Mia dan Julian kebingungan melihat wajah panik semua pelayan. Wanita-wanita itu sibuk mencari dan mengekspresikan kekhawatiran.
“Apa yang terjadi?” tanya Mia setelah berhasil mencegat salah satu wanita berseragam.
“Tuan Muda hilang lagi, Nona.”
Dalam sekejap, Julian dan Mia kompak terbelalak.
“Hilang lagi? Bukankah dia sedang di rumah?” selidik sang pria dengan alis masih melengkung tinggi.
“Ya, Tuan. Terakhir, Tuan Muda masih berada di kamarnya. Lalu tiba-tiba saja, dia menghilang.”
Mendengar penjelasan yang terkesan mustahil, Julian pun menatap sekretarisnya. Setelah mendapati kecurigaan yang sama, ia kembali menoleh ke arah pelayan. “Di mana Max dan Gabriella sekarang?”
Telunjuk sang pelayan seketika meruncing. “Di lantai atas, Tuan.”
“Baiklah, terima kasih.”
Tanpa membuang waktu, Julian dan Mia menderapkan langkah menuju tangga.
“Bukankah ini aneh?” desah sang pria yang dijawab oleh anggukan sa
Halo, Wise Reader ... Terima kasih telah mengikuti cerita Max Gaby, dan juga Pangeran Kecil. Pixie sangat berharap pembaca dapat terhibur dan mengambil pelajaran dari cerita ini. Hari ini, Pixie ingin berbagi tentang ide awal ketika menulis kisah Max dan Gaby. Dulu, sewaktu masih jadi anak rantauan, Pixie tinggal di sebuah rumah kos. Tempatnya nyaman, sampai Pixie betah selama 7 tahun di sana. Waktu itu, ketika lagi cinta-cintanya sama kosan, tiba-tiba, ada sebuah perusahaan ingin membeli rumah itu dengan harga tinggi. Mereka ingin meratakan rumah itu untuk dijadikan lahan bisnis. Rasanya sedih sekali ketika tahu tentang kabar tersebut. Beruntung, pemilik kosan Pixie orangnya teguh pendirian. Beliau tidak mau melepas rumah kosan yang sudah puluhan tahun menampung banyak mahasiswa. Meskipun harga penawaran sudah dinaikkan, beliau tetap menolak tawaran. Padahal, pemilik kosan
“Mia, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu?” ucap Julian sukses membuat sang sekretaris menghentikan langkah. Dua detik kemudian, gadis yang semula berjalan menuju pintu itu, berbalik menghadapnya.“Ada apa, Tuan?”Sambil menyempalkan tangan ke dalam saku, sang CEO mengitari meja kerja dan berhenti tepat di hadapan sekretarisnya.“Max, kau, dan aku tumbuh bersama sejak kecil. Dengan kata lain, kau pasti sudah sangat mengenal kami,” ujarnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Baru kali ini Mia mendapati raut semacam itu. “Menurutmu, adikku itu orang yang seperti apa?”Mendapat pertanyaan yang terkesan konyol, sang sekretaris hampir saja mengerutkan alis. Namun, demi menghargai bosnya, ia terpaksa mempertahankan tampang datar.“Tuan Max orang yang cerdas dan penuh perhatian. Meskipun dia tegas dan ambisius, dia tetap bisa menempatkan keluarga sebagai prioritasnya. Tipikal pria idaman banyak wa
Ketika keluar dari ruangan, mata Julian otomatis terbuka lebar. Untuk pertama kalinya, ia tidak menemukan sang sekretaris di meja kerja.“Apakah Mia sudah pulang? Kenapa dia tidak menungguku?” gumam pria itu sambil memeriksa kolong meja. Sesuai dugaan, tidak ada satu pun tas yang tergantung di sana. “Mia benar-benar meninggalkanku?”Selang perenungan singkat, Julian terkesiap. Sesuatu telah melintas dalam benaknya. Tanpa membuang waktu, ia berjalan cepat, berusaha untuk menemukan sang sekretaris.“Mia sudah terbiasa menghadapi ledakan emosiku. Tidak mungkin dia marah,” gumam sang pria, menyangkal pemikiran sendiri. Ia tidak bisa membayangkan jika kesabaran sang gadis tidak bersisa. Bagaimana cara mendapatkan hati Mia jika gadis itu tidak lagi mau mendengarkan kata-katanya?Tepat ketika Julian berbelok, matanya menangkap bayangan sang sekretaris. Gadis itu baru saja memasuki lift.“Mia!” panggil sang C
“Apakah kau tidak pernah sedikit pun mencintaiku?” tanya Julian dengan nada rendah dan penuh penekanan. Sembari mengepalkan tangan, Mia memaksakan kepalanya yang kaku untuk bergerak. “Ya, saya tidak pernah mencintai Anda, Tuan.” “Omong kosong!” hardik sang pria sukses membuat sang gadis menahan napas. “Kau jelas menyimpan perasaan yang sama denganku, Mia. Beberapa kali, aku melihatnya di matamu. Tapi kenapa kau selalu saja menyangkal?” “Itu hanya imajinasi Anda, Tuan. Saya tidak pernah memiliki perasaan semacam itu. Hubungan kita hanya sebatas anak buah dan atasan.” “Bohong!” Sedetik kemudian, Julian mencengkeram kepala dan meringis. “Kalau kau tidak pernah mencintaiku, lalu kenapa kau selalu setia berada di sisiku?” erangnya lirih. “Karena saya berutang budi pada keluarga Evans. Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu Anda dalam segala kesulitan.” Mendengar alasan semacam itu, sang pria menggeleng dan mendesah. “Tidak mung
Selang beberapa saat, Gabriella mengangguk-angguk. “Ya. Anggap saja tantangan itu sebagai tiket untuk mendapatkan hati Mia. Semakin besar tantangan yang berhasil kau taklukkan, semakin mudah dirimu mendekatinya.” “Tapi, bagaimana jika dia menolak untuk memberiku tantangan?” timpal sang pria dengan nada ragu. “Kenapa kau takut sekali dengan risiko, Julian? Jangan pesimis kalau belum mencoba.” Mendengar ucapan spontan sang adik ipar, pria itu seketika teringat tentang perdebatan dengan Nona Sekretaris. Seiring dengan bangkitnya kesadaran, udara dalam paru-paru Julian mulai bergemuruh. “Benar. Terlepas dari jujur atau tidaknya omongan itu, aku tetap perlu memperbaiki diri. Aku harus bisa menjadi pria yang berani.” Mendengar keseriusan dalam ucapan si kakak ipar, sudut bibir Gabriella sontak melengkung naik. “Bagus! Jagalah semangat itu! Sekarang, karena kau telah menemukan solusi, silakan bermain dengan keponakanmu. Bersantailah dan lepas
“Jadi, tantangan apa yang sudah kau siapkan untukku, Mia?” tanya Julian dengan mata berbinar-binar. Sudut bibir pria itu telah terangkat setinggi semangatnya.“Ini masih jam kerja, Tuan. Tidak bisakah Anda menunggu sampai waktunya pulang? Saya tidak ingin memengaruhi kinerja CEO Quebracha.”“Memengaruhi bagaimana?” selidik Julian dengan alis yang sedikit berkerut.Senyum misterius seketika menghiasi wajah sang sekretaris. “Saya rasa, tantangan itu akan menghantui pikiran Anda seharian. Saya tidak mau Anda terbebani oleh hal itu dan kehilangan fokus.”Sedetik kemudian, sang pria mendesah tak percaya. “Apakah kau sedang meremehkanku? Tenang saja, aku tidak akan terpengaruh. Lagipula, hari ini sudah tidak ada pertemuan yang harus kita hadiri. Jadi, kau bisa mengatakannya sekarang,” angguk Julian yakin.“Begitukah?”Sekali lagi, sang pria mengangguk.“Baiklah,&r
“Kenapa terkejut seperti itu? Apakah kedatanganku tidak diharapkan?” tanya Herbert, sukses membuat Gabriella beranjak. Dengan sigap, wanita itu menarik kursi di sampingnya untuk sang mertua.“Kami justru senang karena Papa datang. Lihatlah, Cayden bahkan mengabaikan buburnya,” ujar Gabriella sembari tersenyum ke arah bayi yang melonjak-lonjak kesenangan. Tawa Pangeran Kecil semakin kencang saat sang kakek membelai kepalanya.“Seharusnya Papa memberi kabar kalau mau datang kemari. Kita bisa makan malam bersama,” celetuk Max sembari memberi sinyal kepada pelayan untuk menyiapkan piring tambahan.Sambil duduk di kursi yang disediakan, Herbert terkekeh. “Tidak perlu, Max. Aku memiliki janji makan malam setelah ini. Hanya mampir sebentar untuk melihat Cayden,” terang pria tua itu sebelum mencondongkan badan, membalas tatapan bayi yang mengintipnya dari balik tubuh sang ibu. “Jadi, apa yang sedang kalian bahas?&rdq
“Kalau Anda tidak bisa menuruni tangga, berarti Anda harus melompat, Tuan,” ujar sang instruktur dengan lengkung bibir yang kaku. Ia takut jika Julian merasa tersinggung dan marah.Mengakui kebenaran dari ucapan itu, tiba-tiba saja, Julian mencengkeram lengan sang petugas. “Apakah ada yang pernah mati ketika melompat dari sini?” tanyanya tanpa intonasi.Bibir si pria berseragam seketika terancam melepaskan tawa. Sebisa mungkin, ia menahan kegelian dalam hatinya. “Tidak ada, Tuan. Fasilitas dan perlengkapan di sini sudah dipastikan aman.”“Bukan itu, tapi serangan jantung. Apakah ada kasus seseorang tewas karena terlalu takut saat melompat?” desah Julian sembari memegangi dada yang serasa dipukul-pukul oleh palu.“Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada, Tuan,” sahut sang instruktur dengan anggukan meyakinkan.Sekali lagi, Julian memandang ke arah. Orang-orang yang menanti pendaratannya kini
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb