16 Oktober 2016
Pukul 09:30. Setelah Adra selesai bersih-bersih rumah bersama Alia. Dia memutuskan untuk pergi ke toko Ilya. Entah mengapa dia merasa tak enak dan pikirannya terus tertuju pada Ilya. Apalagi jika ingat akan tanda kematian wanita itu, rasanya Adra tak ingin jauh-jauh darinya, agar bisa melindungi Ilya dari maut. Mungkin hal itu terdengar konyol, tapi bagaimana pun Adra tak ingin berpisah dengan Ilya.
Apalagi setelah mendengar perkataan malaikat kematian yang beberapa hari lalu muncul. Sejauh apa pun Adra berpikir, dia tak bisa memungkirinya. Jika ucapan malaikat itu memang benar adanya. Api hitam di atas kepala Ilya sudah semakin besar. Adra tak punya banyak waktu lagi. Jika bisa, Adra akan mengorbankan nyawanya sendiri demi Ilya.
Suasana langit pagi tiba-tiba menjadi sedikit murung. Adra bisa merasakan udara di sekitarnya mulai terasa lebih dingin. Dia mendongak, menatap nanar ke jalan raya yang sudah ram
Waktu telah kembali mundur.3 Oktober 2016“Ilyaaa!” teriak Adra terbangun dari tidurnya.Detak jantung Adra begitu cepat, napasnya pun tampak memburu. Keringat dingin memenuhi wajahnya. Dia sempat tertegun sesaat sebelum akhirnya tergesa-gesa mencari ponsel. Begitu melihat tanggal yang tertera di sana, Adra merasa aneh. Antara terkejut dan bingung. Kesadaraannya belum sepenuhnya kembali. Lalu dia merasakan denyutan hebat di kepala, memunculkan ingatan terakhirnya tentang kecelakaan Ilya dan malaikat kematian itu. Adra mengingat apa yang sudah dia sepakati dengan malaikat tersebut, sebuah pertukaran yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Tapi pada kenyataannya, Adra benar-benar mundur pada waktu yang sudah berlalu.Alih-alih Adra melihat ibu jari tangan kanannya. Ada sebuah goresan, ini nyata. Karena masih ragu maka dia menampar pipinya sendiri.“Aww,” d
Masih pada hari yang sama. Adra sempat pulang, tapi pikirannya terus saja tertuju pada Ilya. Membuat Adra ingin menemuinya lagi.Langit di atas sana mulai menggelap, mendung berkumpul di beberapa sisi. Udara pun semakin terasa dingin saat Adra berdiri menunggu untuk menyebrang. Di tangan kanannya dia membawa sekantong plastik, ini adalah inisiatifnya agar mempunyai alasan jika nanti ditanya oleh Ilya.Tiba-tiba hujan turun cukup deras dan kebetulan lampu hijau juga telah menyala, maka Adra langsung berlari menyebrang. Dia sungguh tak menduga jika akan sedikit basah karena hujan. Sesaat Adra tersadar, dia merasa ini adalah de javu. Waktu itu dirinya juga sempat terguyur hujan sebelum memasuki toko.Kling...Suara lonceng yang khas menyambut Adra saat membuka pintu toko bunga itu. Padangannya langsung tertuju pada Ilya yang sedang tertegun di belakang meja kasir. Wanita itu menatap Adra dengan sebal, l
Dalam perjalanan pulang, Adra mengingat-ingat lagi penampilan laki-laki yang sebentar lagi akan mengalami kecelakaan. Sebelum waktu mundur, pada hari yang sama Adra melihat kematian seorang laki-laki. Kali ini dia ingin memastikan sesuatu. Apakah sebuah takdir bisa diubah? Adra memikirkan tentang teori sebab dan akibat, semua hal saling terhubung dan menciptakan takdirnya masing-masing. Di dalamnya ada sebab dan akibat yang berperan. Adra ingin mencoba menggagalkan kematian laki-laki itu dengan mengubah sebabnya.Adra yang sejak tadi berdiri di ujung trotoar mulai bereaksi ketika melihat seorang laki-laki bejalan tergesa. Iris mata Adra menyala merah. Dia menatap langit di atas kepala orang itu yang mulai menggelap, membentuk lingkaran awan hitam. Kemudian sekelompok gagak keluar dari lubang di tengahnya, mereka terbang memutar seakan sedang menciptakan sebuah arus udara.Sadar akan apa yang nanti akan terjadi, maka Adra mulai berjalan, memp
“Kamu nggak kerja?” tanya Ilya. Setelah merasa kenyang dia tampak malas dan mulai terkantuk-kantuk di atas meja.Adra yang sedang mencuci gelas di wastafel tertegun. Pekerjaan? Adra teringat, harusnya hari ini adalah wawancara terakhirnya, tapi dia memilih untuk menemui Ilya. Baginya pekerjaan bisa dia cari, tapi waktu mungkin tak bisa kembali dua kali. Kesempatan kedua yang Adra dapatkan ini mungkin akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya. Jujur, dia tak ingin sedetikpun jauh dari Ilya. Saat nanti dia pulang pasti juga akan terus terbayang-bayang.“Baru nganggur aku, gagal interview terus. Sekarang cari kerja kayak cari jodoh, susahnya minta ampun,” jelas Adra. Dia mengeringkan tangannya dengan kain, lalu duduk di samping Ilya.Wanita itu tampak terkantuk-kantuk, Adra tersenyum. Lalu mengulurkan tangannya, ingin meraih kepala Ilya.“Boleh nggak aku sentuh rambut kamu?” ta
Hari semakin sore, Adra masih terduduk di samping Ilya. Wanita itu sudah tenang, namun wajahnya masih terlihat sedih. Perasaan Adra yang terbagi padanya cukup dalam. Sekarang Adra mengerti. Dia harus lebih berhati-hati lagi dengan perasaannya, agar Ilya tak seperti tadi. Memang sulit, tapi Adra akan mencoba menguatkan hatinya. Persetan dengan tanda kematian itu. Dia benar-benar tak peduli sekarang, yang terpenting adalah menjaga agar kesedihannya tak ikut dirasakan oleh Ilya.“Kamu mau aku bantu?” tanya Ilya lirih.“Maksudnya?” Adra tampak kebingungan.“Kemarin ada salah satu pelanggan, namanya Pak Yudi. Dia kerja di RSUD Majalengka, deket sini, kan?”Adra mengangguk. “Lalu?”“Dia kasih info lowongan pekerjaan, tapi di bagian office boy sih. Kalau kamu mau biar aku kasih kartu nama dia,” jelas Ilya.
7 Oktober 2016Sudah beberapa hari Adra membantu Ilya di toko bunganya. Mereka berdua tampak selalu bersemangat, walau terkadang ada pertengkaran kecil. Selebihnya adalah hal baik. Adra bisa lebih dekat dengan Ilya dan wanita itu sendiri terbantu. Akhir-akhir ini banyak sekali pengunjung yang datang, dengan adanya Adra, semua seakan lebih ringan bagi Ilya. Hal itu memberikan kesan jika Adra termasuk pria yang bisa diandalkan dan profesional dalam berkerja.Secara tak langsung, waktu yang mereka habiskan bersama semakin terasa. Apalagi untuk Ilya, dia kini seakan tengah dimabuk asmara. Setiap kali memandang Adra, debar jantungnya selalu saja tak menentu. Tentu Adra hanya santai jika melihat Ilya yang tersipu malu atau salah tingkah. Pemuda itu sudah terbiasa. Tak seperti Ilya, Adra memang sudah cukup mengenal gerak-gerik Ilya, karena kemunduran waktu yang telah dialaminya. Seakan memberikan dua pengalaman dengan satu rasa yang sama. Bahagia.
Sekali lagi Adra gagal. Percobaan keduanya pada salah satu pasien itu sia-sia saja. Sebenarnya sang dokter tak terlambat, bahkan dia sempat melakukan operasi darurat. Namun hasil akhirnya tetap sama seperti yang sudah Adra lihat. Pasien itu tak tertolong.Adra frustasi. Dia terduduk menyedihkan di bangku taman rumah sakit bersama kepulan asap rokok. Jika memang takdir tak bisa diubah, maka kenyataan yang pahit harus dia terima untuk kedua kalinya. Kehilangan Ilya, mampu kah dia melepasnya pergi. Tentu sangat sulit, membayangkannya saja sudah cukup menyakitkan.Adra menghembuskan asap rokoknya, lalu terbawa terbang oleh angin. Daun-daun kering pada pohon di dekatnya berguguran. Terlihat rapuh dan tak berdaya, seperti keadaannya saat ini. Mau bagaimana pun, takdir tetaplah takdir. Andai saja dia tak memiliki mata kutukan itu, mungkin hidupnya tak akan seperti ini. Memahami dan membagi perasaan pada orang lain bukanlah hal yang mudah, bahkan pe
“Kamu punya kembaran?!” Ucapan Adra yang sedikit bernada tinggi, membuat Ilya semakin tertunduk. Dan seketika itu dada Adra seperti terhantam sesuatu. Sesak, perih yang mendalam. Dia sadar bahwa perasaan Ilya terbagi padanya. Baru kali ini dia merasakan hal itu, ternyata sangat menyiksa. Adra mengerti sekarang, kenapa selama ini Ilya selalu bersimpati padanya. Baik Ilya yang saat ini atau Ilya ketika waktu belum mundur.Dalam diam air mata Ilya mengalir, menetes ke meja. Kenangan tentang hari itu muncul kembali dengan perasaan yang sama.“Ilya?” panggil Adra lirih. Tangannya yang gemetar terulur, ingin meraih tubuh wanita itu, tapi tak bisa. Terasa berat. Kesadaran Adra merasa sosok Ilya terasa semakin jauh dan mulai pudar lalu menghilang.Putih. Kesadaran Adra tertarik ke sebuah ruang serba putih, kemudian beralih lagi ke tepi jalan. Adra melihat dua orang gadis kecil tengah bersiap menyeberang d
Mobil ambulan berhenti, lalu beberapa petugas keluar dengan gerakan sigap. Mereka membawa pasien dengan ranjang darurat menuju ruang IGD. Ilya terus saja menangis sambil melangkah cepat mengimbangi laju mereka.“Adra ...” Suaranya sudah sangat lemah.Ilya tak tahu jika nanti Adra sampai meninggalkannya. Dia sangat kalut dengan pikirannya yang tidak-tidak.Ketika memasuki ruang IGD, seorang dokter wanita sudah siap di ruangan itu. Dia sangat sigap dan tegas pada kru ambulan, tangannya bergerak cepat mengecek tubuh Adra. Lalu menatap Ilya dengan tatapan tajam.“Kamu keluarganya?” tanya dokter itu.Ilya yang tak bisa menjawab, tangisnya terlalu dalam. Mengerti akan situasi, maka dokter itu langsung mengambil keputusan dan memaksa Ilya untuk keluar dari ruangan. Bukan hal mudah, bahkan perlu 3 orang untuk membawa Ilya keluar. Sungguh dia benar-benar histeris,
16 Oktober 2016Malaikat kematian melayang di hadapan Adra. Dia kini berada di sebuah ruangan serba putih. Tak ada apa-apa selain sosok mereka berdua.“Ketahuilah bahwa mata anugrahmu adalah milikku, sebuah kesalah memang. Tapi sebentar lagi aku akan mendapatkannya, walau setelah ini mungkin aku sendiri akan mendapatkan hukuman.” Suara mahkluk itu terdengar lebih pelan dari sebelumnya. Terasa sedih tapi tetap menakutkan seperti yang sudah-sudah.Adra terkejut. Matanya terbuka lebar, seluruh bagiannya berubah menjadi merah, lalu perlahan mengeluarkan darah.“Kenapa?” Suara Adra terdengar berat dan parau.“Kenapa aku?!”Malaikat kematian itu mendekatkan wajahnya yang tak memiliki rupa. “Seperti yang kukatakan, sebuah kesalahan.”“Lalu bagaimana dengan Ilya?”&l
Klakson sebuah mobil menyadarkan Adra yang sempat tertegun sesaat di lampu lalu lintas jalur Jalan Majalengka - Cikijing. Dia baru saja mengantarkan pulang Shina dan kini sedang menuju ke toko bunga. Memang sudah cukup siang, pasti nanti Ilya akan mengomelinya. Tapi mau bagaimana lagi, mengurus Shina ternyata tak secepat rencananya. Dia harus menjelaskan pada Bu Saras sekaligus menjadi penengah di antara mereka. Hasilnya? Tentu terselesaikan.Bu Saras memaafkan Shina dan memperbolehkan untuk menjenguk Aditya. Pertamanya memang sulit, tapi setelah Adra menjelaskan beberapa hal, perlahan Bu Saras menerima jalan keluar yang disarankan oleh Adra. Beruntungnya Shina adalah anak dari keluarga kaya, jadi dia bersedia menanggung semua biaya rumah sakit. Di balik itu semua Adra sedikit kagum dengan gadis remaja itu. Di umurnya yang belum genap delapan belas tahun, dia mampu mengambil keputusan besar.Tak sampai di situ, Shina ternyata juga meminta to
Tubuh Adra terbaring di sofa, terbalut selimut milik Ilya. Sedangkan Ilya sendiri kini tengah terduduk khawatir bersama Shina. Tadi mereka berdua sangat panik ketika mendapati Adra yang tiba-tiba saja tak sadarkan diri.Bahkan pikiran Ilya sudah melayang ke mana-mana. Baru kali ini dia melihat Adra begitu lemah. Bagi Ilya, Adra bukanlah tipe laki-laki yang mudah tumbang, bahkan seberat apa pun masalah yang dihadapi pria itu. Ilya percaya bahwa Adra sudah terlatih dengan semua itu, tapi sekarang apa? Bukankah tadi dia baik-baik saja. Aneh.Secara tak langsung Shina merasa bersalah, dia berasumsi bahwa ceritanya lah yang membuat Adra seperti ini. Dan kini gadis itu hanya bisa terduduk diam dengan tatapan lemah. Hatinya sendiri masih sangat sedih, apalagi melihat orang yang ingin membantunya sedang dalam keadaan tak baik. Membuat pikirannya semakin kalut.“Adra ....” panggil Ilya sambil bergegas mendekat. Shina
“Tentu saja.” Suara Adra membuat keduanya terhenyak, bahkan Ilya sampai memberikan tatapan bertanya.“Semalam kan aku sendiri yang menawarkan,” lanjut Adra tanpa rasa bersalah sedikitpun.Menawarkan? Ilya benar-benar tak paham dengan apa yang sebenarnya mereka sepakati. Apalagi Adra sendiri yang menawarkan diri, maksudnya? Ilya tak habis pikir, dia ingin penjelasan.“Bentar-bentar.” Ilya manatap curiga keduanya dengan bergantian. “Adra! Jangan bengong, taruh tehnya dan duduk sini. Kamu harus jelasin ke aku.”Maka Adra pun menurut, dia meletakan tiga gelas teh ke atas meja lalu duduk di samping Ilya. Dia sempat sesaat menatap wajah Ilya sebelum akhirnya menyentuh kepala Ilya dan mengusapnya lembut.Rasa kesal di hati Ilya yang sudah memuncak membuat dirinya tak sabar. Dengan gerakan sedikit kasar, Ilya menarik tangan Adra dari kepala
Pagi-pagi sekali Ilya sudah sibuk dengan kedatangan mobil pemasok bunga segar. Kemarin dia telah memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa pemasok bunga. Karena semakin hari, permintaan pelanggan juga semakin banyak. Stock di tokonya yang terbatas membuat Ilya memutar otak dan akhirnya memutuskan hal tersebut. Dia senang, perlahan bisnis yang dia rintis mulai berkembang, walau masih dalam tahap promosi. Tak apa, bagi Ilya membuat orang lain merasa senang dengan bunga yang dia berikan itu sudah lebih dari cukup.Keramahan yang Ilya berikan mungkin menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi pengetahuannya tentang filosofi bunga-bunga, seakan setiap pelanggan merasa lebih menghargai dari sepucuk bunga yang mereka beli atau Ilya berikan. Tentu penampilan Ilya juga berpengaruh besar, bahkan banyak muda mudi yang berkunjung hanya untuk meminta foto bersama Ilya. Memang lucu dan terkadang membuat Adra terheran-heran.Di balik itu semua, Ilya
12 Oktober 2016“Aku jadi penasaran sama orang yang memesan bunga itu,” ucap Adra setelah menenggak habis minumannya.“Maksud kamu, orang yang meminta kita untuk mengantarkan bunga ke rumah sakit itu?” Ilya yang sudah selesai makan mulai menanggapi dan tampak tertarik dengan hal yang ingin Adra bahas.Benar. Sudah tiga hari ini, Ilya selalu mendapat pesanan yang sama dan Adra yang mengantarkannya juga mulai merasa aneh. Pasalnya pelanggan itu tak memberitahukan identitasnya dan melakukan pembayaran melalui nomor rekening Ilya. Bukan hanya Adra dan Ilya saja yang penasaran, bahkan Bu Saras juga sangat ingin tahu. Bagi wanita paruh baya itu, hal tersebut sangat berarti. Setiap melihat Adra yang mengantarkan bunga, hatinya selalu terasa hangat dan bisa lebih tegar.“Udahlah nggak usah dipikirin terus, kita pikirin diri kita dulu. Lagian kenapa juga adik kamu sampai nggak ma
Sekali lagi Adra mengamati layar ponselnya, melihat pesan chat yang dikirimkan oleh Ilya. Lalu melihat nomor yang tertera pada pintu di hadapannya. Benar, tak salah lagi. Adra yakin bahwa penerimanya adalah pasien di dalam ruangan itu. Setelah Adra mengetuk pintu, sesaat kemudian terbuka. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan Adra dengan raut bertanya.“Maaf, saya cuma kurir toko bunga dan sekarang saya ingin mengantarkan salah satu pesanan pelanggan yang menuliskan alamat penerimanya di sini,” jelas Adra sedikit gugup.Perlahan wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menerima rangkaian bunga itu dengan senang hati. Dia sempat melihat note kecil yang tersemat di ikatan bunga itu.“Kalau boleh tahu, pengirimnya siapa ya?” tanya wanita paruh baya itu.Adra mengecek nota yang sejak tadi dia bawa. Dia sedikit terkejut dan mulai bingung.“Maaf, pel
“Apa nggak kebanyakan, Kak?” tanya Alia. Pasalnya Adra membeli begitu banyak es krim dengan berbagai rasa, bahkan hampir semua jenis es krim di market itu dia beli.“Aku pengen beliin orang lain juga, tapi aku nggak tau kesukaan dia yang mana. Jadi beli semua aja,” jelas Adra sambil berjalan menuju tempat kasir.Orang lain? Alia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah kakaknya itu mempunyai teman? Cewek? Tidak, itu pasti tak mungkin. Alia membuang semua pikiran anehnya. Bagi gadis itu kakaknya tak mungkin memiliki teman perempuan. Mendekati orang lain saja sulit, mana mungkin sampai punya teman, apalagi pacar. Mustahil.“Buat siapa sih?” tanya Alia.“Nanti kamu juga tau sendiri.” Jawaban Adra semakin membuat Alia penasaran.“Kakak ah, pelit! Beliin orang lain aja banyak, masak aku cuma dibeliin satu.”