“Kalau begitu, berlututlah di hadapan Gabriella. Minta maaf kepadanya dan berjanjilah tidak akan mengulangi kesalahanmu lagi,” ujar Max tanpa sedikit pun keraguan.
Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Istri sang CEO masih terkurung dalam keterkejutan, tak menyangka jika sang suami begitu menjaga derajatnya, sedangkan Cherry hanya bungkam, mempertimbangkan syarat yang diajukan. Kerut alis tak senang telah memayungi mata gelisahnya.
Belum sempat Gabriella meminta kelonggaran kepada sang suami, si wanita cantik sudah lebih dulu berlutut dengan kepala tertunduk.
“Maafkan aku, Nona. Lain kali, tidak akan kuulangi lagi. Aku benar-benar tidak tahu bahwa Anda kekasih Max.”
Wanita berhati lembut sontak mendesah tak tega. Namun, ketika ia hendak menyentuh pundak Cherry, sang suami menahannya.
“Kau tidak perlu mengasihaninya, Gaby. Dia memang harus mengingat momen ini agar tidak semena-mena kepada siapa pun, khususnya dirimu.”
“Tapi, kurasa ini
Siapa sangka bahwa omongan Max semakin dekat dengan kenyataan. Begitu mereka tiba di tempat tujuan, mulut Gabriella terbuka lebar, sama seperti matanya yang takjub dengan pemandangan sekitar. “Kenapa kau membawaku kemari?” desah wanita yang masih menelusuri warna-warni bunga di kanan dan kirinya. “Bukankah sudah kubilang? Kita harus mengumpulkan bukti kemesraan sepasang kekasih,” jawab Max yang tersenyum menatap raut wajah cerah sang istri. “Sudah lama aku tidak melihat tempat seindah ini. Dulu, Mama sering mengajakku mengunjungi kebun bunga. Seandainya saja, Mama bisa melihat ini, dia pasti akan sangat senang.” Lengkung bibir sang pria seketika terlukis lebih indah. “Jadi, apakah kau bahagia?” Gabriella menatap sang suami tanpa sedikit pun kepalsuan. “Ya,” angguknya. “Kalau begitu,” Max merentangkan tangan bersiap menyambut istrinya, “apakah kau tidak ingin memelukku?” Mata sang wanita yang berbinar-binar spontan melengkungkan
“Kenapa diam? Apakah kau terkesima dengan keahlianku mengawasi kalian?” tanya si peneror dengan nada menggoda. Bibir Gabriella bergetar memaksa lidah untuk bergerak. Namun, selang beberapa detik, otaknya masih belum mengirimkan kata. “Tidak perlu terkejut, Gaby. Mata dan telingaku memang ada di mana-mana, termasuk kebun bunga tempat kau dan Max bermesraan.” Napas sang wanita kini bertambah berat. Lewat sudut matanya yang terbatas, ia memeriksa sekelilingnya. Namun, hingga suara si peneror kembali terdengar, Gabriella tak kunjung menemukan sosok mencurigakan. “Ck, kau sukses membuatku semakin iri padanya, Gaby. Bagaimana jika di pertemuan kita selanjutnya, kau berikan ciuman manis itu kepadaku juga? Atau, kau mau melayaniku di ranjang? Aku akan lebih senang.” Tak kuat lagi menghadapi kegelisahan, mata sang wanita mulai terpejam rapat. “Aku tidak pernah bersikap jahat kepadamu. Tapi kenapa kau menggangguku?” “Justru itulah alasanku memil
“Ayo, Max, bersemangatlah! Kapan lagi kau bisa mengunjungi pasar malam? Bukankah kau selalu sibuk dengan urusan Quebracha? Tidak ada salahnya bersenang-senang hanya untuk satu malam,” seru Gabriella seraya menyeret tangan yang digandengnya. Pria yang tertinggal satu langkah dari sang wanita hanya mampu mendesah pasrah. Keramaian di sekitarnya membuat memori berputar semakin cepat. “Bagaimana kalau kau mencoba permainan menembak itu?” usul Gabriella tiba-tiba. “Aku yakin, kau pasti bisa mengenai semua target.” Max tidak menjawab. Ia hanya menatap lingkaran merah yang tampak membosankan baginya. “Kau tidak mau?” tanya Gabriella dengan penuh harap. Setelah tiga detik menunggu, wanita itu akhirnya mengerucutkan bibir dan menghela napas kesal. “Kalau begitu, aku bermain sendirian saja.” Gabriella melepas tangan Max dan melangkah menuju stand. Selagi ia membayar, sang suami memperhatikan punggungnya dengan tampang bimbang. “
Selang beberapa saat, Max akhirnya memberi kesempatan kepada sang istri untuk menghirup udara. Sambil mengatur napas lewat senyum lega, ia mengelus wajah yang masih terselimuti kebingungan. “Kenapa pipimu merah sekali? Padahal, kita sudah sering melakukannya.” Gabriella tidak menjawab. Wanita itu masih mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan. “Kenapa Max menciumku? Apakah untuk mengalihkan rasa takut?” Karena tidak mendapat respon, sang pria kembali menyapa kelembutan Gabriella. Gerakannya masih sama, pelan dan penuh minat. Tak secuil pun kenikmatan ia lewatkan. Hal itu membuat sang wanita mengerutkan alis semakin dalam. “Tidak. Laki-laki ini tidak sedang ketakutan. Lalu, kenapa dia menciumku? Apakah karena nafsu?” Dalam kebingungan, Gabriella mengamati tangan sang suami. Terkadang Max memegang pipinya, terkadang telapak besar itu berpindah ke tengkuknya. “Tidak. Ini bukan karena nafsu. Lalu, apa?” Hingga kabin yang mereka t
“Dingin, Max,” keluh Gabriella saat sang suami menempatkan sesendok es krim di atas tombol kirinya. Alis wanita itu berkerut tak nyaman, sementara tangannya terkepal erat. “Bersabarlah,” timpal sang pria sebelum meletakkan wadah yang hampir beku di atas meja. Sedetik kemudian, bukannya membersihkan makanan yang mulai mencair, Max malah menyapu tombol kanan dengan pengecap rasanya. “Apakah kau sedang menguji kesabaranku? Ini dingin, Max,” ujar Gabriella sebelum menggigit bibir. Mengingat sang suami ahli dalam memancing desah, ia memang harus lebih berhati-hati dalam memilih waktu untuk bicara. Jika tidak, naluri pria itu akan langsung membara. “Untuk bisa membandingkan, aku harus mengetahui rasa yang murni lebih dahulu,” celetuk Max seperti sengaja mengulur waktu. Hal itu sukses memancing raut kesal sang wanita. “Kalau begitu cepatlah! Kau sudah mencoba yang orisinal, bukan?” desak Gabriella sukses membuat suaminya terbelalak tak menyangka. “In
Ketika membuka pintu kamar, Gabriella terbelalak menatap suaminya yang tiba-tiba beranjak dari tepi ranjang. Setelah meletakkan ponsel di atas meja, Max menggaruk bagian belakang kepalanya lalu menunjuk ke arah kamar mandi. “Biar aku yang mandi lebih dulu,” ucapnya dengan nada aneh. Sang wanita sontak berkedip datar. Tingkah sang suami telah menimbulkan pertanyaan yang enggan diungkapkan. “Mandi saja. Aku tidak akan merebut shower darimu,” timpalnya seolah tak peduli. Sedetik kemudian, Max mengangguk dan bergegas masuk ke kamar mandi. Langkahnya yang terburu-buru semakin membuat sang istri bertanya-tanya. “Apa yang salah dengannya?” Tanpa berpikir panjang, Gabriella melangkah menuju posisi sang suami sebelumnya. Dari situ, ia dapat melihat dua boneka diletakkan berdampingan di atas ranjang dan ponsel miliknya yang menyala di atas meja. “Apakah dia menyembunyikan sesuatu dariku?” pikir wanita itu sembari mengambil ponsel.
“Kalau aku mencintaimu, apa yang akan kau lakukan?” Max melempar balik pertanyaan yang menimbulkan letupan besar dalam hati Gabriella. Wanita itu tidak sadar bahwa lengkung alisnya sudah hampir menyamai payung. “Aku ... tidak pernah memikirkannya. Jadi, aku tidak tahu,” jawab Gabriella dengan kedipan kaku. Melihat respon sang istri yang begitu menggemaskan, senyum Max otomatis terkulum. “Kalau kau tidak pernah memikirkannya, lalu kenapa kau bisa menyimpulkan bahwa aku mencintaimu?” Gelengan kepala sang wanita langsung menyanggah. “Aku hanya bertanya. Sikapmu belakangan ini membuatku merasa ....” Omongan Gabriella terputus oleh pemikiran yang baru tercetus dalam benaknya. Setelah berkedip-kedip tak percaya dan memiringkan kepala, ia melanjutkan bicara dengan nada bertanya. “Diperhatikan?” “Jadi, kau akhirnya mau mengakui kalau aku memang perhatian kepadamu?” goda Max sembari menaikkan sebelah sudut bibir. Raut Gabriella sontak berubah ragu. “Ti
“Apakah kau berharap kalau aku benar-benar mencintaimu?” ucap Max sambil menyangga kepala dengan sebelah tangan. Senyum terkulum di bawah mata yang menyipit sukses mengintimidasi Gabriella. “Bukan berharap. Hanya saja, aku berhak tahu kalau kau memang menyimpan rasa semacam itu terhadapku,” sahut sang wanita dengan kedipan canggung. Ia tidak tahu apakah nada bicaranya sudah tepat atau belum. Yang pasti, ia sudah berusaha untuk terdengar tegas. Selama beberapa saat, pasangan itu bertatapan dalam diam. Keduanya saling membaca sorot mata yang sama-sama meragukan. “Jadi, apakah kau mengharapkan cinta dariku?” tanya Max memecah keheningan. Melihat senyum miring di wajah sang suami, rasa jengkel berkembang pesat dalam hati Gabriella. Dengan alis berkerut, ia menyampaikan protes. “Kau selalu saja melempar balik pertanyaan dariku. Apakah kau takut jika perasaanmu yang sebenarnya terbongkar? Atau kau memang suka membuatku bertanya-tanya?” Bukannya teri
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb