“Maaf, ya, Mas, kalau ngerepotin.”
Sebenarnya, Cita kasihan melihat Nando. Pria itu selalu baik dan tampak masih berharap pada Cita. Sementara itu, Cita tidak lagi berminat menjalin hubungan dengan siapa pun, karena masa lalunya.
Cita … hanya tidak sanggup jika harus kembali mengalami satu luka lagi di masa depan. Karena Cita akhirnya mengerti, setiap hubungan pasti dihadapkan dengan ujiannya masing-masing. Karena itulah, Cita tidak ingin lagi menjalin hubungan romantis dengan siapa pun.
“Kamu nggak ngerepotin.” Nando menatap Cita yang berada di sebelahnya. Mereka sedang berada di dalam lift, bersama seorang bellboy yang tengah membawa satu buat tas miliki Cita.
Mengapa Pras bisa menyimpulkan, Cita sebenarnya sudah bisa berjalan?
“Harusnya, kamu kasih kabar kalau mau datang ke sini,” tambah Nando.
Cita mendongak dan tersenyum. “Aku sama mami sudah panik duluan waktu dengar papa masuk rumah sakit. Jadi, sudah nggak mikirin yang lain-lain.”
Begitu lift berdenting dan sampai pada lantai yang dituju, Nando mengambil posisi di belakang Cita dan membantu gadis itu keluar lebih dulu. Mereka berjalan menuju kamar yang telah disiapkan, dengan seorang bellboy yang berjalan di belakang.
“Besok, kira-kira jam berapa mau ke rumah sakit,” tanya Nando. “Biar aku antar.”
“Mungkin habis sarapan.” Cita sedang mencari cara untuk menolak tawaran Nando. “Tapi nggak usah diantar, soalnya ada kak Kasih yang jemput ke sini.”
“Oke, tapi jangan sungkan hubungi aku, kalau butuh sesuatu.”
“Siap, Bos.” Cita terkekeh, meskipun perasaannya semakin tidak enak dengan kebaikan Nando. Harusnya, pria itu bisa mencari perempuan lain dengan mudah. Melupakan Cita dan melanjutkan hidupnya. Bukankah Nando cukup tampan dan berasal dari keluarga ternama? Pastinya, banyak wanita yang tidak akan menolak perasaan Nando.
“Ah! Aku lupa!” Nando memasuki kamar yang sudah dibuka lebih dulu oleh bellboy yang bersama mereka. “Besok siang aku harus ke Singapur.”
“Tugas negara, ya, Mas.” Cita tahu benar, bagaimana kesibukan Nando selama ini.
“Iya.”
Sebenarnya, kepergian Nando bukan untuk urusan pekerjaan. Namun, Nando ingin memastikan sendiri perihal ucapan Pras siang tadi. Apa benar, Cita sebenarnya sudah bisa berjalan dan hanya berpura-pura berada di kursi roda?
Entah darimana firasat Pras itu berasal, Nando belum sempat bertanya karena padatnya agenda meeting hari ini.
“Biasalah, Cit.” Nando mengangguk pada bellboy yang memohon izin pergi setelah memastikan meletakkan barang Cita. “Jadi, ada niat balik Jakarta lagi? Atau, tetap mau menetap di Singapur?”
Setelah Nando melewatinya untuk duduk di sofa, Cita menjalankan kursi rodanya menuju jendela kaca. Cita membuka gordennya, lalu menatap hamparan kerlap kerlip Jakarta yang tampak menakjubkan di malam hari seperti sekarang.
“Tetap di Singapur.” Kembali ke Jakarta, hanya akan mengingatkan Cita dengan banyak luka. “Mami juga sudah betah tinggal di sana, tapi, belum ada niat jadi warga negara sana. Masih mikir-mikir dulu katanya.”
“Dan … kamu?” tanya Nando menghampiri Cita dan berdiri di samping gadis itu. “Ada niat jadi warga negara sana?”
“Sebenarnya ada, tapi, lihat nanti.”
Nando mengusap puncak kepala Cita. Andai dahulu kala ia lebih memprioritaskan Cita daripada pekerjaan, mungkin gadis itu tidak akan menikah dengan Pandu dan berakhir seperti sekarang.
“Cita … apa kata dokter masalah kakimu?” Tiba-tiba saja, Nando ingin bertanya langsung. Andai insting atau firasatnya bisa setajam Pras, Nando pastinya sudah bertindak dari dulu.
Cita mengerjap pelan. Terdiam beberapa beberapa detik, lalu tersenyum saat mendongak menatap Nando. “Kata dokter, ada trauma dengan tulang belakang jadi …” Cita mengendik cepat, lalu menunduk. “Ya, begini. Seperti yang Mas Nando lihat.”
Tampaknya, Nando harus percaya dengan Pras. Besok siang, ia akan langsung menemui seseorang yang sudah dihubungi omnya dan langsung mencari tahu semua hal.
“Semoga ada keajaiban.” Nando berkata dengan setulus hati. “Aku mau kamu sembuh dan bisa jadi news anchor. Seperti cita-citamu dulu.”
Cita terkesiap ketika Nando mengingatkan tentang cita-citanya dahulu kala. Satu-satunya ambisi, yang sudah terlupakan karena semua cobaan yang dihadapinya selama ini. Tiba-tiba saja, Cita sangat merindukan hiruk pikuk bermacet ria di Jakarta sembari mengejar nara sumber, sekaligus deadline.
“Ya, Mas. Semoga … keajaiban itu masih ada.”
~~~~~~~~~~~~~
Arya tahu pasti, ia tidak akan bisa merangsek ke kediaman Lukito. Karena itulah, Arya sejak pagi sudah berada di lobi rumah sakit, untuk menunggu kehadiran Cita. Tidak mungkin rasanya Cita menginap di rumah sakit, dengan kondisi yang seperti itu.
Karena itulah, sejak pagi Arya sudah berada di lobi rumah sakit. Ia memakai topi dan mencari tempat strategis yang bisa melihat langsung ke lift.
Saat Leoni menghubungi dan menceritakan semua hal yang didengarnya, Arya sungguh tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya. Namun, ada hal yang harus Arya cerna baik-baik, yakni perihal titah Pras pada Nando.
Pria arogan itu, menitahkan Nando mencari tahu tentang semua rekam medis Cita di Singapura. Yang lebih membuat Arya tidak habis pikir ialah, firasat Pras mengenai kelumpuhan Cita. Pria itu tidak yakin, Cita saat ini masih saja berada di kursi roda.
Arya yakin, pasti ada hal yang terjadi saat Pras menjenguk Harry di rumah sakit. Mungkin, ada pembicaraan atau sikap keluarga Lukito yang membuat kecurigaan di hati Pras.
Lantas, setelah dua jam lebih Arya menunggu, akhirnya … ia bisa melihat Cita dengan jelas. Gadis itu memakai kursi roda elektriknya dan ditemani oleh sopir keluarga Lukito yang sudah Arya kenal.
Arya berdiri. Menarik napas dalam-dalam, lalu menghela kasar. Jika tidak hari ini, lantas kapan lagi Arya punya kesempatan bertemu Cita secara langsung?
Arya berjalan dengan tergesa, lalu berhenti tepat di depan Cita.
“Cita …”
Cita terkesiap. Kedua matanya melebar, saat menatap Arya ada di depannya. Untuk sesaat, Cita tidak bisa memikirkan hal apa pun. Sampai Aiman, sopir Harry yang berada di samping Cita tiba-tiba berdiri menengahi.
“Maaf, Mas Arya, silakan—”
“Saya mau bicara sama Cita, Pak,” sela Arya tergesa dan bergerak melewati Aiman. Arya belutut di samping kursi roda Cita, lalu menggenggam satu tangan gadis itu dengan erat.
“Pergi,” desis Cita dingin, tanpa mau menatap Arya. Dari mana pria itu mendapatkan informasi, Cita ada di Jakarta? Kasih dan Nando tidak mungkin memberi tahu hal tersebut, karena mereka sudah mengerti dengan situasi yang dialami Cita.
“Mas Arya, tolong pergi dari sini atau saya minta tolong security untuk nyeret—”
“Ini tempat umum Pak,” sela Arya memelas dan tidak melepas tangan Cita. “Dan saya nggak buat keributan. Saya cuma mau bicara sama Cita.”
“Tapi aku nggak mau,” tolak Cita berusaha melepas tangannya dari genggaman Arya, tetapi pria itu tidak jua melepasnya. “Kita sudah selesai dan aku benci kamu, Mas! Benci! Aku benci sama orang yang nggak bisa jaga komitmennya dan—”
“Cita, aku salah!” balas Arya terburu. “Aku akui aku salah dan aku sudah terima hukumannya selama dua tahun ini, Cit. Jadi tolonglah, aku mau bicara empat mata. Sekali aja, Cit, please!”
“Aku nggak mau, Mas!” tolak Cita sekali lagi. “Pak Aiman, tolong panggilkan sec—”
“Aryaaa!”
“Kas …” Arya menelan ludah ketika melihat Kasih melotot kepadanya. “Aku cuma mau bicara sama Cita, Kas.”
“Aku nggak mau, Kak,” balas Cita dengan gelengan memohon pada Kasih. Ia tidak mau bertemu Arya, pun bicara lagi dengan pria itu. Ada luka yang masih menganga dan sampai sekarang, Cita belum bisa melupakannya. Tidak hanya luka yang ditoreh oleh Arya, tetapi juga dengan keluarga Atmawijaya. “Aku nggak mau lagi ketemu sama dia!”
“Buruan pergi!” Kasih meraih siku Arya dan menariknya. Namun, pria itu tetap bertahan dan Kasih kalah tenaga. “Pak Aiman, tolong panggilin security aja,” pinta Kasih masih mencoba menarik lengan Arya. “Biar, Arya! Jangan kayak anak kecil gini.”
Saat Arya melihat Aiman pergi, ia melepas tangan Cita lalu berdiri. “Kas, harusnya kamu ngerti, semua masalah pasti selesai kalau ada komunikasi.” Bagaimanapun juga, kali ini Arya tidak akan menyerah. “Gimana masalahku sama Cita bisa selesai, kalau kami dilarang dan nggak pernah komunikasi sama sekali.”
“Ar—”
“Kas …” Duta menghampiri, lalu menyodorkan kantong kresek pada Kasih. “Pesananmu.”
“Kamu aja yang bawa ke atas,” pinta Kasih sambil meraih siku Arya. “Aku ada urusan sama Arya sebelum pak Aiman datang bawa security. Tapi, Ndut, tolong bawa Cita ke atas sekalian, ya!”
Duta melihat Arya yang menggeleng. Serba salah, karena ia juga tidak bisa menolak permintaan Kasih.
“Aku duluan, Kak.” Cita akhirnya berceletuk dan menepis tangan Arya yang sejak tadi memegang sisi kursi rodanya. “Tolong bilang ke mas Arya, kalau dia masih datang dan ganggu aku …” Tatapan Cita mengarah tajam dan dingin pada Arya. “Aku nggak segan pidanakan dia dan bawa urusan ini ke ranah hukum. Ingat itu baik-baik, Mas!”
“Sebenci itukah, kamu sama Arya, Cita?” Duta baru melempar pertanyaan, ketika mereka sudah berada di lift. Melihat bagaimana Cita menatap dingin pada Arya, Duta merasa luka yang diderita gadis itu masih menganga lebar.Cita menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya dengan mata terpejam. Merasakan perih yang teramat sangat, ketika kembali mengingat semua kejadian yang ada.“Kak Kasih, pesan makanan lagi?” Cita menunjuk kantong plastik di tangan Duta dan mengalihkan pembicaraan mereka.Duta tahu, Cita saat ini tidak ingin membicarakan Arya. “Papamu nggak mau makan makanan rumah sakit lagi.”“Tapi.” Cita menggaruk kepala. “Kenapa Kak Duta yang ngantar? Emang nggak ada kurir? Terus, restorannya sudah buka sepagi ini?”“Aaa.” Duta bingung, pertanyaan mana yang harus dijawab lebih dulu. “Restoran buka jam 10. Ini karena Kasih yang pesan, jadi, aku yang masakin di rumah, sekalian pergi ke restoran habis dari sini.”“Ooo …” Kasih kembali melihat kantong plastik yang dibawa Duta. “Itu … cuma
“Apa kabarnya Pandu?” Cita tersenyum miring menatap hamparan gedung ibukota, dari jendela kamar inap Harry. Kedatangan David pagi tadi ke rumah sakit, mendadak mengingatkan Cita perihal mantan suami pertamanya. Pria yang menyulut banyak luka, hingga banyak kehilangan yang Cita derita. “Apa masih betah amnesia sampai sekarang?”“Mamimu … juga ngasih pertanyaan yang sama, sama pak David,” ujar Harry setelah menelan bubur yang disuapkan oleh Sandra.“Semarah-marahnya Mami sama Arya, tapi Mami masih bisa toleran sama dia.” Sandra sebal sendiri jika mengingat ulah keluarga mantan besannya dahulu kala. “Apalagi keluarga Arya dari awal memang baik, juga tulus. Tapi kalau pak David sama keluarganya, hiiiih, Mami itu pengen! CK!” Saking tidak bisa berkata-kata lagi, Sandra akhirnya menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri sendiri, lalu kembali menyuapi Harry.“Lagian, Papa masih aja mau nemui pak David,” celetuk Cita lalu beralih menuju sofa. “Harusnya nggak usah. Bilang kalau Papa
“Apa? Cita … sudah bisa jalan?”Sandra menelan ludah dan menoleh dengan amat perlahan. Berharap, pendengaran Sandra kali ini, salah. Namun, tidak.“Bu … Gemi.”“Apa Cita beneran sudah bisa jalan?” Gemi berhenti di samping Sandra, lalu mengangguk singkat pada Nando.Sandra gelagapan. Ia bingung dan tidak tahu harus memberi penjelasan seperti apa. Tidak mungkin Sandra berbohong, karena Gemi pasti sudah mendengar sedikit ucapannya pada Nando. Namun, bila Sandra mengatakan sejujurnya, Cita pasti akan marah kepadanya.“Bu Sandra,” tegur Gemi, karena mantan besannya itu hanya terdiam dan tampak sedikit panik. Gemi semakin curiga, Cita memang sudah bisa berjalan dan hal tersebut sudah terjadi sejak lama. Namun, keluarga Lukito sengaja menyembunyikannya. “Apa betul, Cita sudah bisa jalan?”“Emm.” Sandra kembali menelan ludah. Ia tersenyum canggung, lalu berdiri. Arya pasti menghubungi Gemi dan meminta ibunya datang untuk bicara dengan Sandra. “Bu Gemi di Jakarta? Ke sini sama siapa?”Gemi mem
“Jadi yang dibilang Leoni betul!” Arya mondar mandir di hadapan Gemi, sambil mengacak-acak rambutnya. Ternyata, selama ini Cita sudah bisa berjalan dan hanya berpura-pura lumpuh di depan semua orang. Bahkan, Kasih juga tidak tahu menahu tentang hal tersebut.“Firasat pak Pras yang betul,” Gemi meluruskan, berdasarkan cerita Leoni ketika menelepon. Mungkin, Pras melihat satu kejanggalan ketika menjenguk Harry di rumah sakit. Oleh sebab itu, Pras berani berasumsi demikian.“Terus sekarang gimana, Ma?”“Seka … halooo cucu Oma.” Gemi melebarkan kedua tangan, saat melihat cucunya berlari ke arahnya. Menjeda obrolannya dengan Arya sebentar, karena gadis kecil yang manja itu akan segera tidur sebentar lagi. “Sudah mau bobok?”Gadis kecil yang kerap disapa Caca itu mengangguk. “Bobok sama Oma.”Gemi kemudian menangkup wajah mungil cucunya, lalu memberi ciuman dengan gemas. “Sama mama dulu, soalnya oma mau bicara sama om Arya.”Sambil mengerucutkan bibir mungilnya, Caca menatap Arya. “Jangan l
“Yakin, tetap mau ada di kursi roda?” Kasih membungkuk dan bicara tepat di telinga Cita, dari belakang. Sedikit memberi provokasi, Kasih rasa tidak mengapa. Cita harus membuka mata, bahwa selama ini gadis itu hanya menyiksa diri sendiri. “Mereka senang-senang, tapi kamu masih sibuk miara sakit hati … sendirian.”“Aku …”Kasih buru-buru memutar kursi roda Cita agar menghadapnya. Kemudian, ia mengambil gelas di tangan Cita dan meletakkannya di meja bar. Setelahnya ia berjongkok dan tersenyum. “Cita, kami semua sayang sama kamu dan cuma pengen kamu hidup bahagia. Sekarang aku tanya, apa selama ini kamu bahagia?”Kasih melirik sebentar pada kedua orang yang sudah mendapatkan meja dan duduk di sana. “Jawab jujur!”“Kak …” Cita tidak bisa mengungkapkan perasaannya saat ini.“Kamu yang datangi mereka, atau aku?” Kasih kembali menekan Cita.Cita sedikit memutar kursi rodanya. Tatapannya berlari ke area resto, untuk mencari kedua orang yang telah dililhatnya. Saat menemukan mereka, Cita kembal
“Maaf, ya, Tan.” Kasih memeluk Gemi sebentar, lalu mengurainya. Mereka berdua memang jarang bertemu dikarenakan jarak yang membentang. Namun, semua teman akrab kedua orang tuanya, pasti sudah dianggap seperti keluarga bagi Kasih. “Ada masalah dikit di kantor, jadinya aku telat.”“Sudah selesai masalahnya?” tanya Gemi kemudian mempersilakan Kasih duduk di hadapannya. Mereka bertemu di sebuah kafe, yang letaknya tidak jauh dari rumah Chandi. Kasih yang mengusulkan hal tersebut, karena tidak ingin merepotkan Gemi.Sebenarnya, Kasih bisa saja datang ke rumah Chandi, tetapi ia khawatir akan bertemu Arya di sana. Paling tidak, bukan untuk saat ini. Lebih baik Kasih menjelaskan semua hal pada Gemi, karena wanita itu pasti bisa lebih bijak menyikapinya daripada Arya.“Sudah,” angguk Kasih lalu memesan kopi pada pelayan yang baru menghampiri meja mereka. Setelah pelayan tersebut pergi, barulah Kasih kembali fokus pada Gemi.“Like mother, like daughter,” ucap Gemi setelah mendengar pesanan Kasi
Saking senangnya, Sandra sampai tidak bisa berkata-kata saat melihat Cita datang ke rumah sakit, tanpa menggunakan kursi roda. Entah apa yang dilakukan Cita bersama Kasih kemarin, sehingga putrinya pagi ini datang dengan kondisi normal. Bahkan, Cita tidak bercerita apa pun padanya, ketika Sandra menelepon.Ini sungguh sebuah kejutan yang menyenangkan.“Apa kemarin terjadi sesuatu?” selidik Sandra langsung membawa Cita duduk di sofa berdampingan.“Aku … ketemu Pandu sama Laura di restonya Kak Duta.” Cita tidak akan menutupi satu hal ini di depan orang tuanya.“Cita—”“Kamu baik-baik aja?” Harry mendadak duduk tegak, setelah mendengar putrinya bertemu dengan Pandu. “Apa dia—”“Aku nggak papa, Pa.” Cita dan Sandra dengan kompak menghampiri Harry. “Papa nyender aja, nanti capek.”Sandra reflek mengusap punggung Harry, lalu membawa sang suami kembali bersandar dengan perlahan.“Papa nggak capek,” ucap Harry lalu menyentuh tangan Sandra. “Justru Mamimu yang kelihatannya capek.”“Nanti malam
“Hei, Cit!” Saat mendengar ada Cita berada di restonya dari salah satu pegawai, Duta yang sedang berada di dapur segera menghampiri gadis itu. “Sendiri?” “Hei, Kak,” balas Cita menatap Duta sebentar, lalu kembali melihat ikan-ikan yang berada di kolam. “Tadinya janjian sama Kak Kasih, tapi dia mendadak nggak bisa datang. Kak Duta kalau mau kerja, dilanjut aja. Aku di sini sudah nggak punya tujuan soalnya. Kayak … asing aja ada di Jakarta.” Tidak hanya itu, Cita pergi dari rumah sakit karena Lee dan Gemi akan membesuk Harry. Mungkin, saat ini kedua orang itu sudah berada di rumah sakit dan membicarakan banyak hal dengan Harry, juga Sandra. “Ohh …” Duta berjalan melewati Cita, lalu mengambil tempat makan ikan dan menyerahkannya pada gadis itu. “Kenapa nggak ke kantornya Kasih.” Duta segera meralat, karena Cita juga salah satu dari pewaris Lukito Grup. “Maksudku, coba ikut kerja di sana dan—” “Aku nggak tertarik dengan perusahaan papa di Jakarta,” sela Cita sambil membuka tutup tempat
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp
Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a
“Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus
“Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr
Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia
“Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A