Pukul lima sore, Max akhirnya kembali menuju ruangan. Dengan tampang masam dan napas menderu, ia menatap pintu yang memisahkan dirinya dengan sang istri.
“Apakah dia sudah menyelesaikan tugasnya atau malah kabur bersama pria lain?” terka pria yang telah dibutakan oleh rasa cemburu. Dengan kasar, ia membuka pintu.
Sedetik kemudian, matanya terbelalak karena disambut oleh kekosongan. Hanya ada hamparan kertas di atas meja dan tas kecil di pojoknya. Gemuruh napas sang pria otomatis bertambah liar.
“Ternyata, dia berani membantah perintahku?”
Tanpa membuang waktu, Max melaju menuju ruangan sebelah.
“Jika dia benar-benar berada di sana, jangan harap aku akan memberi maaf.”
Tiba-tiba, Sebastian keluar dari ruangan sambil menenteng tas. Saat melihat sang CEO, alisnya melengkung tinggi.
“Ada apa, Max? Apa ada hal genting yang perlu kita bahas?” tanya sang sekretaris dengan kedipan datar.
“Kau sudah mau pulang?” selidik pria den
“Ck, apa yang harus kulakukan?” pikir Max seraya mengacak rambut. Tatapannya masih terpaku pada punggung yang gemetar dalam kesedihan itu. “Apakah aku terlalu keras padanya?” Selang beberapa detik, Gabriella masih meringkuk dalam tangis. Isak pilunya membuat hati Max semakin tak tenang. Sembari meringis, pria itu menimbang-nimbang keadaan. “Haruskah aku menenangkannya?” gumamnya ragu. Setelah menarik napas panjang, Max akhirnya mengangkat tubuh sang istri. Tanpa terduga, tangisan Gabriella malah berhenti karena keterkejutan. Mata merahnya yang bulat kini tertuju pada sang suami dengan penuh tanya. Sesekali, pundaknya tersentak oleh sisa isakan. “Tak perlu heran. Aku hanya tidak ingin kau merepotkanku lagi,” celetuk Max seraya membawa istrinya menuju sofa. Setibanya di sana, ia menurunkan Gabriella dengan lembut lalu menyodorkan kotak bekal. “Makanlah! Bibi sudah bersusah payah mengantarkannya untukmu.” Sedetik kemudian, Max kembali men
Sepanjang perjalanan menuju bandara, Max tak bisa berhenti mengamati istrinya. Gabriella tampak ceria, sangat berbeda dari biasanya. "Apa yang terjadi di dalam ruangan itu? Kenapa dia mendadak lupa pada kesedihannya? Padahal, matanya saja masih bengkak," batin pria yang pura-pura fokus dengan tabletnya. Setibanya di pesawat, hal yang lebih mengejutkan datang. Wanita itu tiba-tiba menggenggam tangan sang suami saat pesawat hendak tinggal landas. "Apa yang kau lakukan?" bisik Max tidak bisa lagi menyembunyikan keheranan. "Bukankah ini membuatmu nyaman?" timpal Gabriella dengan mata bulat yang menggemaskan. Sang suami sampai tak bisa berkedip menatapnya. Selang satu embusan napas, Max menempelkan telapak tangan di kening sang istri. "Kau tidak demam," gumamnya setelah mendeteksi suhu tubuh yang normal. Kebingungan menumpuk semakin tinggi dalam benaknya. "Aku sudah sehat. Tenang saja. Aku tidak akan merepotkanmu lagi," bisik
Begitu keluar dari kamar mandi, Max terbelalak karena hanya mendapati Cherry di atas ranjang. Setelah celingak-celinguk dan tetap tidak menemukan sang istri, desah kesal berembus dari mulutnya. “Kenapa dia meninggalkan suaminya berduaan dengan perempuan lain? Apakah dia sama sekali tidak berperasaan?” gerutu pria yang kemudian menatap Cherry dengan raut jijik. “Perempuan ini ... selalu saja merepotkanku. Ck, seharusnya kubiarkan saja dia menangis di lobi. Dia yang batal menikah, tapi kenapa malah aku yang pusing? Kalau saja aku tidak mencoba menjadi teman yang baik, aku pasti sudah menikmati makan malam yang tenang.” Sedetik kemudian, alis Max terdesak ke atas. Kata-katanya baru saja mengingatkan janjinya kepada sang istri. Secepat kilat, ia berbalik menghadap meja yang ternyata sudah penuh dengan hidangan. Helaan napas tak percaya langsung terumbar di udara. “Dia benar-benar menyiapkan makan malam? Lalu, kenapa dia malah kembali ke kamar?” gerutu pri
Menyaksikan reaksi semacam itu, rasa bersalah Max sontak berlipat ganda. Sembari mengerutkan alis, ia mencoba menyentuh pundak istrinya.“Gabriella, maafkan aku. Tidak seharusnya aku bersikap kasar kepadamu,” ucap Max dengan lidah yang kelu.Sang istri tidak menjawab. Wanita itu terus membasuh hatinya yang terluka dengan air mata.“Aku benar-benar keterlaluan tadi. Kumohon, maafkan aku.”Lagi-lagi, Gabriella bungkam. Kesedihannya terlampau besar untuk mampu menerima permohonan maaf yang ia ragukan tersebut.Mengetahui bahwa sang istri telah menutup diri darinya, Max pun mendesah pasrah. Dengan lembut, direngkuhnya wanita itu.“Apa yang bisa kulakukan untuk mengobati lukamu?” bisik pria yang kini mengelus rambut sang istri.Beberapa detik berlalu, Gabriella masih saja terisak dalam dekapan. Wanita itu terlalu lelah untuk menyikapi keadaan. Diam ataupun melawan, keduanya sama-sama tidak mampu menghila
“Apakah kau mau membantuku mencari perempuan yang seperti itu?” tanya Max menguji rasa penasaran sang istri. “Aku hanya ingin lebih berhati-hati jika lain kali bertemu dengan perempuan impianmu,” jawab Gabriella dengan tampang datar. Melihat keseriusan wanita itu, sebelah sudut bibir Max melengkung naik. “Simak ini baik-baik. Aku menyukai perempuan yang berhati lembut, tidak berisik, mandiri, dan tidak merepotkan orang lain.” Alis Gabriella otomatis berkerut. “Apa kau sedang menyindirku?” tanya wanita itu dengan nada tak senang. Sang suami langsung menggeleng. “Tidak. Memang itulah kriteria wanita idamanku. Lalu, aku suka yang manis, lugu, tidak pendendam—“ “Baiklah, cukup. Aku sudah tahu. Kau menyukai perempuan yang bertolak belakang denganku,” sela Gabriella seraya mengangkat telapak tangannya. Menyaksikan sikap jengkel sang istri, Max sontak mengernyitkan dahi. “Kenapa kau kesal? Apakah kau berharap aku menyukaimu?” Bukannya
Sebuah ide tiba-tiba terlintas dalam benak Gabriella, ide yang enggan ia akui. “Tidak mungkin laki-laki ini menyayangiku. Dia pasti asal bicara. Seorang Max tidak akan mengerti arti keberadaan Snowy bagiku. Tidak seharusnya dia menggunakan boneka kesayanganku sebagai analogi,” batinnya. “Apa maksudmu?” tanya Gabriella terdengar ragu. “Apa kau tidak merasa kehidupan kita mirip? Harus berjuang seorang diri tanpa ada seorang pun yang mendukung dengan setulus hati.” Sang wanita terpaku menyimak perkataan Max. Baru kali itu ia mendengar suaminya begitu terbuka dan jujur. “Lalu, apa hubungannya dengan bonekaku?” selidik Gabriella dengan alis berkerut. Senyum getir sang suami lagi-lagi menambah kebingungannya. “Kau beruntung masih memiliki Snowy yang bisa menenangkan gelisahmu. Saat kau menangis dan butuh kekuatan, kau bisa langsung memeluknya. Tetapi aku ... aku tidak memiliki siapa pun sebelum kau datang.” Deg! Perasaan aneh sontak memenuhi
Begitu membuka mata, Cherry langsung mengerang dan memegang kepalanya yang berat. Bau alkohol yang tercium dari napasnya membuat kening mengernyit. Namun, begitu otak membuka memori, mata wanita itu sontak terbuka lebar. “Apakah rencanaku berhasil? Aku tidak ketahuan berbohong oleh Max, bukan?” Sedetik kemudian, Cherry celingak-celinguk mengamati keadaan sekitar. Sudut bibirnya baru tertarik maksimal ketika mendapati tubuhnya yang polos di balik selimut. “Ternyata, rencanaku berhasil,” gumamnya sebelum cekikikan dengan gaya centil. “Tapi, di mana Max? Dan, kenapa kamar ini gelap?” pikir Cherry sembari memperhatikan tirai jendela yang tidak tertembus sinar mentari. Tiba-tiba, terdengar suara pintu dibuka. Secepat kilat, wanita yang masih berbaring itu menyingkap selimut dan memasang pose menggoda. “Itu pasti Max. Mari lihat, apa yang akan dia lakukan padaku,” batin si penipu di balik kelopak matanya yang terkatup rapat. Ia sama sekali t
“Kalau begitu, berlututlah di hadapan Gabriella. Minta maaf kepadanya dan berjanjilah tidak akan mengulangi kesalahanmu lagi,” ujar Max tanpa sedikit pun keraguan. Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Istri sang CEO masih terkurung dalam keterkejutan, tak menyangka jika sang suami begitu menjaga derajatnya, sedangkan Cherry hanya bungkam, mempertimbangkan syarat yang diajukan. Kerut alis tak senang telah memayungi mata gelisahnya. Belum sempat Gabriella meminta kelonggaran kepada sang suami, si wanita cantik sudah lebih dulu berlutut dengan kepala tertunduk. “Maafkan aku, Nona. Lain kali, tidak akan kuulangi lagi. Aku benar-benar tidak tahu bahwa Anda kekasih Max.” Wanita berhati lembut sontak mendesah tak tega. Namun, ketika ia hendak menyentuh pundak Cherry, sang suami menahannya. “Kau tidak perlu mengasihaninya, Gaby. Dia memang harus mengingat momen ini agar tidak semena-mena kepada siapa pun, khususnya dirimu.” “Tapi, kurasa ini