Lima tahun yang lalu ....
“Sudah memiliki rumah sendiri, tapi masih saja merepotkan orang lain,” gerutu Mia sembari berjalan cepat menuju sebuah pagar hitam. Jika saja sang ibu tidak mendesaknya, ia tidak akan menembus angin di penghujung musim gugur yang membuatnya menggigil.
“Jika dia tidak sanggup mengurus diri sendiri, kenapa tidak mempekerjakan pelayan saja? Dan kenapa juga Tuan Julian mencari tempat tinggal di dekat apartemenku? Ck, sungguh menyusahkan,” gerutu gadis itu sembari memencet bel.
Selang beberapa detik, tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di dekat pagar. Tak lama setelah itu, seseorang turun dan memapah Julian yang berjalan sempoyongan. Menyaksikan hal itu, semua kekesalan Mia mendadak lenyap dilahap kekhawatiran. “Tuan Evans?”
“Apakah kau pelayannya?” tanya pria yang mengernyitkan dahi.
Tanpa berpikir panjang, Mia mengangguk.
“Kalau begitu, cepat urus majikanmu! Dia sangat
“Ini hati saya, Tuan. Hanya saya yang mengetahui isinya,” ucap Mia penuh ketegasan.“Tapi kau tidak bisa menyembunyikannya dariku, Mia,” desah Julian dengan tatapan lekat. Sembari memegang kedua pundak sang sekretaris, ia mengeraskan rahang. “Sekarang katakan dengan jujur. Kenapa kau menyembunyikan fakta bahwa aku telah menidurimu?”Selang keheningan sesaat, gadis itu menjawab, “Saya tidak ingin membuat orang tua saya sedih dan kecewa.”“Begitukah?” timpal sang pria sambil melukis keraguan lewat lengkung alisnya. “Lalu, dua tahun lalu, kenapa kau tidak juga menamparku? Kau bersikap seperti tidak terjadi apa-apa di dalam lift itu.”“Itu karena saya tidak ingin mengungkit masa lalu, Tuan. Lagipula, pada saat itu, Anda terdesak. Seperti yang sudah kita bahas, saya adalah jalan keluar terdekat. Jadi, saya memakluminya.”Mendengar alasan yang terkesan dibuat-buat, Julian
“Tidak ada apa-apa, Tuan,” sahut Mia dengan nada canggung. Ia tidak pernah menduga akan tertangkap basah berada sedekat itu dengan Julian.“Benarkah? Tapi, kenapa aku merasa kalau kalian sedang bertengkar?” ucap Herbert seraya mengernyitkan sebelah alis.Menyadari betapa erat sang gadis mengepalkan tangan, Julian akhirnya mendesah samar. “Tidak ada apa-apa, Pa. Kami hanya sedang membicarakan rahasia yang takut didengar oleh orang lain, seperti Papa yang tiba-tiba masuk ke sini.”“Begitukah?” gumam si pria tua sembari duduk di sofa. “Rahasia apa yang kalian bicarakan itu?”“Tidak akan menjadi rahasia jika aku mengungkapkannya kepada Papa,” celetuk sang CEO berusaha terdengar santai.Sedetik kemudian, kakinya mulai bergerak mengambil posisi di hadapan sang ayah. “Jadi, ada apa Papa datang kemari?” tanya pria itu sembari menjatuhkan bobot pada kursi empuk di belakangny
Mia berdiri bersama kopernya di dekat pintu lobi. Sesekali, ia melirik ke samping, ke arah Julian yang sibuk dengan ponsel. Namun, meskipun pria itu sadar bahwa sang gadis diam-diam memperhatikannya, ia tetap bergeming.“Apa yang sebenarnya dikatakan oleh Tuan Herbert?” pikir Mia sebelum meluruskan pandangan dan mendesah samar.Sudah lima hari sang gadis mempertanyakan hal itu. Perubahan sikap Julian merupakan teka-teki besar baginya. Namun, hingga mereka melakukan perjalanan bisnis ke kota lain, jawaban belum juga datang. Sama sekali tidak ada petunjuk dari pria yang hanya membicarakan soal pekerjaan.Di tengah perenungan yang tidak berujung, sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Tanpa mengucap kata, sang CEO memasukkan ponsel ke dalam saku jas. Sedetik kemudian, ia bergegas masuk ke kursi penumpang, membiarkan pelayan hotel meletakkan kopernya di bagasi belakang.“Apakah ini mobil kami?” tanya Mia spontan ketika sang pelayan m
Di sela kebingungan, tiba-tiba, panggilan wanita asing itu mengaburkan lamunan Mia. “Lalu, siapa gadis manis ini, Julian? Apakah dia istrimu?” Hanya dalam sekejap, sang sekretaris mendesah samar. Namun, belum sempat ia memberi tanggapan, Julian sudah lebih dulu menempatkan tangan di pinggangnya. “Ini wanita yang paling kucintai, Bi,” jawab pria itu, sukses menambah kecanggungan dalam nadi Mia. “Ternyata, keponakanku memiliki selera yang sangat bagus,” puji Greta membuat sang gadis terpaksa menyunggingkan senyum. “Senang bertemu dengan Anda, Nyonya. Saya Mia,” ucap sekretaris itu sopan. Tanpa terduga, wanita bertubuh sehat itu menepuk lengan sang gadis. “Tidak perlu setegang itu, Nona. Panggil saja saya Greta. Saya selalu merasa jauh lebih muda jika orang-orang memanggil saya dengan nama.” Menyaksikan keramahan sang wanita, Mia akhirnya tersenyum lebih lepas. Sambil mengangguk, ia menjawab, “Baiklah.” Tatapan hangat Greta telah menerbit
“Silakan masuk, Mia. Inilah rumah kami yang sederhana. Meskipun kecil, tapi penuh dengan kedamaian,” ujar Greta sembari mengambil koper dari tangan tamu istimewanya.Mendapat sambutan sehangat itu, lengkung bibir sang sekretaris bertambah lebar. “Terima kasih, Greta,” sahutnya canggung. Ia masih menunggu momen yang tepat untuk memberi pengakuan. Mungkin, setelah bertemu dengan anggota keluarga yang lain.“Di rumah ini, aku tinggal bersama suamiku, Jack. Tapi dia sedang mengurus kotoran kuda. Jadi, kukatakan kepadanya untuk bertemu kalian nanti saja. Anak-anak kami saat ini sedang kuliah di kota lain. Mereka hanya pulang saat liburan. Jadi, kalian bisa menggunakan kamar mereka,” jelas si tuan rumah tanpa tersendat. Tampak jelas bahwa bibir tipisnya memang gemar bicara.“Lalu, di mana Kakek?” tanya Julian seraya menaikkan alis.Tiba-tiba saja, sang wanita mengacungkan telunjuk. “Itulah yang hendak kujela
Menyaksikan hal yang begitu mengharukan, Mia otomatis menarik napas panjang. Paru-parunya panas. Namun, ia masih berusaha menahan agar desakannya tidak sampai mengeluarkan air mata. Tepat pada saat sang gadis mulai berhasil mengendalikan diri, pandangan Tuan Hunt tanpa sengaja tertuju padanya. Dengan mata keriput yang bercahaya, pria tua itu mendesah. “James, apakah perempuan cantik ini istrimu?” tanyanya sembari melepaskan dekapan. Dengan gerak lambat dan senyum lebar, ia memutar tumpuan menghadap sang gadis. “Ya, Ayah. Ini menantumu,” jawab Julian sembari menempelkan telapak tangan pada punggung Mia. Mengerti makna tepukan ringan dari sang CEO, gadis itu sontak melebarkan senyuman. Walaupun kaku, lengkung bibirnya terlihat sangat manis di mata Tuan Hunt. Kebahagiaan pria tua itu meroket bersama dengan tawa. “Kau sangat pintar memilih wanita, James,” puji Tuan Hunt sebelum berdiri sopan di hadapan sang sekretaris. “Jadi, aku bisa memanggil me
Begitu melihat kamar yang akan ditempatinya, Mia bergeming. Hanya ada satu kasur sempit di dalam sana, sementara dirinya harus berbagi ruang dengan pria yang dianggap sebagai suaminya oleh Tuan Hunt.“Inilah kamar kalian. Kelihatannya memang kecil. Tapi kamar ini lebih luas dan jauh lebih hangat dibandingkan kamar yang lain,” terang Greta sembari menempatkan koper Mia di samping lemari.“Terima kasih, Bi. Ini sudah cukup untukku dan Mia,” ujar Julian sembari menyeret tasnya ke tempat yang sama.“Kalau begitu, beristirahatlah. Aku harus kembali ke peternakan membantu Jack. Setelah kuda-kuda selesai diurus, barulah kita bersiap untuk pesta nanti malam. Jika kalian lapar, makan siang sudah tersedia di dapur. Jangan sungkan,” jelas si tuan rumah panjang lebar.Seraya melengkungkan bibir, sang sekretaris mengangguk. “Terima kasih banyak, Greta.”“Sama-sama, Sayang. Anggap saja rumah ini seperti rumah
“Ayo, Mia. Jangan takut,” ujar Greta sembari mengangguk.Dengan gerak ragu, sang sekretaris mulai mengangkat tangan ke kepala kuda cokelat di dekatnya. Setelah berhasil mengelus Hasty, senyum lebar langsung terlukis di wajahnya.“Apakah dia menyukaiku?” bisik gadis itu, khawatir jika dirinya menakuti si kuda.“Entahlah, terlalu cepat untuk membuat kesimpulan. Kalau begitu, bagaimana kalau kita mengadakan tes?”Mendengar usulan Greta, mata sang sekretaris melebar. “Tes?”“Coba kau berdiri di samping Julian,” perintah wanita dengan mata bercahaya itu sembari menarik si kuda cokelat menjauh. Pada jarak tiga meter, ia berhenti dan berseru, “Jangan merapat! Berdirilah sedikit lebih jauh!”Tanpa membuang waktu, sang sekretaris dan CEO mengambil langkah ke arah yang berlawanan. Setelah kedua orang itu berada pada posisi yang tepat, Greta mengelus kepala sang kuda.&ldquo