“Yeay! Hari ini, Pangeran Kecil jalan-jalan ke taman,” seru Gabriella sembari memakaikan tudung jumpsuit panda di kepala putranya.
Seolah mengerti dengan apa yang diucapkan oleh sang ibu, Cayden tersenyum sambil menyatukan tangan. Mata bulatnya terlihat berbinar-binar.
Menyaksikan respon semacam itu, sang ayah yang memperhatikan putranya sedari tadi pun tertawa. “Dia terlihat sangat senang,” ucap Max sambil membiarkan Cayden menggenggam telunjuknya.
“Tentu saja. Ini jalan-jalan pertamanya,” sahut Gabriella sembari memeriksa perlengkapan di sisi ranjang. Selang beberapa saat, ia menutup tas lalu menyandangnya. “Semua sudah siap. Ayo berangkat.”
“Apakah Bibi jadi ikut?” tanya Max seraya mengangkat Cayden dalam dekapan.
“Tidak. Bibi mengeluh kalau lututnya sakit. Jadi, Lena yang menemani kita,” jawab Gabriella sambil membukakan pintu kamar dan menutupnya ketika sang suami sudah le
“Kira-kira rasa apa yang akan disukai Cayden? Vanila atau teh hijau? Atau jangan-jangan, dia memiliki selera yang berbeda dari orang tuanya?” gumam Gabriella seraya melihat sekotak es krim yang penuh dengan warna.“Ah, semoga saja perutnya tidak apa-apa. Dia hanya boleh mencicipi seujung sendok saja kalau rasanya sebanyak ini,” pikir wanita itu sebelum mempercepat langkah. Ia tidak sabar ingin melihat wajah bahagia Pangeran Kecil.Namun, ketika pandangannya terarah pada bangku, lengkung bibir Gabriella mendadak hilang. Ia hanya melihat seorang pelayan duduk di sana. Dengan hati yang berdebar, wanita itu berlari menghampiri sambil memeriksa sekeliling.“Lena, di mana Cayden?” desahnya dengan napas yang tak beraturan.Tanpa sedikit pun beban, sang pelayan menurunkan ponsel dari depan wajahnya. “Di si ... ni.”Hanya dalam sekejap, mata gadis muda itu terbuka lebar. “Astaga! Di mana Tuan Muda? Semen
Begitu memasuki kamar, Max langsung menghampiri sang istri yang berbaring bersama Cayden. Wanita itu masih mengerutkan alis walau matanya terpejam. Tangan yang mendekap hangat sang bayi, tampak begitu waspada.“Syukurlah,” desah Max sembari mengelus kepala Pangeran Kecil.Hanya dalam sekejap, Gabriella tersentak dan memeluk putranya lebih erat.“Tenanglah, Gaby. Ini aku,” bisik Max, takut membangunkan sang bayi.“Kau sudah pulang?” desah wanita yang masih dilanda keterkejutan.“Ya. Aku memesan tiket paling awal begitu mendapat kabar,” terang sang pria dengan lengkung bibir kaku.Selang keheningan sejenak, bola mata yang gemetar mulai menampakkan keharuan. “Maafkan aku, Max. Aku sudah lalai menjaga putramu.”Melihat istrinya menangis, hati sang pria mendadak teriris. Setelah membelai rambut wanita itu, ia pun memberikan kecupan penenang di kening.“Yang penting, C
“Cayden!” seru Max saat baru membuka pintu kamar. Bayi yang hampir terlelap seketika tersentak dan menoleh ke arah ayahnya. “Kenapa kau berteriak begitu?” tegur Gabriella seraya meringis. “Padahal, aku hampir berhasil menidurkannya.” Merasa bersalah, sang pria tersenyum kecil. “Maaf. Aku tidak sabar ingin menunjukkan ini kepadanya. Tada!” Begitu melihat sekotak es krim di tangan sang ayah, Pangeran Kecil langsung meronta-ronta, mencoba bangkit dari dekapan ibunya. “Lihatlah! Sekarang, dia tidak akan tidur. Kenapa tidak nanti saja, Max? Lagipula, ini bukan waktu yang tepat untuk Cayden menikmati es krim.” “Tidak apa-apa, Gaby. Dia baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Tidak ada salahnya memanjakan Cayden hari ini,” ujar Max seraya duduk di tepi ranjang. Tanpa menunggu perintah, sang bayi merangkak ke pangkuan ayahnya. Ketika Max menempelkan tangan Pangeran Kecil ke penutup kotak, tawa ceria sontak terdengar. Cayden terl
Mia dan Julian kebingungan melihat wajah panik semua pelayan. Wanita-wanita itu sibuk mencari dan mengekspresikan kekhawatiran. “Apa yang terjadi?” tanya Mia setelah berhasil mencegat salah satu wanita berseragam. “Tuan Muda hilang lagi, Nona.” Dalam sekejap, Julian dan Mia kompak terbelalak. “Hilang lagi? Bukankah dia sedang di rumah?” selidik sang pria dengan alis masih melengkung tinggi. “Ya, Tuan. Terakhir, Tuan Muda masih berada di kamarnya. Lalu tiba-tiba saja, dia menghilang.” Mendengar penjelasan yang terkesan mustahil, Julian pun menatap sekretarisnya. Setelah mendapati kecurigaan yang sama, ia kembali menoleh ke arah pelayan. “Di mana Max dan Gabriella sekarang?” Telunjuk sang pelayan seketika meruncing. “Di lantai atas, Tuan.” “Baiklah, terima kasih.” Tanpa membuang waktu, Julian dan Mia menderapkan langkah menuju tangga. “Bukankah ini aneh?” desah sang pria yang dijawab oleh anggukan sa
Halo, Wise Reader ... Terima kasih telah mengikuti cerita Max Gaby, dan juga Pangeran Kecil. Pixie sangat berharap pembaca dapat terhibur dan mengambil pelajaran dari cerita ini. Hari ini, Pixie ingin berbagi tentang ide awal ketika menulis kisah Max dan Gaby. Dulu, sewaktu masih jadi anak rantauan, Pixie tinggal di sebuah rumah kos. Tempatnya nyaman, sampai Pixie betah selama 7 tahun di sana. Waktu itu, ketika lagi cinta-cintanya sama kosan, tiba-tiba, ada sebuah perusahaan ingin membeli rumah itu dengan harga tinggi. Mereka ingin meratakan rumah itu untuk dijadikan lahan bisnis. Rasanya sedih sekali ketika tahu tentang kabar tersebut. Beruntung, pemilik kosan Pixie orangnya teguh pendirian. Beliau tidak mau melepas rumah kosan yang sudah puluhan tahun menampung banyak mahasiswa. Meskipun harga penawaran sudah dinaikkan, beliau tetap menolak tawaran. Padahal, pemilik kosan
“Mia, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu?” ucap Julian sukses membuat sang sekretaris menghentikan langkah. Dua detik kemudian, gadis yang semula berjalan menuju pintu itu, berbalik menghadapnya.“Ada apa, Tuan?”Sambil menyempalkan tangan ke dalam saku, sang CEO mengitari meja kerja dan berhenti tepat di hadapan sekretarisnya.“Max, kau, dan aku tumbuh bersama sejak kecil. Dengan kata lain, kau pasti sudah sangat mengenal kami,” ujarnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Baru kali ini Mia mendapati raut semacam itu. “Menurutmu, adikku itu orang yang seperti apa?”Mendapat pertanyaan yang terkesan konyol, sang sekretaris hampir saja mengerutkan alis. Namun, demi menghargai bosnya, ia terpaksa mempertahankan tampang datar.“Tuan Max orang yang cerdas dan penuh perhatian. Meskipun dia tegas dan ambisius, dia tetap bisa menempatkan keluarga sebagai prioritasnya. Tipikal pria idaman banyak wa
Ketika keluar dari ruangan, mata Julian otomatis terbuka lebar. Untuk pertama kalinya, ia tidak menemukan sang sekretaris di meja kerja.“Apakah Mia sudah pulang? Kenapa dia tidak menungguku?” gumam pria itu sambil memeriksa kolong meja. Sesuai dugaan, tidak ada satu pun tas yang tergantung di sana. “Mia benar-benar meninggalkanku?”Selang perenungan singkat, Julian terkesiap. Sesuatu telah melintas dalam benaknya. Tanpa membuang waktu, ia berjalan cepat, berusaha untuk menemukan sang sekretaris.“Mia sudah terbiasa menghadapi ledakan emosiku. Tidak mungkin dia marah,” gumam sang pria, menyangkal pemikiran sendiri. Ia tidak bisa membayangkan jika kesabaran sang gadis tidak bersisa. Bagaimana cara mendapatkan hati Mia jika gadis itu tidak lagi mau mendengarkan kata-katanya?Tepat ketika Julian berbelok, matanya menangkap bayangan sang sekretaris. Gadis itu baru saja memasuki lift.“Mia!” panggil sang C
“Apakah kau tidak pernah sedikit pun mencintaiku?” tanya Julian dengan nada rendah dan penuh penekanan. Sembari mengepalkan tangan, Mia memaksakan kepalanya yang kaku untuk bergerak. “Ya, saya tidak pernah mencintai Anda, Tuan.” “Omong kosong!” hardik sang pria sukses membuat sang gadis menahan napas. “Kau jelas menyimpan perasaan yang sama denganku, Mia. Beberapa kali, aku melihatnya di matamu. Tapi kenapa kau selalu saja menyangkal?” “Itu hanya imajinasi Anda, Tuan. Saya tidak pernah memiliki perasaan semacam itu. Hubungan kita hanya sebatas anak buah dan atasan.” “Bohong!” Sedetik kemudian, Julian mencengkeram kepala dan meringis. “Kalau kau tidak pernah mencintaiku, lalu kenapa kau selalu setia berada di sisiku?” erangnya lirih. “Karena saya berutang budi pada keluarga Evans. Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu Anda dalam segala kesulitan.” Mendengar alasan semacam itu, sang pria menggeleng dan mendesah. “Tidak mung