Share

140. Memilih Momen

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-29 07:47:47

Setelah menelan ludah, Sebastian langsung meruncingkan telunjuk ke arah hidangan. “Aku lupa. Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan Amber. Jadi, permisi. Kita berbincang lagi di lain waktu,” ucapnya tergesa-gesa.

Tanpa menunggu tanggapan, pria itu pergi ke arah wanita yang disebut. Perubahan sikap itu sukses membuat Max menaikkan alis. “Apa yang salah dengannya?”

Belum sempat si tuan rumah menemukan jawaban, perhatiannya teralihkan oleh tamu yang menghampiri. Kecurigaan terhadap kepanikan Sebastian seketika memudar.

“Selamat malam, Tuan Evans, dan selamat ulang tahun, Nyonya Evans,” sapa sang tamu dengan senyum lebar.

“Terima kasih, Rose. Aku sungguh tidak menyangka kau bisa hadir. Bukankah kau bilang kau sudah mulai bekerja?” ucap Gabriella hangat.

“Memang benar. Tapi saya beruntung karena majikan yang baru juga baik hati. Dia bahkan mau ikut ke acara ini,” terang sang gadis sontak mem

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cinta CEO dalam Jebakan   141. Kau Membuatku Kuat

    Semua tercengang melihat kotak super besar yang diangkut oleh beberapa orang pria di balik kursi roda Herbert. Setelah mendapat arahan, mereka kompak menurunkan kotak berat itu di sudut ruang.“Apa yang Papa berikan kepada Gaby? Itu tampak berat sekali,” desah Max yang lupa menyapa karena terlalu takjub.“Itu sesuatu yang seharusnya sudah Papa kembalikan sejak dulu,” sahut si pria tua dengan lengkung bibir penuh arti.Mendapat petunjuk semacam itu, mata sang wanita sontak melebar. “Apakah itu pianoku?”Sedetik kemudian, Herbert mengangkat bahu. “Bukalah! Kau akan tahu.”Dengan hati yang berdebar, Gabriella mendekat ke arah hadiah. Ketika bungkusan biru selesai disingkirkan, helaan napas tak percaya otomatis terdengar.“Ini memang pianoku,” desahnya dengan mata berkaca-kaca.Setelah tersenyum ke arah Max, wanita itu beralih kepada sang mertua. “Terima kasih banyak, Pa.&r

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-29
  • Cinta CEO dalam Jebakan   142. Tidak Polos Lagi

    Herbert menghela napas lega melihat Max berdansa bersama Gabriella. Pasangan itu tak henti-hentinya tersenyum dan tertawa, menebar kebahagiaan kepada siapa saja yang menyaksikan mereka.“Bukankah mereka sangat serasi?” gumam si pria tua kepada pelayan muda yang duduk di dekatnya.“Ya, Tuan,” sahut sang gadis seraya mengangguk.Sembari menjaga lengkung bibir, Herbert terus memandangi kemeriahan acara. “Sepertinya, aku bisa tenang sekarang,” pikirnya sambil memeriksa ingatan.Selang beberapa saat, raut wajah si pria tua kembali datar. Benda yang baru dikembalikan oleh Julian lagi-lagi mengganjal dalam hatinya.“Tolong ambilkan ponsel hitam yang tadi kau simpan,” pinta Herbert sontak membuat sang pelayan meraih tas yang tergantung di kursi roda.Ketika ponsel itu tiba dalam genggaman, si pria tua langsung menekan tombol on. “Ada apa dengan ponsel ini? Kenapa aku menitipkannya kepada Julian?&

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-30
  • Cinta CEO dalam Jebakan   143. Undangan untuk Pangeran Kecil

    Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu. Mendapat kunjungan tak terduga itu, lengkung bibir Max seketika menciut.“Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?” gerutu pria itu sebelum beranjak dari ranjang. Ketika membuka pintu, ia gagal menyembunyikan ketidaksenangannya. “Ada apa?”“Maaf, Tuan. Apakah Nyonya sudah meminum obat herbalnya?” tanya seorang pelayan dengan alis melukiskan cemas.Hanya dalam sekejap, kekesalan Max berubah menjadi kekhawatiran. “Sudah. Apakah ada masalah?”Ringisan sang pelayan sontak menambah ketegangan. “Maaf, Tuan. Saya salah memberikan tanaman herbal. Yang diminum Nyonya adalah obat titipan kakak saya.”“Obat apa itu? Apakah bisa membahayakan kesehatan Gabriella?” tanya sang pria dengan mata terbelalak.“Tidak, Tuan. Hanya saja, itu obat untuk meningkatkan ... gairah.”Mendengar jawaban tersebut, suara tawa hampir saja lolos d

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-30
  • Cinta CEO dalam Jebakan   144. Menyambut Pangeran Kecil

    “Ingat, Nyonya. Kalau ternyata bayi dalam kandungan itu adalah perempuan, Anda tidak boleh kecewa.” Tangan sang wanita spontan meremas jemari Max lebih kencang. Kata-kata Minnie yang terngiang-ngiang dalam benaknya telah menambah sesak dalam dada. Sambil terpejam, Gabriella mencoba menarik napas dalam. “Jangan khawatir, Gaby,” bisik Max sembari balas menggenggam, memberi sinyal bahwa dirinya mengirimkan dukungan. “Kenapa Nyonya tegang sekali? Pemeriksaan USG tidak menimbulkan rasa sakit,” ucap sang dokter sembari tersenyum. Gabriella tidak mampu menjawab. Ia hanya mengembalikan pandangan sambil terus mengatur napas. Gemas melihat sang istri, Max tiba-tiba mendengus ringan. Sambil menggenggam jemari yang terasa dingin itu, ia membelai kepala sang wanita dengan tangan lain. “Gaby,” bisik pria itu mencuri perhatian. Begitu sang istri membalas tatapannya, secepat kilat ia membentangkan senyum dan mengangguk. “Tidak apa-apa,” ucapnya hanya

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-31
  • Cinta CEO dalam Jebakan   145. Cayden Evans

    Max berulang kali menarik napas lalu mengembuskannya dengan konstan. Ia berharap sang istri dapat mengikutinya. Akan tetapi, si wanita berwajah pucat tidak bisa lagi mengendalikan paru-paru. Rasa sakit telah melilit perutnya. “Sakit, Max,” rintih Gabriella sembari mencengkeram tangan sang suami lebih kuat. “Sabar, Gaby. Kamu belum boleh mendorong. Tunggu aba-aba dari dokter. Mengerti?” terang sang pria sembari mengusap keringat yang membanjiri wajah istrinya. “Sekarang, atur napas bersamaku.” Dengan air mata yang hampir tumpah, sang wanita terus menatap suaminya. “Tarik, embuskan ... tarik, embuskan.” Gabriella berusaha untuk patuh. Akan tetapi, lima detik berlalu, ia menggeleng, menyatakan dirinya sudah di ambang kesabaran. “Aku tidak bisa lagi, Max. Tidak bisa,” desah wanita itu sambil meringis. Merasa tak tega, pria itu mengecup kening sang istri. “Bertahanlah, Gaby. Demi Pangeran Kecil kita,” bisiknya. Sambil memeja

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-31
  • Cinta CEO dalam Jebakan   BONUS: Jalan-Jalan Pertama

    “Yeay! Hari ini, Pangeran Kecil jalan-jalan ke taman,” seru Gabriella sembari memakaikan tudung jumpsuit panda di kepala putranya.Seolah mengerti dengan apa yang diucapkan oleh sang ibu, Cayden tersenyum sambil menyatukan tangan. Mata bulatnya terlihat berbinar-binar.Menyaksikan respon semacam itu, sang ayah yang memperhatikan putranya sedari tadi pun tertawa. “Dia terlihat sangat senang,” ucap Max sambil membiarkan Cayden menggenggam telunjuknya.“Tentu saja. Ini jalan-jalan pertamanya,” sahut Gabriella sembari memeriksa perlengkapan di sisi ranjang. Selang beberapa saat, ia menutup tas lalu menyandangnya. “Semua sudah siap. Ayo berangkat.”“Apakah Bibi jadi ikut?” tanya Max seraya mengangkat Cayden dalam dekapan.“Tidak. Bibi mengeluh kalau lututnya sakit. Jadi, Lena yang menemani kita,” jawab Gabriella sambil membukakan pintu kamar dan menutupnya ketika sang suami sudah le

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Cinta CEO dalam Jebakan   BONUS: Di Mana Cayden?

    “Kira-kira rasa apa yang akan disukai Cayden? Vanila atau teh hijau? Atau jangan-jangan, dia memiliki selera yang berbeda dari orang tuanya?” gumam Gabriella seraya melihat sekotak es krim yang penuh dengan warna.“Ah, semoga saja perutnya tidak apa-apa. Dia hanya boleh mencicipi seujung sendok saja kalau rasanya sebanyak ini,” pikir wanita itu sebelum mempercepat langkah. Ia tidak sabar ingin melihat wajah bahagia Pangeran Kecil.Namun, ketika pandangannya terarah pada bangku, lengkung bibir Gabriella mendadak hilang. Ia hanya melihat seorang pelayan duduk di sana. Dengan hati yang berdebar, wanita itu berlari menghampiri sambil memeriksa sekeliling.“Lena, di mana Cayden?” desahnya dengan napas yang tak beraturan.Tanpa sedikit pun beban, sang pelayan menurunkan ponsel dari depan wajahnya. “Di si ... ni.”Hanya dalam sekejap, mata gadis muda itu terbuka lebar. “Astaga! Di mana Tuan Muda? Semen

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Cinta CEO dalam Jebakan   BONUS: Kuat dan Tangguh

    Begitu memasuki kamar, Max langsung menghampiri sang istri yang berbaring bersama Cayden. Wanita itu masih mengerutkan alis walau matanya terpejam. Tangan yang mendekap hangat sang bayi, tampak begitu waspada.“Syukurlah,” desah Max sembari mengelus kepala Pangeran Kecil.Hanya dalam sekejap, Gabriella tersentak dan memeluk putranya lebih erat.“Tenanglah, Gaby. Ini aku,” bisik Max, takut membangunkan sang bayi.“Kau sudah pulang?” desah wanita yang masih dilanda keterkejutan.“Ya. Aku memesan tiket paling awal begitu mendapat kabar,” terang sang pria dengan lengkung bibir kaku.Selang keheningan sejenak, bola mata yang gemetar mulai menampakkan keharuan. “Maafkan aku, Max. Aku sudah lalai menjaga putramu.”Melihat istrinya menangis, hati sang pria mendadak teriris. Setelah membelai rambut wanita itu, ia pun memberikan kecupan penenang di kening.“Yang penting, C

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04

Bab terbaru

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 20. Bahagia Selama-lamanya

    “Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 19. Ayo Kita Pulang

    “Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 18. Aku Lebih Baik Menghilang

    “Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 17. Kau Seharusnya Bersyukur

    “Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 16. Aku Akan Meminta Maaf

    Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 15. Sudah Keterlaluan

    “Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 14. Penyesalan Tuan Hunt

    “Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 13. Keputusasaan Seorang Ayah

    Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 12. Grace dan sang Kakek

    Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb

DMCA.com Protection Status