Share

33. Disalahkan

Author: Pixie
last update Last Updated: 2021-06-25 11:04:25

“Aku harus segera kembali. Jangan sampai nanti malam, dia memanfaatkan kesalahanku untuk pelayanan tanpa henti.”

Setelah setengah jam mendekam di toilet, Gabriella akhirnya menghirup udara yang lebih segar. Malangnya, rasa sesak dalam dada tidak juga berkurang. Bayang-bayang tangan Roberto mengotori dirinya sesekali membuatnya bergidik ngeri. Sekalipun ia menggelengkan kepala dengan sangat cepat, kenangan itu enggan pergi.

“Gabriella?” panggil suara familiar dari arah depan.

Sang wanita spontan menegakkan wajah. Suaminya ternyata sedang berdiri dengan mata bulat dan tangan terkepal erat.

“Apa yang terjadi? Kenapa bajumu basah?”

Gabriella langsung menunduk, membiarkan rambutnya jatuh menutupi tanda menjijikkan yang gagal dihilangkan. Ia tidak ingin disebut lemah ataupun dituduh yang macam-macam.

Hanya dalam sekejap, Max telah mencengkeram lengan istrinya. Sang wanita seketika terkesiap dan membalas tatapannya dengan sedikit gemetar.

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Indah Carolina
nah gitu kek.. minta maaf kalo udh bikin sLah
goodnovel comment avatar
Yuliatines Aja
haaaaahhhhhh.. sampek susah napas rasanya.. kapan si gaby bahagia... kasihan banget dia😢😢
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Cinta CEO dalam Jebakan   34. Aku Tidak Berpura-pura

    “Maafkan aku,” ucap Max seraya menatap mata istrinya dalam-dalam. “Aku memang bersalah. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu bersama laki-laki berengsek itu di ruanganku.” Bibir Gabriella kini bergetar hebat mengimbangi udara gersang dalam paru-parunya. Pernyataan maaf sang suami memang telah mengangkat sedikit beban dalam hati. Malangnya, hal itu tidak mampu mengubah fakta tentang perlakuan Roberto terhadapnya. “Dia sudah menyentuhku, Max. Dia sudah mengambil keuntungan dariku,” tutur Gabriella dengan suara tipis dan lirih. Kerut alisnya perlahan menggoreskan luka yang lebih banyak dalam hati Max, memaksa pria itu untuk bertekuk lutut pada penyesalan. “Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan membiarkan laki-laki itu mendekatimu lagi.” “Itu semua salahmu, Max. Salahmu,” ujar sang wanita seraya memukul dada suaminya. Ia tidak tahu lagi kepada siapa kekesalannya harus ditujukan. Sadar bahwa istrinya sangat rapuh, Max akhirnya merengkuh wanita itu de

    Last Updated : 2021-06-26
  • Cinta CEO dalam Jebakan   35. Tidak Ingin Bertengkar Lagi

    Gabriella terdiam menatap Max yang tertunduk di hadapannya. Serangan yang baru saja diluncurkan benar-benar di luar dugaan. Ia memang berencana untuk melawan, tetapi tidak sampai membumihanguskan kesabaran suaminya. “Kau sudah tiga kali meludahiku,” ucap Max dengan nada rendah yang mencekam. Udara dingin seketika menggerayangi tengkuk Gabriella. Telinganya telah menangkap kegeraman di sela helaan napas sang pria. Meskipun begitu, ia masih menggenggam kemasan pil KB seerat tekadnya untuk melawan. “Itu akibatnya kalau memaksakan kehendak terhadapku,” timpal sang wanita dengan suara cenderung datar. Sulit baginya untuk menyingkirkan keraguan dalam kata-kata. Mata Max perlahan kembali menyapa, memperlihatkan guratan kekesalan yang tak lagi tertahan. “Jadi, kau memang tidak menghargaiku?” “Aku tidak akan pernah tunduk padamu,” sahut Gabriella sambil mengangkat dagu. Ia harus terlihat garang. “Kau tidak berhak mengatur hidupku.” Cengkeraman

    Last Updated : 2021-06-27
  • Cinta CEO dalam Jebakan   36. Perlakuan Spesial

    “Omong-omong, siapa itu?” bisik Cherry ketika matanya menangkap punggung Gabriella. Perempuan yang semula merenung sontak menahan napas, khawatir jika tindak-tanduknya mencurigakan. “Dia tidak penting. Tidak usah dihiraukan.” Bibir Gabriella spontan mengerucut dan alisnya berkerut. “Tidak perlu dipertegas juga aku sudah tahu. Laki-laki itu memang tidak pernah menganggapku penting,” batinnya kesal. “Oh, berarti aku bisa meminta bantuannya,” gumam Cherry sebelum meninggikan leher dan memanggil. “Nona, kemarilah sebentar.” Lamunan Gabriella seketika buyar. Dengan mata bulat dan lengkung alis tinggi, ia menoleh ke belakang. Lambaian tangan dan anggukan kepala si wanita cantik sontak mengundang tubuhnya untuk beranjak dari kursi. “Kenapa dia memanggilku?” pikirnya penasaran. “Ada apa, Nona?” Cherry menyodorkan sebuah tas berisi kotak kayu. “Aku membeli satu set poci ini untuk Max. Tolong kau persiapkan bersama dengan teh yang kuleta

    Last Updated : 2021-06-28
  • Cinta CEO dalam Jebakan   37. Salah Paham

    “Mia, apakah kau melihat Gabriella?” tanya Max begitu keluar dari ruangan. “Saya melihatnya mengikuti Tuan Sebastian.” Telunjuk sang wanita tertuju ke arah ruangan pria yang disebutnya. Mata sang CEO spontan terbuka lebar. “Apa yang mereka lakukan?” Sang sekretaris hanya bisa meringis. “Saya ... tidak tahu, Tuan. Saya hanya sempat menceritakan tentang—” Max sudah melaju dengan alis berkerut tak senang. “Beraninya wanita itu menuduhku ingin menceraikannya, sementara dia berduaan bersama pria lain,” gumam sang CEO dengan tangan terkepal erat. Ia tidak sadar jika napasnya telah menderu. Tak seperti pintu ruangannya yang utuh terbuat dari kayu, ada sekotak kaca transparan pada pintu ruangan sang sekretaris. Begitu Max mengintip dari situ, Gabriella terlihat sedang duduk menghadap Sebastian yang tertawa santai. “Sejak kapan mereka menjadi akrab?” batin Max sebelum mendengus. Belum sempat ia meraih gagang pintu, jantungnya su

    Last Updated : 2021-06-29
  • Cinta CEO dalam Jebakan   38. Terlalu Rapuh

    Pukul lima sore, Max akhirnya kembali menuju ruangan. Dengan tampang masam dan napas menderu, ia menatap pintu yang memisahkan dirinya dengan sang istri. “Apakah dia sudah menyelesaikan tugasnya atau malah kabur bersama pria lain?” terka pria yang telah dibutakan oleh rasa cemburu. Dengan kasar, ia membuka pintu. Sedetik kemudian, matanya terbelalak karena disambut oleh kekosongan. Hanya ada hamparan kertas di atas meja dan tas kecil di pojoknya. Gemuruh napas sang pria otomatis bertambah liar. “Ternyata, dia berani membantah perintahku?” Tanpa membuang waktu, Max melaju menuju ruangan sebelah. “Jika dia benar-benar berada di sana, jangan harap aku akan memberi maaf.” Tiba-tiba, Sebastian keluar dari ruangan sambil menenteng tas. Saat melihat sang CEO, alisnya melengkung tinggi. “Ada apa, Max? Apa ada hal genting yang perlu kita bahas?” tanya sang sekretaris dengan kedipan datar. “Kau sudah mau pulang?” selidik pria den

    Last Updated : 2021-06-30
  • Cinta CEO dalam Jebakan   39. Rahasia Kecil Max

    “Ck, apa yang harus kulakukan?” pikir Max seraya mengacak rambut. Tatapannya masih terpaku pada punggung yang gemetar dalam kesedihan itu. “Apakah aku terlalu keras padanya?” Selang beberapa detik, Gabriella masih meringkuk dalam tangis. Isak pilunya membuat hati Max semakin tak tenang. Sembari meringis, pria itu menimbang-nimbang keadaan. “Haruskah aku menenangkannya?” gumamnya ragu. Setelah menarik napas panjang, Max akhirnya mengangkat tubuh sang istri. Tanpa terduga, tangisan Gabriella malah berhenti karena keterkejutan. Mata merahnya yang bulat kini tertuju pada sang suami dengan penuh tanya. Sesekali, pundaknya tersentak oleh sisa isakan. “Tak perlu heran. Aku hanya tidak ingin kau merepotkanku lagi,” celetuk Max seraya membawa istrinya menuju sofa. Setibanya di sana, ia menurunkan Gabriella dengan lembut lalu menyodorkan kotak bekal. “Makanlah! Bibi sudah bersusah payah mengantarkannya untukmu.” Sedetik kemudian, Max kembali men

    Last Updated : 2021-07-01
  • Cinta CEO dalam Jebakan   40. Mulai Memahami

    Sepanjang perjalanan menuju bandara, Max tak bisa berhenti mengamati istrinya. Gabriella tampak ceria, sangat berbeda dari biasanya. "Apa yang terjadi di dalam ruangan itu? Kenapa dia mendadak lupa pada kesedihannya? Padahal, matanya saja masih bengkak," batin pria yang pura-pura fokus dengan tabletnya. Setibanya di pesawat, hal yang lebih mengejutkan datang. Wanita itu tiba-tiba menggenggam tangan sang suami saat pesawat hendak tinggal landas. "Apa yang kau lakukan?" bisik Max tidak bisa lagi menyembunyikan keheranan. "Bukankah ini membuatmu nyaman?" timpal Gabriella dengan mata bulat yang menggemaskan. Sang suami sampai tak bisa berkedip menatapnya. Selang satu embusan napas, Max menempelkan telapak tangan di kening sang istri. "Kau tidak demam," gumamnya setelah mendeteksi suhu tubuh yang normal. Kebingungan menumpuk semakin tinggi dalam benaknya. "Aku sudah sehat. Tenang saja. Aku tidak akan merepotkanmu lagi," bisik

    Last Updated : 2021-07-02
  • Cinta CEO dalam Jebakan   41. Dugaan yang Salah

    Begitu keluar dari kamar mandi, Max terbelalak karena hanya mendapati Cherry di atas ranjang. Setelah celingak-celinguk dan tetap tidak menemukan sang istri, desah kesal berembus dari mulutnya. “Kenapa dia meninggalkan suaminya berduaan dengan perempuan lain? Apakah dia sama sekali tidak berperasaan?” gerutu pria yang kemudian menatap Cherry dengan raut jijik. “Perempuan ini ... selalu saja merepotkanku. Ck, seharusnya kubiarkan saja dia menangis di lobi. Dia yang batal menikah, tapi kenapa malah aku yang pusing? Kalau saja aku tidak mencoba menjadi teman yang baik, aku pasti sudah menikmati makan malam yang tenang.” Sedetik kemudian, alis Max terdesak ke atas. Kata-katanya baru saja mengingatkan janjinya kepada sang istri. Secepat kilat, ia berbalik menghadap meja yang ternyata sudah penuh dengan hidangan. Helaan napas tak percaya langsung terumbar di udara. “Dia benar-benar menyiapkan makan malam? Lalu, kenapa dia malah kembali ke kamar?” gerutu pri

    Last Updated : 2021-07-03

Latest chapter

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 20. Bahagia Selama-lamanya

    “Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 19. Ayo Kita Pulang

    “Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 18. Aku Lebih Baik Menghilang

    “Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 17. Kau Seharusnya Bersyukur

    “Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 16. Aku Akan Meminta Maaf

    Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 15. Sudah Keterlaluan

    “Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 14. Penyesalan Tuan Hunt

    “Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 13. Keputusasaan Seorang Ayah

    Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 12. Grace dan sang Kakek

    Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb

DMCA.com Protection Status