Pagi-pagi sekali Alia sudah bangun dan melakukan pekerjaan rumah. Setelah selesai, dia beranjak ke kamar Adra, mengamati keadaan kakaknya itu.
“Kak, aku bersihin badan kamu ya, abis itu kita sarapan.”
Adra hanya diam dengan tatapan kosong. Alia semakin kalut dan sedih melihat kakaknya seperti itu. Semalaman Alia berpikir, namun tetap saja tak bisa mengerti dengan apa yang terjadi pada Adra. Jika mengingat masa lalu, Adra memang pernah seperti itu setelah kedua orang tua mereka meninggal. Dan Alia juga yang merawatnya sampai sembuh. Tapi kali ini kasusnya sedikit berbeda. Adra benar-benar tak meresponnya, seakan jiwa kakaknya itu sedang tertidur.
Memang benar. Saat ini jiwa Adra tengah masuk dalam memori masa lalunya sendiri. Dia terjebak di sana, tak akan bisa keluar jika tak ada yang datang menjemputnya. Ketakutan dan luka hati yang teramat dalam membuat Adra menyerah dan lebih memilih untuk hidup di kenangan-kenangan indahnya. Membuat tubuh aslinya menjadi seperti setengah sadar. Lalu apakah dia akan bisa kembali? Entah apa yang akan terjadi nantinya. Jika Alia cepat menyadarinya mungkin akan ada sebuah cara.
Sayangnya sampai saat ini Alia masih berpikir keras. Dia belum mengerti tentang apa yang membuat Adra menjadi seperti itu.
“Kakak duduk aja, buka bajunya, biar aku bersihin badan kakak.”
Dengan sabar Alia merawat Adra. Dia membilas tubuh kakaknya itu dengan handuk yang dibasahi oleh air hangat. Alia mencoba untuk tetap tegar. Setelah berpiasah dengan kakaknya selama dua bulan, rasanya sangat rindu. Tapi situasinya justru seperti ini.
“Pokoknya Kak Adra pasti sembuh,” gumam Alia menyemangati dirinya sendiri.
Alia mengambil handuk kering yang tersampir di pundaknya, lalu dia gunakan untuk mengeringkan tumbuh Adra. Setelah itu Alia memakaikan baju ganti dan membantu kakaknya untuk sarapan. Ya setidaknya Adra masih mau menelan makanan yang dibuatkan oleh Alia. Sebuah bubur ayam, dengan sabar Alia menyuapkannya pada Adra. Sesekali juga menyuapkan teh hangat. Bagi Alia, Adra adalah hidupnya, dia tak bisa membayangkan jika harus kehilangan lagi.
Setelah selesai, Alia pun beranjak keluar agar Adra bisa beristirahat. Dia membawa kemeja kotor milik kakaknya untuk dicuci. Ketika merogoh bagian saku, Alia menemukan sebuah kartu nama yang sedikit mencurigakan.
“Dokter Sa? Spesialis psikologi?” gumam Alia bingung sendiri.
Tiba-tiba Alia teringat sesuatu. Wanita yang kemarin bersikap tak sopan pada kakaknya, tanda pengenal dan mantel putih.
“Kan!” Alia berdecak kesal, “pasti dia tau sesuatu nih.”
Maka Alia segera menghubungi nomer yang tertera di kartu nama itu.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, atau di luar jangkauan...”
Alia kesal, hampir saja dia membanting ponselnya. Tanpa membuang waktu lagi, Alia mulai bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit yang ada di kartu nama itu. Dia harus segera menemui dokter itu dan meminta penjelasan. Alia sangat yakin bahwa keadaan Adra saat ini ada sangkut pautnya dengan dokter itu. Pasti.
***
RSUD Majalengka. Hari masih pagi ketika Alia sampai di sana. Dia bertanya pada resepsionis tentang Dokter Sa, tapi setelah petugas mengecek data dan bilang ini itu. Alia mulai merasa aneh, bagaimana bisa tak ada yang bernama Dokter Sa. Bahkan Alia sampai menunjukan kartu nama yang dia bawa pada petugas resepsionis. Tetap saja, tak ada data dengan nama Dokter Sa.
“Maaf, mungkin anda salah alamat rumah sakit. Di sini dokter spesialis psikologi hanya ada satu dan bukan orang yang anda cari. Jika masih ingin memastikan, silahkan pergi ke papan informasi kami. Anda bisa melihat informasi tentang nama dokter spesialis yang bertugas di rumah sakit ini. Terima kasih.”
Mendengar penjelasan petugas resepsionis, Alia hanya mengangguk paham dan mulai beranjak pergi dengan wajah kecewa. Jika tak ada di rumah sakit itu, lalu di mana? Padahal jelas-jelas informasi yang tercetak di kartu nama itu menunjukan RSUD Majalengka adalah tempat bekerja Dokter Sa.
Dengan lesu Alia berjalan keluar dari area rumah sakit sambil terus memandangi kartu nama di tangannya. Perlahan Alia merasa ada yang aneh, tanganya terasa panas, seperti terbakar.
Mata Alia terbuka lebar. Dia menjatuhkan kartu nama itu karana tangannya terasa sangat panas. Alia memincingkan matanya, berjongkok, mengamati kartu nama tersebut. Terlihat sebuah api hitam mulai membakar kartu nama itu, lalu menghilang begitu saja tanpa meninggalkan bekas.
“Aku yakin, hal aneh ini saling berhubungan,” gumam Alia tanpa merasa takut sedikitpun.
Rasa takut Alia sudah terkalahkan oleh pikiran rumitnya tentang masalah yang menimpa Adra. Dalam pemikirannya, dia sangat yakin bahwa Dokter Sa adalah dalang dari semua ini. Benar, Alia sangat yakin. Pasti ciuman Dokter Sa tempo hari adalah awal dari semuanya. Seperti sebuah kutukan atau sejenisnya, yang pasti membuat Adra menjadi linglung.
Alia berdecak kesal, mamaki dalam hati. Lalu pergi dengan langkah tergesa. Terpaksa Alia harus pulang terlebih dahulu untuk menenangkan pikiran juga memeriksa keadaan kakaknya.
Saat Alia turun dari halte dan berjalan di trotoar Jalan Majalengka-Cikijing, seorang wanita menyapanya dengan ramah. Wanita itu membawa beberapa bunga yang baru saja dipetik. Tanpa sadar Alia berhenti melangkah, padangannya menyapu beranda toko yang penuh dengan bunga dan tanaman hias. Dia terkagum akan suasana toko tersebut, sesaat waktu seperti melambat dan berhenti. Alia merasakan ada sesuatu yang berbeda.
“Kamu mau bunga?” tanya wanita itu lalu tersenyum ramah.
Alia tersadar, “Maaf saya buru-buru.”
“Gratis loh.”
Langkah Alia terhenti lagi. Dia memalingkan wajahnya dan mengerutkan kening.
“Gratis? Apa ada bunga lily?”
“Tentu ada, ayo masuk. Akan aku petikan untukmu,” ajak wanita itu.
Entah mengapa Alia tak bisa menolak lagi, alhasil dia menurut dan kini sudah terduduk di bangku pelanggan. Tapi jujur, bahkan Alia sampai mengakui bahwa suasana ruang tokonya sangat indah dan rapi.
Terlihat wanita pemilik toko itu berjalan mendekat dengan membawa sepucuk bunga lily.
“Kamu suka bunga lily?”
Wanita itu memberikan bunga tersebut dengan senyuman manis.
Alia menerimanya dengan senang hati.
“Bunga lily adalah kenangan terindahku,” jawab Alia seakan bernostalgia dengan masa lalunya. Di mana sang ibu selalu menyelipkan bunga lily di telinga putrinya yang masih kecil. Tanpa sadar Alia mulai berkaca-kaca.
“Sepertinya kamu punya ikatan khusus dengan bunga lily ya?”
“Ini adalah bunga kesukaan ibuku, kakakku juga sangat menyukainya. Terkadang dia mereka seperti satu orang yang sama, selalu saja menyelipkan bunga ini ke telingaku. Eh, maaf jadi kebawa suasana aku, kok jadi sedih gini sih.”
Alia mengusap air matanya, lalu tersenyum.
Wanita pemilik toko bunga itu tertegun, seakan menyadari sesuatu. Perkataan Alia terdengar seperti sesuatu yang pernah dia alami bersama seorang pemuda bernama Adra.
“Kamu...”
“Ya ada apa?”
“Punya kakak laki-laki?”
Alia mengangguk bingung.
“Namanya Adra?”
Sontak Alia terkejut bukan main. Kenapa pemilik toko bunga itu mengenal kakaknya? Alia berpikir sambil mengamati penampilan wanita di hadapannya. Cantik.
“Kamu kenal sama kakak aku, temen Kak Adra ya?”
Wanita itu tiba-tiba terlihat sedih dan menggeleng pelan.
“Kami menjalin hubungan,” ucap wanita itu pelan, “Udah dua hari dia nggak ke sini, aku khawatir.”
“Bentar-bentar, kamu pacaran sama Kak Adra?”
“Dia ngelamar aku.”
Tiba-tiba wajah Alia terbengong tak percaya. Memang sulit dipercaya. Setahu Alia, kakaknya saja sangat tertutup dan tak ingin terlibat dengan orang lain. Lalu ini apa? Adra, kakaknya ngelamar seorang wanita dewasa? Ya, ampun! Kepala Alia semakin pusing.
“Beneran?”
Wanita itu mengangguk, tapi Alia masih belum percaya.
“Kok aneh ya, kenapa ambil keputusan sendiri. Aku adik kandungnya saja nggak dikasih tau loh,” jelas Alia.
“Sekarang dia di mana?”
Kepala Alia seperti tersengat listrik, dia teringat jika kakaknya itu sedang mengalami sesuatu. Dia harus cepat-cepat pulang untuk memeriksa keadaannya. Lantas Alia berpamitan dan langsung beranjak pergi dengan langkah terburu-buru.
Ketika ingin menyebrang, ternyata wanita pemilik toko bunga itu mengikutinya.
“Loh?”
“Aku ikut, perasaanku dari kemarin sudah tak enak. Pasti terjadi sesuatu sama Adra, aku cuma pengen mastiin benar atau enggaknya firasatku ini,” jelas wanita itu dengan raut serius.
Alia tertegun. Kenapa dia bisa tahu jika Adra sedang mengalami masalah? Sebenarnya sedekat apa mereka? Pertanyaan lain mulai bermunculan di kepala Alia.
“Yaudah ayo!”
Mereka berdua berjalan beriringan menyebrang jalan. Sesekali Alia tampak melirik wajah wanita itu. Cantik, satu kata itu yang terpikir di kepalanya.
“Nama kamu siapa, Kak?” tanya Alia.
“Namaku Ilya.”
***
Ilya mengikuti langkah Alia menuju ke sebuah kamar. Di sana terlihat Adra yang tengah terbaring dengan tatapan kosong. Bahkan tak menghiraukan kedatangan Alia dan Ilya.“Adra...”Suara Ilya bergetar, menahan perasaannya yang mulai kacau. Dia mendekat dengan raut tak percaya. Ada apa dengan Adra? Ilya terus saja bertanya dalam hati.Di ambang pintu, Alia hanya menghela napas. Masih tetap tegar dengan pemandangan sedih di depannya.“Adra...,” panggil Ilya sekali lagi, tapi tetap saja tak ada respon.Lantas Ilya mencoba memposisikan tubuh Adra untuk duduk. Tapi dia justru memeluknya erat, dan tangisnya pun pecah. Terdengar pilu, begitu dalam sampai Alia ikut terbawa suasana.“Adra, kamu kenapa? Aku di sini? Ini aku Ilya. Tolong jangan seperti ini.”Kesadaran Adra yang terjebak pada kenangan masa lalu mulai
16 Oktober 2016Pukul 09:30. Setelah Adra selesai bersih-bersih rumah bersama Alia. Dia memutuskan untuk pergi ke toko Ilya. Entah mengapa dia merasa tak enak dan pikirannya terus tertuju pada Ilya. Apalagi jika ingat akan tanda kematian wanita itu, rasanya Adra tak ingin jauh-jauh darinya, agar bisa melindungi Ilya dari maut. Mungkin hal itu terdengar konyol, tapi bagaimana pun Adra tak ingin berpisah dengan Ilya.Apalagi setelah mendengar perkataan malaikat kematian yang beberapa hari lalu muncul. Sejauh apa pun Adra berpikir, dia tak bisa memungkirinya. Jika ucapan malaikat itu memang benar adanya. Api hitam di atas kepala Ilya sudah semakin besar. Adra tak punya banyak waktu lagi. Jika bisa, Adra akan mengorbankan nyawanya sendiri demi Ilya.Suasana langit pagi tiba-tiba menjadi sedikit murung. Adra bisa merasakan udara di sekitarnya mulai terasa lebih dingin. Dia mendongak, menatap nanar ke jalan raya yang sudah ram
Waktu telah kembali mundur.3 Oktober 2016“Ilyaaa!” teriak Adra terbangun dari tidurnya.Detak jantung Adra begitu cepat, napasnya pun tampak memburu. Keringat dingin memenuhi wajahnya. Dia sempat tertegun sesaat sebelum akhirnya tergesa-gesa mencari ponsel. Begitu melihat tanggal yang tertera di sana, Adra merasa aneh. Antara terkejut dan bingung. Kesadaraannya belum sepenuhnya kembali. Lalu dia merasakan denyutan hebat di kepala, memunculkan ingatan terakhirnya tentang kecelakaan Ilya dan malaikat kematian itu. Adra mengingat apa yang sudah dia sepakati dengan malaikat tersebut, sebuah pertukaran yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Tapi pada kenyataannya, Adra benar-benar mundur pada waktu yang sudah berlalu.Alih-alih Adra melihat ibu jari tangan kanannya. Ada sebuah goresan, ini nyata. Karena masih ragu maka dia menampar pipinya sendiri.“Aww,” d
Masih pada hari yang sama. Adra sempat pulang, tapi pikirannya terus saja tertuju pada Ilya. Membuat Adra ingin menemuinya lagi.Langit di atas sana mulai menggelap, mendung berkumpul di beberapa sisi. Udara pun semakin terasa dingin saat Adra berdiri menunggu untuk menyebrang. Di tangan kanannya dia membawa sekantong plastik, ini adalah inisiatifnya agar mempunyai alasan jika nanti ditanya oleh Ilya.Tiba-tiba hujan turun cukup deras dan kebetulan lampu hijau juga telah menyala, maka Adra langsung berlari menyebrang. Dia sungguh tak menduga jika akan sedikit basah karena hujan. Sesaat Adra tersadar, dia merasa ini adalah de javu. Waktu itu dirinya juga sempat terguyur hujan sebelum memasuki toko.Kling...Suara lonceng yang khas menyambut Adra saat membuka pintu toko bunga itu. Padangannya langsung tertuju pada Ilya yang sedang tertegun di belakang meja kasir. Wanita itu menatap Adra dengan sebal, l
Dalam perjalanan pulang, Adra mengingat-ingat lagi penampilan laki-laki yang sebentar lagi akan mengalami kecelakaan. Sebelum waktu mundur, pada hari yang sama Adra melihat kematian seorang laki-laki. Kali ini dia ingin memastikan sesuatu. Apakah sebuah takdir bisa diubah? Adra memikirkan tentang teori sebab dan akibat, semua hal saling terhubung dan menciptakan takdirnya masing-masing. Di dalamnya ada sebab dan akibat yang berperan. Adra ingin mencoba menggagalkan kematian laki-laki itu dengan mengubah sebabnya.Adra yang sejak tadi berdiri di ujung trotoar mulai bereaksi ketika melihat seorang laki-laki bejalan tergesa. Iris mata Adra menyala merah. Dia menatap langit di atas kepala orang itu yang mulai menggelap, membentuk lingkaran awan hitam. Kemudian sekelompok gagak keluar dari lubang di tengahnya, mereka terbang memutar seakan sedang menciptakan sebuah arus udara.Sadar akan apa yang nanti akan terjadi, maka Adra mulai berjalan, memp
“Kamu nggak kerja?” tanya Ilya. Setelah merasa kenyang dia tampak malas dan mulai terkantuk-kantuk di atas meja.Adra yang sedang mencuci gelas di wastafel tertegun. Pekerjaan? Adra teringat, harusnya hari ini adalah wawancara terakhirnya, tapi dia memilih untuk menemui Ilya. Baginya pekerjaan bisa dia cari, tapi waktu mungkin tak bisa kembali dua kali. Kesempatan kedua yang Adra dapatkan ini mungkin akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya. Jujur, dia tak ingin sedetikpun jauh dari Ilya. Saat nanti dia pulang pasti juga akan terus terbayang-bayang.“Baru nganggur aku, gagal interview terus. Sekarang cari kerja kayak cari jodoh, susahnya minta ampun,” jelas Adra. Dia mengeringkan tangannya dengan kain, lalu duduk di samping Ilya.Wanita itu tampak terkantuk-kantuk, Adra tersenyum. Lalu mengulurkan tangannya, ingin meraih kepala Ilya.“Boleh nggak aku sentuh rambut kamu?” ta
Hari semakin sore, Adra masih terduduk di samping Ilya. Wanita itu sudah tenang, namun wajahnya masih terlihat sedih. Perasaan Adra yang terbagi padanya cukup dalam. Sekarang Adra mengerti. Dia harus lebih berhati-hati lagi dengan perasaannya, agar Ilya tak seperti tadi. Memang sulit, tapi Adra akan mencoba menguatkan hatinya. Persetan dengan tanda kematian itu. Dia benar-benar tak peduli sekarang, yang terpenting adalah menjaga agar kesedihannya tak ikut dirasakan oleh Ilya.“Kamu mau aku bantu?” tanya Ilya lirih.“Maksudnya?” Adra tampak kebingungan.“Kemarin ada salah satu pelanggan, namanya Pak Yudi. Dia kerja di RSUD Majalengka, deket sini, kan?”Adra mengangguk. “Lalu?”“Dia kasih info lowongan pekerjaan, tapi di bagian office boy sih. Kalau kamu mau biar aku kasih kartu nama dia,” jelas Ilya.
7 Oktober 2016Sudah beberapa hari Adra membantu Ilya di toko bunganya. Mereka berdua tampak selalu bersemangat, walau terkadang ada pertengkaran kecil. Selebihnya adalah hal baik. Adra bisa lebih dekat dengan Ilya dan wanita itu sendiri terbantu. Akhir-akhir ini banyak sekali pengunjung yang datang, dengan adanya Adra, semua seakan lebih ringan bagi Ilya. Hal itu memberikan kesan jika Adra termasuk pria yang bisa diandalkan dan profesional dalam berkerja.Secara tak langsung, waktu yang mereka habiskan bersama semakin terasa. Apalagi untuk Ilya, dia kini seakan tengah dimabuk asmara. Setiap kali memandang Adra, debar jantungnya selalu saja tak menentu. Tentu Adra hanya santai jika melihat Ilya yang tersipu malu atau salah tingkah. Pemuda itu sudah terbiasa. Tak seperti Ilya, Adra memang sudah cukup mengenal gerak-gerik Ilya, karena kemunduran waktu yang telah dialaminya. Seakan memberikan dua pengalaman dengan satu rasa yang sama. Bahagia.
Mobil ambulan berhenti, lalu beberapa petugas keluar dengan gerakan sigap. Mereka membawa pasien dengan ranjang darurat menuju ruang IGD. Ilya terus saja menangis sambil melangkah cepat mengimbangi laju mereka.“Adra ...” Suaranya sudah sangat lemah.Ilya tak tahu jika nanti Adra sampai meninggalkannya. Dia sangat kalut dengan pikirannya yang tidak-tidak.Ketika memasuki ruang IGD, seorang dokter wanita sudah siap di ruangan itu. Dia sangat sigap dan tegas pada kru ambulan, tangannya bergerak cepat mengecek tubuh Adra. Lalu menatap Ilya dengan tatapan tajam.“Kamu keluarganya?” tanya dokter itu.Ilya yang tak bisa menjawab, tangisnya terlalu dalam. Mengerti akan situasi, maka dokter itu langsung mengambil keputusan dan memaksa Ilya untuk keluar dari ruangan. Bukan hal mudah, bahkan perlu 3 orang untuk membawa Ilya keluar. Sungguh dia benar-benar histeris,
16 Oktober 2016Malaikat kematian melayang di hadapan Adra. Dia kini berada di sebuah ruangan serba putih. Tak ada apa-apa selain sosok mereka berdua.“Ketahuilah bahwa mata anugrahmu adalah milikku, sebuah kesalah memang. Tapi sebentar lagi aku akan mendapatkannya, walau setelah ini mungkin aku sendiri akan mendapatkan hukuman.” Suara mahkluk itu terdengar lebih pelan dari sebelumnya. Terasa sedih tapi tetap menakutkan seperti yang sudah-sudah.Adra terkejut. Matanya terbuka lebar, seluruh bagiannya berubah menjadi merah, lalu perlahan mengeluarkan darah.“Kenapa?” Suara Adra terdengar berat dan parau.“Kenapa aku?!”Malaikat kematian itu mendekatkan wajahnya yang tak memiliki rupa. “Seperti yang kukatakan, sebuah kesalahan.”“Lalu bagaimana dengan Ilya?”&l
Klakson sebuah mobil menyadarkan Adra yang sempat tertegun sesaat di lampu lalu lintas jalur Jalan Majalengka - Cikijing. Dia baru saja mengantarkan pulang Shina dan kini sedang menuju ke toko bunga. Memang sudah cukup siang, pasti nanti Ilya akan mengomelinya. Tapi mau bagaimana lagi, mengurus Shina ternyata tak secepat rencananya. Dia harus menjelaskan pada Bu Saras sekaligus menjadi penengah di antara mereka. Hasilnya? Tentu terselesaikan.Bu Saras memaafkan Shina dan memperbolehkan untuk menjenguk Aditya. Pertamanya memang sulit, tapi setelah Adra menjelaskan beberapa hal, perlahan Bu Saras menerima jalan keluar yang disarankan oleh Adra. Beruntungnya Shina adalah anak dari keluarga kaya, jadi dia bersedia menanggung semua biaya rumah sakit. Di balik itu semua Adra sedikit kagum dengan gadis remaja itu. Di umurnya yang belum genap delapan belas tahun, dia mampu mengambil keputusan besar.Tak sampai di situ, Shina ternyata juga meminta to
Tubuh Adra terbaring di sofa, terbalut selimut milik Ilya. Sedangkan Ilya sendiri kini tengah terduduk khawatir bersama Shina. Tadi mereka berdua sangat panik ketika mendapati Adra yang tiba-tiba saja tak sadarkan diri.Bahkan pikiran Ilya sudah melayang ke mana-mana. Baru kali ini dia melihat Adra begitu lemah. Bagi Ilya, Adra bukanlah tipe laki-laki yang mudah tumbang, bahkan seberat apa pun masalah yang dihadapi pria itu. Ilya percaya bahwa Adra sudah terlatih dengan semua itu, tapi sekarang apa? Bukankah tadi dia baik-baik saja. Aneh.Secara tak langsung Shina merasa bersalah, dia berasumsi bahwa ceritanya lah yang membuat Adra seperti ini. Dan kini gadis itu hanya bisa terduduk diam dengan tatapan lemah. Hatinya sendiri masih sangat sedih, apalagi melihat orang yang ingin membantunya sedang dalam keadaan tak baik. Membuat pikirannya semakin kalut.“Adra ....” panggil Ilya sambil bergegas mendekat. Shina
“Tentu saja.” Suara Adra membuat keduanya terhenyak, bahkan Ilya sampai memberikan tatapan bertanya.“Semalam kan aku sendiri yang menawarkan,” lanjut Adra tanpa rasa bersalah sedikitpun.Menawarkan? Ilya benar-benar tak paham dengan apa yang sebenarnya mereka sepakati. Apalagi Adra sendiri yang menawarkan diri, maksudnya? Ilya tak habis pikir, dia ingin penjelasan.“Bentar-bentar.” Ilya manatap curiga keduanya dengan bergantian. “Adra! Jangan bengong, taruh tehnya dan duduk sini. Kamu harus jelasin ke aku.”Maka Adra pun menurut, dia meletakan tiga gelas teh ke atas meja lalu duduk di samping Ilya. Dia sempat sesaat menatap wajah Ilya sebelum akhirnya menyentuh kepala Ilya dan mengusapnya lembut.Rasa kesal di hati Ilya yang sudah memuncak membuat dirinya tak sabar. Dengan gerakan sedikit kasar, Ilya menarik tangan Adra dari kepala
Pagi-pagi sekali Ilya sudah sibuk dengan kedatangan mobil pemasok bunga segar. Kemarin dia telah memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa pemasok bunga. Karena semakin hari, permintaan pelanggan juga semakin banyak. Stock di tokonya yang terbatas membuat Ilya memutar otak dan akhirnya memutuskan hal tersebut. Dia senang, perlahan bisnis yang dia rintis mulai berkembang, walau masih dalam tahap promosi. Tak apa, bagi Ilya membuat orang lain merasa senang dengan bunga yang dia berikan itu sudah lebih dari cukup.Keramahan yang Ilya berikan mungkin menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi pengetahuannya tentang filosofi bunga-bunga, seakan setiap pelanggan merasa lebih menghargai dari sepucuk bunga yang mereka beli atau Ilya berikan. Tentu penampilan Ilya juga berpengaruh besar, bahkan banyak muda mudi yang berkunjung hanya untuk meminta foto bersama Ilya. Memang lucu dan terkadang membuat Adra terheran-heran.Di balik itu semua, Ilya
12 Oktober 2016“Aku jadi penasaran sama orang yang memesan bunga itu,” ucap Adra setelah menenggak habis minumannya.“Maksud kamu, orang yang meminta kita untuk mengantarkan bunga ke rumah sakit itu?” Ilya yang sudah selesai makan mulai menanggapi dan tampak tertarik dengan hal yang ingin Adra bahas.Benar. Sudah tiga hari ini, Ilya selalu mendapat pesanan yang sama dan Adra yang mengantarkannya juga mulai merasa aneh. Pasalnya pelanggan itu tak memberitahukan identitasnya dan melakukan pembayaran melalui nomor rekening Ilya. Bukan hanya Adra dan Ilya saja yang penasaran, bahkan Bu Saras juga sangat ingin tahu. Bagi wanita paruh baya itu, hal tersebut sangat berarti. Setiap melihat Adra yang mengantarkan bunga, hatinya selalu terasa hangat dan bisa lebih tegar.“Udahlah nggak usah dipikirin terus, kita pikirin diri kita dulu. Lagian kenapa juga adik kamu sampai nggak ma
Sekali lagi Adra mengamati layar ponselnya, melihat pesan chat yang dikirimkan oleh Ilya. Lalu melihat nomor yang tertera pada pintu di hadapannya. Benar, tak salah lagi. Adra yakin bahwa penerimanya adalah pasien di dalam ruangan itu. Setelah Adra mengetuk pintu, sesaat kemudian terbuka. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Adra dengan raut bertanya.“Maaf, saya cuma kurir toko bunga dan sekarang saya ingin mengantarkan salah satu pesanan pelanggan yang menuliskan alamat penerimanya di sini,” jelas Adra sedikit gugup.Perlahan wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menerima rangkaian bunga itu dengan senang hati. Dia sempat melihat note kecil yang tersemat di ikatan bunga itu.“Kalau boleh tahu, pengirimnya siapa ya?” tanya wanita paruh baya itu.Adra mengecek nota yang sejak tadi dia bawa. Dia sedikit terkejut dan mulai bingung.“Maaf, pel
“Apa nggak kebanyakan, Kak?” tanya Alia. Pasalnya Adra membeli begitu banyak es krim dengan berbagai rasa, bahkan hampir semua jenis es krim di market itu dia beli.“Aku pengen beliin orang lain juga, tapi aku nggak tau kesukaan dia yang mana. Jadi beli semua aja,” jelas Adra sambil berjalan menuju tempat kasir.Orang lain? Alia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah kakaknya itu mempunyai teman? Cewek? Tidak, itu pasti tak mungkin. Alia membuang semua pikiran anehnya. Bagi gadis itu kakaknya tak mungkin memiliki teman perempuan. Mendekati orang lain saja sulit, mana mungkin sampai punya teman, apalagi pacar. Mustahil.“Buat siapa sih?” tanya Alia.“Nanti kamu juga tau sendiri.” Jawaban Adra semakin membuat Alia penasaran.“Kakak ah, pelit! Beliin orang lain aja banyak, masak aku cuma dibeliin satu.”