“Kenapa diam? Apakah kau terkesima dengan keahlianku mengawasi kalian?” tanya si peneror dengan nada menggoda.
Bibir Gabriella bergetar memaksa lidah untuk bergerak. Namun, selang beberapa detik, otaknya masih belum mengirimkan kata.
“Tidak perlu terkejut, Gaby. Mata dan telingaku memang ada di mana-mana, termasuk kebun bunga tempat kau dan Max bermesraan.”
Napas sang wanita kini bertambah berat. Lewat sudut matanya yang terbatas, ia memeriksa sekelilingnya. Namun, hingga suara si peneror kembali terdengar, Gabriella tak kunjung menemukan sosok mencurigakan.
“Ck, kau sukses membuatku semakin iri padanya, Gaby. Bagaimana jika di pertemuan kita selanjutnya, kau berikan ciuman manis itu kepadaku juga? Atau, kau mau melayaniku di ranjang? Aku akan lebih senang.”
Tak kuat lagi menghadapi kegelisahan, mata sang wanita mulai terpejam rapat. “Aku tidak pernah bersikap jahat kepadamu. Tapi kenapa kau menggangguku?”
“Justru itulah alasanku memil
“Ayo, Max, bersemangatlah! Kapan lagi kau bisa mengunjungi pasar malam? Bukankah kau selalu sibuk dengan urusan Quebracha? Tidak ada salahnya bersenang-senang hanya untuk satu malam,” seru Gabriella seraya menyeret tangan yang digandengnya. Pria yang tertinggal satu langkah dari sang wanita hanya mampu mendesah pasrah. Keramaian di sekitarnya membuat memori berputar semakin cepat. “Bagaimana kalau kau mencoba permainan menembak itu?” usul Gabriella tiba-tiba. “Aku yakin, kau pasti bisa mengenai semua target.” Max tidak menjawab. Ia hanya menatap lingkaran merah yang tampak membosankan baginya. “Kau tidak mau?” tanya Gabriella dengan penuh harap. Setelah tiga detik menunggu, wanita itu akhirnya mengerucutkan bibir dan menghela napas kesal. “Kalau begitu, aku bermain sendirian saja.” Gabriella melepas tangan Max dan melangkah menuju stand. Selagi ia membayar, sang suami memperhatikan punggungnya dengan tampang bimbang. “
Selang beberapa saat, Max akhirnya memberi kesempatan kepada sang istri untuk menghirup udara. Sambil mengatur napas lewat senyum lega, ia mengelus wajah yang masih terselimuti kebingungan. “Kenapa pipimu merah sekali? Padahal, kita sudah sering melakukannya.” Gabriella tidak menjawab. Wanita itu masih mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan. “Kenapa Max menciumku? Apakah untuk mengalihkan rasa takut?” Karena tidak mendapat respon, sang pria kembali menyapa kelembutan Gabriella. Gerakannya masih sama, pelan dan penuh minat. Tak secuil pun kenikmatan ia lewatkan. Hal itu membuat sang wanita mengerutkan alis semakin dalam. “Tidak. Laki-laki ini tidak sedang ketakutan. Lalu, kenapa dia menciumku? Apakah karena nafsu?” Dalam kebingungan, Gabriella mengamati tangan sang suami. Terkadang Max memegang pipinya, terkadang telapak besar itu berpindah ke tengkuknya. “Tidak. Ini bukan karena nafsu. Lalu, apa?” Hingga kabin yang mereka t
“Dingin, Max,” keluh Gabriella saat sang suami menempatkan sesendok es krim di atas tombol kirinya. Alis wanita itu berkerut tak nyaman, sementara tangannya terkepal erat. “Bersabarlah,” timpal sang pria sebelum meletakkan wadah yang hampir beku di atas meja. Sedetik kemudian, bukannya membersihkan makanan yang mulai mencair, Max malah menyapu tombol kanan dengan pengecap rasanya. “Apakah kau sedang menguji kesabaranku? Ini dingin, Max,” ujar Gabriella sebelum menggigit bibir. Mengingat sang suami ahli dalam memancing desah, ia memang harus lebih berhati-hati dalam memilih waktu untuk bicara. Jika tidak, naluri pria itu akan langsung membara. “Untuk bisa membandingkan, aku harus mengetahui rasa yang murni lebih dahulu,” celetuk Max seperti sengaja mengulur waktu. Hal itu sukses memancing raut kesal sang wanita. “Kalau begitu cepatlah! Kau sudah mencoba yang orisinal, bukan?” desak Gabriella sukses membuat suaminya terbelalak tak menyangka. “In
Ketika membuka pintu kamar, Gabriella terbelalak menatap suaminya yang tiba-tiba beranjak dari tepi ranjang. Setelah meletakkan ponsel di atas meja, Max menggaruk bagian belakang kepalanya lalu menunjuk ke arah kamar mandi. “Biar aku yang mandi lebih dulu,” ucapnya dengan nada aneh. Sang wanita sontak berkedip datar. Tingkah sang suami telah menimbulkan pertanyaan yang enggan diungkapkan. “Mandi saja. Aku tidak akan merebut shower darimu,” timpalnya seolah tak peduli. Sedetik kemudian, Max mengangguk dan bergegas masuk ke kamar mandi. Langkahnya yang terburu-buru semakin membuat sang istri bertanya-tanya. “Apa yang salah dengannya?” Tanpa berpikir panjang, Gabriella melangkah menuju posisi sang suami sebelumnya. Dari situ, ia dapat melihat dua boneka diletakkan berdampingan di atas ranjang dan ponsel miliknya yang menyala di atas meja. “Apakah dia menyembunyikan sesuatu dariku?” pikir wanita itu sembari mengambil ponsel.
“Kalau aku mencintaimu, apa yang akan kau lakukan?” Max melempar balik pertanyaan yang menimbulkan letupan besar dalam hati Gabriella. Wanita itu tidak sadar bahwa lengkung alisnya sudah hampir menyamai payung. “Aku ... tidak pernah memikirkannya. Jadi, aku tidak tahu,” jawab Gabriella dengan kedipan kaku. Melihat respon sang istri yang begitu menggemaskan, senyum Max otomatis terkulum. “Kalau kau tidak pernah memikirkannya, lalu kenapa kau bisa menyimpulkan bahwa aku mencintaimu?” Gelengan kepala sang wanita langsung menyanggah. “Aku hanya bertanya. Sikapmu belakangan ini membuatku merasa ....” Omongan Gabriella terputus oleh pemikiran yang baru tercetus dalam benaknya. Setelah berkedip-kedip tak percaya dan memiringkan kepala, ia melanjutkan bicara dengan nada bertanya. “Diperhatikan?” “Jadi, kau akhirnya mau mengakui kalau aku memang perhatian kepadamu?” goda Max sembari menaikkan sebelah sudut bibir. Raut Gabriella sontak berubah ragu. “Ti
“Apakah kau berharap kalau aku benar-benar mencintaimu?” ucap Max sambil menyangga kepala dengan sebelah tangan. Senyum terkulum di bawah mata yang menyipit sukses mengintimidasi Gabriella. “Bukan berharap. Hanya saja, aku berhak tahu kalau kau memang menyimpan rasa semacam itu terhadapku,” sahut sang wanita dengan kedipan canggung. Ia tidak tahu apakah nada bicaranya sudah tepat atau belum. Yang pasti, ia sudah berusaha untuk terdengar tegas. Selama beberapa saat, pasangan itu bertatapan dalam diam. Keduanya saling membaca sorot mata yang sama-sama meragukan. “Jadi, apakah kau mengharapkan cinta dariku?” tanya Max memecah keheningan. Melihat senyum miring di wajah sang suami, rasa jengkel berkembang pesat dalam hati Gabriella. Dengan alis berkerut, ia menyampaikan protes. “Kau selalu saja melempar balik pertanyaan dariku. Apakah kau takut jika perasaanmu yang sebenarnya terbongkar? Atau kau memang suka membuatku bertanya-tanya?” Bukannya teri
“Kalau Nyonya masih ragu dengan perasaan Tuan, cobalah perhatikan sorot matanya kepada Anda. Tuan Max tidak pernah memandang siapa pun dengan tatapan sehangat itu sebelumnya.” Gabriella tertunduk dan memejamkan mata mengingat perkataan si kepala pelayan. Sudah lebih dari setengah hari kata-kata itu berputar dalam benaknya. Akan tetapi, logika masih menolak percaya. “Mustahil laki-laki itu mencintaiku. Dia selalu saja marah dan menyebutku merepotkan. Sifatku juga tidak satu pun sesuai dengan kriterianya,” gumam wanita itu seraya menopang dagu di tepi jendela. Pemandangan di luar masih sama dengan sepuluh menit yang lalu. Pagar yang tertutup rapat tanpa ada satu pun mobil yang lewat. “Dan kenapa Max belum pulang juga? Apakah dia benar-benar menghindariku?” gerutu Gabriella sebelum menghela napas pasrah. “Hari ini benar-benar membosankan,” gumamnya dengan bibir mengerucut. Selang keheningan sejenak, wanita itu menoleh ke arah ranjang. Dua
“Apakah Bibi masih menyimpan resep kue kesukaan Max?” tanya Gabriella dengan mata berbinar. Sang pelayan sampai tercengang melihat semangat wanita yang tiba-tiba menghampirinya itu.“Masih, Nyonya. Apakah Anda mau mempelajarinya?”Gabriella menggeleng dengan senyum terkulum. “Aku mau membuatnya sekarang.”Minnie berkedip-kedip tak menyangka. Setelah menyadari perubahan dari sorot mata wanita muda itu, ia bergegas mengeluarkan sebuah buku lusuh dari lemari.“Apakah Nyonya butuh bantuan?”Sekali lagi, Gabriella menggeleng. “Aku bisa membuatnya sendiri, Bi. Terima kasih.”Kemudian, dengan antusias, wanita muda itu mempersiapkan kejutan kecilnya. Tak pernah sekalipun wajahnya cemberut. Sesuatu yang menggebu dalam dada telah memompa semangat untuk membuat sang suami tersenyum.“Semoga saja, keputusanku ini tidak salah,” batinnya setiap kali kekhawatiran menghampiri.