Home / Romansa / Cinta CEO dalam Jebakan / 85. Perlakuan Herbert

Share

85. Perlakuan Herbert

Author: Pixie
last update Last Updated: 2021-08-03 17:00:15

Napas Max seketika tertahan. Pernyataan sang ayah yang terdengar sangat yakin itu telah memperdalam kerutan alisnya. “Apa maksud Papa?”

Dengan santai, Herbert duduk di sofa dan meletakkan setumpuk dokumen di atas meja. Alih-alih memberikan jawaban, pria tua itu malah membuka lembaran kertas yang paling atas.

“Ternyata, hari ini adalah hari ulang tahunnya? Kasihan sekali,” gumamnya sukses mencuri perhatian si putra bungsu. “Ayahnya bernama Tomy dan ibunya Brenda. Ck, aku masih penasaran mengapa mereka tidak memiliki nama belakang.”

“Kenapa Papa memiliki dokumen tentang Gabriella?” sela Max dengan tangan terkepal. Kecurigaan yang sempat tenggelam telah kembali ke permukaan.

Dengan alis yang sedikit terangkat, Herbert membalas tatapan sang CEO. “Istrimu? Kau masih menganggap perempuan yang telah meninggalkanmu sebagai istri? Sungguh luar biasa.”

“Jaga omongan Papa. Gabriella tidak pernah meninggalkanku,” sahut Max tanpa menurunkan nada suara.

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Cinta CEO dalam Jebakan   86. Pilihan Max

    Mendapat pertanyaan menguji itu, Max sontak menegakkan wajah. Rahangnya yang berdenyut-denyut tampak lebih jelas, begitu juga dengan sorot mata yang murka. “Apakah sejak dulu, kau memiliki sikap seburuk ini?” ucapnya lambat dan penuh penekanan. Mendengar kata-kata yang tak terduga itu, mata Herbert sedikit melebar. “Apa yang kau bicarakan?” Dengus remeh spontan terlepas dari mulut sang CEO. “Jika sejak dulu kau memang memiliki sifat egois dan akal selicik ini, tidak heran jika Mama berselingkuh darimu.” Hanya dalam hitungan detik, si pria tua telah berdiri dengan kedua tangan terkepal erat. “Jaga bicaramu! Untuk apa kau membenarkan perbuatan hina perempuan licik itu?” Sekali lagi, sudut bibir Max berkedut miris. “Lantas, apakah perbuatan hinamu ini bisa dibenarkan?” Sedetik kemudian, sang CEO melangkah maju dan meluruskan kembali lembaran foto yang telah kusut. “Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa aku ini cerdas?” Usai berta

    Last Updated : 2021-08-04
  • Cinta CEO dalam Jebakan   87. Kerinduan

    Dengan pandangan berputar dan telinga berdenging, Max mencoba meraih Snowy. Setelah berhasil mendapatkan boneka beruang putih itu, ia keluar dari mobil yang dipenuhi balon kempis. “Tuan, apakah Anda tidak apa-apa?” tanya seseorang yang tidak dihiraukan oleh Max. Pria itu terus berjalan sempoyongan sambil mengucapkan nama sang istri. Tidak ada darah yang terlihat. Namun, semua orang khawatir dengan wajah pucatnya. “Tuan? Bagaimana kalau kita ke rumah sakit?” Max menoleh ke arah wanita yang berdiri tidak jauh darinya itu. Alih-alih menjawab, ia malah berbisik, “Gabriella?” Selang dua detik, pria itu jatuh membentur aspal. Pekik histeris langsung terdengar dari orang-orang yang mengelilinginya. “Cepat panggil ambulans!” “Adakah dokter di sekitar sini?” “Bagaimana kalau kita bawa saja ke rumah sakit terdekat?” Max sama sekali tidak mengetahui kepanikan orang-orang itu. Dirinya telah terlelap dengan bayangan Gabriella sebaga

    Last Updated : 2021-08-04
  • Cinta CEO dalam Jebakan   88. Sadar

    Tepat ketika Minnie sekeluarga tiba di depan kamar Max, seorang dokter keluar dari balik pintu. Tanpa sempat memperkenalkan diri, si perempuan tua menghentikan langkah pria berjas putih itu. “Dokter, bagaimana keadaan Tuan Max?” tanya Minnie dengan mata basah dan kerutan alis yang dalam. “Apakah kalian keluarga pasien?” tanya pria itu terlihat ragu. Dengan sigap, sang pelayan menggeleng. “Kami sudah menghubungi ayah dan kakaknya. Sebentar lagi, mereka akan tiba.” Dengan kedipan ragu, sang dokter memiringkan kepala. “Maaf, kami tidak diperkenankan memberitahu kondisi pasien selain kepada orang-orang terdekat atau wali.” “Tapi kami sangat dekat dengannya, Dok. Aku sudah mengasuhnya sejak kecil,” terang Minnie sambil memukul dadanya sendiri. “Anda bisa memberitahukan kondisi adik saya kepada mereka, Dok,” sela Julian yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang. Semua mata spontan tertuju padanya. Setelah mengangguk, sang dokter akhir

    Last Updated : 2021-08-04
  • Cinta CEO dalam Jebakan   89. Menemukan Gabriella

    “Aku tidak masalah jika kau menikahiku karena kecewa dengan penolakan Max. Aku juga tidak mempermasalahkan jika tujuanmu hanya untuk membuat Max menyesal. Tapi, kalau karena perintah orang lain ...,” kata Julian sebelum menggeleng mengekspresikan perasaannya, “aku tidak bisa menerima hal itu.” Untuk pertama kalinya, Amber tidak berani membantah perkataan Julian. Ia memang tidak mencintai laki-laki itu, tidak juga menaruh perhatian. Namun, menyadari bahwa kata-katanya telah meremukkan hati pria tulus itu, rasa bersalah akhirnya terbit dalam dirinya. Selang kebekuan sesaat, pandangan Julian beralih kepada sang ayah. “Jika tujuan Papa adalah membuat putramu merasakan sakit yang luar biasa karena pengkhianatan, kurasa ... Papa telah sukses mewujudkannya.” Herbert berkedip datar melihat putra kesayangannya menitikkan air mata. Lewat pemikiran cepat, ia mengarang pembelaan, “Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Amber menerimamu bukan atas perintahku. Dia hanya mem

    Last Updated : 2021-08-05
  • Cinta CEO dalam Jebakan   90. Panik

    “Max?” desah Gabriella dengan pandangan yang mulai kabur terhalangi air mata. Tangannya yang tidak lagi menggenggam ponsel, kini bergetar hebat, sama seperti udara dalam paru-paru yang terbakar oleh kekhawatiran. Melihat gelagat aneh wanita itu, gadis yang sedang memerah sapi pun berhenti dan beranjak dari kursi kecilnya. “Ada apa, Nyonya? Apakah itu memang dari kantor pelayanan?” tanya Rose sambil menaikkan kedua alis. “Apakah saya gagal diterima di sana?” Selang beberapa saat, isak tangis akhirnya terlepas bersamaan dengan air mata. Sambil mencengkeram lengan sang gadis, Gabriella mencoba untuk tetap bernapas. “Max .... Bawa aku ke sana. Tolong ...,” pinta wanita yang tidak bisa lagi menyusun kata dengan semestinya. Otaknya telah dilumpuhkan oleh rasa takut akan kehilangan. Mendengar permintaan yang tak terduga itu, Rose sontak mengerutkan alis. “Ada apa, Nyonya? Kenapa Anda mendadak berubah pikiran?” “Tolong bawa aku ke sana!” pekik

    Last Updated : 2021-08-05
  • Cinta CEO dalam Jebakan   91. Jangan Pernah Menghilang Lagi

    “Maafkan aku, Max. Maafkan aku,” bisik Gabriella meski sempat tersedak. Matanya yang terpejam telah mengubah makna tangis. Wanita itu tidak lagi meratapi. Hati yang sempat hampa telah terisi oleh kehangatan sang suami. Sambil membelai rambut sang istri, Max menarik napas panjang. Udara berat tidak lagi membebani paru-parunya. Pria itu tidak pernah tahu bahwa sebuah pelukan bisa membebaskannya dari penderitaan. “Aku sangat merindukanmu, Gaby. Jangan pernah menghilang lagi dariku.” Selang beberapa saat, pasangan itu kembali menyatukan pandangan. Sekali lagi, sang pria mengeringkan wajah istrinya. “Sekarang, berhentilah menangis.” “Maafkan aku, Max. Kupikir, dengan kepergianku, kau bisa lebih mudah untuk melangkah. Kukira kau bisa menyelamatkan jabatan dan hidup tanpa beban. Aku tidak tahu kalau kenyataannya malah jadi seperti ini,” ucap sang wanita di antara jeda tarikan napas. “Karena itu, jangan pernah mengulangi hal bodoh seperti itu lagi. Me

    Last Updated : 2021-08-06
  • Cinta CEO dalam Jebakan   92. Kemesraan di Ranjang Rumah Sakit

    “Apakah kau marah padaku?” tanya Gabriella ketika hanya tersisa dirinya dan sang suami di dalam ruangan. “Kenapa aku harus marah? Aku tahu, kau melakukan itu karena sayang kepadaku,” timpal Max sembari menatap wanita yang duduk di sisi ranjang dengan hangat. “Tapi, kau tampak tidak memercayai omonganku,” timpal Gabriella dengan bibir mengerucut. Melihat tampang menggemaskan itu, sang pria otomatis tersenyum. “Memangnya, kenapa kau bisa berpikir begitu tentang Julian?” Bola mata Gabriella mulai berputar-putar mencari kalimat awal untuk menjelaskan. “Apakah kau tahu bahwa di rumah ayahmu, ada piano dan piala-piala ibuku?” Max spontan mengangkat alis dan berkedip datar. “Benarkah? Aku sudah lama tidak pergi ke sana.” Gabriella menjawab lewat anggukan. “Menurutmu, apakah mungkin Julian tidak curiga saat melihat barang-barang itu?” “Jika mengingat sikap pria tua yang licik itu, dia bisa saja membohongi Julian dengan mengarang alasan

    Last Updated : 2021-08-06
  • Cinta CEO dalam Jebakan   93. Menyelesaikan Masalah

    “Bisakah kalian menceritakan kronologinya? Apa yang dilakukan oleh pasien sebelum mimisan?” tanya seorang dokter sembari memasukkan senter kecilnya ke dalam saku. Max dan Gabriella sontak saling menatap. Setelah meringis kecil, sang wanita memberanikan diri untuk bicara. “Itu terjadi setelah kami melakukan ... itu.” Pria berjas putih otomatis menaikkan alis. “Maaf?” “Melakukan itu, Dok. Suami ... istri,” jawab Gabriella dengan suara pelan. Wajahnya agak tertunduk menyembunyikan pipi yang merona. Mengerti apa yang dimaksud oleh sang wanita, dokter itu mengangguk-angguk. “Sebenarnya, mimisan memang sering terjadi pada pasien gegar otak, sama seperti mual-mual. Tapi, kalau bisa dihindari, bukankah akan lebih baik? Jadi, cobalah untuk menahannya sampai pasien benar-benar pulih.” Melihat senyum tertahan di wajah sang dokter, Gabriella langsung tertunduk maksimal. Max terpaksa menahan geli melihat tingkah sang istri. “Terima kasih, Dok. Kami

    Last Updated : 2021-08-07

Latest chapter

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 20. Bahagia Selama-lamanya

    “Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 19. Ayo Kita Pulang

    “Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 18. Aku Lebih Baik Menghilang

    “Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 17. Kau Seharusnya Bersyukur

    “Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 16. Aku Akan Meminta Maaf

    Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 15. Sudah Keterlaluan

    “Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 14. Penyesalan Tuan Hunt

    “Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 13. Keputusasaan Seorang Ayah

    Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 12. Grace dan sang Kakek

    Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb

DMCA.com Protection Status