ada. Adra semakin dalam masuk ke mimpi indah itu, kenangan bersama keluarganya yang utuh. Sangat indah, tapi juga menyakitkan, sampai air mata pun mulai mengalir.
Lelaki yang semalam menatap malaikat kematian penuh amarah, kini tengah tumbang. Tak apa, hanya sesaat. Nanti ada waktunya dia untuk kembali bangkit. Hanya saja saat ini Adra merindukan orang-orang yang sangat dia sayangi.
***
Pagi-pagi sekali Ilya sudah terbangun. Dengan semangat dia menyiapkan diri, lalu memulai kegiatan paginya. Toko buka jam delapan, jadi terkadang jika tak kesiangan maka masih ada waktu senggang. Ilya akan berjalan-jalan di sekitar tokonya sambil bertegur sapa dengan pemilik ruko lainnya. Wanita itu memang selalu ramah pada siapa pun, bagaikan bunga yang membawakan keceriaan dan kesejukan.
Sebenarnya beberapa minggu yang lalu dia sedikit ragu untuk memulai hal ini. Membuka toko bunga dan hidup mandiri, jauh dari kedua orang tuanya. Ilya bukanlah warga asli Majalengka. Asalnya dari Kota Batam, kota terbesar di Provinsi Kepulauan Riau. Sangat jauh, kenapa? Tentu Ilya punya alasan tersendiri dan entah mengapa dia memilih Kota Majalengka sebagi persinggahannya. Jangan tanya tentang keluarga besarnya, Ilya adalah anak nomer tiga dari empat bersaudara. Anak dari pasangan pembisnis handal, tentu sebelum ini hidupnya selalu mewah. Tapi mengapa Ilya pergi meninggalkan semua itu? Jangan tanya lagi, keputusan hati terkadang sulit dijelaskan. Apalagi hati milik wanita, tentu akan sangat rumit dan mungkin terkesan sedih. Satu hal yang pasti Ilya rasakan sampai saat ini, dia tak menyesali sedikitpun keputusan yang telah dia ambil. Buktinya Ilya dengan sungguh-sungguh membuka toko bunga itu dan totalitas dalam mendekor setiap sisinya.
Ilya berhenti di depan tokonya, terlihat tulisan tutup di karton yang tergantung pada pintu kaca. Ia melirik jam tangan mungilnya, lalu tersenyum. Tak terasa sudah jam delapan, maka dengan semangat Ilya bergegas masuk. Membalikan karton itu, kemudian mengecek keadaan ruangan tokonya.
“Sip, hari ini semoga banyak pelanggan yang datang.”
***
“Terima kasih telah datang berkujung,” ucap Ilya setelah salah satu pelangganya keluar dari toko.
Pukul sebelas lebih. Harusnya terik matahari sudah menuju puncaknya, namun tidak seperti itu. Saat ini langit di atas sana terlihat muram bersama udara yang mulai terasa dingin.
Kling...
Lonceng kecil di pintu berbunyi. Seorang pelanggan masuk, membuat Ilya tersenyum hangat.
“Selamat datang,” ucap Ilya ceria.
Sebelum mendapatkan respon, sebenarnya Ilya sudah menerka-nerka jika akan diabaikan. Pemuda bernama Adra itu memang seperti itu. Tapi dari pengamatan Ilya, hari ini dia terlihat lebih menyedihkan. Wajah pucat, tatapan malas dan rambut yang berantakan. Ilya menghela napas lalu mendekat dengan senyuman manis.
“Kamu, Adra yang kemarin?” tanya Ilya basa basi.
Adra mengedarkan padangannya, seakan mencari sesuatu. Namun tujuan akhirnya tetap pada wajah Ilya, lalu ke atas kepala. Tanda itu sedikit membesar, tapi masih ada waktu yang cukup. Ilya yang menyadari tatapan Adra mulai merasa curiga dan mengusap-usap kepalanya. Tak ada apa-apa, Ilya bingung, lalu kenapa dia terus saja menatap seperti itu.
“Kamu punya bunga lily?” tanya Adra datar.
“He-em,” jawab Ilya sambil mengangguk ceria. Lalu dengan perasaan senang dia memetikan sepucuk bunga lily yang kebetulan baru saja mekar.
“Khusus buat kamu aku kasih gratis lagi,” kata Ilya sambil menyodorkan sepucuk bunga lily.
Adra menerimanya tanpa ragu dan tiba-tiba menyelipkan bunga itu ke telinga Ilya. Terjadi begitu saja, wanita itu tak pernah menduga jika jantungnya bisa berdetak tak menentu hanya karena seorang pemuda bersikap manis seperti ini.
“Jangan sia-sia kan waktumu, lakukan yang ingin kamu lakukan. Miliki perasaan bahagia sampai kamu puas, jika ada yang kamu cintai. Nikmatilah waktumu bersamanya, buat kenangan indah,” ucap Adra pelan, terdengar lembut dan penuh penghayatan di setiap katanya.
Tertegun Ilya mendengarnya. Ada sebuah percikan kecil di hati yang sudah lama tak tersentuh. Perasaan itu terasa hangat, menjalar ke wajahnya. Dan entah kenapa tanpa sadar Ilya tersipu malu, memalingkan wajahnya.
“Kenapa kamu berkata seperti itu?” tanya Ilya masih manahan perasaan malunya.
Kenapa bisa seorang wanita 27 tahun terguncang perasaannya karena ucapan seorang pemuda. Bukan berarti Ilya tak bisa bersikap dewasa, hanya saja ini berbeda. Dia benar-benar merasakan sesuatu di hatinya. Kenapa bisa? Ilya sendiri tak mengerti.
“Em, maaf kalau aku–” ucapan Adra terhenti karena wajah Ilya yang tiba-tiba berpaling menatapnya.
Cantik, manis, lembut dan hangat. Perasaan Adra seakan menyelam di mata Ilya yang berkaca-kaca.
“Makasih,” ucap Ilya sedikit terbata, “kamu mau kopi? Duduklah, akan kubuatkan, lagi pula sudah memasuki jam istirahat.”
Sebenarnya Adra hanya ingin menyampaikan ucapannya tadi lalu pergi, namun perasaannya terasa berat. Seakan merasa bersalah dan sebagai gantinya, Adra menuruti perkataan Ilya. Tak ada salahnya jika hanya melamun sesaat sambil meminum kopi seperti kemarin sore.
“Ini kopinya,” ucap Ilya sesaat kemudian sambil meletakan secangkir kopi di atas meja, “kamu nggak kerja?”
“Belum dapat pekerjaan, aku penggangguran,” jelas Adra datar.
Ilya terdiam sesaat sambil memperhatikan penampilan Adra. Sempat terpikir olehnya jika laki-laki di hadapannya ini sedang mengalami kesulitan dan ternyata benar.
“Kalau mau aku punya kenalan kemarin, dia baru cari tenaga kebersihan. Di rumah sakit dekat sini kok, itu sih kalau kamu mau.”
Adra mendongak antusias. Untuk saat ini apa pun pekerjaan akan dia terima agar tetap bisa mendapatkan pemasukan.
“Beneran?” aksen ucapan Adra mulai berubah dan itu membuat Ilya senang.
Ilya tersenyum, lalu menyadarkan punggungnya ke sofa. Sedikit bersikap tak percaya untuk melihat serius atau tidaknya tanggapan Adra itu.
“Kalau kamu beneran mau dan serius, pergilah ke RSUD Majalengka, dekat sini kan. Ya, kebetulan aja kemarin ada pelanggan dari orang sana, lalu ngobrol bentar sama aku.”
Adra terlihat semakin antusias ketika mendengar penjelasan Ilya.
“Aku harus nemuin siapa buat dapat pekerjaan itu?” tanya Adra buru-buru.
“Sebentar,” ucap Ilya seraya bangkit lalu bergegas menuju meja kasir, kemudian kembali dengan sebuah kartu nama yang disondorkan ke Adra.
“Temui dia, bilang saja yang ngasih tahu Ilya pemilik toko bunga Destiny. Tapi aku nggak jamin loh kamu bakal dapat atau enggaknya pekerjaan itu.”
Kartu nama itu diterima oleh Adra dengan senang. Ternyata masih ada yang peduli dengan dirinya. Jujur saja, Adra merasa Ilya terlalu baik pada orang asing yang baru dia kenal. Seakan tak curiga atau risih melihat penampilan Adra yang saat ini cukup berantakan. Namun memang seperti itulah Ilya, siapa pun akan dia bantu.
“Makasih ya, nggak tau mau ngomong apalagi. Kamu udah baik banget sama a–ku,” ucapan Adra terdengar begitu dalam, bahkan kata terakhirnya terjeda sesaat.
“Sama-sama, semoga dapat pekerjaannya,” balas Ilya seraya tersenyum.
Kenapa orang baik selalu berpulang lebih awal? Pertanyaan itu kembali memenuhi pikiran Adra. Menusuk lebih dalam ke hatinya yang keras. Ini sungguh tak adil. Seharusnya Ilya layak hidup lebih lama lagi. Lalu kenapa? Adra bertarung dengan perasaan dan pikirannya sendiri. Tak ada jawaban.
Apakah seperti ini yang dinamakan takdir, selalu kejam dan tak adil.
***
Adra berlari menuju pintu RSUD Majalengka. Sekilas melirik arlojinya, hampir terlambat. Walau pun hanya untuk menemui seseorang, tapi kali ini dia sebisa mungkin harus terlihat displin. Tentu saja agar mendapatkan pekerjaan.Saat memasuki pintu masuk, beberapa orang melihat Adra dengan tatapan bertanya. Namun dia hanya acuh, tak peduli apa pun yang akan dipikirkan orang lain. Lalu berjalan tenang sambil mengatur napas, seakan yang dia lakukan tadi bukanlah hal penting. Menjadi pusat perhatian sangatlah tak nyaman bagi Adra, apalagi jika mendapatkan tatapan-tatapan aneh.Setelah bertanya pada resepsionis, Adra menuju ke sebuah ruangan. Di sana dia bertemu dengan Pak Yudi. Sangat ramah. Begitu mengetahui bahwa Adra mendapat informasi dari Ilya, Pak Yudi langsung mempersilahkannya untuk masuk dan duduk.Ruangan itu terlihat memanjang dengan beberapa ranjang di sisi lain. Dari pintu masuk langsung bisa terlihat sebuah meja k
“Maaf cuma punya air putih,” ucap Ilya lalu tersenyum, mengamati Adra.“Makasih, ya,” balas Adra setelah menghabiskan minumannya. Dia mengeluarkan sebuah bungkus rokok, baru saja Adra ingin mengambilnya sebatang, namun terhenti. Sadar akan sesuatu.“Maaf, aku keluar dulu,” ucapnya kemudian. Ilya mengangguk pelan lalu mengikuti langkahnya dari belakang.Di depan toko Adra menyalakan rokoknya. Menikmati setiap hisapan dan hembusannya sembari menatap jalan raya yang semakin ramai. Di belakangnya ada Ilya yang tengah berdiri menyembunyikan kedua tangannya ke belakang. Mengamati sesosok laki-laki yang sempat membuat perasaannya kacau.Angin berhembus, rambut panjang Ilya terurai ke samping. Beberapa helai seakan ingin ikut terbang bersama angin. Ilya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, dan secara kebetulan Adra berpaling. Menatap Ilya.Asap r
“Ilya...,” panggil Adra sambil menyentuh pundak wanita itu.Pelukan itu berakhir, membuat mereka saling menatap begitu dalam. Hasrat Adra muncul, tangannya menyentuh wajah Ilya dengan lembut. Lalu mulai mendekatkan wajahnya.Ilya terlihat gugup, memutar bola matanya kesana kemari. Dia khawatir jika nanti dirinya ikut hanyut. Ilya memalingkan wajahnya, isyarat jika dirinya belum siap atau tak mau menerima sebuah ciuman dari Adra.Adra terhenyak, sadar akan tindakannya itu. Maka dengan penyesalan dia mundur menjauh.“Maaf kalau aku lancang dan tak sopan,” ucapnya pelan sambil tertunduk menyesal.Ilya yang wajahnya masih merona tampak malu-malu, sebenarnya dia senang diperlakukan seperti itu. Ternyata Adra sangat baik, secara tak langsung dia menghargai Ilya sebagai wanita. Ilya sendiri paham akan keinginan Adra sebagai seorang laki-laki, tapi bagaimana pun d
12 Oktober 2016Pintu terbuka, Pak Yudi menyambut Adra dengan ramah.“Sepertinya keadaanmu sudah membaik hari ini?” tanya Pak Yudi mengamati raut wajah Adra.“Semangat pagi, pak,” balas Adra santai.Adra tersenyum lalu mengambil seragam kerja yang sudah dia rapikan semalam.“Sekali lagi terima kasih,” ucap Adra sambil mengembalikan seragam kerja itu. Pak Yudi menerimanya dengan senang hati.“Sama-sama.” Pak Yudi mengabil sebuah amplop putih dan menyodorkannya pada Adra, “terimalah, walau tidak banyak. Semoga selanjutnya kamu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan dirimu.”Adra merasa senang dan langsung menerima amplop itu. Dia juga sempat menunduk memberikan hormat.“Terima kasih, pak. Saya permisi dulu.”“Iya, silahk
“Wah rasanya kangen banget,” ucap Alia begitu memasuki rumah. Dia beranjak kesana kemarin dengan riang, sedangkan Adra langsung menghaburkan tubuhnya ke sofa.Entah mengapa rasanya sangat lelah, padahal hari masih cukup pagi. Adra merasa seperti ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Tapi apa? Dia sama sekali tak mengingat tentang mata merah Dokter Sa dan ciuman dari wanita itu. Terakhir yang dia ingat adalah pergi ke kafe bersama seorang dokter perempuan, lalu secara tak sengaja bertemu Alia. Kemudian dia tertidur? Tidak, Adra menolak logikanya. Pasti ada sesuatu, dia terus bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban.Sampai akhirnya Alia muncul dengan membawa dua gelas es teh, membuat Adra bangkit dari posisi tidurnya.“Pengertian juga kamu,” ucap Adra langsung mengambil satu gelas es teh dari tangan Alia.Gadis itu cemberut, ingin memaki tapi tak tega. Pasalnya Adra terl
Pagi-pagi sekali Alia sudah bangun dan melakukan pekerjaan rumah. Setelah selesai, dia beranjak ke kamar Adra, mengamati keadaan kakaknya itu.“Kak, aku bersihin badan kamu ya, abis itu kita sarapan.”Adra hanya diam dengan tatapan kosong. Alia semakin kalut dan sedih melihat kakaknya seperti itu. Semalaman Alia berpikir, namun tetap saja tak bisa mengerti dengan apa yang terjadi pada Adra. Jika mengingat masa lalu, Adra memang pernah seperti itu setelah kedua orang tua mereka meninggal. Dan Alia juga yang merawatnya sampai sembuh. Tapi kali ini kasusnya sedikit berbeda. Adra benar-benar tak meresponnya, seakan jiwa kakaknya itu sedang tertidur.Memang benar. Saat ini jiwa Adra tengah masuk dalam memori masa lalunya sendiri. Dia terjebak di sana, tak akan bisa keluar jika tak ada yang datang menjemputnya. Ketakutan dan luka hati yang teramat dalam membuat Adra menyerah dan lebih memilih untuk hidup di kenanga
Ilya mengikuti langkah Alia menuju ke sebuah kamar. Di sana terlihat Adra yang tengah terbaring dengan tatapan kosong. Bahkan tak menghiraukan kedatangan Alia dan Ilya.“Adra...”Suara Ilya bergetar, menahan perasaannya yang mulai kacau. Dia mendekat dengan raut tak percaya. Ada apa dengan Adra? Ilya terus saja bertanya dalam hati.Di ambang pintu, Alia hanya menghela napas. Masih tetap tegar dengan pemandangan sedih di depannya.“Adra...,” panggil Ilya sekali lagi, tapi tetap saja tak ada respon.Lantas Ilya mencoba memposisikan tubuh Adra untuk duduk. Tapi dia justru memeluknya erat, dan tangisnya pun pecah. Terdengar pilu, begitu dalam sampai Alia ikut terbawa suasana.“Adra, kamu kenapa? Aku di sini? Ini aku Ilya. Tolong jangan seperti ini.”Kesadaran Adra yang terjebak pada kenangan masa lalu mulai
16 Oktober 2016Pukul 09:30. Setelah Adra selesai bersih-bersih rumah bersama Alia. Dia memutuskan untuk pergi ke toko Ilya. Entah mengapa dia merasa tak enak dan pikirannya terus tertuju pada Ilya. Apalagi jika ingat akan tanda kematian wanita itu, rasanya Adra tak ingin jauh-jauh darinya, agar bisa melindungi Ilya dari maut. Mungkin hal itu terdengar konyol, tapi bagaimana pun Adra tak ingin berpisah dengan Ilya.Apalagi setelah mendengar perkataan malaikat kematian yang beberapa hari lalu muncul. Sejauh apa pun Adra berpikir, dia tak bisa memungkirinya. Jika ucapan malaikat itu memang benar adanya. Api hitam di atas kepala Ilya sudah semakin besar. Adra tak punya banyak waktu lagi. Jika bisa, Adra akan mengorbankan nyawanya sendiri demi Ilya.Suasana langit pagi tiba-tiba menjadi sedikit murung. Adra bisa merasakan udara di sekitarnya mulai terasa lebih dingin. Dia mendongak, menatap nanar ke jalan raya yang sudah ram
Mobil ambulan berhenti, lalu beberapa petugas keluar dengan gerakan sigap. Mereka membawa pasien dengan ranjang darurat menuju ruang IGD. Ilya terus saja menangis sambil melangkah cepat mengimbangi laju mereka.“Adra ...” Suaranya sudah sangat lemah.Ilya tak tahu jika nanti Adra sampai meninggalkannya. Dia sangat kalut dengan pikirannya yang tidak-tidak.Ketika memasuki ruang IGD, seorang dokter wanita sudah siap di ruangan itu. Dia sangat sigap dan tegas pada kru ambulan, tangannya bergerak cepat mengecek tubuh Adra. Lalu menatap Ilya dengan tatapan tajam.“Kamu keluarganya?” tanya dokter itu.Ilya yang tak bisa menjawab, tangisnya terlalu dalam. Mengerti akan situasi, maka dokter itu langsung mengambil keputusan dan memaksa Ilya untuk keluar dari ruangan. Bukan hal mudah, bahkan perlu 3 orang untuk membawa Ilya keluar. Sungguh dia benar-benar histeris,
16 Oktober 2016Malaikat kematian melayang di hadapan Adra. Dia kini berada di sebuah ruangan serba putih. Tak ada apa-apa selain sosok mereka berdua.“Ketahuilah bahwa mata anugrahmu adalah milikku, sebuah kesalah memang. Tapi sebentar lagi aku akan mendapatkannya, walau setelah ini mungkin aku sendiri akan mendapatkan hukuman.” Suara mahkluk itu terdengar lebih pelan dari sebelumnya. Terasa sedih tapi tetap menakutkan seperti yang sudah-sudah.Adra terkejut. Matanya terbuka lebar, seluruh bagiannya berubah menjadi merah, lalu perlahan mengeluarkan darah.“Kenapa?” Suara Adra terdengar berat dan parau.“Kenapa aku?!”Malaikat kematian itu mendekatkan wajahnya yang tak memiliki rupa. “Seperti yang kukatakan, sebuah kesalahan.”“Lalu bagaimana dengan Ilya?”&l
Klakson sebuah mobil menyadarkan Adra yang sempat tertegun sesaat di lampu lalu lintas jalur Jalan Majalengka - Cikijing. Dia baru saja mengantarkan pulang Shina dan kini sedang menuju ke toko bunga. Memang sudah cukup siang, pasti nanti Ilya akan mengomelinya. Tapi mau bagaimana lagi, mengurus Shina ternyata tak secepat rencananya. Dia harus menjelaskan pada Bu Saras sekaligus menjadi penengah di antara mereka. Hasilnya? Tentu terselesaikan.Bu Saras memaafkan Shina dan memperbolehkan untuk menjenguk Aditya. Pertamanya memang sulit, tapi setelah Adra menjelaskan beberapa hal, perlahan Bu Saras menerima jalan keluar yang disarankan oleh Adra. Beruntungnya Shina adalah anak dari keluarga kaya, jadi dia bersedia menanggung semua biaya rumah sakit. Di balik itu semua Adra sedikit kagum dengan gadis remaja itu. Di umurnya yang belum genap delapan belas tahun, dia mampu mengambil keputusan besar.Tak sampai di situ, Shina ternyata juga meminta to
Tubuh Adra terbaring di sofa, terbalut selimut milik Ilya. Sedangkan Ilya sendiri kini tengah terduduk khawatir bersama Shina. Tadi mereka berdua sangat panik ketika mendapati Adra yang tiba-tiba saja tak sadarkan diri.Bahkan pikiran Ilya sudah melayang ke mana-mana. Baru kali ini dia melihat Adra begitu lemah. Bagi Ilya, Adra bukanlah tipe laki-laki yang mudah tumbang, bahkan seberat apa pun masalah yang dihadapi pria itu. Ilya percaya bahwa Adra sudah terlatih dengan semua itu, tapi sekarang apa? Bukankah tadi dia baik-baik saja. Aneh.Secara tak langsung Shina merasa bersalah, dia berasumsi bahwa ceritanya lah yang membuat Adra seperti ini. Dan kini gadis itu hanya bisa terduduk diam dengan tatapan lemah. Hatinya sendiri masih sangat sedih, apalagi melihat orang yang ingin membantunya sedang dalam keadaan tak baik. Membuat pikirannya semakin kalut.“Adra ....” panggil Ilya sambil bergegas mendekat. Shina
“Tentu saja.” Suara Adra membuat keduanya terhenyak, bahkan Ilya sampai memberikan tatapan bertanya.“Semalam kan aku sendiri yang menawarkan,” lanjut Adra tanpa rasa bersalah sedikitpun.Menawarkan? Ilya benar-benar tak paham dengan apa yang sebenarnya mereka sepakati. Apalagi Adra sendiri yang menawarkan diri, maksudnya? Ilya tak habis pikir, dia ingin penjelasan.“Bentar-bentar.” Ilya manatap curiga keduanya dengan bergantian. “Adra! Jangan bengong, taruh tehnya dan duduk sini. Kamu harus jelasin ke aku.”Maka Adra pun menurut, dia meletakan tiga gelas teh ke atas meja lalu duduk di samping Ilya. Dia sempat sesaat menatap wajah Ilya sebelum akhirnya menyentuh kepala Ilya dan mengusapnya lembut.Rasa kesal di hati Ilya yang sudah memuncak membuat dirinya tak sabar. Dengan gerakan sedikit kasar, Ilya menarik tangan Adra dari kepala
Pagi-pagi sekali Ilya sudah sibuk dengan kedatangan mobil pemasok bunga segar. Kemarin dia telah memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa pemasok bunga. Karena semakin hari, permintaan pelanggan juga semakin banyak. Stock di tokonya yang terbatas membuat Ilya memutar otak dan akhirnya memutuskan hal tersebut. Dia senang, perlahan bisnis yang dia rintis mulai berkembang, walau masih dalam tahap promosi. Tak apa, bagi Ilya membuat orang lain merasa senang dengan bunga yang dia berikan itu sudah lebih dari cukup.Keramahan yang Ilya berikan mungkin menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi pengetahuannya tentang filosofi bunga-bunga, seakan setiap pelanggan merasa lebih menghargai dari sepucuk bunga yang mereka beli atau Ilya berikan. Tentu penampilan Ilya juga berpengaruh besar, bahkan banyak muda mudi yang berkunjung hanya untuk meminta foto bersama Ilya. Memang lucu dan terkadang membuat Adra terheran-heran.Di balik itu semua, Ilya
12 Oktober 2016“Aku jadi penasaran sama orang yang memesan bunga itu,” ucap Adra setelah menenggak habis minumannya.“Maksud kamu, orang yang meminta kita untuk mengantarkan bunga ke rumah sakit itu?” Ilya yang sudah selesai makan mulai menanggapi dan tampak tertarik dengan hal yang ingin Adra bahas.Benar. Sudah tiga hari ini, Ilya selalu mendapat pesanan yang sama dan Adra yang mengantarkannya juga mulai merasa aneh. Pasalnya pelanggan itu tak memberitahukan identitasnya dan melakukan pembayaran melalui nomor rekening Ilya. Bukan hanya Adra dan Ilya saja yang penasaran, bahkan Bu Saras juga sangat ingin tahu. Bagi wanita paruh baya itu, hal tersebut sangat berarti. Setiap melihat Adra yang mengantarkan bunga, hatinya selalu terasa hangat dan bisa lebih tegar.“Udahlah nggak usah dipikirin terus, kita pikirin diri kita dulu. Lagian kenapa juga adik kamu sampai nggak ma
Sekali lagi Adra mengamati layar ponselnya, melihat pesan chat yang dikirimkan oleh Ilya. Lalu melihat nomor yang tertera pada pintu di hadapannya. Benar, tak salah lagi. Adra yakin bahwa penerimanya adalah pasien di dalam ruangan itu. Setelah Adra mengetuk pintu, sesaat kemudian terbuka. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Adra dengan raut bertanya.“Maaf, saya cuma kurir toko bunga dan sekarang saya ingin mengantarkan salah satu pesanan pelanggan yang menuliskan alamat penerimanya di sini,” jelas Adra sedikit gugup.Perlahan wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menerima rangkaian bunga itu dengan senang hati. Dia sempat melihat note kecil yang tersemat di ikatan bunga itu.“Kalau boleh tahu, pengirimnya siapa ya?” tanya wanita paruh baya itu.Adra mengecek nota yang sejak tadi dia bawa. Dia sedikit terkejut dan mulai bingung.“Maaf, pel
“Apa nggak kebanyakan, Kak?” tanya Alia. Pasalnya Adra membeli begitu banyak es krim dengan berbagai rasa, bahkan hampir semua jenis es krim di market itu dia beli.“Aku pengen beliin orang lain juga, tapi aku nggak tau kesukaan dia yang mana. Jadi beli semua aja,” jelas Adra sambil berjalan menuju tempat kasir.Orang lain? Alia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah kakaknya itu mempunyai teman? Cewek? Tidak, itu pasti tak mungkin. Alia membuang semua pikiran anehnya. Bagi gadis itu kakaknya tak mungkin memiliki teman perempuan. Mendekati orang lain saja sulit, mana mungkin sampai punya teman, apalagi pacar. Mustahil.“Buat siapa sih?” tanya Alia.“Nanti kamu juga tau sendiri.” Jawaban Adra semakin membuat Alia penasaran.“Kakak ah, pelit! Beliin orang lain aja banyak, masak aku cuma dibeliin satu.”