Mia mengetuk-ngetuk meja dengan jari. Tatapannya sesekali mengarah ke pintu masuk. Setiap kali melihat tak ada seorang pun berlalu, helaan napas berembus cepat dari mulutnya.
“Ke mana Tuan Julian? Kenapa dia belum datang juga? Apakah nyawanya masih belum terkumpul seutuhnya?” gumam gadis itu sebelum menyangga kepala dengan tangan. Alisnya tidak bisa lagi menahan kerutan.
“Tapi, kemarin keadaannya sudah membaik. Dia seharusnya kembali normal hari ini,” batin sang sekretaris, menenangkan diri. Namun, ketika pandangannya tertuju pada jam, keresahan kembali memberatkan pikiran.
“Tapi, Tuan Julian tidak pernah terlambat seperti ini. Apakah jangan-jangan ... dia kesulitan mempersiapkan diri?”
Selang keheningan sejenak, Mia akhirnya menggeleng cepat. “Sudahlah! Jangan terlalu banyak kata ‘tapi’. Memikirkan laki-laki itu hanya membuang waktu saja,” gerutu sang gadis sembari memfokuskan pikiran pada tablet di atas meja.
Namun, baru beberapa detik ia me
“Apa gunanya memiliki tubuh kekar kalau tidak ada nyali? Kau tidak akan berbeda dari kacang tanpa isi,” celetuk Max setelah mendengarkan cerita Julian tentang bagaimana sang sekretaris terhipnotis olehnya.“Benar. Aku jatuh cinta kepada suamiku juga bukan karena tubuh yang kekar ini, melainkan hatinya,” celetuk Gabriella sembari tersenyum ke arah pria yang menggenggam tangannya.Melihat kekompakan suami istri itu, Julian otomatis menghentikan langkah dan memutar tumpuan agar keseriusannya terlihat lebih jelas. “Tapi aku tidak berbohong. Begitu Mia memegang dadaku, dia memang terdiam. Matanya terlihat berbinar-binar.”“Mungkin dia kebingungan harus menamparmu atau tidak. Kau adalah bosnya yang kurang ajar,” ledek Gabriella, sukses membuat napas Julian menderu.“Sekarang katakan dengan jujur. Terlepas dari apa yang membuatmu mencintai Max. Bukankah kau pernah terpesona oleh tubuhnya?”Dengan
“Ya Tuhan, mohon berikan hamba-Mu ini keberanian. Semoga aku bisa melewati tantangan ini dengan selamat,” ucap Julian sambil merapatkan tangan dan memejamkan mata.Melihat tingkah pria itu, sepasang suami istri diam-diam tersenyum.“Mau berapa lama kau berdoa? Mia sudah bosan menunggu,” celetuk Max seraya mempertahankan pose santainya di bangku panjang. Ia sudah nyaman merangkul sang istri yang sedang memangku putra mereka.“Benar, Julian. Masuklah. Tuhan pasti sudah mendengar doamu. Kalau kau takut, genggam saja tangan Mia,” ujar Gabriella sambil menemani Cayden bermain dengan boneka barunya. Bayi itu sudah tidak peduli dengan sang paman.Mendengar saran dari adik iparnya, Julian pun membuka mata. “Apakah menurutmu Mia mengizinkanku untuk menggenggam tangannya?” bisik pria itu sebelum melirik ke arah gadis yang menunggu di dekat pintu masuk. “Tanyakan saja kepadanya,” sahut Gabriel
“Astaga! Ada apa dengan Mia?” seru Gabriella dengan mata terbelalak. Setelah menyerahkan bayi di pangkuannya kepada sang suami, ia bergegas membantu Julian untuk membawa sang sekretaris ke kursi.“Mia mengatakan ada yang mencengkeram kakinya, padahal tidak ada. Mungkin, dia terlalu takut sehingga berhalusinasi,” terang Julian sebelum mengambil posisi berlutut di hadapan sang sekretaris. Setelah memperhatikan tatapan hampa gadis itu, ia mendesah. “Sepertinya, aku harus membeli minuman untuknya.”“Biar aku yang membelinya. Kau di sini saja menjaga Mia,” ujar Gabriella seraya menepuk diri sendiri. Tanpa menunggu persetujuan, wanita itu meluncur menuju deretan stan makanan.Seperginya Gabriella, pandangan Julian kembali tertuju pada wajah pucat Mia. Gadis itu masih kesulitan mengatur napas. Kerutan yang jarang ditampilkan, kini terlihat jelas di pangkal alisnya.“Hei, kita sudah aman. Tidak ada yang perlu
Dengan kedipan kaku, Mia melirik ke arah Julian yang duduk di hadapannya. Pria itu sedang mengamati pemandangan di luar jendela. Kedua tangannya saling menggenggam di atas pangkuan. Tidak ada hal berarti yang ia lakukan. Namun, sang gadis merasa bahwa dirinya sedang terancam.“Ck, kenapa aku bisa berada di ruang sesempit ini bersama dengan Tuan Julian?” batin sang sekretaris sambil menarik napas yang terasa sangat berat. “Apa yang harus kami lakukan sekarang?”Tiba-tiba, sang pria berpaling dari jendela. Hanya dalam sekejap, Mia terbelalak dan memutar kepala ke arah yang berbeda.“Ah, kenapa aku jadi salah tingkah begini?” sesal gadis itu, berusaha mempertahankan tampang datarnya.“Padahal, kita belum mencapai puncak. Tetapi, pemandangannya sudah mengagumkan,” ujar Julian dengan senyum semringah.Bukannya membalas dengan hangat, Mia malah menegakkan punggung yang sekaku wajahnya. “Ini sudah mala
Lima tahun yang lalu ....“Sudah memiliki rumah sendiri, tapi masih saja merepotkan orang lain,” gerutu Mia sembari berjalan cepat menuju sebuah pagar hitam. Jika saja sang ibu tidak mendesaknya, ia tidak akan menembus angin di penghujung musim gugur yang membuatnya menggigil.“Jika dia tidak sanggup mengurus diri sendiri, kenapa tidak mempekerjakan pelayan saja? Dan kenapa juga Tuan Julian mencari tempat tinggal di dekat apartemenku? Ck, sungguh menyusahkan,” gerutu gadis itu sembari memencet bel.Selang beberapa detik, tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di dekat pagar. Tak lama setelah itu, seseorang turun dan memapah Julian yang berjalan sempoyongan. Menyaksikan hal itu, semua kekesalan Mia mendadak lenyap dilahap kekhawatiran. “Tuan Evans?”“Apakah kau pelayannya?” tanya pria yang mengernyitkan dahi.Tanpa berpikir panjang, Mia mengangguk.“Kalau begitu, cepat urus majikanmu! Dia sangat
“Ini hati saya, Tuan. Hanya saya yang mengetahui isinya,” ucap Mia penuh ketegasan.“Tapi kau tidak bisa menyembunyikannya dariku, Mia,” desah Julian dengan tatapan lekat. Sembari memegang kedua pundak sang sekretaris, ia mengeraskan rahang. “Sekarang katakan dengan jujur. Kenapa kau menyembunyikan fakta bahwa aku telah menidurimu?”Selang keheningan sesaat, gadis itu menjawab, “Saya tidak ingin membuat orang tua saya sedih dan kecewa.”“Begitukah?” timpal sang pria sambil melukis keraguan lewat lengkung alisnya. “Lalu, dua tahun lalu, kenapa kau tidak juga menamparku? Kau bersikap seperti tidak terjadi apa-apa di dalam lift itu.”“Itu karena saya tidak ingin mengungkit masa lalu, Tuan. Lagipula, pada saat itu, Anda terdesak. Seperti yang sudah kita bahas, saya adalah jalan keluar terdekat. Jadi, saya memakluminya.”Mendengar alasan yang terkesan dibuat-buat, Julian
“Tidak ada apa-apa, Tuan,” sahut Mia dengan nada canggung. Ia tidak pernah menduga akan tertangkap basah berada sedekat itu dengan Julian.“Benarkah? Tapi, kenapa aku merasa kalau kalian sedang bertengkar?” ucap Herbert seraya mengernyitkan sebelah alis.Menyadari betapa erat sang gadis mengepalkan tangan, Julian akhirnya mendesah samar. “Tidak ada apa-apa, Pa. Kami hanya sedang membicarakan rahasia yang takut didengar oleh orang lain, seperti Papa yang tiba-tiba masuk ke sini.”“Begitukah?” gumam si pria tua sembari duduk di sofa. “Rahasia apa yang kalian bicarakan itu?”“Tidak akan menjadi rahasia jika aku mengungkapkannya kepada Papa,” celetuk sang CEO berusaha terdengar santai.Sedetik kemudian, kakinya mulai bergerak mengambil posisi di hadapan sang ayah. “Jadi, ada apa Papa datang kemari?” tanya pria itu sembari menjatuhkan bobot pada kursi empuk di belakangny
Mia berdiri bersama kopernya di dekat pintu lobi. Sesekali, ia melirik ke samping, ke arah Julian yang sibuk dengan ponsel. Namun, meskipun pria itu sadar bahwa sang gadis diam-diam memperhatikannya, ia tetap bergeming.“Apa yang sebenarnya dikatakan oleh Tuan Herbert?” pikir Mia sebelum meluruskan pandangan dan mendesah samar.Sudah lima hari sang gadis mempertanyakan hal itu. Perubahan sikap Julian merupakan teka-teki besar baginya. Namun, hingga mereka melakukan perjalanan bisnis ke kota lain, jawaban belum juga datang. Sama sekali tidak ada petunjuk dari pria yang hanya membicarakan soal pekerjaan.Di tengah perenungan yang tidak berujung, sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Tanpa mengucap kata, sang CEO memasukkan ponsel ke dalam saku jas. Sedetik kemudian, ia bergegas masuk ke kursi penumpang, membiarkan pelayan hotel meletakkan kopernya di bagasi belakang.“Apakah ini mobil kami?” tanya Mia spontan ketika sang pelayan m