“Mami aja yang pulang,” ujar Cita kembali berdebat dengan Sandra, perihal, siapa yang akan menemani Harry di rumah sakit malam ini. Karena kemarin malam Kasih yang berada di rumah sakit, maka malam ini Cita ingin menemani papanya. “Biar aku yang di sini temani papa.”
“Apa kata orang, kalau Mami ninggalin papa, sama kamu?” Sandra menunjuk kursi roda Cita yang berada di samping jendela. “Kamu masih “lumpuh”, kan?”
Sandra sampai angkat tangan karena ulah putrinya. Ia tidak akan mau berdebat lagi mengenai hal tersebut, karena Cita begitu keras kepala. Sandra hanya ingin lihat, sampai sejauh mana Cita sanggup bertahan dengan pendiriannya.
“Tapi aku—”
“Kamu yang pulang, Cita.” Harry bersuara dan ada di pihak Sandra. “Mamimu benar, apa kata orang kalau papa dijaga sama anak perempuannya yang juga masih sakit?”
Cita berdecak pelan. Kedua orang tuanya benar-benar kompak menyudutkannya.
“Nggak ada orang di rumah.” Bukan hanya tidak ada orang, tetapi kediaman Lukito yang sangat megah itu, juga membawa kenangan buruk bagi Cita. Sejak kecil, rumah itu menjadi saksi bisu bagaimana Cita dan Sandra diperlakukan buruk oleh Harry dan kakek neneknya.
Kendati Harry saat ini sudah berubah, tetapi tetap ada kenangan yang tidak bisa terlupakan begitu saja.
“Ada bibik, kan?” timpal Sandra.
“Bukan masalah ada bibik atau nggak,” sahut Cita sambil merebahkan kepalanya di bahu Sandra. “Tapi aku nggak suka ada di rumah itu.”
“Atau … kamu mau nginap di tempat tante Elok?” tawar Harry yang bisa mengerti dengan raut wajah Cita. Banyak sesal yang kembali menghampiri, tetapi Harry tidak bisa berbuat apa-apa. Semua luka itu ada di masa lalu dan Harry tidak bisa mengubahnya.
Yang bisa Harry lakukan saat ini, hanyalah berusaha menjadi ayah yang lebih baik lagi dan melimpahkan banyak kasih sayang pada Cita. Mungkin terlambat, tetapi hal itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
“Aku … nggak enak mau nginap di sana.” Pasti canggung bagi Cita, karena sudah lama tidak bertemu Elok. “Mana kak Kasih juga nggak tinggal di situ lagi.”
Putrinya benar. Pasti akan canggung bagi Cita, bila tinggal bersama mantan istri Harry. Meskipun Harry yakin, Elok pasti menerima Cita dengan tangan terbuka.
“Aku juga nggak mau tinggal di rumah kak Kasih, karena dia sudah nikah.” Sebisa mungkin, Cita tidak mau membuat rumor apa pun dengan rumah tangga kakak perempuannya.
“Terus maumu gimana, Sayang?” tanya Sandra sambil mengusap sisi wajah Cita yang masih bersandar di bahunya. “Masa’ kita berdua mau nginap di kamar papa?”
“Biarin.”
“Di hotel mau, Cit?” Harry kembali memberi usul. “Papa telpon Nando, biar disiapin kamar di sana.”
Nando …
Pria yang selalu menyempatkan diri menjenguk Cita, di antara kesibukannya di Singapura. Namun, hati Cita sudah tidak tergerak sedikit pun, meskipun Nando selalu bersikap baik padanya. Dulu, mungkin Cita pernah memiliki rasa untuk pria itu. Namun, setelah semua yang terjadi, hati Cita seolah tidak lagi memiliki ketertarikan apa pun pada seorang pria.
“Gimana, Cit?” tanya Harry memastikan dan sudah membuka layar ponselnya. “Papa nggak bakal izinin kamu tidur di rumah sakit, karena salahmu sendiri masih senang duduk di kursi roda.”
Cita merengut menatap Harry. “Ya, udah. Aku nginap di Palace High.”
~~~~~~~~~~~~~
“Ndo!” Duta berlari kecil menghampiri Nando yang berjalan menuju meja resepsionis hotel. Saat sudah sejajar, Duta merangkul pria itu dan mengikuti ke mana langkah langkah Nando tertuju. “Nongkrong du—”
“Ada om Pras di sini,” sela Nando terus berjalan menuju meja resepsionis, tanpa melepas rangkulan Nando. “Bayangin! Aku dari siang meeting sama dia dan baru selesai.”
Begitu sampai di meja resepsionis, Nando langsung menerima dua buah cardlock yang sudah disiapkan sebelumnya. Kemudian, ia berbalik dan menuju salah satu sofa yang ada di lobi.
“Terus, kamu ngapain di sini?” Nando hanya berbasa-basi, karena sudah tahu maksud kedatangan Duta ke Palace High. Pria yang hobi makan dan memasak sejak kecil itu, pasti baru saja nongkrong di dapur restoran hotel.
Bagaimana Duta bisa dengan mudah berada di sana? Tentu saja karena ada Lex yang melakukan negosiasi dengan Pras. Ditambah dengan Kasih, yang selalu saja bisa membujuk Pras dengan semua kecerewetannya.
“Cari tante-tante.” Duta terkekeh seorang diri dan melepas rangkulannya, ketika Nando memilih duduk pada sofa tunggal. Kemudian, ia bertolak pinggang dan menatap ke sekitar. “Nggak balik, Ndo?”
Nando menggeleng sambil melepas jasnya. “Aku nunggu orang?”
“Mau meeting lagi?” Duta ikut duduk pada sofa tunggal yang sejajar dengan Nando.
Nando mendesah lelah. Bersandar pada punggung sofa dan menengadahkan kepalanya yang penat. “Aku nunggu Cita? Dia mau nginap di sini.”
“Kalian mau nginap bareng?” Duta terbelalak.
“Sialan!” Nando terkekeh dan melempar jasnya ke arah Duda. “Aku cuma nemani dia ke kamar!”
“Kenapa harus kamu?” Duta melempar kembali jas yang dilempar Nando, ke pangkuan pria itu. “Pasti mau macam-macam.”
“Macam-macam?” Nando menoleh pada Duta. “Kamu ngerti kalau Cita itu di kursi roda, nggak? Dia itu—”
“Becanda, Ndo!” Duta akhirnya berdiri dan tidak lagi berniat menetap lebih lama di Palace High. Tadinya, ingin mengajak Nando nongkrong di rooftop sembari melepas penat. Namun, sepertinya meeting bersama Pras sudah membuat pikiran Nando terlampau panas. “Cabut dulu, kita nongkrong kapan-kapan.”
“Oke!” Tanpa tenaga, Nando mengangkat tangannya untuk menyambut jabat tangan perpisahan dari Duta. Nando sampai meringis dibuatnya, karena Duta terlalu keran saat menepuk tangannya. “Kapan-kapan.”
Duta menggeleng mendengar ucapan Nando yang terdengar lelah itu. Namun, Duta tidak berniat membalas lagi dan langsung pergi keluar Palace High.
Saat hendak menuruni tangga di pelataran hotel, tatapan Duta beralih pada sebuah mobil yang pintu bagasinya terbuka. Entah mengapa langkahnya tiba-tiba berbelok menghampiri mobil tersebut, ketika seorang pria baru saja menurunkan sebuah kursi roda.
Duta berdiri di samping petugas valet yang sudah membuka pintu mobil sejak tadi, lalu melihat Cita ada di dalam sana.
“Cita?”
“Mas Duta?” petugas valet yang berdiri di samping Duta sedikit terkejut.
“Biar aku yang jagain pintunya,” ujar Duta. “Kamu urus mobil lain.” Duta tersenyum pada Cita, setela petugas valet tersebut beralih pergi. Ia prihatin dengan kondisi Cita dan semua cobaan yang telah dilalui gadis itu. “Nando sudah nunggu di dalam. Dia di lobi.”
“Kak Duta di sini juga?” Cita balas tersenyum kendati sedikit bingung dengan kehadiran Duta. Ditambah, pria itu juga tahu jika Nando saat ini sedang menunggu dirinya.
Duta mengangguk, lalu tersenyum pada pria yang baru saja meletakkan kursi roda tepat di depan pintu. “Saya baru mau pu …” Duta ternganga melihat Cita menggeser bagian tubuhnya sedikit demi sedikit menuju kursi roda. “Pak, nggak dibantuin?” tanyanya pada pria yang berdiri di belakang kursi roda dan baru saja mengunci rodanya.
“Mbak Cita bisa sendiri, kok, Mas.”
“Bisa sendiri?” Mungkin benar, Cita bisa berpindah sendiri ke kursi rodanya. Namun, tetap saja Duta tidak tega melihatnya.
“Bisa,” jawab Cita dengan senyuman pada Duta. “Tanganku kuat, kok, buat nyangga badan. Udah biasa. Kalau di Singapur, mobilnya papa sudah dimodif jadi lebih enak naik turun. Terus—”
“Sorry, ya!” Duta menyela, karena benar-benar tidak tega melihatnya. Dengan cepat, Duta menjauhkan kursi roda Cita lalu menunduk di samping gadis itu. Hanya dalam hitungan detik, tubuh ringkih Cita sudah berada di gendongannya dengan begitu mudah. “Sorry, Cit! Sorry, banget! Tapi saya nggak tega lihatnya.”
Dengan perlahan, Duta meletakkan Cita yang tidak berkata-kata di kursi roda. Gadis itu hanya memandang bingung pada Duta, dengan kedua bibir yang masih terbuka.
“Sorry, ya.” Sekali lagi, Duta meminta maaf atas perbuatannya. “Sorry, kalau sudah lancang. Tapi, kamu bisa masuk ke dalam sekarang. Saya … saya pergi dulu. Hati-hati! See yaaa!”
“Maaf, ya, Mas, kalau ngerepotin.”Sebenarnya, Cita kasihan melihat Nando. Pria itu selalu baik dan tampak masih berharap pada Cita. Sementara itu, Cita tidak lagi berminat menjalin hubungan dengan siapa pun, karena masa lalunya.Cita … hanya tidak sanggup jika harus kembali mengalami satu luka lagi di masa depan. Karena Cita akhirnya mengerti, setiap hubungan pasti dihadapkan dengan ujiannya masing-masing. Karena itulah, Cita tidak ingin lagi menjalin hubungan romantis dengan siapa pun.“Kamu nggak ngerepotin.” Nando menatap Cita yang berada di sebelahnya. Mereka sedang berada di dalam lift, bersama seorang bellboy yang tengah membawa satu buat tas miliki Cita.Mengapa Pras bisa menyimpulkan, Cita sebenarnya sudah bisa berjalan?“Harusnya, kamu kasih kabar kalau mau datang ke sini,” tambah Nando.Cita mendongak dan tersenyum. “Aku sama mami sudah panik duluan waktu dengar papa masuk rumah sakit. Jadi, sudah nggak mikirin yang lain-lain.”Begitu lift berdenting dan sampai pada lantai
“Sebenci itukah, kamu sama Arya, Cita?” Duta baru melempar pertanyaan, ketika mereka sudah berada di lift. Melihat bagaimana Cita menatap dingin pada Arya, Duta merasa luka yang diderita gadis itu masih menganga lebar.Cita menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya dengan mata terpejam. Merasakan perih yang teramat sangat, ketika kembali mengingat semua kejadian yang ada.“Kak Kasih, pesan makanan lagi?” Cita menunjuk kantong plastik di tangan Duta dan mengalihkan pembicaraan mereka.Duta tahu, Cita saat ini tidak ingin membicarakan Arya. “Papamu nggak mau makan makanan rumah sakit lagi.”“Tapi.” Cita menggaruk kepala. “Kenapa Kak Duta yang ngantar? Emang nggak ada kurir? Terus, restorannya sudah buka sepagi ini?”“Aaa.” Duta bingung, pertanyaan mana yang harus dijawab lebih dulu. “Restoran buka jam 10. Ini karena Kasih yang pesan, jadi, aku yang masakin di rumah, sekalian pergi ke restoran habis dari sini.”“Ooo …” Kasih kembali melihat kantong plastik yang dibawa Duta. “Itu … cuma
“Apa kabarnya Pandu?” Cita tersenyum miring menatap hamparan gedung ibukota, dari jendela kamar inap Harry. Kedatangan David pagi tadi ke rumah sakit, mendadak mengingatkan Cita perihal mantan suami pertamanya. Pria yang menyulut banyak luka, hingga banyak kehilangan yang Cita derita. “Apa masih betah amnesia sampai sekarang?”“Mamimu … juga ngasih pertanyaan yang sama, sama pak David,” ujar Harry setelah menelan bubur yang disuapkan oleh Sandra.“Semarah-marahnya Mami sama Arya, tapi Mami masih bisa toleran sama dia.” Sandra sebal sendiri jika mengingat ulah keluarga mantan besannya dahulu kala. “Apalagi keluarga Arya dari awal memang baik, juga tulus. Tapi kalau pak David sama keluarganya, hiiiih, Mami itu pengen! CK!” Saking tidak bisa berkata-kata lagi, Sandra akhirnya menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri sendiri, lalu kembali menyuapi Harry.“Lagian, Papa masih aja mau nemui pak David,” celetuk Cita lalu beralih menuju sofa. “Harusnya nggak usah. Bilang kalau Papa
“Apa? Cita … sudah bisa jalan?”Sandra menelan ludah dan menoleh dengan amat perlahan. Berharap, pendengaran Sandra kali ini, salah. Namun, tidak.“Bu … Gemi.”“Apa Cita beneran sudah bisa jalan?” Gemi berhenti di samping Sandra, lalu mengangguk singkat pada Nando.Sandra gelagapan. Ia bingung dan tidak tahu harus memberi penjelasan seperti apa. Tidak mungkin Sandra berbohong, karena Gemi pasti sudah mendengar sedikit ucapannya pada Nando. Namun, bila Sandra mengatakan sejujurnya, Cita pasti akan marah kepadanya.“Bu Sandra,” tegur Gemi, karena mantan besannya itu hanya terdiam dan tampak sedikit panik. Gemi semakin curiga, Cita memang sudah bisa berjalan dan hal tersebut sudah terjadi sejak lama. Namun, keluarga Lukito sengaja menyembunyikannya. “Apa betul, Cita sudah bisa jalan?”“Emm.” Sandra kembali menelan ludah. Ia tersenyum canggung, lalu berdiri. Arya pasti menghubungi Gemi dan meminta ibunya datang untuk bicara dengan Sandra. “Bu Gemi di Jakarta? Ke sini sama siapa?”Gemi mem
“Jadi yang dibilang Leoni betul!” Arya mondar mandir di hadapan Gemi, sambil mengacak-acak rambutnya. Ternyata, selama ini Cita sudah bisa berjalan dan hanya berpura-pura lumpuh di depan semua orang. Bahkan, Kasih juga tidak tahu menahu tentang hal tersebut.“Firasat pak Pras yang betul,” Gemi meluruskan, berdasarkan cerita Leoni ketika menelepon. Mungkin, Pras melihat satu kejanggalan ketika menjenguk Harry di rumah sakit. Oleh sebab itu, Pras berani berasumsi demikian.“Terus sekarang gimana, Ma?”“Seka … halooo cucu Oma.” Gemi melebarkan kedua tangan, saat melihat cucunya berlari ke arahnya. Menjeda obrolannya dengan Arya sebentar, karena gadis kecil yang manja itu akan segera tidur sebentar lagi. “Sudah mau bobok?”Gadis kecil yang kerap disapa Caca itu mengangguk. “Bobok sama Oma.”Gemi kemudian menangkup wajah mungil cucunya, lalu memberi ciuman dengan gemas. “Sama mama dulu, soalnya oma mau bicara sama om Arya.”Sambil mengerucutkan bibir mungilnya, Caca menatap Arya. “Jangan l
“Yakin, tetap mau ada di kursi roda?” Kasih membungkuk dan bicara tepat di telinga Cita, dari belakang. Sedikit memberi provokasi, Kasih rasa tidak mengapa. Cita harus membuka mata, bahwa selama ini gadis itu hanya menyiksa diri sendiri. “Mereka senang-senang, tapi kamu masih sibuk miara sakit hati … sendirian.”“Aku …”Kasih buru-buru memutar kursi roda Cita agar menghadapnya. Kemudian, ia mengambil gelas di tangan Cita dan meletakkannya di meja bar. Setelahnya ia berjongkok dan tersenyum. “Cita, kami semua sayang sama kamu dan cuma pengen kamu hidup bahagia. Sekarang aku tanya, apa selama ini kamu bahagia?”Kasih melirik sebentar pada kedua orang yang sudah mendapatkan meja dan duduk di sana. “Jawab jujur!”“Kak …” Cita tidak bisa mengungkapkan perasaannya saat ini.“Kamu yang datangi mereka, atau aku?” Kasih kembali menekan Cita.Cita sedikit memutar kursi rodanya. Tatapannya berlari ke area resto, untuk mencari kedua orang yang telah dililhatnya. Saat menemukan mereka, Cita kembal
“Maaf, ya, Tan.” Kasih memeluk Gemi sebentar, lalu mengurainya. Mereka berdua memang jarang bertemu dikarenakan jarak yang membentang. Namun, semua teman akrab kedua orang tuanya, pasti sudah dianggap seperti keluarga bagi Kasih. “Ada masalah dikit di kantor, jadinya aku telat.”“Sudah selesai masalahnya?” tanya Gemi kemudian mempersilakan Kasih duduk di hadapannya. Mereka bertemu di sebuah kafe, yang letaknya tidak jauh dari rumah Chandi. Kasih yang mengusulkan hal tersebut, karena tidak ingin merepotkan Gemi.Sebenarnya, Kasih bisa saja datang ke rumah Chandi, tetapi ia khawatir akan bertemu Arya di sana. Paling tidak, bukan untuk saat ini. Lebih baik Kasih menjelaskan semua hal pada Gemi, karena wanita itu pasti bisa lebih bijak menyikapinya daripada Arya.“Sudah,” angguk Kasih lalu memesan kopi pada pelayan yang baru menghampiri meja mereka. Setelah pelayan tersebut pergi, barulah Kasih kembali fokus pada Gemi.“Like mother, like daughter,” ucap Gemi setelah mendengar pesanan Kasi
Saking senangnya, Sandra sampai tidak bisa berkata-kata saat melihat Cita datang ke rumah sakit, tanpa menggunakan kursi roda. Entah apa yang dilakukan Cita bersama Kasih kemarin, sehingga putrinya pagi ini datang dengan kondisi normal. Bahkan, Cita tidak bercerita apa pun padanya, ketika Sandra menelepon.Ini sungguh sebuah kejutan yang menyenangkan.“Apa kemarin terjadi sesuatu?” selidik Sandra langsung membawa Cita duduk di sofa berdampingan.“Aku … ketemu Pandu sama Laura di restonya Kak Duta.” Cita tidak akan menutupi satu hal ini di depan orang tuanya.“Cita—”“Kamu baik-baik aja?” Harry mendadak duduk tegak, setelah mendengar putrinya bertemu dengan Pandu. “Apa dia—”“Aku nggak papa, Pa.” Cita dan Sandra dengan kompak menghampiri Harry. “Papa nyender aja, nanti capek.”Sandra reflek mengusap punggung Harry, lalu membawa sang suami kembali bersandar dengan perlahan.“Papa nggak capek,” ucap Harry lalu menyentuh tangan Sandra. “Justru Mamimu yang kelihatannya capek.”“Nanti malam
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp
Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a
“Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus
“Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr
Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia
“Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A