“Sebastian? Kenapa kau ikut masuk? Keluarlah! Peneror itu bisa membatalkan pertemuan jika dia tahu aku bersama seseorang,” desak Gabriella dengan suara pelan. Wanita polos itu sama sekali tidak curiga dengan ekspresi santai sang pria.
“Tenang saja. Dia tidak akan membatalkan pertemuan. Bukankah dia berada di ruang tengah?”
“Ya, tetap saja ....” Kata-kata sang wanita mendadak terhenti oleh akal sehat. Dengan kedipan cepat di bawah kerutan alis, ia memiringkan kepala. “Dari mana kau tahu bahwa peneror itu mengungguku di ruang tengah?”
Sudut bibir yang semula tinggi seketika turun. “Apakah aku salah dengar? Itulah yang dikatakan oleh pelayan tadi kepadamu.”
Sembari menimbang-nimbang, Gabriella menatap sang sekretaris dengan guratan bimbang di dahi. “Kalau begitu, tunggulah di sini. Aku tidak ingin kehadiranmu membuat peneror itu marah.”
Bibir Sebastian spontan mengerucut. Dua detik kemudian, tanpa terduga, ia mengulurkan tangan hendak menyentuh r
Melihat Gabriella yang mematung dengan wajah pucat, sebelah sudut bibir sang pria terangkat samar. “Apakah kau masih terkejut dengan perlakuan Sebastian? Maaf, dia memang sudah terobsesi sejak pertama kali melihatmu.” Diam-diam, sang wanita melirik ke arah sang sekretaris. Laki-laki yang baru saja duduk di sofa itu sudah kembali memasang raut serius, ekspresi yang selalu ia tunjukkan setiap kali berhadapan dengan urusan kerja. “Apakah kau kesal karena aku menghentikan aksimu?” tanya dalang sesungguhnya kepada Sebastian. Sang sekretaris mengangkat pundak singkat. “Apa yang bisa kulakukan jika Anda sudah memberi perintah?” timpalnya santai. Menyaksikan keakraban dua orang di hadapannya, napas Gabriella semakin menderu. “Kenapa kalian tega melakukan semua ini kepada Max? Apa kesalahannya sampai kalian menginginkan dia jatuh?” tanyanya dengan suara tipis dan bergetar. Rasa sesak dalam dada telah menyempitkan kerongkongannya. Si dalang dan tangan k
“Aku tidak akan sudi berpihak kepadamu!” seru Gabriella dengan sorot mata tajam meski air mata bisa jatuh kapan saja. “Jangan salah paham dulu,” geleng si pria tua sembari mengangkat kedua alisnya. “Aku justru ingin memberikan keringanan kepada anak haram itu. Bukankah kita sudah sepakat bahwa pilihan pertama jauh lebih baik?” Gabriella menatap sang mertua dengan tampang datar. Tidak sedikit pun otot wajahnya berani bergerak. “Karena itu, bantulah Max dengan membuatnya memilih Quebracha. Aku sudah menyiapkan dua skenario yang bisa kau lancarkan.” Sedetik kemudian, telunjuk Herbert teracung di udara. “Skenario pertama. Kau bisa mencuri dokumen yang selalu dia rahasiakan dan menyerahkannya kepada Julian.” “Lalu kau bisa menendangnya keluar dari perusahaan? Aku tidak sebodoh itu!” Tawa kecil sontak terlepas dari mulut si pria tua. “Jangan gegabah dalam menarik kesimpulan. Pikirkan bagaimana aksi itu akan akan membuatmu terlihat se
“Max, aku baik-baik saja,” ujar Gabriella dengan suara pelan dan datar.“Maaf, Gaby. Aku tidak bisa memercayai Sebastian begitu saja,” sahut sang pria sembari terus menelusuri tubuh istrinya.Mendengar kesungguhan sang suami, Gabriella hampir saja menghela napas berat. Si peneror memang tidak meninggalkan jejak yang terlihat. Akan tetapi, sang wanita tetap merasa bersalah karena tidak berdaya saat dirinya disentuh oleh pria lain.“Apa saja yang dia lakukan kepadamu?” tanya Max sembari menekuk lutut untuk memeriksa kaki sang istri.“Tidak ada apa-apa, Max. Dia hanya mengantarku,” bohong wanita itu sambil berusaha mendatarkan ekspresi.“Benarkah?” timpal sang pria dengan sebelah alis bergerak naik. “Apa kau tahu bahwa Sebastianlah yang menyusun rencana untuk menjebakku di kantor? Aku sempat berpikir kalau dia sengaja mengulur waktuku agar dapat menculikmu.”Mendengar kekha
“Apakah kau mau melakukannya di sini?” bisik Max setelah menyadari bahwa Gabriella membalas kecupannya dengan mesra. “Ya,” desah sang wanita sembari menyingkirkan busa yang hampir hilang dari rambut suaminya. “Tapi, bolehkah aku yang melayanimu malam ini?” Mendapat usulan tak terduga itu, alis sang pria melengkung maksimal. “Kau serius?” “Tentu saja.” Sedetik kemudian, Gabriella mulai mencelupkan tangan ke dalam air. Selang beberapa saat, Max mulai melepaskan kesenangan di udara. “Apakah aku melakukannya dengan benar?” bisik sang wanita sambil terus menimbulkan riak air. “Ya,” desah pria yang hampir tak mampu menjawab. Ia telah terbuai oleh pijatan sang istri. “Bagaimana dengan ini?” Tiba-tiba, Max mengerang panjang dan mencengkeram dinding bathtub. Tanpa terduga, Gabriella tertawa kecil melihat ekspresi suaminya. “Apakah kau tahu kalau wajahmu sangat jelek saat ini?” ledeknya dengan senyum simpul.
Begitu membuka mata, Max langsung tersentak oleh kekosongan di hadapannya. Sang istri tidak lagi berada dalam dekapan. “Gaby?” panggil pria itu dengan suara serak dan tidak stabil. Tak kunjung mendapat jawaban, Max akhirnya mengenakan pakaian lalu beranjak ke kamar mandi. “Gabriella?” Mengetahui sang istri tidak juga berada di sana, kerut alis pria itu sontak menjadi lebih dalam. Setelah menggetarkan bola mata sejenak, ia terbelalak dan langsung melangkah keluar kamar. “Bibi! Bibi ...!” teriaknya sembari bergegas menuju tangga. Tepat ketika Max hendak melangkah turun, pintu ruang kerjanya terbuka dan Gabriella keluar dengan alis terangkat heran. “Ada apa, Max?” Gerak sang pria seketika membeku. Selang satu helaan napas lega, ia berjalan cepat menghampiri sang istri. “Kenapa kau keluar kamar tanpa memberitahuku? Aku sampai berpikir kalau kau menghilang,” desah Max seraya mendekap sang wanita. Dengan mata terpejam, ia mer
Setelah memperhatikan gerak alis Amber yang menyatakan tantangan, Gabriella akhirnya mengalihkan pandangan ke arah sang pelayan. "Bibi, tolong beri kami privasi." Mendengar permintaan yang tak terduga itu, mata Minnie terbuka lebar. "Anda yakin Nyonya?" "Tentu saja yakin," sela Amber sambil memasang senyum miring. "Dia sadar bahwa aku telah mengetahui—" "Tolong, Bi." Mengetahui si tuan rumah merasa terancam, lengkung bibir Amber bertambah lebar. Sembari tertawa tanpa bunyi, ia memperhatikan sang pelayan menuruni tangga. "Apa yang ingin kau sampaikan?" tanya Gabriella sukses mengembalikan kekakuan di wajah sang tamu. "Kudengar, IQ-mu tinggi. Bukankah seharusnya kau sudah mampu menebak?" sindir Amber membuat darah Gabriella semakin mendidih. "Tolong jangan bertele-tele." "Aku tahu bahwa seseorang memintamu untuk meninggalkan Max." Sedetik kemudian, keheningan membekukan suasana. Gabriella seolah dapa
“Lihatlah! Kita sudah tiba,” celetuk Max sembari melepas tangan sang istri untuk memutar kemudi. Dengan alis melengkung tinggi, Gabriella mengalihkan pandangan. Begitu menatap gedung berdesain indah di hadapannya, mulut wanita itu langsung terbuka lebar. “Max, kau mengajakku menyaksikan penampilan orkestra papan atas?” desah Gabriella tak percaya. Sang pria menoleh sekilas. Melihat sang istri terkesima, sudut bibirnya terangkat ringan. “Ya.” Hanya dalam sekejap, sang wanita tidak bisa lagi menahan gejolak dalam dada. Dengan mata berkaca-kaca, ia melebarkan senyuman. “Aku sudah lama memimpikan momen ini, Max,” ucapnya dengan suara tipis. Namun, begitu sang suami menghentikan mobil, kebahagiaan wanita itu memudar. “Tapi, bagaimana jika ada yang mengenalimu? Bukankah kau bisa dituduh tidak peduli dengan urusan Quebracha dan malah bersenang-senang?” Dengan santai, Max membuka sabuk pengaman dan menggeleng. “Kau tenang saja. A
Begitu terbangun di pagi hari, Gabriella tidak berani bergerak. Sang suami masih tertidur pulas, seperti bayi yang tengkurap di atas tubuh ibunya. “Max?” bisik wanita itu menguji. Selang beberapa detik, tidak ada suara yang terdengar. Pria itu tetap bergeming. Mengetahui bahwa sang suami nyaman dengan bantal empuknya, bibir Gabriella otomatis melengkung kecil. “Kau pasti kelelahan,” gumamnya sembari menyentuh rambut sang suami. Dalam diam, wanita itu memperhatikan detail wajah di bawah dagunya. Mata yang sering ia tatap, sedang bersembunyi di balik kelopak lebar. Bibir yang sering memberinya kehangatan, sedang bergeming tanpa suara. Perlahan-lahan, kesedihan mulai menggetarkan udara dalam paru-parunya. “Aku pasti akan sangat merindukanmu,” batin Gabriella sebelum menelan ludah. Sedetik kemudian, ia terpejam, berusaha menahan gejolak dalam dada. Matanya yang panas tidak boleh menampakkan kegelisahan. Rencananya bisa berantakan jika samp
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb