“Sejujurnya, aku mulai curiga saat pertama kali dia memanggilku Gaby. Aneh rasanya ketika seseorang yang tidak begitu akrab menyebut nama itu,” jabar Gabriella sebelum menggeleng samar. “Tapi itu hanya berdasarkan perasaanku saja.”
Mata pria yang menyimak langsung menyipit. “Apakah ada hal lain?”
Sang wanita mengangguk. “Dia terlalu sering menanyakan tentang proyek rahasiamu. Seolah-olah, ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera tahu.”
“Selain itu?”
Alis Gabriella berkerut semakin dalam. “Peneror itu berkata bahwa kami pernah bertatap muka beberapa kali. Satu-satunya pria yang memenuhi kondisi itu adalah Sebastian.”
“Bagaimana dengan Julian? Bukankah kalian juga pernah bertemu?”
“Tidak. Sebelum aku menerima telepon itu, kami hanya bertemu dua kali. Dan, aku yakin bukan dia orangnya.”
Helaan napas berembus samar dari mulut Max. “Kenap
“Aku datang ke sini dengan maksud baik, ingin memeriksa kondisimu karena terancam kehilangan jabatan. Tapi ternyata, kau malah menuduhku sebagai orang jahat?” ucap Sebastian tak terima. “Kau tidak konsisten, Bas. Tadi kau bilang ingin mengucapkan selamat. Sekarang, kau menyatakan maksudmu untuk memeriksa kondisiku. Yang mana yang benar?” Helaan napas cepat terlepas dari mulut sang sekretaris. “Ini benar-benar tidak masuk akal,” gelengnya lambat. “Bagian mana yang tidak masuk akal? Kau diam-diam mengincar istriku atau kau menusukku dari belakang?” Sebastian tiba-tiba berdiri hingga kursinya hampir terjungkal. “Hentikan candaanmu! Ini sama sekali tidak lucu, Max. Selama ini, aku selalu berusaha menjaga kepercayaanmu. Apakah ini balasan yang kau berikan kepada orang yang telah setia kepadamu?” “Kau terlalu setia, Bas, dan aku baru menyadari hal itu. Kau bisa saja meneruskan perusahaan ayahmu. Tapi, kenapa kau malah memilih menjadi sekretarisku? B
Satu kilometer dari gedung Quebracha, Max dapat melihat lampu menyala terang di ruang kerjanya. Hanya dalam sekejap, gemuruh napas yang sempat mereda kembali terdengar. “Kurang ajar! Peneror itu benar-benar mengobrak-abrik kantorku,” gumam sang pria seraya menggenggam kemudi lebih erat. “Kuharap dia masih di sana saat aku tiba. Dia tidak boleh lolos dan membahayakan Gabriella.” Selang beberapa menit, sang CEO akhirnya tiba. Entah kebetulan atau memang sudah direncanakan, pintu masuk terbuka lebar untuknya. “Apakah dia memang ingin menyambutku?” pikir Max yang sempat memperlambat langkah. Namun, setelah menimbang-nimbang sejenak, ia akhirnya mempercepat gerak menuju lift. Tepat di depan pintu yang tertutup rapat, pria itu mendesah tak percaya. Tulisan “error” tertera di semua layar. “Apakah dia mempermainkanku atau sedang menguji keseriusanku?” Setelah berdecak kesal, Max bergegas menuju tangga darurat. *** Gabr
“Maaf, Bas, bisakah kau mengemudi lebih cepat?” pinta Gabriella sembari terus menatap ke depan. Jalanan sedang dalam keadaan lenggang, tetapi mobil mereka sudah beberapa kali disalip oleh mobil lain. “Maaf, Nyonya Evans. Aku harus mengutamakan keselamatan,” tolak sang sekretaris dengan nada santai. “Tapi, tidak banyak kendaraan di jalan ini. Kurasa tidak apa-apa jika kau menambah sedikit kecepatan.” Sedetik kemudian, Sebastian menoleh dan menghela napas samar. “Sekarang aku mengerti kenapa Max bisa jatuh hati padamu. Kau sangat manis dan penuh perhatian,” ucapnya tanpa terduga. Kedipan mata Gabriella spontan membeku. Dengan alis berkerut, ia berusaha memecah ketegangan. “Kenapa kau tiba-tiba berkata seperti itu?” desahnya diiringi gelengan kecil. Dalam sekejap, raut sang sekretaris berubah datar. “Apakah kau merasa tak nyaman? Maaf. Aku hanya mencoba membantumu meredakan kekhawatiran.” Sambil berkedip datar, sang wanita mengembalikan p
“Sebastian? Kenapa kau ikut masuk? Keluarlah! Peneror itu bisa membatalkan pertemuan jika dia tahu aku bersama seseorang,” desak Gabriella dengan suara pelan. Wanita polos itu sama sekali tidak curiga dengan ekspresi santai sang pria. “Tenang saja. Dia tidak akan membatalkan pertemuan. Bukankah dia berada di ruang tengah?” “Ya, tetap saja ....” Kata-kata sang wanita mendadak terhenti oleh akal sehat. Dengan kedipan cepat di bawah kerutan alis, ia memiringkan kepala. “Dari mana kau tahu bahwa peneror itu mengungguku di ruang tengah?” Sudut bibir yang semula tinggi seketika turun. “Apakah aku salah dengar? Itulah yang dikatakan oleh pelayan tadi kepadamu.” Sembari menimbang-nimbang, Gabriella menatap sang sekretaris dengan guratan bimbang di dahi. “Kalau begitu, tunggulah di sini. Aku tidak ingin kehadiranmu membuat peneror itu marah.” Bibir Sebastian spontan mengerucut. Dua detik kemudian, tanpa terduga, ia mengulurkan tangan hendak menyentuh r
Melihat Gabriella yang mematung dengan wajah pucat, sebelah sudut bibir sang pria terangkat samar. “Apakah kau masih terkejut dengan perlakuan Sebastian? Maaf, dia memang sudah terobsesi sejak pertama kali melihatmu.” Diam-diam, sang wanita melirik ke arah sang sekretaris. Laki-laki yang baru saja duduk di sofa itu sudah kembali memasang raut serius, ekspresi yang selalu ia tunjukkan setiap kali berhadapan dengan urusan kerja. “Apakah kau kesal karena aku menghentikan aksimu?” tanya dalang sesungguhnya kepada Sebastian. Sang sekretaris mengangkat pundak singkat. “Apa yang bisa kulakukan jika Anda sudah memberi perintah?” timpalnya santai. Menyaksikan keakraban dua orang di hadapannya, napas Gabriella semakin menderu. “Kenapa kalian tega melakukan semua ini kepada Max? Apa kesalahannya sampai kalian menginginkan dia jatuh?” tanyanya dengan suara tipis dan bergetar. Rasa sesak dalam dada telah menyempitkan kerongkongannya. Si dalang dan tangan k
“Aku tidak akan sudi berpihak kepadamu!” seru Gabriella dengan sorot mata tajam meski air mata bisa jatuh kapan saja. “Jangan salah paham dulu,” geleng si pria tua sembari mengangkat kedua alisnya. “Aku justru ingin memberikan keringanan kepada anak haram itu. Bukankah kita sudah sepakat bahwa pilihan pertama jauh lebih baik?” Gabriella menatap sang mertua dengan tampang datar. Tidak sedikit pun otot wajahnya berani bergerak. “Karena itu, bantulah Max dengan membuatnya memilih Quebracha. Aku sudah menyiapkan dua skenario yang bisa kau lancarkan.” Sedetik kemudian, telunjuk Herbert teracung di udara. “Skenario pertama. Kau bisa mencuri dokumen yang selalu dia rahasiakan dan menyerahkannya kepada Julian.” “Lalu kau bisa menendangnya keluar dari perusahaan? Aku tidak sebodoh itu!” Tawa kecil sontak terlepas dari mulut si pria tua. “Jangan gegabah dalam menarik kesimpulan. Pikirkan bagaimana aksi itu akan akan membuatmu terlihat se
“Max, aku baik-baik saja,” ujar Gabriella dengan suara pelan dan datar.“Maaf, Gaby. Aku tidak bisa memercayai Sebastian begitu saja,” sahut sang pria sembari terus menelusuri tubuh istrinya.Mendengar kesungguhan sang suami, Gabriella hampir saja menghela napas berat. Si peneror memang tidak meninggalkan jejak yang terlihat. Akan tetapi, sang wanita tetap merasa bersalah karena tidak berdaya saat dirinya disentuh oleh pria lain.“Apa saja yang dia lakukan kepadamu?” tanya Max sembari menekuk lutut untuk memeriksa kaki sang istri.“Tidak ada apa-apa, Max. Dia hanya mengantarku,” bohong wanita itu sambil berusaha mendatarkan ekspresi.“Benarkah?” timpal sang pria dengan sebelah alis bergerak naik. “Apa kau tahu bahwa Sebastianlah yang menyusun rencana untuk menjebakku di kantor? Aku sempat berpikir kalau dia sengaja mengulur waktuku agar dapat menculikmu.”Mendengar kekha
“Apakah kau mau melakukannya di sini?” bisik Max setelah menyadari bahwa Gabriella membalas kecupannya dengan mesra. “Ya,” desah sang wanita sembari menyingkirkan busa yang hampir hilang dari rambut suaminya. “Tapi, bolehkah aku yang melayanimu malam ini?” Mendapat usulan tak terduga itu, alis sang pria melengkung maksimal. “Kau serius?” “Tentu saja.” Sedetik kemudian, Gabriella mulai mencelupkan tangan ke dalam air. Selang beberapa saat, Max mulai melepaskan kesenangan di udara. “Apakah aku melakukannya dengan benar?” bisik sang wanita sambil terus menimbulkan riak air. “Ya,” desah pria yang hampir tak mampu menjawab. Ia telah terbuai oleh pijatan sang istri. “Bagaimana dengan ini?” Tiba-tiba, Max mengerang panjang dan mencengkeram dinding bathtub. Tanpa terduga, Gabriella tertawa kecil melihat ekspresi suaminya. “Apakah kau tahu kalau wajahmu sangat jelek saat ini?” ledeknya dengan senyum simpul.