“Makasih,” ucap Arya ketika baru memasuki mobil dan memasang sabuk pengaman. “Makasih karena sudah ngasih kesempatan buat aku, Cit.”“Aku nggak ngasih “kesempatan”.” Cita meralat cepat, agar Arya tidak salah paham. “Aku cuma mau kita bicara lagi, karena masih ada yang nggak sreg.”Napas Arya terbuang panjang. Ia menjalankan mobil yang dipinjamnya dari Chandi dengan perlahan dan keluar dari kediaman Lukito. Arya juga sempat bertemu Sandra dan berpamitan. Sikap Sandra sudah terasa sedikit hangat, meskipun masih tampak kesal pada Arya.“Kita ke mana?” tanya Arya harus lebih hati-hati lagi dalam berujar. “Mau ke mall, atau—”“Kita makan aja, di restonya kak Duta.”“Oh di situ” Setelah menyadari restoran Duta tidak hanya satu, Arya kembali mengajukan pertanyaan. “Resto mas Dut yang di mana?”“Yang searah sama rumah sakit papa.” Dua tahun lebih tidak menginjakkan kaki di Jakarta, Cita sedikit lupa dengan nama jalan. “Ambasador.”“Resto mas Dut, semua namanya Ambasador, Cit,” terang Arya, te
Berteman saja.Setidaknya, pernyataan Cita tersebut lebih baik daripada ketika mereka bertemu di tempat Elok. Arya hanya harus lebih bersabar lagi, agar bisa mendekati Cita. Mungkin akan memakan waktu lama, karena Arya harus bolak balik Jakarta-Surabaya untuk memperjuangkan gadis itu.Cita juga tidak lagi membahas tentang Almira, sehingga perasaan Arya bisa lumayan tenang. Meskipun, interaksinya dengan Cita saat ini benar-benar terasa kaku, karena gadis itu lebih banyak diam dan apatis kepadanya.“Mau nonton habis ini?” tawar Arya, masih ingin berlama-lama menghabiskan waktu dengan Cita. “Atau, terserah kamu.”“Aku mau balik ke rumah sakit.” Cita meletakkan garpunya di atas piring kosongnya. Setelah mendengar penjelasan mengenai Almira, sepertinya Cita butuh waktu untuk memikirkan banyak hal.Cita déjà vu akan sesuatu. Dahulu kala, awal kedekatan Cita dengan Arya karena pria itu juga menolongnya. Sama halnya dengan Almira. Pria itu berniat membantu, karena mungkin hal tersebut sudah t
Duta melambai pada Arya yang tengah bingung mencari keberadaannya. Begitu pria itu melihatnya, Arya tersenyum dan segera menghampiri. Namun, Duta bisa melihat jelas senyum itu memudar, ketika Arya melihat pria yang berada di hadapannya.“Nando baru datang.” Duta segera memberi penjelasan, sebelum Arya salah paham.Dua jam yang lalu, Arya menelepon dan mengatakan ingin bertemu dan bicara dengan Duta. Namun, siapa yang menyangka jika Nando mendadak datang ke restoran di waktu yang hampir bersamaan dengan Arya.Karena itu, di sinilah mereka bertiga. Arya duduk di samping Duta, semetara Nando berada di hadapan mereka.“Kapan balik ke Surabaya, Ar?” tanya Nando santai.“Besok pagi,” jawab Arya yang sebenarnya tidak menyukai kehadiran Nando. Namun, apa boleh buat. Arya tidak punya kuasa untuk mengusir pria itu. “Tapi jumat depan, aku ke sini lagi.”“Karena Cita.” Nando tersenyum tipis, tanpa melepas pandangannya pada Arya. “Kenapa kamu nggak jadian sama Almira, Ar? Kenapa harus datang lagi,
“Pagi, Kak.” Meskipun berat, tetapi Cita akhirnya menuruti permintaan Harry. Ia datang ke perusahaan sesuai dengan jam kantor dan menemui Kasih lebih dulu di ruangannya.“Pagi.” Kasih tersenyum. Beranjak dari kursi kerjanya, lalu memeluk Cita. Setelahnya, Kasih mempersilakan Cita duduk di sofa, untuk membicarakan beberapa hal. “Tolong jangan panggil aku, “kak”, kalau di depan orang kantor.”Cita mengangguk. Ternyata, Kasih bisa bersikap seprofesional itu ketika berada di kantor. Bahkan, intonasinya pun sangat terdengar formal dan tidak seperti biasanya.“Jadi, aku panggilnya Bu Kasih aja.”“Iya!” jawab Kasih dengan anggukan lalu duduk di sofa tunggal. “Di sini semua juga manggilnya ibu.”Cita kembali mengangguk. “Terus … kerjaku di sini ngapain?”“Begini.” Meskipun mereka berdua sama-sama berstatus anak perempuan Harry, tetapi Kasih lebih mendapatkan hak istimewa di perusahaan. Tentu saja hal tersebut karena asal usul keduanya yang berbeda. Karena itu, Kasih ingin menjelaskan hal ters
Lagi-lagi Arya. Pesan dari pria itu sudah menghiasi notifikasi ponsel Cita, padahal hari masih sangat pagi. Hal ini mengingatkan Cita akan pernikahan jarak jauhnya dengan Arya dahulu kala. Di bulan-bulan awal, hampir setiap waktu Cita dan Arya selalu bertukar kabar meskipun hanya melalui pesan singkat. Mereka baru akan melakukan panggilan video, ketika semua kesibukan Arya telah selesai.Namun, hubungan mereka ternyata tidak terlalu kuat. Hanya karena seorang Almira yang baru ditinggal suami dan anaknya, Arya lantas bisa melupakan Cita. Hal itulah yang menjadi pertimbangan besar bagi Cita, untuk kembali pada Arya.Bagaimana bila ke depannya nanti, ada Almira-Almira yang lainnya?Cita sungguh tidak bisa membayangkan hal tersebut.Untuk ke sekian kalinya, Cita kembali mengabaikan pesan tersebut. Ia lebih memilih melakukan kegiatan rutinnya di pagi hari, lalu bersiap pergi ke rumah sakit. Semoga saja, hari ini kondisi Harry semakin membaik dan papanya itu bisa segera pulang ke rumah.Set
“Nggak.”Sandra ternganga mendengar jawaban Cita. Namun, setelah memikirkan beberapa hal, Sandra akhirnya paham dan kembali mengatupkan bibirnya.Cita, trauma.Kesimpulan itulah yang diambil Sandra, setelah mendengar jawaban putrinya. Kendati Sandra sangat setuju Cita menjalin hubungan dengan Nando, tetapi ia tidak bisa memaksa kehendaknya. Nantinya, Cita yang akan menjalaninya, jadi Sandra jelas menyerahkan semua keputusan pada putrinya.“Terus, apa reaksi Nando?” selidik Sandra.“Kecewa,” sambar Harry. “Memangnya Mami berharap Nando gimana? Senang habis ditolak?”“Ya nggak gitu, Pa.” Sandra menatap kesal pada Harry. “Maksud Mami, apa dia langsung pergi atau maksa, atau ... gimana Cit?” tanya Sandra penasaran dan kembali menatap Cita.“Gimana ya ...” Cita berbaring miring di sofa dan memandang sang mami yang duduk di samping Harry. Sebenarnya, Cita tidak tega ketika melihat wajah Nando. Namun, bercermin pada dua pernikahan sebelumnya dan bagaimana sikap Nando selama ini, Cita benar-b
“Kalau hasil lab nanti normal semua, papa sudah bisa pulang,” ujar Cita setelah menerima telepon dari Sandra. Ia meletakkan kembali ponselnya di meja, lalu kembali melanjutkan menyantap makan siangnya bersama Kasih. “Moga aja besok.”Kasih mengangguk-angguk dengan gumaman singkat. Ia menghabiskan makanan di mulutnya lebih dulu, baru bersuara.“Aku serius dengan omonganku kemarin, Cit.” Kasih harus mempertegas ucapannya sekali lagi. “Aku nggak mau papa bolak balik Singapur, untuk urusan kerja. Terus nanti, aku juga nggak izinin papa langsung balik lagi ke sana. Aku mau Papa pemulihan di sini aja.”Cita menunduk dan sedikit menarik satu sudut bibirnya. Sejak dulu, Cita tidak pernah berani membantah Kasih, jika perbincangan mereka sudah memasuki ranah serius seperti sekarang. Cita lebih memilih menyimpan suaranya, karena sadar diri akan posisinya.“Aku terserah papa aja.”“Hm.” Kasih kembali menggumam. “Aku juga sudah bilang ke papa, tapi aku harus sampein ini juga ke kamu.”Cita mengang
“Akhirnya, pulang juga.” Cita buru-buru menghampiri Harry yang duduk di lazy couch sambil menonton televisi.Sejak siang tadi, Harry sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Namun, dikarenakan kesibukan Cita yang menumpuk, ia tidak bisa pergi ke rumah sakit.“Papa bosan di rumah sakit.” Harry mengusap puncak kepala Cita yang duduk melantai di sebelahnya. “Gimana kerjanya? Masih ditaroh di marketing?”“Masih.” Hubungan Cita memang sudah baik-baik saja dengan Harry. Namun, ia masih kaku dan canggung jika harus berdekatan dengan sang papa seperti sekarang. Cita bukan Kasih, yang bisa bicara dan bergelayut manja dengan Harry tanpa segan sedikit pun.Bahkan, terkadang masih terasa aneh bagi Cita bila Harry memperlakukannya seperti sekarang.“Marketing itu, ujung tombak perusahaan,” terang Harry kemudian menegakkan tubuh, ketika melihat Sandra memasuki ruang keluarga. Istrinya itu membawa nampan, lalu diletakkan pada meja kecil yang berada di samping Harry. “Banyak orang-orang hebat yang lahir
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp
Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a
“Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus
“Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr
Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia
“Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A