Dengan mata berkaca-kaca dan napas terengah-engah, Gabriella berjalan cepat. Ia sama sekali tidak memedulikan keributan yang terjadi di belakang. Kemarahan Amber tidak lebih penting dibandingkan kakak iparnya.
Begitu ia membuka pintu, sang sekretaris langsung menoleh dengan lengkung alis tinggi. Tanpa menunggu perintah, gadis itu cepat-cepat menyerahkan kursi yang didudukinya. “Nyonya?”
“Bagaimana kondisi Julian?” tanya Gabriella dengan suara pelan.
“Operasinya berjalan lancar, Nyonya. Kita tinggal menunggu Tuan sadar,” terang Mia sembari menoleh ke arah pria yang dikelilingi oleh banyak selang.
Merasa ragu, Gabriella pun memegangi pundak sang gadis. “Kau tidak berbohong demi membuatku tenang, ‘kan?”
Dengan wajah tanpa senyum, Mia menggeleng. “Aku berkata jujur, Nyonya. Tuan sudah melewati masa kritis. Sekarang, kita hanya perlu menunggunya sadar.”
“Jadi, dia tidak akan mati, bukan?” tanya Gabriella tak mampu lagi menyaring kata-kata.<
“Apakah kau sudah menyampaikan terima kasih kepada Julian?” tanya Max saat melihat wajah sang istri tidak lagi muram. Wanita yang baru memasuki kamarnya itu sudah bisa tersenyum lepas. “Ya. Dia sadar ketika aku menemuinya,” lapor Gabriella sebelum menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. “Lalu, bagaimana keadaannya?” Bibir sang wanita sontak mengerucut. “Dia baik-baik saja, Max. Dokter mengatakan kalau tubuhnya kuat. Dalam beberapa hari, dia sudah boleh pulang. Julian hanya perlu menjaga lukanya tetap bersih dan menaati aturan makan. Banyak yang tidak boleh dia konsumsi sekarang. Kalau mengingat hal itu, aku jadi semakin merasa bersalah.” “Kau tenang saja, Gaby. Mia pasti mengurusnya dengan sangat baik,” ucap sang pria mencoba meringankan beban dalam hati istrinya. Tanpa terduga, kata-kata sederhana itu berhasil membuat senyum Gabriella kembali merekah. “Apakah kau tahu? Kurasa, Julian memiliki perasaan terhadap Mia,” celetuk wanita itu dengan
“Maaf, Tuan. Anda tidak bisa semena-mena terhadap saya. Meskipun saya bekerja sebagai sekretaris, tetap ada batasan untuk saya memenuhi permintaan Anda. Saya tidak bisa 24 jam terus memenuhi kebutuhan Anda,” ujar Mia mulai menaikkan suara. Alis gadis itu telah berkedut menahan jengkel. Ia tidak mengerti mengapa bosnya sangat kekanakan. “Jadi, kau tega meninggalkanku bersama Amber? Bukankah kau sudah tahu kalau wanita itu tidak becus. Dia memasak air saja gosong. Bagaimana nasibku jika diurus olehnya?” Sambil menggeleng-geleng tak habis pikir, sang sekretaris menghela napas. “Tenang saja. Nona Amber tidak perlu memasak air di sini. Sekarang, saya harus pergi. Sebentar lagi, dia akan tiba di sini.” Sedetik kemudian, gadis itu meraih tas, bersiap untuk berangkat. “Tapi aku tidak mau kau pergi, Mia. Tetaplah di sini bersamaku. Sebastian pasti bisa mengurus perusahaan seorang diri,” bujuk Julian dengan tampang memelas. “Permisi, Tuan. Saya sudah te
“Tampaknya, kau memang tipe pria yang tidak bisa menyembunyikan perasaan, hm?” celetuk Max yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.Menyadari kehadiran sang adik, Julian spontan mendengus. “Apakah kau menguping sejak tadi?” tanyanya sambil menaikkan alis.“Bukan menguping. Hanya tidak sengaja mendengar,” timpal Max sembari mengangkat pundak dengan ringan. Sedetik kemudian, ia menghampiri sang kakak dengan langkah santai. “Jadi, bagaimana keadaanmu?”“Kau lihat sendiri. Aku baru saja diabaikan oleh Mia,” jawab Julian seraya memutar bola mata. Ia sudah siap menyambut sindiran dari adiknya.“Bukan itu. Tapi, kondisi perutmu. Kudengar, kau telah menyelamatkan istriku dengan aksi yang sangat heroik. Sampai-sampai, kau rela mengorbankan nyawamu.”Mendapat jawaban yang tak terduga itu, tatapan Julian perlahan bergeser kembali kepada sang adik. Begitu menemukan lengkung bibir yang
“Tuan?” desah seorang pelayan yang semula duduk di sofa.Setelah melihat anggukan dari Max, si gadis muda bergegas keluar dari ruangan. Ia tahu bahwa pria itu membutuhkan privasi bersama sang ayah yang masih terbaring di kasur rumah sakit.Seperginya sang pelayan, Max menatap ayahnya dalam diam. Pria tua itu tampak tidur dengan pulas. Namun, ketika sang anak tiba di sisi ranjang, mata keriput itu perlahan terbuka.“Max?” desah Herbert menimbulkan embun dalam masker yang menutupi mulutnya. Sedetik kemudian, keharuan mulai melapisi penglihatannya.“Apa kabar, Pa? Apakah tubuhmu sudah lebih sehat?” tanya Max sembari berusaha melengkungkan bibir.Tanpa terduga, butir kesedihan mulai mengalir membasahi pelipis si pria tua. Dengan napas yang mulai tak beraturan, ia mengangkat tangan, berharap dapat menggapai putranya.“Kenapa kau memberikan hatimu?” tanyanya dengan suara yang agak tak jelas. “A
“Jadi, Papa langsung menangis saat mengetahui Julian sempat kritis?” tanya Gabriella yang masih menyisir rambut di depan cermin.“Ya. Butuh beberapa menit untuk Papa berhenti terisak,” sahut pria yang telah berbaring di kasur.“Kalau begitu, kurasa kau tidak akan kesulitan untuk mendamaikan mereka. Papa tidak membenci Julian sebesar itu,” gumam sang wanita sembari meletakkan sisir di meja rias. Sedetik kemudian, ia berjalan menuju tempat tidur.Melihat sang istri telah berbaring di samping, Max diam-diam tersenyum. Dengan hati-hati, ia memiringkan badan agar bisa memandangi wajah Gabriella lebih jelas.“Tapi, apakah Papa dan Julian tidak keberatan? Menunggu hingga kondisi mereka sama-sama pulih itu membutuhkan kesabaran. Kenapa tidak sekarang saja kau mempertemukan mereka?” celetuk sang wanita tanpa memedulikan tangan yang mulai menjalar tak tentu arah.“Aku ingin membuat momen perdamaian yang b
“Selamat ulang tahun, Nyonya Evans!” seru para pelayan saat Gabriella baru menuruni tangga. Mendapat sambutan sehangat itu, perempuan bergaun biru otomatis melebarkan senyum. “Terima kasih,” ucapnya sembari mengangguk kepada semua wanita berseragam. Sedetik kemudian, Minnie maju dengan sebuah kotak di tangannya. “Kami bingung kado apa yang cocok untuk diberikan kepada Nyonya. Setelah berunding, kami akhirnya memutuskan untuk memberikan hal yang sederhana ini. Kami berharap Nyonya bisa bertambah sehat dengan kado dari kami.” Mendengar penjelasan tersebut, alis Gabriella sontak dikerutkan oleh rasa ingin tahu. Meskipun begitu, ia tetap mempertahankan lengkung bibirnya yang manis. “Terima kasih, Bi.” “Kalau Nyonya penasaran dengan isinya, buka saja,” celetuk seorang pelayan yang paling muda diiringi anggukan oleh rekan-rekannya. “Apakah tidak apa-apa?” tanya wanita bergaun biru dengan mata berbinar-binar. “Ya,” jawab mereka kompak.
Setelah menelan ludah, Sebastian langsung meruncingkan telunjuk ke arah hidangan. “Aku lupa. Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan Amber. Jadi, permisi. Kita berbincang lagi di lain waktu,” ucapnya tergesa-gesa.Tanpa menunggu tanggapan, pria itu pergi ke arah wanita yang disebut. Perubahan sikap itu sukses membuat Max menaikkan alis. “Apa yang salah dengannya?”Belum sempat si tuan rumah menemukan jawaban, perhatiannya teralihkan oleh tamu yang menghampiri. Kecurigaan terhadap kepanikan Sebastian seketika memudar.“Selamat malam, Tuan Evans, dan selamat ulang tahun, Nyonya Evans,” sapa sang tamu dengan senyum lebar.“Terima kasih, Rose. Aku sungguh tidak menyangka kau bisa hadir. Bukankah kau bilang kau sudah mulai bekerja?” ucap Gabriella hangat.“Memang benar. Tapi saya beruntung karena majikan yang baru juga baik hati. Dia bahkan mau ikut ke acara ini,” terang sang gadis sontak mem
Semua tercengang melihat kotak super besar yang diangkut oleh beberapa orang pria di balik kursi roda Herbert. Setelah mendapat arahan, mereka kompak menurunkan kotak berat itu di sudut ruang.“Apa yang Papa berikan kepada Gaby? Itu tampak berat sekali,” desah Max yang lupa menyapa karena terlalu takjub.“Itu sesuatu yang seharusnya sudah Papa kembalikan sejak dulu,” sahut si pria tua dengan lengkung bibir penuh arti.Mendapat petunjuk semacam itu, mata sang wanita sontak melebar. “Apakah itu pianoku?”Sedetik kemudian, Herbert mengangkat bahu. “Bukalah! Kau akan tahu.”Dengan hati yang berdebar, Gabriella mendekat ke arah hadiah. Ketika bungkusan biru selesai disingkirkan, helaan napas tak percaya otomatis terdengar.“Ini memang pianoku,” desahnya dengan mata berkaca-kaca.Setelah tersenyum ke arah Max, wanita itu beralih kepada sang mertua. “Terima kasih banyak, Pa.&r