“Cayden!” seru Max saat baru membuka pintu kamar. Bayi yang hampir terlelap seketika tersentak dan menoleh ke arah ayahnya.
“Kenapa kau berteriak begitu?” tegur Gabriella seraya meringis. “Padahal, aku hampir berhasil menidurkannya.”
Merasa bersalah, sang pria tersenyum kecil. “Maaf. Aku tidak sabar ingin menunjukkan ini kepadanya. Tada!”
Begitu melihat sekotak es krim di tangan sang ayah, Pangeran Kecil langsung meronta-ronta, mencoba bangkit dari dekapan ibunya.
“Lihatlah! Sekarang, dia tidak akan tidur. Kenapa tidak nanti saja, Max? Lagipula, ini bukan waktu yang tepat untuk Cayden menikmati es krim.”
“Tidak apa-apa, Gaby. Dia baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Tidak ada salahnya memanjakan Cayden hari ini,” ujar Max seraya duduk di tepi ranjang.
Tanpa menunggu perintah, sang bayi merangkak ke pangkuan ayahnya.
Ketika Max menempelkan tangan Pangeran Kecil ke penutup kotak, tawa ceria sontak terdengar. Cayden terl
Mia dan Julian kebingungan melihat wajah panik semua pelayan. Wanita-wanita itu sibuk mencari dan mengekspresikan kekhawatiran. “Apa yang terjadi?” tanya Mia setelah berhasil mencegat salah satu wanita berseragam. “Tuan Muda hilang lagi, Nona.” Dalam sekejap, Julian dan Mia kompak terbelalak. “Hilang lagi? Bukankah dia sedang di rumah?” selidik sang pria dengan alis masih melengkung tinggi. “Ya, Tuan. Terakhir, Tuan Muda masih berada di kamarnya. Lalu tiba-tiba saja, dia menghilang.” Mendengar penjelasan yang terkesan mustahil, Julian pun menatap sekretarisnya. Setelah mendapati kecurigaan yang sama, ia kembali menoleh ke arah pelayan. “Di mana Max dan Gabriella sekarang?” Telunjuk sang pelayan seketika meruncing. “Di lantai atas, Tuan.” “Baiklah, terima kasih.” Tanpa membuang waktu, Julian dan Mia menderapkan langkah menuju tangga. “Bukankah ini aneh?” desah sang pria yang dijawab oleh anggukan sa
Halo, Wise Reader ... Terima kasih telah mengikuti cerita Max Gaby, dan juga Pangeran Kecil. Pixie sangat berharap pembaca dapat terhibur dan mengambil pelajaran dari cerita ini. Hari ini, Pixie ingin berbagi tentang ide awal ketika menulis kisah Max dan Gaby. Dulu, sewaktu masih jadi anak rantauan, Pixie tinggal di sebuah rumah kos. Tempatnya nyaman, sampai Pixie betah selama 7 tahun di sana. Waktu itu, ketika lagi cinta-cintanya sama kosan, tiba-tiba, ada sebuah perusahaan ingin membeli rumah itu dengan harga tinggi. Mereka ingin meratakan rumah itu untuk dijadikan lahan bisnis. Rasanya sedih sekali ketika tahu tentang kabar tersebut. Beruntung, pemilik kosan Pixie orangnya teguh pendirian. Beliau tidak mau melepas rumah kosan yang sudah puluhan tahun menampung banyak mahasiswa. Meskipun harga penawaran sudah dinaikkan, beliau tetap menolak tawaran. Padahal, pemilik kosan
“Mia, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu?” ucap Julian sukses membuat sang sekretaris menghentikan langkah. Dua detik kemudian, gadis yang semula berjalan menuju pintu itu, berbalik menghadapnya.“Ada apa, Tuan?”Sambil menyempalkan tangan ke dalam saku, sang CEO mengitari meja kerja dan berhenti tepat di hadapan sekretarisnya.“Max, kau, dan aku tumbuh bersama sejak kecil. Dengan kata lain, kau pasti sudah sangat mengenal kami,” ujarnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Baru kali ini Mia mendapati raut semacam itu. “Menurutmu, adikku itu orang yang seperti apa?”Mendapat pertanyaan yang terkesan konyol, sang sekretaris hampir saja mengerutkan alis. Namun, demi menghargai bosnya, ia terpaksa mempertahankan tampang datar.“Tuan Max orang yang cerdas dan penuh perhatian. Meskipun dia tegas dan ambisius, dia tetap bisa menempatkan keluarga sebagai prioritasnya. Tipikal pria idaman banyak wa
Ketika keluar dari ruangan, mata Julian otomatis terbuka lebar. Untuk pertama kalinya, ia tidak menemukan sang sekretaris di meja kerja.“Apakah Mia sudah pulang? Kenapa dia tidak menungguku?” gumam pria itu sambil memeriksa kolong meja. Sesuai dugaan, tidak ada satu pun tas yang tergantung di sana. “Mia benar-benar meninggalkanku?”Selang perenungan singkat, Julian terkesiap. Sesuatu telah melintas dalam benaknya. Tanpa membuang waktu, ia berjalan cepat, berusaha untuk menemukan sang sekretaris.“Mia sudah terbiasa menghadapi ledakan emosiku. Tidak mungkin dia marah,” gumam sang pria, menyangkal pemikiran sendiri. Ia tidak bisa membayangkan jika kesabaran sang gadis tidak bersisa. Bagaimana cara mendapatkan hati Mia jika gadis itu tidak lagi mau mendengarkan kata-katanya?Tepat ketika Julian berbelok, matanya menangkap bayangan sang sekretaris. Gadis itu baru saja memasuki lift.“Mia!” panggil sang C
“Apakah kau tidak pernah sedikit pun mencintaiku?” tanya Julian dengan nada rendah dan penuh penekanan. Sembari mengepalkan tangan, Mia memaksakan kepalanya yang kaku untuk bergerak. “Ya, saya tidak pernah mencintai Anda, Tuan.” “Omong kosong!” hardik sang pria sukses membuat sang gadis menahan napas. “Kau jelas menyimpan perasaan yang sama denganku, Mia. Beberapa kali, aku melihatnya di matamu. Tapi kenapa kau selalu saja menyangkal?” “Itu hanya imajinasi Anda, Tuan. Saya tidak pernah memiliki perasaan semacam itu. Hubungan kita hanya sebatas anak buah dan atasan.” “Bohong!” Sedetik kemudian, Julian mencengkeram kepala dan meringis. “Kalau kau tidak pernah mencintaiku, lalu kenapa kau selalu setia berada di sisiku?” erangnya lirih. “Karena saya berutang budi pada keluarga Evans. Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu Anda dalam segala kesulitan.” Mendengar alasan semacam itu, sang pria menggeleng dan mendesah. “Tidak mung
Selang beberapa saat, Gabriella mengangguk-angguk. “Ya. Anggap saja tantangan itu sebagai tiket untuk mendapatkan hati Mia. Semakin besar tantangan yang berhasil kau taklukkan, semakin mudah dirimu mendekatinya.” “Tapi, bagaimana jika dia menolak untuk memberiku tantangan?” timpal sang pria dengan nada ragu. “Kenapa kau takut sekali dengan risiko, Julian? Jangan pesimis kalau belum mencoba.” Mendengar ucapan spontan sang adik ipar, pria itu seketika teringat tentang perdebatan dengan Nona Sekretaris. Seiring dengan bangkitnya kesadaran, udara dalam paru-paru Julian mulai bergemuruh. “Benar. Terlepas dari jujur atau tidaknya omongan itu, aku tetap perlu memperbaiki diri. Aku harus bisa menjadi pria yang berani.” Mendengar keseriusan dalam ucapan si kakak ipar, sudut bibir Gabriella sontak melengkung naik. “Bagus! Jagalah semangat itu! Sekarang, karena kau telah menemukan solusi, silakan bermain dengan keponakanmu. Bersantailah dan lepas
“Jadi, tantangan apa yang sudah kau siapkan untukku, Mia?” tanya Julian dengan mata berbinar-binar. Sudut bibir pria itu telah terangkat setinggi semangatnya.“Ini masih jam kerja, Tuan. Tidak bisakah Anda menunggu sampai waktunya pulang? Saya tidak ingin memengaruhi kinerja CEO Quebracha.”“Memengaruhi bagaimana?” selidik Julian dengan alis yang sedikit berkerut.Senyum misterius seketika menghiasi wajah sang sekretaris. “Saya rasa, tantangan itu akan menghantui pikiran Anda seharian. Saya tidak mau Anda terbebani oleh hal itu dan kehilangan fokus.”Sedetik kemudian, sang pria mendesah tak percaya. “Apakah kau sedang meremehkanku? Tenang saja, aku tidak akan terpengaruh. Lagipula, hari ini sudah tidak ada pertemuan yang harus kita hadiri. Jadi, kau bisa mengatakannya sekarang,” angguk Julian yakin.“Begitukah?”Sekali lagi, sang pria mengangguk.“Baiklah,&r
“Kenapa terkejut seperti itu? Apakah kedatanganku tidak diharapkan?” tanya Herbert, sukses membuat Gabriella beranjak. Dengan sigap, wanita itu menarik kursi di sampingnya untuk sang mertua.“Kami justru senang karena Papa datang. Lihatlah, Cayden bahkan mengabaikan buburnya,” ujar Gabriella sembari tersenyum ke arah bayi yang melonjak-lonjak kesenangan. Tawa Pangeran Kecil semakin kencang saat sang kakek membelai kepalanya.“Seharusnya Papa memberi kabar kalau mau datang kemari. Kita bisa makan malam bersama,” celetuk Max sembari memberi sinyal kepada pelayan untuk menyiapkan piring tambahan.Sambil duduk di kursi yang disediakan, Herbert terkekeh. “Tidak perlu, Max. Aku memiliki janji makan malam setelah ini. Hanya mampir sebentar untuk melihat Cayden,” terang pria tua itu sebelum mencondongkan badan, membalas tatapan bayi yang mengintipnya dari balik tubuh sang ibu. “Jadi, apa yang sedang kalian bahas?&rdq