“Wah rasanya kangen banget,” ucap Alia begitu memasuki rumah. Dia beranjak kesana kemarin dengan riang, sedangkan Adra langsung menghaburkan tubuhnya ke sofa.
Entah mengapa rasanya sangat lelah, padahal hari masih cukup pagi. Adra merasa seperti ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Tapi apa? Dia sama sekali tak mengingat tentang mata merah Dokter Sa dan ciuman dari wanita itu. Terakhir yang dia ingat adalah pergi ke kafe bersama seorang dokter perempuan, lalu secara tak sengaja bertemu Alia. Kemudian dia tertidur? Tidak, Adra menolak logikanya. Pasti ada sesuatu, dia terus bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban.
Sampai akhirnya Alia muncul dengan membawa dua gelas es teh, membuat Adra bangkit dari posisi tidurnya.
“Pengertian juga kamu,” ucap Adra langsung mengambil satu gelas es teh dari tangan Alia.
Gadis itu cemberut, ingin memaki tapi tak tega. Pasalnya Adra terlihat masih lelah. Alia juga belum mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tak mungkin kan kalau Adra pinsan hanya karena dicium. Alia menggelengkan kepalanya tak jelas, mengusir ingatannya tadi. Jika ingat wajah wanita itu, seakan kepalanya ingin meledak. Bukan apa-apa, tapi Adra adalah kakaknya, hanya dia keluarga yang Alia punya. Melihat sikap kasar orang lain pada Adra, membuat Alia selalu marah. Walau Adra terkadang mengatakan tak apa-apa, tapi bagi Alia tidak ada kata maaf jika ada orang yang berani mengganggu kakaknya itu.
Memang aneh tapi hubungan kakak beradik mereka sejak kecil sudah seperti itu. Adra yang selalu mengajari Alia berbagai hal. Menemani ke mana pun gadis itu ingin pergi, lalu bersikap manis jika Alia tak sengaja membuat masalah. Bagi Alia, Adra adalah kakak yang selalu baik dan menjadi penyemangatnya.
Namun pertarungan pendapat diantara mereka dua bulan lalu membuat keduanya sedikit berubah. Alia yang dulu selalu manja, kini tampak sudah mulai lebih dewasa. Adra? Jangan tanya. Tentu saja dirinya sudah banyak berubah, bukan hanya karena Ilya. Kepergian Alia pun membuat Adra bisa lebih belajar banyak hal. Salah satunya adalah mengurus diri dan melakukan pekerjaan rumah. Walau sebenarnya terasa hampa juga.
“Kakak haus? Mau aku buatin lagi?” tanya Alia ketika melihat gelas milik Adra yang sudah kosong.
“Enggak usah, sini duduk. Dari tadi berdiri terus,” jawab Adra dengan wajah mulai serius.
Alia yang tampak polos mulai menurut dan mengambil tempat duduk di depan kakaknya itu. Dia meletakan gelasnya dan menatap bingung pada Adra yang terlihat seperti mengambil sesuatu dari saku celana.
“Kebiasaan deh, kalau mau ngerokok di luar aja, kak,” kata Alia kesal sendiri.
Tapi Adra tak menggubrisnya, dia tetap menyalakan rokoknya lalu mulai menatap Alia lekat-lekat.
“Kenapa kamu nggak pulang?” tanya Adra santai tapi cukup menusuk hati Alia.
“Kakak sendiri yang ngusir aku, ngapain masih tanya?”
“Ya nggak gitu juga, Alia.”
Adra mengisap rokoknya, menunggu tanggapan Alia. Tapi gadis itu hanya diam dan terlihat sangat kesal.
“Ya, untung aja kamu nggak apa-apa. Masih perawan kan?”
Ucapan Adra barusan bagai pedang yang menusuk dada Alia. Apa-apaan kakaknya itu, dia menuduh Alia terjerumus ke dunia malam? Menjual diri? Kepala Alia benar-benar terasa ingin pecah. Panas, darahnya mendidih di ubun-ubun. Rahang gadis itu mengeras menahan emosi yang cukup sulit untuk ditahan. Kalau bukan kakaknya, Alia sudah menyiram Adra dengan minuman di depannya.
“Kenapa tanya kayak gitu?!” teriak Alia, suaranya parau.
“Cuma mau mastiin aja,” jawab Adra sedikit menyesal karena sudah berpikir yang tidak-tidak.
“Kakak nggak percaya sama aku?” suara Alia bergetar, lalu tangisnya pun pecah. Lirih namun sangat menyiksa batin Adra.
“Ya udah, jangan nangis gitulah.”
“Lagian kakak tanya gitu, padahal selama ini aku kerja baik-baik dan dapat temen yang baik. Bisa-bisanya...”
Tak tahan, Adra pun beranjak mendekat. Dia berlutut di depan Alia sambil mengulurkan tangannya, meraih wajah Alia. Tapi gadis itu langsung menepisnya dengan kasar. Kali ini hati Adra yang seakan tertusuk. Dia mulai menyesal atas pertanyaannya tadi.
“Alia...”
“Kakak jahat!”
“Iya-iya, maafin aku, Alia. Kakak percaya kok sama kamu,” ucap Adra mencoba menenangkan Alia. Dia benar-benar tak menduga jika respon gadis itu akan seperti ini. Sebenarnya Adra hanya ingin berbincang santai, mendengarkan cerita Alia.
Alia menatap Adra yang tertunduk, sebenarnya dia sangat rindu, tapi kenapa kakaknya itu merusak suasana dengan pertanyaan konyol. Tangisnya perlahan redam, membuat Adra mendongak. Tatapan mereka bertemu sesaat, sebelum akhirnya Adra bangkit dan duduk di samping Alia.
“Aku khawatir sama kamu, Alia. Nggak ada maksud lain aku tanya kayak tadi,” ucap Adra sedikit ragu, takut salah lagi.
“Tapi kesannya jahat banget, kakak jangan gitu lagi ya,” akhirnya hati Alia luluh. Bukan, lebih tepatnya mengalah. Dia tak ingin membuat masalah sepele menjadi runyam seperti dua bulan yang lalu.
“Iya-iya, maafin kakak,” jawab Adra seraya menghapus air mata adiknya dengan penuh perhatian.
“Kalau nangis kamu jadi jelek kan, haduh Alia-Alia,” gumam Adra, mencoba mencairkan suasana. Dia juga merapikan rambut Alia sesaat.
“Senyum...” Adra menekan dua pipi Alia. Membuat wajah gadis itu tampak lucu.
Tatapan Alia berubah dan Adra menyadarinya, lalu buru-buru menarik tangannya.
Alia menyeringai licik, dia sedang mengintai. Ketika melihat Adra lengah, tanpa pikir panjang Alia langsung melancarkan serangan balik. Gadis itu meraih perut kakaknya. Sontak Adra melompat kaget dan menjaga jarak, Alia berlari mengejar. Seperti itulah mereka. Terkadang saling marah, menyakiti satu sama lain. Tapi pada akhirnya tetap saling membutuhkan.
***
Entah kenapa tiba-tiba saja Alia ingin berkunjung ke makam orang tuanya. Adra yang mendengar permintaan adiknya itu merasa senang dan akhirnya mereka pun pergi pada saat hari sudah mulai sore.
Awalnya biasa-biasa saja. Mereka berdua masuk ke area pemakaman yang tampak terawat. Tapi saat mulai sampai di makan orang tua mereka, ada yang aneh. Adra tiba-tiba merasa sangat pusing dengan padangan yang mulai kabur. Ingatan tentang masa lalunya kembali muncul dan Adra seperti mengulangi kejadian demi kejadian dengan sangat nyata. Alia panik sendiri dan mulai memegangi tubuh Adra, gadis itu tak tahu apa yang sedang terjadi. Dia hanya melihat kakaknya yang tampak kesakitan seperti mendapat sebuah siksaan.
“Kak, Kak Adra?!” teriak Alia, tapi Adra tak bisa mendengarnya.
Kesadaraan Adra semakin dalam masuk ke ingatan di masa lalunya. Dia kembali melihat semua tanda-tanda kematian yang sebenarnya sudah terlupakan. Lalu masuk lebih dalam, dirinya seakan dipaksa untuk melihat kembali saat orang tuanya meninggal. Kata-kata terakhir ibunya dan wajah ayahnya yang pucat. Merah, Adra melihat tangannya berlumuran darah segar. Kemudian dia seperti jatuh ke lubang yang sangat dalam dan gelap. Suara-suara aneh mulai terdengar, membuat Adra semakin ketakutan.
Tubuh Adra melayang di sebuah ruang serba putih, di sana sesosok berjubah hitam muncul dan terbang mendekat. Adra ketakutan bukan main, dia berteriak, ingin lari tapi tak bisa.
“Menyedihkan sekali,” ucap sosok itu dengan suara berat.
Sosok itu mengangkat tangannya yang terbalut jubah. Lalu sebuah tangan hitam pekat terulur, menyentuh kepala Adra. Seketika itu semua rasa sakitnya tiba-tiba lenyap. Dirinya kembali terseret ke tampat lain. Dia melihat tubuhnya yang berubah menjadi seorang anak kecil, tengah berdiri menatap tiga orang yang tak asing. Dua orang dewasa dan seorang anak kecil. Adra mengamati, mereka adalah keluarganya. Ayah, ibu dan Alia.
“Adra, sini nak,” panggil wanita di depan sana. Adra berjalan mendekat dengan ragu.
Pada dunia nyata Adra sudah tenang, tapi dirinya tampak sangat berbeda. Dia terduduk di tanah dengan tatapan kosong. Alia tampak lega, namun dia juga menyadari perubahan diri Adra.
“Kakak nggak apa-apa kan?”
Adra hanya mengangguk kaku.
“Yuk kita pulang aja,” ucap Alia lalu menoleh ke arah dua nisan di sampingnya, “Alia sama kakak pulang dulu ya ma, pa.”
***
Sesampainya di rumah Alia semakin curiga. Adra hanya diam dan tertidur di kamarnya. Sejak tadi pulang dari pemakaman, Alia terus mengawasinya tapi satu kata pun belum dia dengar. Padahal Alia selalu bertanya, namun respon Adra hanya sebatas anggukan dan tatapan kosong.
“Ada yang aneh,” batin Alia sambil berjalan keluar dari kamar Adra.
Kepalanya terasa pusing dan akhirnya dia memutuskan untuk istirahat di ruang santai. Alia terbaring di atas sofa, tubuhnya yang lelah terasa sangat nyaman. Membuat kantuk semakin berkuasa, hingga akhirnya dia terlelap.
Alia bermimpi, dia berada di sebuah ruangan serba putih. Kosong tak ada apa-apa.
“Alia...”
Suara yang sangat dia kenali terdengar dari arah belakang. Alia buru-buru membalikan tubuhnya dan melihat Adra.
“Kakak?” panggil Alia.
Adra tersenyum lalu membalikan tubuhnya, berjalan menjauh meninggalkan Alia.
“Kakak mau ke mana?” teriak Alia.
Dia ingin berlari mengejar Adra, tapi kakinya terasa sangat kaku. Tangannya terulur seakan ingin meraih sosok Adra yang semakin jauh. Lalu air mata mengalir membasahi wajah manisnya.
Alia menangis sesegukan tak jelas. Hatinya terasa sangat sakit. Kenapa kakaknya pergi begitu saja? Apa yang sebenarnya terjadi. Tangis gadis itu semakin jadi, suaranya pilu, menyayat hati.
“Kak Adraaa!” teriaknya.
Tiba-tiba Alia terbangun dari mimpinya dengan mata terbuka lebar. Wajahnya sudah basah oleh air mata. Terasa sesak, dia mencoba menghapusnya tapi justru membuatnya semakin sedih dan Alia menangis lagi.
***
Pagi-pagi sekali Alia sudah bangun dan melakukan pekerjaan rumah. Setelah selesai, dia beranjak ke kamar Adra, mengamati keadaan kakaknya itu.“Kak, aku bersihin badan kamu ya, abis itu kita sarapan.”Adra hanya diam dengan tatapan kosong. Alia semakin kalut dan sedih melihat kakaknya seperti itu. Semalaman Alia berpikir, namun tetap saja tak bisa mengerti dengan apa yang terjadi pada Adra. Jika mengingat masa lalu, Adra memang pernah seperti itu setelah kedua orang tua mereka meninggal. Dan Alia juga yang merawatnya sampai sembuh. Tapi kali ini kasusnya sedikit berbeda. Adra benar-benar tak meresponnya, seakan jiwa kakaknya itu sedang tertidur.Memang benar. Saat ini jiwa Adra tengah masuk dalam memori masa lalunya sendiri. Dia terjebak di sana, tak akan bisa keluar jika tak ada yang datang menjemputnya. Ketakutan dan luka hati yang teramat dalam membuat Adra menyerah dan lebih memilih untuk hidup di kenanga
Ilya mengikuti langkah Alia menuju ke sebuah kamar. Di sana terlihat Adra yang tengah terbaring dengan tatapan kosong. Bahkan tak menghiraukan kedatangan Alia dan Ilya.“Adra...”Suara Ilya bergetar, menahan perasaannya yang mulai kacau. Dia mendekat dengan raut tak percaya. Ada apa dengan Adra? Ilya terus saja bertanya dalam hati.Di ambang pintu, Alia hanya menghela napas. Masih tetap tegar dengan pemandangan sedih di depannya.“Adra...,” panggil Ilya sekali lagi, tapi tetap saja tak ada respon.Lantas Ilya mencoba memposisikan tubuh Adra untuk duduk. Tapi dia justru memeluknya erat, dan tangisnya pun pecah. Terdengar pilu, begitu dalam sampai Alia ikut terbawa suasana.“Adra, kamu kenapa? Aku di sini? Ini aku Ilya. Tolong jangan seperti ini.”Kesadaran Adra yang terjebak pada kenangan masa lalu mulai
16 Oktober 2016Pukul 09:30. Setelah Adra selesai bersih-bersih rumah bersama Alia. Dia memutuskan untuk pergi ke toko Ilya. Entah mengapa dia merasa tak enak dan pikirannya terus tertuju pada Ilya. Apalagi jika ingat akan tanda kematian wanita itu, rasanya Adra tak ingin jauh-jauh darinya, agar bisa melindungi Ilya dari maut. Mungkin hal itu terdengar konyol, tapi bagaimana pun Adra tak ingin berpisah dengan Ilya.Apalagi setelah mendengar perkataan malaikat kematian yang beberapa hari lalu muncul. Sejauh apa pun Adra berpikir, dia tak bisa memungkirinya. Jika ucapan malaikat itu memang benar adanya. Api hitam di atas kepala Ilya sudah semakin besar. Adra tak punya banyak waktu lagi. Jika bisa, Adra akan mengorbankan nyawanya sendiri demi Ilya.Suasana langit pagi tiba-tiba menjadi sedikit murung. Adra bisa merasakan udara di sekitarnya mulai terasa lebih dingin. Dia mendongak, menatap nanar ke jalan raya yang sudah ram
Waktu telah kembali mundur.3 Oktober 2016“Ilyaaa!” teriak Adra terbangun dari tidurnya.Detak jantung Adra begitu cepat, napasnya pun tampak memburu. Keringat dingin memenuhi wajahnya. Dia sempat tertegun sesaat sebelum akhirnya tergesa-gesa mencari ponsel. Begitu melihat tanggal yang tertera di sana, Adra merasa aneh. Antara terkejut dan bingung. Kesadaraannya belum sepenuhnya kembali. Lalu dia merasakan denyutan hebat di kepala, memunculkan ingatan terakhirnya tentang kecelakaan Ilya dan malaikat kematian itu. Adra mengingat apa yang sudah dia sepakati dengan malaikat tersebut, sebuah pertukaran yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Tapi pada kenyataannya, Adra benar-benar mundur pada waktu yang sudah berlalu.Alih-alih Adra melihat ibu jari tangan kanannya. Ada sebuah goresan, ini nyata. Karena masih ragu maka dia menampar pipinya sendiri.“Aww,” d
Masih pada hari yang sama. Adra sempat pulang, tapi pikirannya terus saja tertuju pada Ilya. Membuat Adra ingin menemuinya lagi.Langit di atas sana mulai menggelap, mendung berkumpul di beberapa sisi. Udara pun semakin terasa dingin saat Adra berdiri menunggu untuk menyebrang. Di tangan kanannya dia membawa sekantong plastik, ini adalah inisiatifnya agar mempunyai alasan jika nanti ditanya oleh Ilya.Tiba-tiba hujan turun cukup deras dan kebetulan lampu hijau juga telah menyala, maka Adra langsung berlari menyebrang. Dia sungguh tak menduga jika akan sedikit basah karena hujan. Sesaat Adra tersadar, dia merasa ini adalah de javu. Waktu itu dirinya juga sempat terguyur hujan sebelum memasuki toko.Kling...Suara lonceng yang khas menyambut Adra saat membuka pintu toko bunga itu. Padangannya langsung tertuju pada Ilya yang sedang tertegun di belakang meja kasir. Wanita itu menatap Adra dengan sebal, l
Dalam perjalanan pulang, Adra mengingat-ingat lagi penampilan laki-laki yang sebentar lagi akan mengalami kecelakaan. Sebelum waktu mundur, pada hari yang sama Adra melihat kematian seorang laki-laki. Kali ini dia ingin memastikan sesuatu. Apakah sebuah takdir bisa diubah? Adra memikirkan tentang teori sebab dan akibat, semua hal saling terhubung dan menciptakan takdirnya masing-masing. Di dalamnya ada sebab dan akibat yang berperan. Adra ingin mencoba menggagalkan kematian laki-laki itu dengan mengubah sebabnya.Adra yang sejak tadi berdiri di ujung trotoar mulai bereaksi ketika melihat seorang laki-laki bejalan tergesa. Iris mata Adra menyala merah. Dia menatap langit di atas kepala orang itu yang mulai menggelap, membentuk lingkaran awan hitam. Kemudian sekelompok gagak keluar dari lubang di tengahnya, mereka terbang memutar seakan sedang menciptakan sebuah arus udara.Sadar akan apa yang nanti akan terjadi, maka Adra mulai berjalan, memp
“Kamu nggak kerja?” tanya Ilya. Setelah merasa kenyang dia tampak malas dan mulai terkantuk-kantuk di atas meja.Adra yang sedang mencuci gelas di wastafel tertegun. Pekerjaan? Adra teringat, harusnya hari ini adalah wawancara terakhirnya, tapi dia memilih untuk menemui Ilya. Baginya pekerjaan bisa dia cari, tapi waktu mungkin tak bisa kembali dua kali. Kesempatan kedua yang Adra dapatkan ini mungkin akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya. Jujur, dia tak ingin sedetikpun jauh dari Ilya. Saat nanti dia pulang pasti juga akan terus terbayang-bayang.“Baru nganggur aku, gagal interview terus. Sekarang cari kerja kayak cari jodoh, susahnya minta ampun,” jelas Adra. Dia mengeringkan tangannya dengan kain, lalu duduk di samping Ilya.Wanita itu tampak terkantuk-kantuk, Adra tersenyum. Lalu mengulurkan tangannya, ingin meraih kepala Ilya.“Boleh nggak aku sentuh rambut kamu?” ta
Hari semakin sore, Adra masih terduduk di samping Ilya. Wanita itu sudah tenang, namun wajahnya masih terlihat sedih. Perasaan Adra yang terbagi padanya cukup dalam. Sekarang Adra mengerti. Dia harus lebih berhati-hati lagi dengan perasaannya, agar Ilya tak seperti tadi. Memang sulit, tapi Adra akan mencoba menguatkan hatinya. Persetan dengan tanda kematian itu. Dia benar-benar tak peduli sekarang, yang terpenting adalah menjaga agar kesedihannya tak ikut dirasakan oleh Ilya.“Kamu mau aku bantu?” tanya Ilya lirih.“Maksudnya?” Adra tampak kebingungan.“Kemarin ada salah satu pelanggan, namanya Pak Yudi. Dia kerja di RSUD Majalengka, deket sini, kan?”Adra mengangguk. “Lalu?”“Dia kasih info lowongan pekerjaan, tapi di bagian office boy sih. Kalau kamu mau biar aku kasih kartu nama dia,” jelas Ilya.
Mobil ambulan berhenti, lalu beberapa petugas keluar dengan gerakan sigap. Mereka membawa pasien dengan ranjang darurat menuju ruang IGD. Ilya terus saja menangis sambil melangkah cepat mengimbangi laju mereka.“Adra ...” Suaranya sudah sangat lemah.Ilya tak tahu jika nanti Adra sampai meninggalkannya. Dia sangat kalut dengan pikirannya yang tidak-tidak.Ketika memasuki ruang IGD, seorang dokter wanita sudah siap di ruangan itu. Dia sangat sigap dan tegas pada kru ambulan, tangannya bergerak cepat mengecek tubuh Adra. Lalu menatap Ilya dengan tatapan tajam.“Kamu keluarganya?” tanya dokter itu.Ilya yang tak bisa menjawab, tangisnya terlalu dalam. Mengerti akan situasi, maka dokter itu langsung mengambil keputusan dan memaksa Ilya untuk keluar dari ruangan. Bukan hal mudah, bahkan perlu 3 orang untuk membawa Ilya keluar. Sungguh dia benar-benar histeris,
16 Oktober 2016Malaikat kematian melayang di hadapan Adra. Dia kini berada di sebuah ruangan serba putih. Tak ada apa-apa selain sosok mereka berdua.“Ketahuilah bahwa mata anugrahmu adalah milikku, sebuah kesalah memang. Tapi sebentar lagi aku akan mendapatkannya, walau setelah ini mungkin aku sendiri akan mendapatkan hukuman.” Suara mahkluk itu terdengar lebih pelan dari sebelumnya. Terasa sedih tapi tetap menakutkan seperti yang sudah-sudah.Adra terkejut. Matanya terbuka lebar, seluruh bagiannya berubah menjadi merah, lalu perlahan mengeluarkan darah.“Kenapa?” Suara Adra terdengar berat dan parau.“Kenapa aku?!”Malaikat kematian itu mendekatkan wajahnya yang tak memiliki rupa. “Seperti yang kukatakan, sebuah kesalahan.”“Lalu bagaimana dengan Ilya?”&l
Klakson sebuah mobil menyadarkan Adra yang sempat tertegun sesaat di lampu lalu lintas jalur Jalan Majalengka - Cikijing. Dia baru saja mengantarkan pulang Shina dan kini sedang menuju ke toko bunga. Memang sudah cukup siang, pasti nanti Ilya akan mengomelinya. Tapi mau bagaimana lagi, mengurus Shina ternyata tak secepat rencananya. Dia harus menjelaskan pada Bu Saras sekaligus menjadi penengah di antara mereka. Hasilnya? Tentu terselesaikan.Bu Saras memaafkan Shina dan memperbolehkan untuk menjenguk Aditya. Pertamanya memang sulit, tapi setelah Adra menjelaskan beberapa hal, perlahan Bu Saras menerima jalan keluar yang disarankan oleh Adra. Beruntungnya Shina adalah anak dari keluarga kaya, jadi dia bersedia menanggung semua biaya rumah sakit. Di balik itu semua Adra sedikit kagum dengan gadis remaja itu. Di umurnya yang belum genap delapan belas tahun, dia mampu mengambil keputusan besar.Tak sampai di situ, Shina ternyata juga meminta to
Tubuh Adra terbaring di sofa, terbalut selimut milik Ilya. Sedangkan Ilya sendiri kini tengah terduduk khawatir bersama Shina. Tadi mereka berdua sangat panik ketika mendapati Adra yang tiba-tiba saja tak sadarkan diri.Bahkan pikiran Ilya sudah melayang ke mana-mana. Baru kali ini dia melihat Adra begitu lemah. Bagi Ilya, Adra bukanlah tipe laki-laki yang mudah tumbang, bahkan seberat apa pun masalah yang dihadapi pria itu. Ilya percaya bahwa Adra sudah terlatih dengan semua itu, tapi sekarang apa? Bukankah tadi dia baik-baik saja. Aneh.Secara tak langsung Shina merasa bersalah, dia berasumsi bahwa ceritanya lah yang membuat Adra seperti ini. Dan kini gadis itu hanya bisa terduduk diam dengan tatapan lemah. Hatinya sendiri masih sangat sedih, apalagi melihat orang yang ingin membantunya sedang dalam keadaan tak baik. Membuat pikirannya semakin kalut.“Adra ....” panggil Ilya sambil bergegas mendekat. Shina
“Tentu saja.” Suara Adra membuat keduanya terhenyak, bahkan Ilya sampai memberikan tatapan bertanya.“Semalam kan aku sendiri yang menawarkan,” lanjut Adra tanpa rasa bersalah sedikitpun.Menawarkan? Ilya benar-benar tak paham dengan apa yang sebenarnya mereka sepakati. Apalagi Adra sendiri yang menawarkan diri, maksudnya? Ilya tak habis pikir, dia ingin penjelasan.“Bentar-bentar.” Ilya manatap curiga keduanya dengan bergantian. “Adra! Jangan bengong, taruh tehnya dan duduk sini. Kamu harus jelasin ke aku.”Maka Adra pun menurut, dia meletakan tiga gelas teh ke atas meja lalu duduk di samping Ilya. Dia sempat sesaat menatap wajah Ilya sebelum akhirnya menyentuh kepala Ilya dan mengusapnya lembut.Rasa kesal di hati Ilya yang sudah memuncak membuat dirinya tak sabar. Dengan gerakan sedikit kasar, Ilya menarik tangan Adra dari kepala
Pagi-pagi sekali Ilya sudah sibuk dengan kedatangan mobil pemasok bunga segar. Kemarin dia telah memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa pemasok bunga. Karena semakin hari, permintaan pelanggan juga semakin banyak. Stock di tokonya yang terbatas membuat Ilya memutar otak dan akhirnya memutuskan hal tersebut. Dia senang, perlahan bisnis yang dia rintis mulai berkembang, walau masih dalam tahap promosi. Tak apa, bagi Ilya membuat orang lain merasa senang dengan bunga yang dia berikan itu sudah lebih dari cukup.Keramahan yang Ilya berikan mungkin menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi pengetahuannya tentang filosofi bunga-bunga, seakan setiap pelanggan merasa lebih menghargai dari sepucuk bunga yang mereka beli atau Ilya berikan. Tentu penampilan Ilya juga berpengaruh besar, bahkan banyak muda mudi yang berkunjung hanya untuk meminta foto bersama Ilya. Memang lucu dan terkadang membuat Adra terheran-heran.Di balik itu semua, Ilya
12 Oktober 2016“Aku jadi penasaran sama orang yang memesan bunga itu,” ucap Adra setelah menenggak habis minumannya.“Maksud kamu, orang yang meminta kita untuk mengantarkan bunga ke rumah sakit itu?” Ilya yang sudah selesai makan mulai menanggapi dan tampak tertarik dengan hal yang ingin Adra bahas.Benar. Sudah tiga hari ini, Ilya selalu mendapat pesanan yang sama dan Adra yang mengantarkannya juga mulai merasa aneh. Pasalnya pelanggan itu tak memberitahukan identitasnya dan melakukan pembayaran melalui nomor rekening Ilya. Bukan hanya Adra dan Ilya saja yang penasaran, bahkan Bu Saras juga sangat ingin tahu. Bagi wanita paruh baya itu, hal tersebut sangat berarti. Setiap melihat Adra yang mengantarkan bunga, hatinya selalu terasa hangat dan bisa lebih tegar.“Udahlah nggak usah dipikirin terus, kita pikirin diri kita dulu. Lagian kenapa juga adik kamu sampai nggak ma
Sekali lagi Adra mengamati layar ponselnya, melihat pesan chat yang dikirimkan oleh Ilya. Lalu melihat nomor yang tertera pada pintu di hadapannya. Benar, tak salah lagi. Adra yakin bahwa penerimanya adalah pasien di dalam ruangan itu. Setelah Adra mengetuk pintu, sesaat kemudian terbuka. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Adra dengan raut bertanya.“Maaf, saya cuma kurir toko bunga dan sekarang saya ingin mengantarkan salah satu pesanan pelanggan yang menuliskan alamat penerimanya di sini,” jelas Adra sedikit gugup.Perlahan wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menerima rangkaian bunga itu dengan senang hati. Dia sempat melihat note kecil yang tersemat di ikatan bunga itu.“Kalau boleh tahu, pengirimnya siapa ya?” tanya wanita paruh baya itu.Adra mengecek nota yang sejak tadi dia bawa. Dia sedikit terkejut dan mulai bingung.“Maaf, pel
“Apa nggak kebanyakan, Kak?” tanya Alia. Pasalnya Adra membeli begitu banyak es krim dengan berbagai rasa, bahkan hampir semua jenis es krim di market itu dia beli.“Aku pengen beliin orang lain juga, tapi aku nggak tau kesukaan dia yang mana. Jadi beli semua aja,” jelas Adra sambil berjalan menuju tempat kasir.Orang lain? Alia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah kakaknya itu mempunyai teman? Cewek? Tidak, itu pasti tak mungkin. Alia membuang semua pikiran anehnya. Bagi gadis itu kakaknya tak mungkin memiliki teman perempuan. Mendekati orang lain saja sulit, mana mungkin sampai punya teman, apalagi pacar. Mustahil.“Buat siapa sih?” tanya Alia.“Nanti kamu juga tau sendiri.” Jawaban Adra semakin membuat Alia penasaran.“Kakak ah, pelit! Beliin orang lain aja banyak, masak aku cuma dibeliin satu.”