Melihat sang kekasih masih berdiri di hadapan papan target, Julian pun menghela napas samar. Setelah menghapus rasa iba dari wajahnya, pria itu berjalan menghampiri gadis yang baru saja melempar pisau menembus cahaya lampu taman.
“Apakah kau tidak lelah?”
Dalam sekejap, Mia berbalik dengan mata bulat. “Julian? Kau baru pulang?”
Dengan lengkung bibir tipis, sang pria membelai rambut kekasihnya yang basah oleh keringat. “Gabriella bilang, latihan kalian sudah berakhir dua jam yang lalu. Tapi, kenapa kau masih di sini?”
“Dua jam?” desah Mia sambil menarik pelupuk lebih tinggi.
“Kau berlatih terlalu keras sampai lupa waktu, hm?” timpal Julian seraya mengangkat alis samar.
Sembari meringis, sang gadis menggeleng. “Aku tidak tahu kalau sudah berlatih selama ini,” ujarnya di sela helaan napas. “Lalu, kau sendiri ... kenapa baru pulang sekarang? Bukankah kau bilang hanya ingin meninjau satu dokumen lagi? Kau seharusnya mengajakku lembur kalau
“Max,” desah Gabriella sembari menutup pintu rapat-rapat. Sedetik kemudian, ia bergegas menghampiri suaminya yang berbaring miring di atas tempat tidur. “Kau tahu apa yang baru saja kulihat?” Mendeteksi kehebohan dalam bisikan sang istri, Max terpaksa berhenti menatap wajah lucu Cayden yang terlelap. “Apa?” tanyanya sembari menoleh dan menegakkan badan. “Julian baru saja mengajak Mia masuk ke kamarnya.” Dalam sekejap, mata sang pria terbuka lebih lebar. “Kau yakin?” “Ya, mereka tampak jelas sedang menyelinap,” angguk Gabriella dengan lengkung alis yang tak kalah tinggi. Mendapat konfirmasi yang seyakin itu, udara sontak berembus cepat dari mulut Max. “Kenapa mereka bertindak seperti remaja? Ck, padahal ... aku sudah mengingatkan Julian tentang hal ini. Bisa gawat jika Bibi tahu,” gumam pria itu seraya berkedip-kedip mempertimbangkan situasi. “Haruskah kita menelepon mereka?” tanya sang wanita, mengajukan usul. “Tidak,” geleng M
Tanpa berpikir lebih lama, Mia membungkus pinggang kekasihnya dengan handuk yang tersedia. “Sekarang, pakailah ini dan hadapi mereka. Aku bisa bersembunyi di belakang pintu,” usul gadis itu disertai anggukan. “Tapi—“ “Cepatlah! Jangan membuat emosi mereka semakin panas,” desak Mia sembari mendorong tubuh kekasihnya. Sambil menelan ludah, Julian pun mendekat ke arah pintu. Dengan tangan gemetar dan hati berdebar, ia memutar kunci. Sedetik kemudian, pintu langsung didorong dari luar. Namun, selang beberapa saat, tidak seorang pun melangkah ke dalam. “Apa yang kau tunggu? Cepat keluar!” Mendengar suara yang tidak terduga, Julian sontak bertatapan dengan Mia. Kekhawatiran mereka ternyata sudah berlebihan. “Cepat keluar atau aku yang masuk!” “Baiklah, baiklah,” gerutu Julian sebelum berdecak dan berjalan meninggalkan kekasihnya yang tetap harus berlindung di balik pintu. “Apa yang kau lakukan di dalam?” selidik Max yang tela
Begitu menuruni tangga, Gabriella langsung tersenyum semringah. Pelayan termuda mereka tampak sangat rajin membersihkan rak dengan lapnya. “Selamat pagi, Lena,” sapa wanita itu ringan sambil terus berjalan menuju dapur. Akan tetapi, selang beberapa langkah, tidak ada jawaban yang terdengar. Gabriella pun terpaksa membekukan kaki untuk mempertajam pendengaran. “Selamat pagi, Lena,” ulangnya dengan volume suara yang lebih besar. Alih-alih menyahut, gadis berseragam yang sedang membelakanginya itu malah menyentuh telinga. Dalam sekejap, mulut sang nyonya membulat. “Oh, dia pasti sedang mendengar musik lewat earphone,” gumam Gabriella sembari mengangguk kecil. Sedetik kemudian, ia melanjutkan langkah menuju dapur. Tepat sebelum wanita itu tiba di ambang pintu, suara Minnie mengudara. “Apakah kalian melihat Mia?” Lagi-lagi, kaki sang nyonya berhenti bergerak. Dengan mata bulat dan kedipan kaku, ia menyimak obrolan para pela
Selang beberapa saat, Max akhirnya berhasil merampas senjata. Setelah memasang tuas pengaman dan mengantongi pistol, ia membantu Mia menahan tangan yang terus memberontak. “Lepaskan! Dasar pengecut!” bentak wanita bengis itu. Meski sudah tak berdaya, sorot matanya tampak siap mencabik-cabik siapa pun yang menghalanginya. “Gaby, cepat telepon polisi dan ambulance!” seru sang pria, menyadarkan istrinya dari keterkejutan. Setelah mengerjap, Gabriella pun meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Dengan tangan yang gemetar, ia menghubungi nomor darurat. Selagi wanita itu menjalankan tugas, Sharp Knife menyerbu masuk bersama anak buahnya. Setelah mendesah berat, ia mengayunkan telunjuk. Tanpa membutuhkan perintah suara, dua orang bergegas mengambil alih posisi Mia dan Max. “Lihatlah! Betapa pengecutnya kalian! Melawan satu orang secara keroyokan,” seru wanita yang mulai pucat dan berkeringat itu. Alih-alih terpancing emosi, Sharp Knife ma
“Maafkan aku, Mia,” desah Julian kepada gadis bergaun merah yang berjalan di sisinya. Alih-alih tersenyum, sang sekretaris malah mendengus ringan. “Berhentilah meminta maaf, Julian. Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa,” balas gadis itu sambil menggosok-gosok punggung tangan yang membungkus jemarinya. “Aku merasa jahat telah membiarkanmu sendirian menghadapi penjahat itu,” gumam sang pria, masih belum mengurai kekusutan alisnya. “Kau belum bangun saat penjahat itu menyerang. Jadi, berhentilah menyalahkan diri sendiri. Lagipula, aku yakin, kalau kau bersamaku, kau pasti melindungiku,” tutur sang gadis sembari menaikkan sudut bibir. Melihat senyum semanis itu, hati Julian menjadi sedikit lebih lapang. “Kau tahu? Aku sangat bangga padamu.” “Ya. Aku sudah mendengar kalimat itu belasan kali hari ini,” timpal Mia sambil menaikkan alis singkat. “Sekarang, mari kita bergegas! Orang-orang pasti sudah mempertanyakan keberadaan kita,” desak gadis itu se
“Apakah kau sedih karena diabaikan oleh Pangeran Kecil?” ledek Julian sebelum menempelkan telapak tangannya di balik punggung sang kekasih, mengisyaratkan gadis itu untuk berjalan mengikutinya. “Sedikit. Dia lebih memilih kue dibandingkan diriku,” gurau Mia sebelum berhenti di hadapan pria yang baru saja beranjak dari sofa. “Apakah kalian akan tetap berpesta meskipun aku belum kembali?” tanya Sebastian dengan senyum miringnya yang khas. Sambil mendenguskan tawa, Julian mengulurkan tangan. “Anggap saja ini pesta penyambutan untukmu juga,” jawabnya sembari menyentak tangan yang mencengkeramnya erat. “Oh, pesta ini multifungsi rupanya,” timpal sang sepupu seraya mengalihkan pandangan menuju keramaian di sekeliling kue. Keponakannya masih menjadi pusat perhatian di sana. “Ya,” sahut Julian sebelum menyurutkan keceriaan dan menggantinya dengan keseriusan. “Jadi, bagaimana lukamu? Apakah sudah membaik?” Seraya melirik ke lengan kirinya, Seba
Selagi sang peramal mengasapi bola kristal, Mia melirik ke arah pria yang duduk di sampingnya. Begitu tatapan mereka bertemu, ia dan Julian kompak mengerutkan alis. Mereka seolah berbincang lewat telepati. Selang keheningan sesaat, pria itu akhirnya meraih jemari sang gadis. Sembari mengelus punggung tangan yang dingin itu, ia mengangguk-angguk. “Tidak apa-apa,” ucapnya hanya dengan gerak mulut, tanpa suara. Setelah membuat satu gerakan yang sama, Mia kembali menatap meja bertaplak hitam di hadapannya. Lilin yang menyala di setiap sudut, menambah kesan mistis dalam ruangan itu. “Bola kristal sudah siap, Nona,” ujar sang peramal, membuat Mia tersentak. Dengan alis terangkat maksimal, gadis itu menahan napas. “Sekarang, gosok tangan Anda lalu letakkan di sisi kanan dan kiri bola ini.” Dengan gerak kaku, sang sekretaris menuruti arahan. Tanpa bertanya, ia menempatkan tangannya datar dengan meja. “Bukan begitu, Nona, tapi seperti ini,” tutur sang
“Julian, apakah ada sesuatu yang sangat ingin kau lakukan bersamaku?” tanya Mia ketika sang kekasih mengantarnya menuju kamar. “Aku ...?” balas sang pria seraya melirik dengan tatapan penuh tanya. “Aku ingin melakukan semuanya denganmu, Mia. Setiap momen dalam hidup hanya akan terasa menyenangkan jika dilewati bersamamu.” Mendapat jawaban yang tak diharapkan, sang gadis pun mendenguskan senyum. “Bukan itu, Julian. Maksudku, sesuatu yang paling ingin kau lakukan. Hal yang berada di daftar teratas dari semua itu.” Dari bawah alis yang berkerut, Julian mengamati gerak kakinya. “Saat ini, aku paling ingin melihatmu berjalan ke arahku dengan mengenakan gaun pengantin. Kita akan mengucapkan sumpah yang sesungguhnya, lalu saling memakaikan cincin di jari pasangan masing-masing. Itulah yang kuinginkan saat ini.” Alih-alih merasa puas, Mia kembali menggeleng. “Pasti ada hal selain itu. Bagaimana dengan setelah menikah? Apa yang paling kau inginkan dariku?”
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb