Home / Romansa / Cinta Cita / Cinta Cita ~ 6

Share

Cinta Cita ~ 6

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Sebenci itukah, kamu sama Arya, Cita?” Duta baru melempar pertanyaan, ketika mereka sudah berada di lift. Melihat bagaimana Cita menatap dingin pada Arya, Duta merasa luka yang diderita gadis itu masih menganga lebar.

Cita menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya dengan mata terpejam. Merasakan perih yang teramat sangat, ketika kembali mengingat semua kejadian yang ada.

“Kak Kasih, pesan makanan lagi?” Cita menunjuk kantong plastik di tangan Duta dan mengalihkan pembicaraan mereka.

Duta tahu, Cita saat ini tidak ingin membicarakan Arya. “Papamu nggak mau makan makanan rumah sakit lagi.”

“Tapi.” Cita menggaruk kepala. “Kenapa Kak Duta yang ngantar? Emang nggak ada kurir? Terus, restorannya sudah buka sepagi ini?”

“Aaa.” Duta bingung, pertanyaan mana yang harus dijawab lebih dulu. “Restoran buka jam 10. Ini karena Kasih yang pesan, jadi, aku yang masakin di rumah, sekalian pergi ke restoran habis dari sini.”

“Ooo …” Kasih kembali melihat kantong plastik yang dibawa Duta. “Itu … cuma dua, ya?”

“Kasih pesannya dua.” Lagi-lagi, penghuni kamar rawat inap Harry bertambah satu. “Katanya buat mama, sama papamu yang nggak mau makan makanan rumah sakit.”

Cita mengangguk-angguk. Bersiap keluar dari lift, ketika sudah berhenti di lantai tujuan. “Kalau yang kemaren, Kak Duta juga yang masak?”

“Buburnya iya, tapi kalau ayam kejunya bukan,” jawab Duta jujur. “Chef di resto yang masak.”

“Tapi buburnya enak, lho, Kak.” Dengan dibantu Duta, Cita keluar perlahan dari lift dan menyusuri lorong menuju ruangan Harry. “Papa makannya habis, meskipun agak lama.”

“Kamu rasain buburnya?”

“Aku nyicip.”

“Mau aku masakin bubur juga buat makan siang?” Sepertinya, Duta telah mengajukan pertanyaan bodoh. Cita tidak sedang sakit dan jarang-jarang orang mau makan bubur untuk makan siang.

“Buat besok pagi aja gimana?”

“Kamu nggak sarapan di hotel?” Dugaan Duta benar, Cita tidak akan mau makan bubur di siang hari.

Cita menggeleng. Berhenti di depan kamar Harry dan menunggu Duta membuka pintunya. “Tadi, nggak enak sarapan sendirian di hotel.”

“Bentar.” Duta tidak membuka pintu dan memang sengaja melakukannya. Ada hal yang ingin ia sampaikan sebelum mereka masuk ke kamar inap Harry. “Sekali lagi maaf kalau aku lancang. Tapi, paling nggak … kasih Arya kesempatan sekali aja—”

“Bisa tolong bukain pintunya, Kak.” Pria itu tidak akan pernah tahu, bagaimana perasaan Cita saat ini.

“Cita—”

“Aku sudah pernah kasih dia kesempatan memperbaiki diri, tapi, aku juga punya batas kesabaran.”

“Kasih dia satu kesempatan lagi, Cit.” Duta memang tidak terlalu akrab dengan Arya. Namun, ia tahu benar, Arya adalah seorang pria yang sangat baik, humble, dan suka menolong sesama. “Biarkan dia bicara dan menjelaskan semuanya. Setelah itu, selesaikan semua secara dewasa. Kalau memang tetap pisah, pisahlah baik-baik. Tapi kalau kalian masih—”

Duta terdiam saat pintu kamar Harry terbuka sendiri. Sandra muncul dengan senyum dari dalam, tetapi wajahnya terlihat gusar. “Mami kira kamu—”

“Mami kenapa?” Melihat wajah Sandra yang tidak biasa, Cita yakin sesuatu telah terjadi. “Papa nggak papa, kan?”

“Bukan.” Sandra menggeleng lalu mempersilakan Duta masuk lebih dulu. Setelah pria itu melewatinya, Sandra membawa Cita sedikit menjauh dari pintu. “Pak David, mau jenguk papamu.”

Cita menahan napas. Lama tidak berjumpa dengan mantan papa mertuanya, membuat hatinya bergejolak tidak karuan. Hal inilah yang membuat Cita tidak ingin lagi menginjakkan kaki di Jakarta. Selain karena masalah Arya, ada juga permasalahan dengan keluarga Atmawijaya yang belum selesai hingga saat ini.

“Sama siapa?” Bayangan wajah Tessa yang begitu baik pada Cita, mendadak muncul dengan jelas di ingatan. Namun, kebaikan tersebut ternyata hanya digunakan untuk menutupi kesalahan putranya.

“Dia nggak bilang.”

“Kapan mau ke sini?”

“Kira jam 10 atau 11-an.” Sandra tidak tahu, apakah Cita masih mau bertemu dengan David, atau keluarga Atmawijaya yang lainnya. “Gimana? Kamu tetap di sini atau balik ke hotel?”

“Aku …” Bertemu dengan Arya saja, sudah membuat kepala Cita pusing. Bagaimana bila ia harus bertemu dengan keluarga Atmawijaya? Kemudian, Cita menggeleng. Ia ingin tetap berada dalam ambang batas kewarasan, demi kesehatan mentalnya yang sudah sangat rapuh. Lebih baik menghindar, daripada bertemu dengan penyakit. “Aku …” Saat melihat Duta keluar dari ruangan Harry, Cita lantas menunjuk pria itu. “Aku ikut sama Kak Duta.”

“Ha?” Duta yang hendak berpamitan pada Sandra, jelas saja kebingungan. “Ikut ke mana?”

“Ke restoran,” jawab Cita. “Nggak keberatan, kan, Kak?”

“Yaaa.” Duta tidak bisa menolak ketika Sandra mengangguk dengan tatapan penuh harap. “Iya … boleh. Kamu boleh ke resto. Nggak ada masalah.”

~~~~~~~~~~~~~

Sorry, pom bensin ngantri.” Duta menghampiri Cita, yang berada di sebelah kolam ikan di samping restoran. Gadis itu pergi sendiri dengan sopirnya, karena Duta sebelumnya pergi ke rumah sakit menggunakan motor matic.

“Kirain Kak Duta yang duluan sampe, soalnya bawa motor,” ujar Cita tersenyum kecil pada Duta. “Eh ternyata, aku duluan sama pak Aiman.” Cita memutar kursi rodanya menghadap Duta. “Sorry, ya, Mas, aku sampe ngerepotin.”

“Kamu nggak ngerepotin.” Duta sedikit bergeser, lalu duduk pada salah satu kursi restoran yang tidak jauh dari kolam. “Tapi, kalau boleh ngasih saran, masalah itu harusnya dihadapi dan diselesaikan. Bukan dihindari.” Duta mengangkat singkat kedua tangannya sebatas dada. “Sorry, aku nggak ada niat menggurui. Tapi, kamu bisa pikirkan lagi dengan omonganku barusan dan tanyakan ke dirimu sendiri dengan pertanyaan, sampai kapan?”

“Aku bisa ditinggal, kalau Kak Duta sibuk.” Cita kembali mengalihkan obrolan mereka.

Duta tersenyum. Beranjak menuju sudut kolam ikan, untuk mengambil pakan yang berada di rak. Duta membukanya, lalu memberi ikan-ikan di sana makan sedikit demi sedikit.  

“Bundaku dulu cerai sama ayah, waktu aku masih bayi.” Duta bercerita tanpa melihat Cita dan tetap fokus pada ikan-ikan peliharaannya. “Terus nikah sama papa Gilang dan hidup bahagia sampai sekarang. Ada juta Om Aga, tante Elok, terus papamu juga sama, kan? Mereka pernah cerai, tapi, setelah itu mereka bahagia dengan pasangannya masing-masing.”

“Kak—”

“Dengarin aku sebentar,” ujar Duta masih tidak menatap Cita. “Kalau kata bundaku, inti setiap hubungan itu komunikasi. Duduk berdua dengan kepala dingin dan lakuin deep talk sama pasangan. Sekarang aku tanya.” Merasa cukup memberi makan ikan-ikannya, Duta meletakan kembali tempat pakan di tempatnya lalu kembali ke tempat semula. “Apa kamu sudah duduk berdua dengan kepala dingin dan deep talk sama Arya?”

Cita memutar kursi rodanya membelakangi Duta. Semua ucapan Duta barusan memang terdengar biasa, tetapi penuh dengan makna.

“Mungkin …” Duta kembali beranjak dan berdiri di samping Cita. “Kamu nggak bisa maafin Arya, karena aku tahu isu perselingkuhan itu sensitif dalam pernikahan. Tapi, apa kamu pernah lihat bagaimana usaha Arya selama dua tahun ini untuk ketemu kamu, Cit?”

Duta menoleh pada Cita yang hanya diam dan tidak meresponsnya. “Apa pernah kamu berpikir, kalau Arya sebenarnya bisa dengan mudah punya pasangan lain? Coba lihat, apa yang dia nggak punya? Fisik sama dompetnya lumayan okelah, meskipun dia nggak setajir Nando atau Awan. Tapi, kamu tahu pasti dia itu pekerja keras, walau perusahaannya jungkir balik, karena papamu sama pak Pras, langsung narik investasinya bersamaan.”

“Itu hukuman buat dia,” respons Cita dengan kedua tangan mengepal erat.

“Dan dua tahun belum cukup?” balas Duta.

“Kenapa Kak Duta selalu belain Arya?” Cita mendongak. Sedikit memicingkan mata menatap Duta. Lama kelamaan, ia merasa kesal karena terus diceramahi seperti barusan.

“Aku kasihan.”

“Kasihan dengan pengkhianat.” Cita berdecih seusai menyelesaikan kalimatnya.

“Aku kasihan dengan kalian berdua.” Duta mengalihkan tatapan dari Cita dan kembali memandang ikan-ikan yang berkeliaran di kolamnya. “Yang satu terlalu naif dan satu lagi terlalu egois.”

“Egois? Maksudnya, aku yang egois?” 

“Kalau bukan egois, terus apa?” Duta melihat jam di pergelangan tangannya yang berbunyi singkat. “Aku ada briefing sebentar, sekitar 15 menit.” Duta mengeluarkan kunci dari kantong jaket yang masih menempel di tubuhnya. Kemudian, ia meletakkan kunci tersebut di pangkuan Cita. “Ruanganku ada di ujung jalan ini. Kalau kamu capek, bosan, atau mau baring, mau nonton tivi, ke sana aja. Dan … pikirkan lagi semua yang aku bilang tadi. It’s oke, kalau kamu nggak bisa maafin Arya. Tapi paling nggak, beri diri kalian kesempatan untuk bicara sebagai dua orang dewasa, yang ingin memperbaiki diri lebih baik lagi ke depannya. Oke, Cit! Aku cabut dulu.”

 

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Siti Juli
bener sih apa yg diomongin duta cit... masalah jgn di hindari
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
keren bnget si ndut
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
Ndut dr kecil emang dewasa pemikiranya.....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 7

    “Apa kabarnya Pandu?” Cita tersenyum miring menatap hamparan gedung ibukota, dari jendela kamar inap Harry. Kedatangan David pagi tadi ke rumah sakit, mendadak mengingatkan Cita perihal mantan suami pertamanya. Pria yang menyulut banyak luka, hingga banyak kehilangan yang Cita derita. “Apa masih betah amnesia sampai sekarang?”“Mamimu … juga ngasih pertanyaan yang sama, sama pak David,” ujar Harry setelah menelan bubur yang disuapkan oleh Sandra.“Semarah-marahnya Mami sama Arya, tapi Mami masih bisa toleran sama dia.” Sandra sebal sendiri jika mengingat ulah keluarga mantan besannya dahulu kala. “Apalagi keluarga Arya dari awal memang baik, juga tulus. Tapi kalau pak David sama keluarganya, hiiiih, Mami itu pengen! CK!” Saking tidak bisa berkata-kata lagi, Sandra akhirnya menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri sendiri, lalu kembali menyuapi Harry.“Lagian, Papa masih aja mau nemui pak David,” celetuk Cita lalu beralih menuju sofa. “Harusnya nggak usah. Bilang kalau Papa

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 8

    “Apa? Cita … sudah bisa jalan?”Sandra menelan ludah dan menoleh dengan amat perlahan. Berharap, pendengaran Sandra kali ini, salah. Namun, tidak.“Bu … Gemi.”“Apa Cita beneran sudah bisa jalan?” Gemi berhenti di samping Sandra, lalu mengangguk singkat pada Nando.Sandra gelagapan. Ia bingung dan tidak tahu harus memberi penjelasan seperti apa. Tidak mungkin Sandra berbohong, karena Gemi pasti sudah mendengar sedikit ucapannya pada Nando. Namun, bila Sandra mengatakan sejujurnya, Cita pasti akan marah kepadanya.“Bu Sandra,” tegur Gemi, karena mantan besannya itu hanya terdiam dan tampak sedikit panik. Gemi semakin curiga, Cita memang sudah bisa berjalan dan hal tersebut sudah terjadi sejak lama. Namun, keluarga Lukito sengaja menyembunyikannya. “Apa betul, Cita sudah bisa jalan?”“Emm.” Sandra kembali menelan ludah. Ia tersenyum canggung, lalu berdiri. Arya pasti menghubungi Gemi dan meminta ibunya datang untuk bicara dengan Sandra. “Bu Gemi di Jakarta? Ke sini sama siapa?”Gemi mem

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 9

    “Jadi yang dibilang Leoni betul!” Arya mondar mandir di hadapan Gemi, sambil mengacak-acak rambutnya. Ternyata, selama ini Cita sudah bisa berjalan dan hanya berpura-pura lumpuh di depan semua orang. Bahkan, Kasih juga tidak tahu menahu tentang hal tersebut.“Firasat pak Pras yang betul,” Gemi meluruskan, berdasarkan cerita Leoni ketika menelepon. Mungkin, Pras melihat satu kejanggalan ketika menjenguk Harry di rumah sakit. Oleh sebab itu, Pras berani berasumsi demikian.“Terus sekarang gimana, Ma?”“Seka … halooo cucu Oma.” Gemi melebarkan kedua tangan, saat melihat cucunya berlari ke arahnya. Menjeda obrolannya dengan Arya sebentar, karena gadis kecil yang manja itu akan segera tidur sebentar lagi. “Sudah mau bobok?”Gadis kecil yang kerap disapa Caca itu mengangguk. “Bobok sama Oma.”Gemi kemudian menangkup wajah mungil cucunya, lalu memberi ciuman dengan gemas. “Sama mama dulu, soalnya oma mau bicara sama om Arya.”Sambil mengerucutkan bibir mungilnya, Caca menatap Arya. “Jangan l

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 10

    “Yakin, tetap mau ada di kursi roda?” Kasih membungkuk dan bicara tepat di telinga Cita, dari belakang. Sedikit memberi provokasi, Kasih rasa tidak mengapa. Cita harus membuka mata, bahwa selama ini gadis itu hanya menyiksa diri sendiri. “Mereka senang-senang, tapi kamu masih sibuk miara sakit hati … sendirian.”“Aku …”Kasih buru-buru memutar kursi roda Cita agar menghadapnya. Kemudian, ia mengambil gelas di tangan Cita dan meletakkannya di meja bar. Setelahnya ia berjongkok dan tersenyum. “Cita, kami semua sayang sama kamu dan cuma pengen kamu hidup bahagia. Sekarang aku tanya, apa selama ini kamu bahagia?”Kasih melirik sebentar pada kedua orang yang sudah mendapatkan meja dan duduk di sana. “Jawab jujur!”“Kak …” Cita tidak bisa mengungkapkan perasaannya saat ini.“Kamu yang datangi mereka, atau aku?” Kasih kembali menekan Cita.Cita sedikit memutar kursi rodanya. Tatapannya berlari ke area resto, untuk mencari kedua orang yang telah dililhatnya. Saat menemukan mereka, Cita kembal

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 11

    “Maaf, ya, Tan.” Kasih memeluk Gemi sebentar, lalu mengurainya. Mereka berdua memang jarang bertemu dikarenakan jarak yang membentang. Namun, semua teman akrab kedua orang tuanya, pasti sudah dianggap seperti keluarga bagi Kasih. “Ada masalah dikit di kantor, jadinya aku telat.”“Sudah selesai masalahnya?” tanya Gemi kemudian mempersilakan Kasih duduk di hadapannya. Mereka bertemu di sebuah kafe, yang letaknya tidak jauh dari rumah Chandi. Kasih yang mengusulkan hal tersebut, karena tidak ingin merepotkan Gemi.Sebenarnya, Kasih bisa saja datang ke rumah Chandi, tetapi ia khawatir akan bertemu Arya di sana. Paling tidak, bukan untuk saat ini. Lebih baik Kasih menjelaskan semua hal pada Gemi, karena wanita itu pasti bisa lebih bijak menyikapinya daripada Arya.“Sudah,” angguk Kasih lalu memesan kopi pada pelayan yang baru menghampiri meja mereka. Setelah pelayan tersebut pergi, barulah Kasih kembali fokus pada Gemi.“Like mother, like daughter,” ucap Gemi setelah mendengar pesanan Kasi

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 12

    Saking senangnya, Sandra sampai tidak bisa berkata-kata saat melihat Cita datang ke rumah sakit, tanpa menggunakan kursi roda. Entah apa yang dilakukan Cita bersama Kasih kemarin, sehingga putrinya pagi ini datang dengan kondisi normal. Bahkan, Cita tidak bercerita apa pun padanya, ketika Sandra menelepon.Ini sungguh sebuah kejutan yang menyenangkan.“Apa kemarin terjadi sesuatu?” selidik Sandra langsung membawa Cita duduk di sofa berdampingan.“Aku … ketemu Pandu sama Laura di restonya Kak Duta.” Cita tidak akan menutupi satu hal ini di depan orang tuanya.“Cita—”“Kamu baik-baik aja?” Harry mendadak duduk tegak, setelah mendengar putrinya bertemu dengan Pandu. “Apa dia—”“Aku nggak papa, Pa.” Cita dan Sandra dengan kompak menghampiri Harry. “Papa nyender aja, nanti capek.”Sandra reflek mengusap punggung Harry, lalu membawa sang suami kembali bersandar dengan perlahan.“Papa nggak capek,” ucap Harry lalu menyentuh tangan Sandra. “Justru Mamimu yang kelihatannya capek.”“Nanti malam

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 13

    “Hei, Cit!” Saat mendengar ada Cita berada di restonya dari salah satu pegawai, Duta yang sedang berada di dapur segera menghampiri gadis itu. “Sendiri?” “Hei, Kak,” balas Cita menatap Duta sebentar, lalu kembali melihat ikan-ikan yang berada di kolam. “Tadinya janjian sama Kak Kasih, tapi dia mendadak nggak bisa datang. Kak Duta kalau mau kerja, dilanjut aja. Aku di sini sudah nggak punya tujuan soalnya. Kayak … asing aja ada di Jakarta.” Tidak hanya itu, Cita pergi dari rumah sakit karena Lee dan Gemi akan membesuk Harry. Mungkin, saat ini kedua orang itu sudah berada di rumah sakit dan membicarakan banyak hal dengan Harry, juga Sandra. “Ohh …” Duta berjalan melewati Cita, lalu mengambil tempat makan ikan dan menyerahkannya pada gadis itu. “Kenapa nggak ke kantornya Kasih.” Duta segera meralat, karena Cita juga salah satu dari pewaris Lukito Grup. “Maksudku, coba ikut kerja di sana dan—” “Aku nggak tertarik dengan perusahaan papa di Jakarta,” sela Cita sambil membuka tutup tempat

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 14

    “Rumah ini, kelihatan lebih luas dari yang dulu.” Tanpa sungkan, Cita langsung masuk ke ruang keluarga Atmawijaya. Melihat ruangan yang tampak minim perabotan dan hamparan karpet yang hampir menutupi seluruh lantai ruangan. Mungkin karena itulah, ruang keluarga Atmawijaya saat ini terlihat lebih lega.Akan tetapi, tatapan Cita mendadak berhenti di satu sudut sofa. Ada sebuah boneka barbie yang duduk manis di sana dan Cita mulai bisa menyimpulkan sesuatu. Perubahan dekorasi rumah tersebut, kemungkinan dilakukan karena ada seorang anak kecil yang tinggal atau sering datang dan bermain di ruang keluarga.Anak Pandu dan Laura.Cita sempat mendengar, Pasha dan Erinalah yang mengambil bayi tersebut dan mengasuhnya. Namun, Cita tidak tahu, apakah hal tersebut masih dilakukan pasangan suami istri itu hingga saat ini?Atau, justru Pandu dan Laura sudah mengasuh anak mereka sendiri.Dengan sengaja, Cita berjalan menuju sudut sofa tersebut dan duduk di sana tanpa dipersilakan. Cita mengambil bon

Latest chapter

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 95 (FIN)

    Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 94

    “Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 93

    “Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 92

    “Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 91

    Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 90

    “Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 89

    “Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 88

    Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia

  • Cinta Cita   Cinta Cita ~ 87

    “Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A

DMCA.com Protection Status