“Apakah kau tidak pernah sedikit pun mencintaiku?” tanya Julian dengan nada rendah dan penuh penekanan.
Sembari mengepalkan tangan, Mia memaksakan kepalanya yang kaku untuk bergerak. “Ya, saya tidak pernah mencintai Anda, Tuan.”
“Omong kosong!” hardik sang pria sukses membuat sang gadis menahan napas. “Kau jelas menyimpan perasaan yang sama denganku, Mia. Beberapa kali, aku melihatnya di matamu. Tapi kenapa kau selalu saja menyangkal?”
“Itu hanya imajinasi Anda, Tuan. Saya tidak pernah memiliki perasaan semacam itu. Hubungan kita hanya sebatas anak buah dan atasan.”
“Bohong!”
Sedetik kemudian, Julian mencengkeram kepala dan meringis. “Kalau kau tidak pernah mencintaiku, lalu kenapa kau selalu setia berada di sisiku?” erangnya lirih.
“Karena saya berutang budi pada keluarga Evans. Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu Anda dalam segala kesulitan.”
Mendengar alasan semacam itu, sang pria menggeleng dan mendesah. “Tidak mung
Selang beberapa saat, Gabriella mengangguk-angguk. “Ya. Anggap saja tantangan itu sebagai tiket untuk mendapatkan hati Mia. Semakin besar tantangan yang berhasil kau taklukkan, semakin mudah dirimu mendekatinya.” “Tapi, bagaimana jika dia menolak untuk memberiku tantangan?” timpal sang pria dengan nada ragu. “Kenapa kau takut sekali dengan risiko, Julian? Jangan pesimis kalau belum mencoba.” Mendengar ucapan spontan sang adik ipar, pria itu seketika teringat tentang perdebatan dengan Nona Sekretaris. Seiring dengan bangkitnya kesadaran, udara dalam paru-paru Julian mulai bergemuruh. “Benar. Terlepas dari jujur atau tidaknya omongan itu, aku tetap perlu memperbaiki diri. Aku harus bisa menjadi pria yang berani.” Mendengar keseriusan dalam ucapan si kakak ipar, sudut bibir Gabriella sontak melengkung naik. “Bagus! Jagalah semangat itu! Sekarang, karena kau telah menemukan solusi, silakan bermain dengan keponakanmu. Bersantailah dan lepas
“Jadi, tantangan apa yang sudah kau siapkan untukku, Mia?” tanya Julian dengan mata berbinar-binar. Sudut bibir pria itu telah terangkat setinggi semangatnya.“Ini masih jam kerja, Tuan. Tidak bisakah Anda menunggu sampai waktunya pulang? Saya tidak ingin memengaruhi kinerja CEO Quebracha.”“Memengaruhi bagaimana?” selidik Julian dengan alis yang sedikit berkerut.Senyum misterius seketika menghiasi wajah sang sekretaris. “Saya rasa, tantangan itu akan menghantui pikiran Anda seharian. Saya tidak mau Anda terbebani oleh hal itu dan kehilangan fokus.”Sedetik kemudian, sang pria mendesah tak percaya. “Apakah kau sedang meremehkanku? Tenang saja, aku tidak akan terpengaruh. Lagipula, hari ini sudah tidak ada pertemuan yang harus kita hadiri. Jadi, kau bisa mengatakannya sekarang,” angguk Julian yakin.“Begitukah?”Sekali lagi, sang pria mengangguk.“Baiklah,&r
“Kenapa terkejut seperti itu? Apakah kedatanganku tidak diharapkan?” tanya Herbert, sukses membuat Gabriella beranjak. Dengan sigap, wanita itu menarik kursi di sampingnya untuk sang mertua.“Kami justru senang karena Papa datang. Lihatlah, Cayden bahkan mengabaikan buburnya,” ujar Gabriella sembari tersenyum ke arah bayi yang melonjak-lonjak kesenangan. Tawa Pangeran Kecil semakin kencang saat sang kakek membelai kepalanya.“Seharusnya Papa memberi kabar kalau mau datang kemari. Kita bisa makan malam bersama,” celetuk Max sembari memberi sinyal kepada pelayan untuk menyiapkan piring tambahan.Sambil duduk di kursi yang disediakan, Herbert terkekeh. “Tidak perlu, Max. Aku memiliki janji makan malam setelah ini. Hanya mampir sebentar untuk melihat Cayden,” terang pria tua itu sebelum mencondongkan badan, membalas tatapan bayi yang mengintipnya dari balik tubuh sang ibu. “Jadi, apa yang sedang kalian bahas?&rdq
“Kalau Anda tidak bisa menuruni tangga, berarti Anda harus melompat, Tuan,” ujar sang instruktur dengan lengkung bibir yang kaku. Ia takut jika Julian merasa tersinggung dan marah.Mengakui kebenaran dari ucapan itu, tiba-tiba saja, Julian mencengkeram lengan sang petugas. “Apakah ada yang pernah mati ketika melompat dari sini?” tanyanya tanpa intonasi.Bibir si pria berseragam seketika terancam melepaskan tawa. Sebisa mungkin, ia menahan kegelian dalam hatinya. “Tidak ada, Tuan. Fasilitas dan perlengkapan di sini sudah dipastikan aman.”“Bukan itu, tapi serangan jantung. Apakah ada kasus seseorang tewas karena terlalu takut saat melompat?” desah Julian sembari memegangi dada yang serasa dipukul-pukul oleh palu.“Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada, Tuan,” sahut sang instruktur dengan anggukan meyakinkan.Sekali lagi, Julian memandang ke arah. Orang-orang yang menanti pendaratannya kini
“Sepertinya, dia benar-benar tidak sanggup,” gumam Gabriella sembari meluruskan leher. Ia sudah terlalu lama mendongak. Melihat punggung Julian yang tak kunjung meluncur mulai terasa membosankan.“Benar. Batas keberaniannya hanya sampai bungee jumping saja,” angguk Max sambil terus menyangga Cayden dengan kedua tangan. Sang bayi masih sabar melihat pamannya yang menggantung di puncak wahana.Sementara itu, gadis yang berdiri di samping mereka sama sekali tidak bersuara. Bibir yang semula pucat memang sudah kembali berwarna. Namun, jantungnya masih berdetak kencang, sama seperti saat ia dijatuhkan ke jaring pengaman.“Bagaimana ini? Ketakutan di atas sana memang luar biasa. Tuan Julian pasti sangat kesulitan,” batinnya dengan alis berkerut.Belum sempat ketegangan memudar, tiba-tiba, Cayden mengoceh sambil menunjuk ke atas. Dalam sekejap, semua mata kembali memperhatikan tubuh yang bergerak-gerak.“
Mia mengetuk-ngetuk meja dengan jari. Tatapannya sesekali mengarah ke pintu masuk. Setiap kali melihat tak ada seorang pun berlalu, helaan napas berembus cepat dari mulutnya. “Ke mana Tuan Julian? Kenapa dia belum datang juga? Apakah nyawanya masih belum terkumpul seutuhnya?” gumam gadis itu sebelum menyangga kepala dengan tangan. Alisnya tidak bisa lagi menahan kerutan. “Tapi, kemarin keadaannya sudah membaik. Dia seharusnya kembali normal hari ini,” batin sang sekretaris, menenangkan diri. Namun, ketika pandangannya tertuju pada jam, keresahan kembali memberatkan pikiran. “Tapi, Tuan Julian tidak pernah terlambat seperti ini. Apakah jangan-jangan ... dia kesulitan mempersiapkan diri?” Selang keheningan sejenak, Mia akhirnya menggeleng cepat. “Sudahlah! Jangan terlalu banyak kata ‘tapi’. Memikirkan laki-laki itu hanya membuang waktu saja,” gerutu sang gadis sembari memfokuskan pikiran pada tablet di atas meja. Namun, baru beberapa detik ia me
“Apa gunanya memiliki tubuh kekar kalau tidak ada nyali? Kau tidak akan berbeda dari kacang tanpa isi,” celetuk Max setelah mendengarkan cerita Julian tentang bagaimana sang sekretaris terhipnotis olehnya.“Benar. Aku jatuh cinta kepada suamiku juga bukan karena tubuh yang kekar ini, melainkan hatinya,” celetuk Gabriella sembari tersenyum ke arah pria yang menggenggam tangannya.Melihat kekompakan suami istri itu, Julian otomatis menghentikan langkah dan memutar tumpuan agar keseriusannya terlihat lebih jelas. “Tapi aku tidak berbohong. Begitu Mia memegang dadaku, dia memang terdiam. Matanya terlihat berbinar-binar.”“Mungkin dia kebingungan harus menamparmu atau tidak. Kau adalah bosnya yang kurang ajar,” ledek Gabriella, sukses membuat napas Julian menderu.“Sekarang katakan dengan jujur. Terlepas dari apa yang membuatmu mencintai Max. Bukankah kau pernah terpesona oleh tubuhnya?”Dengan
“Ya Tuhan, mohon berikan hamba-Mu ini keberanian. Semoga aku bisa melewati tantangan ini dengan selamat,” ucap Julian sambil merapatkan tangan dan memejamkan mata.Melihat tingkah pria itu, sepasang suami istri diam-diam tersenyum.“Mau berapa lama kau berdoa? Mia sudah bosan menunggu,” celetuk Max seraya mempertahankan pose santainya di bangku panjang. Ia sudah nyaman merangkul sang istri yang sedang memangku putra mereka.“Benar, Julian. Masuklah. Tuhan pasti sudah mendengar doamu. Kalau kau takut, genggam saja tangan Mia,” ujar Gabriella sambil menemani Cayden bermain dengan boneka barunya. Bayi itu sudah tidak peduli dengan sang paman.Mendengar saran dari adik iparnya, Julian pun membuka mata. “Apakah menurutmu Mia mengizinkanku untuk menggenggam tangannya?” bisik pria itu sebelum melirik ke arah gadis yang menunggu di dekat pintu masuk. “Tanyakan saja kepadanya,” sahut Gabriel