“Maaf, Tuan. Keahlian apa yang Anda miliki sehingga Anda dijuluki ‘Sharp Knife’? Apa yang Anda maksud dengan memegang pisau?” tanya Mia takut-takut.
“Apakah kau pernah mendengar lempar pisau?” tanya pria berjubah itu seraya melirik sekilas.
Setelah memeriksa ingatan, sang gadis malah balik bertanya. “Apa itu?”
“Banyak orang yang menyebutnya sebagai salah satu bentuk olahraga. Tapi, bagiku, itu merupakan seni yang sangat indah.”
Mendapat jawaban tersirat semacam itu, Mia mendesah samar. “Apakah itu sulit?”
“Kenapa, Mia? Apakah kau tertarik mempelajarinya?” selidik Julian dengan sebelah alis terangkat heran.
“Ya,” sahut sang gadis dengan mata berbinar. “Bukankah akan lebih baik jika kita meningkatkan kemampuan membela diri?”
“Tentu saja,” sela Sharp Knife sebelum mendengus ringan. “Kalau begitu, bagaimana kalau besok kita mulai berlatih?”
Mendapat sambutan hangat dari sang master, Mia sontak meninggikan leher. “Apakah And
“Kenapa kau belum berangkat kerja?” tanya Max ketika melihat sang kakak duduk di kursi samping. “Aku ingin melihat Mia berlatih dulu,” jawab Julian sembari meruncingkan telunjuk ke arah sang kekasih. “Lagipula, Papa memberiku waktu satu hari untuk beristirahat sebelum kembali ke bangku CEO. Kau sendiri kenapa belum berangkat?” Mendapat pertanyaan balasan, Max sontak mendengus. “Apakah kau lupa? Aku hanya perlu naik ke lantai atas untuk menemukan ruang kerjaku,” sahut pria itu sambil menggeleng samar. Ia sungguh tidak habis pikir dengan kebodohan kakaknya. “Ya, aku juga tahu tentang itu. Maksudku, kenapa kau sekarang berada di sini? Bukan di ruangan itu?” timpal Julian ketus. “Sama denganmu. Aku juga ingin menyaksikan pujaan hatiku berlatih lempar pisau,” jawab Max sambil menahan sudut bibir agar tidak terangkat terlalu tinggi. Ia tak ingin sang kakak tahu bahwa dirinya masih merasa senang setiap berhasil memancing kekesalan. Tak ingin emosinya
Melihat sang kekasih masih berdiri di hadapan papan target, Julian pun menghela napas samar. Setelah menghapus rasa iba dari wajahnya, pria itu berjalan menghampiri gadis yang baru saja melempar pisau menembus cahaya lampu taman. “Apakah kau tidak lelah?” Dalam sekejap, Mia berbalik dengan mata bulat. “Julian? Kau baru pulang?” Dengan lengkung bibir tipis, sang pria membelai rambut kekasihnya yang basah oleh keringat. “Gabriella bilang, latihan kalian sudah berakhir dua jam yang lalu. Tapi, kenapa kau masih di sini?” “Dua jam?” desah Mia sambil menarik pelupuk lebih tinggi. “Kau berlatih terlalu keras sampai lupa waktu, hm?” timpal Julian seraya mengangkat alis samar. Sembari meringis, sang gadis menggeleng. “Aku tidak tahu kalau sudah berlatih selama ini,” ujarnya di sela helaan napas. “Lalu, kau sendiri ... kenapa baru pulang sekarang? Bukankah kau bilang hanya ingin meninjau satu dokumen lagi? Kau seharusnya mengajakku lembur kalau
“Max,” desah Gabriella sembari menutup pintu rapat-rapat. Sedetik kemudian, ia bergegas menghampiri suaminya yang berbaring miring di atas tempat tidur. “Kau tahu apa yang baru saja kulihat?” Mendeteksi kehebohan dalam bisikan sang istri, Max terpaksa berhenti menatap wajah lucu Cayden yang terlelap. “Apa?” tanyanya sembari menoleh dan menegakkan badan. “Julian baru saja mengajak Mia masuk ke kamarnya.” Dalam sekejap, mata sang pria terbuka lebih lebar. “Kau yakin?” “Ya, mereka tampak jelas sedang menyelinap,” angguk Gabriella dengan lengkung alis yang tak kalah tinggi. Mendapat konfirmasi yang seyakin itu, udara sontak berembus cepat dari mulut Max. “Kenapa mereka bertindak seperti remaja? Ck, padahal ... aku sudah mengingatkan Julian tentang hal ini. Bisa gawat jika Bibi tahu,” gumam pria itu seraya berkedip-kedip mempertimbangkan situasi. “Haruskah kita menelepon mereka?” tanya sang wanita, mengajukan usul. “Tidak,” geleng M
Tanpa berpikir lebih lama, Mia membungkus pinggang kekasihnya dengan handuk yang tersedia. “Sekarang, pakailah ini dan hadapi mereka. Aku bisa bersembunyi di belakang pintu,” usul gadis itu disertai anggukan. “Tapi—“ “Cepatlah! Jangan membuat emosi mereka semakin panas,” desak Mia sembari mendorong tubuh kekasihnya. Sambil menelan ludah, Julian pun mendekat ke arah pintu. Dengan tangan gemetar dan hati berdebar, ia memutar kunci. Sedetik kemudian, pintu langsung didorong dari luar. Namun, selang beberapa saat, tidak seorang pun melangkah ke dalam. “Apa yang kau tunggu? Cepat keluar!” Mendengar suara yang tidak terduga, Julian sontak bertatapan dengan Mia. Kekhawatiran mereka ternyata sudah berlebihan. “Cepat keluar atau aku yang masuk!” “Baiklah, baiklah,” gerutu Julian sebelum berdecak dan berjalan meninggalkan kekasihnya yang tetap harus berlindung di balik pintu. “Apa yang kau lakukan di dalam?” selidik Max yang tela
Begitu menuruni tangga, Gabriella langsung tersenyum semringah. Pelayan termuda mereka tampak sangat rajin membersihkan rak dengan lapnya. “Selamat pagi, Lena,” sapa wanita itu ringan sambil terus berjalan menuju dapur. Akan tetapi, selang beberapa langkah, tidak ada jawaban yang terdengar. Gabriella pun terpaksa membekukan kaki untuk mempertajam pendengaran. “Selamat pagi, Lena,” ulangnya dengan volume suara yang lebih besar. Alih-alih menyahut, gadis berseragam yang sedang membelakanginya itu malah menyentuh telinga. Dalam sekejap, mulut sang nyonya membulat. “Oh, dia pasti sedang mendengar musik lewat earphone,” gumam Gabriella sembari mengangguk kecil. Sedetik kemudian, ia melanjutkan langkah menuju dapur. Tepat sebelum wanita itu tiba di ambang pintu, suara Minnie mengudara. “Apakah kalian melihat Mia?” Lagi-lagi, kaki sang nyonya berhenti bergerak. Dengan mata bulat dan kedipan kaku, ia menyimak obrolan para pela
Selang beberapa saat, Max akhirnya berhasil merampas senjata. Setelah memasang tuas pengaman dan mengantongi pistol, ia membantu Mia menahan tangan yang terus memberontak. “Lepaskan! Dasar pengecut!” bentak wanita bengis itu. Meski sudah tak berdaya, sorot matanya tampak siap mencabik-cabik siapa pun yang menghalanginya. “Gaby, cepat telepon polisi dan ambulance!” seru sang pria, menyadarkan istrinya dari keterkejutan. Setelah mengerjap, Gabriella pun meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Dengan tangan yang gemetar, ia menghubungi nomor darurat. Selagi wanita itu menjalankan tugas, Sharp Knife menyerbu masuk bersama anak buahnya. Setelah mendesah berat, ia mengayunkan telunjuk. Tanpa membutuhkan perintah suara, dua orang bergegas mengambil alih posisi Mia dan Max. “Lihatlah! Betapa pengecutnya kalian! Melawan satu orang secara keroyokan,” seru wanita yang mulai pucat dan berkeringat itu. Alih-alih terpancing emosi, Sharp Knife ma
“Maafkan aku, Mia,” desah Julian kepada gadis bergaun merah yang berjalan di sisinya. Alih-alih tersenyum, sang sekretaris malah mendengus ringan. “Berhentilah meminta maaf, Julian. Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa,” balas gadis itu sambil menggosok-gosok punggung tangan yang membungkus jemarinya. “Aku merasa jahat telah membiarkanmu sendirian menghadapi penjahat itu,” gumam sang pria, masih belum mengurai kekusutan alisnya. “Kau belum bangun saat penjahat itu menyerang. Jadi, berhentilah menyalahkan diri sendiri. Lagipula, aku yakin, kalau kau bersamaku, kau pasti melindungiku,” tutur sang gadis sembari menaikkan sudut bibir. Melihat senyum semanis itu, hati Julian menjadi sedikit lebih lapang. “Kau tahu? Aku sangat bangga padamu.” “Ya. Aku sudah mendengar kalimat itu belasan kali hari ini,” timpal Mia sambil menaikkan alis singkat. “Sekarang, mari kita bergegas! Orang-orang pasti sudah mempertanyakan keberadaan kita,” desak gadis itu se
“Apakah kau sedih karena diabaikan oleh Pangeran Kecil?” ledek Julian sebelum menempelkan telapak tangannya di balik punggung sang kekasih, mengisyaratkan gadis itu untuk berjalan mengikutinya. “Sedikit. Dia lebih memilih kue dibandingkan diriku,” gurau Mia sebelum berhenti di hadapan pria yang baru saja beranjak dari sofa. “Apakah kalian akan tetap berpesta meskipun aku belum kembali?” tanya Sebastian dengan senyum miringnya yang khas. Sambil mendenguskan tawa, Julian mengulurkan tangan. “Anggap saja ini pesta penyambutan untukmu juga,” jawabnya sembari menyentak tangan yang mencengkeramnya erat. “Oh, pesta ini multifungsi rupanya,” timpal sang sepupu seraya mengalihkan pandangan menuju keramaian di sekeliling kue. Keponakannya masih menjadi pusat perhatian di sana. “Ya,” sahut Julian sebelum menyurutkan keceriaan dan menggantinya dengan keseriusan. “Jadi, bagaimana lukamu? Apakah sudah membaik?” Seraya melirik ke lengan kirinya, Seba