Lagi-lagi Arya. Pesan dari pria itu sudah menghiasi notifikasi ponsel Cita, padahal hari masih sangat pagi. Hal ini mengingatkan Cita akan pernikahan jarak jauhnya dengan Arya dahulu kala. Di bulan-bulan awal, hampir setiap waktu Cita dan Arya selalu bertukar kabar meskipun hanya melalui pesan singkat. Mereka baru akan melakukan panggilan video, ketika semua kesibukan Arya telah selesai.Namun, hubungan mereka ternyata tidak terlalu kuat. Hanya karena seorang Almira yang baru ditinggal suami dan anaknya, Arya lantas bisa melupakan Cita. Hal itulah yang menjadi pertimbangan besar bagi Cita, untuk kembali pada Arya.Bagaimana bila ke depannya nanti, ada Almira-Almira yang lainnya?Cita sungguh tidak bisa membayangkan hal tersebut.Untuk ke sekian kalinya, Cita kembali mengabaikan pesan tersebut. Ia lebih memilih melakukan kegiatan rutinnya di pagi hari, lalu bersiap pergi ke rumah sakit. Semoga saja, hari ini kondisi Harry semakin membaik dan papanya itu bisa segera pulang ke rumah.Set
“Nggak.”Sandra ternganga mendengar jawaban Cita. Namun, setelah memikirkan beberapa hal, Sandra akhirnya paham dan kembali mengatupkan bibirnya.Cita, trauma.Kesimpulan itulah yang diambil Sandra, setelah mendengar jawaban putrinya. Kendati Sandra sangat setuju Cita menjalin hubungan dengan Nando, tetapi ia tidak bisa memaksa kehendaknya. Nantinya, Cita yang akan menjalaninya, jadi Sandra jelas menyerahkan semua keputusan pada putrinya.“Terus, apa reaksi Nando?” selidik Sandra.“Kecewa,” sambar Harry. “Memangnya Mami berharap Nando gimana? Senang habis ditolak?”“Ya nggak gitu, Pa.” Sandra menatap kesal pada Harry. “Maksud Mami, apa dia langsung pergi atau maksa, atau ... gimana Cit?” tanya Sandra penasaran dan kembali menatap Cita.“Gimana ya ...” Cita berbaring miring di sofa dan memandang sang mami yang duduk di samping Harry. Sebenarnya, Cita tidak tega ketika melihat wajah Nando. Namun, bercermin pada dua pernikahan sebelumnya dan bagaimana sikap Nando selama ini, Cita benar-b
“Kalau hasil lab nanti normal semua, papa sudah bisa pulang,” ujar Cita setelah menerima telepon dari Sandra. Ia meletakkan kembali ponselnya di meja, lalu kembali melanjutkan menyantap makan siangnya bersama Kasih. “Moga aja besok.”Kasih mengangguk-angguk dengan gumaman singkat. Ia menghabiskan makanan di mulutnya lebih dulu, baru bersuara.“Aku serius dengan omonganku kemarin, Cit.” Kasih harus mempertegas ucapannya sekali lagi. “Aku nggak mau papa bolak balik Singapur, untuk urusan kerja. Terus nanti, aku juga nggak izinin papa langsung balik lagi ke sana. Aku mau Papa pemulihan di sini aja.”Cita menunduk dan sedikit menarik satu sudut bibirnya. Sejak dulu, Cita tidak pernah berani membantah Kasih, jika perbincangan mereka sudah memasuki ranah serius seperti sekarang. Cita lebih memilih menyimpan suaranya, karena sadar diri akan posisinya.“Aku terserah papa aja.”“Hm.” Kasih kembali menggumam. “Aku juga sudah bilang ke papa, tapi aku harus sampein ini juga ke kamu.”Cita mengang
“Akhirnya, pulang juga.” Cita buru-buru menghampiri Harry yang duduk di lazy couch sambil menonton televisi.Sejak siang tadi, Harry sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Namun, dikarenakan kesibukan Cita yang menumpuk, ia tidak bisa pergi ke rumah sakit.“Papa bosan di rumah sakit.” Harry mengusap puncak kepala Cita yang duduk melantai di sebelahnya. “Gimana kerjanya? Masih ditaroh di marketing?”“Masih.” Hubungan Cita memang sudah baik-baik saja dengan Harry. Namun, ia masih kaku dan canggung jika harus berdekatan dengan sang papa seperti sekarang. Cita bukan Kasih, yang bisa bicara dan bergelayut manja dengan Harry tanpa segan sedikit pun.Bahkan, terkadang masih terasa aneh bagi Cita bila Harry memperlakukannya seperti sekarang.“Marketing itu, ujung tombak perusahaan,” terang Harry kemudian menegakkan tubuh, ketika melihat Sandra memasuki ruang keluarga. Istrinya itu membawa nampan, lalu diletakkan pada meja kecil yang berada di samping Harry. “Banyak orang-orang hebat yang lahir
Apakah Arya menyerah, setelah Cita mengabaikannya dan masih saja berkata ketus?Tentu saja tidak!Begitu sampai di kediaman Lukito, Arya tidak langsung pergi ketika Cita mendiamkan dan meninggalkannya begitu saja. Arya tetap bertahan, karena tujuannya saat ini adalah mengambil hati Harry dan Sandra terlebih dahulu. Karena itulah, Arya saat ini sedang berbincang dengan Harry di ruang tamu.Arya terbilang masih beruntung, karena papa dan mamanya masih berhubungan baik dengan keluarga Lukito. Jika tidak, Arya bisa memastikan Harry dan Sandra tidak akan mau lagi menemuinya.“Jangan terlalu berharap dengan Cita, Ar.” Harry memperingatkan, agar Arya bisa lebih menjaga hatinya. Setidaknya, Harry sudah mengatakan kemungkinan terburuknya. “Kamu harus tahu kapan saatnya berjuang dan kapan saatnya menyerah, supaya kamu nggak buang-buang waktu.”“Om, masih nggak setuju kalau saya balikan sama Cita?” tanya Arya berhati-hati.“Bukan masalah setuju atau nggak.” Setidaknya, Harry pernah merasakan ber
“Kayaknya ada tamu?” Cita menutup pintu mobil, sambil memandang sebuah roda empat yang terparkir di halaman rumah. “Papa nggak ada chat, Mi?”Setelah menutup pintu mobil, Sandra segera mengeluarkan ponsel dari tas. Mengecek notifikasi, tetapi tidak ada dari Harry. “Nggak ada.”“Mungkin orang kantor.” Gumam Cita sembari menyamakan langkah dengan Sandra.“Mungkin.”Keduanya menaiki tangga teras, lalu Cita mematung di bibir pintu saat melihat Arya tengah bercengkrama bersama Harry di ruang tamu. Apa pria itu tidak mengerti artinya penolakan?Cita benar-benar geram sendiri melihatnya. Karena kesal, Cita terus saja berjalan masuk tanpa menoleh. Bahkan, ia tidak menyapa Harry karena sang papa masih saja menerima Arya di rumahnya.Apa Harry tidak ingat tentang perilaku Arya pada Cita? Pria itu sudah main hati dengan perempuan lain, tetapi Harry masih saja mau bertemu dan bicara dengan Arya.Sementara Sandra, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menggeleng dan menghela melihat sikap Cita. Pu
Cita heran, kenapa Arya begitu keras kepala. Pria itu kembali datang ke rumah, padahal Cita sudah berkali-kali tidak mau menemui pria itu. Cita juga menolak Arya dengan terang-terangan ketika pria itu mengajaknya jalan-jalan.Cita lebih memilih berdiam di kamarnya dan tidur, daripada harus keluar lalu mendapati sosok Arya berada di rumahnya.“Cita ... buka pintunya.”Cita menggeram sambil beranjak membukakan pintu untuk Sandra. “Orang itu masih di sini?” tanya Cita dengan suara pelan.“Ngapain bisik-bisik.” Sandra segera masuk kamar dan melewati Cita. “Orang di bawah juga nggak bakal dengar suaramu.”Cita meringis sambil menutup pintu. Ia berbalik dan segera menghampiri Sandra yang sedang membuka lemari pakaiannya. Kamar yang ditempati Cita di kediaman Lukito, tidak seluas kamar yang dimiliki Kasih. Tidak hanya itu, kamar mandinya pun juga standar tanpa menggunakan bathtub. Selain itu, Cita juga tidak memiliki walk in closet seperti yang berada di kamar Kasih. Hanya ada sebuah lemari
“Aku kira kamu sudah pulang.” Leoni keluar dari ruang khusus direksi hotel dan menghampiri Arya yang berada di ruang tunggu lantai tersebut. “Cita pindah rumah hari ini.” Arya segera berdiri ketika Leoni menghampirinya. “Mobil mbak Chandi dipake, bunda Asri juga—” “Hedeeeh! Basa-basi.” Leoni mengeluarkan kunci mobil barunya dan memberikannya pada Arya. “Balik, bensin full. Kalau baret, aku kirim tagihannya plus bunga 20 persen. Terus—” “Berisik,” sela Arya sambil mengeluarkan dompet dan memberi Leoni kartu debit miliknya. “Pinnya seperti biasa. Kalau make jangan ngelunjak. Aku bukan bosmu, yang uangnya datang terus, walaupun nggak kerja satu bulan.” Leoni terkekeh dan menerima kartu tersebut dengan senang hati. “Senang berbisnis dengan anda.” “Hm.” Arya mengembalikan dompetnya ke saku celana. “Pulang jam berapa? Nanti aku jemput.” “Nggak tahu.” Leoni meraih tangan Arya, lalu membawa kakak laki-lakinya itu berjalan menuju lift. “Soalnya habis makan siang aku keluar sama mas Nando
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp
Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a
“Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus
“Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr
Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia
“Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A