Seharian aku beristirahat di hotel yang dipesan langsung oleh pak Bram. Akhirnya pak Bram pulang selesai meeting sekitar jam tiga sore. Dia langsung bersiap-siap untuk pulang, tetapi aku bahkan tidak tau kalau pak Bram sudah pulang, apalagi bersiap-siap pulang.
"Riri, ayo pulang!" teriaknya sambil mengetus pintu kamarku.
"Kemana Pak?" tanyaku bingung. Aku masih saja mengucek mataku.
"Pulang ke Jakarta, emang kemana lagi?" ucapnya dingin.
"Ya ampun Pak, saya bahkan belum bersiap-siap," ujarku loyo.
"Saya tunggu di mobil, dalam waktu lima menit kita berangkat ke bandara!" ucapnya singkat, aku berfikir panjamgn dalam waktu lima menit, apa yang bisa aku lakukan. Sedangkan barang bawaanku sangat berantakan di kamar.
Aku bersiap secepat mungkin, aku berlari ke mobil menghampiri pak Bram tanpa mandi, bayangkan tanpa mandi.
"Saya sudah siap Pak?" ujarku dab naik ke mobil pak Bram.
"Wah, cepat sekali!" balasnya menatap ke depan.
"Bapak bilang dalam waktu lima menit, jadi saya ke sini tanpa mandi!" sambung ku.
"Dasar perempuan pemalas!" ujarnya kecil dan langsung meminta pak supir untuk menjalankan mobil menuju bandara. Sesampainya di bandara, aku sangat kerepotan membawa tasku, ditambah lagi rambutku yang masih diikat semberaut.
"Ayo cepat!" teriaknya tanpa membantu sama sekali, ya aku juga paham, tidak mungkin seorang CEO membantu membawakan tas bawahannya.
"Iya Pak," balasku panik.
Saat akan naik ke pesawat, tanpa sengaja aku terpeleset di tangga pesawat, aku malu hingga aku tidak berdiri karena malu. Tiba-tiba ada seseorang yang menjulurkan tangan padaku, aku melihat ke arah tangan itu dan ternyata itu adalah pak Bram.
"Malu-maluin aja!" ujarku tak menghiraukan aku yang sedang ke sakitan.
"Gara-gara Bapak sih, makanya aku jatuh," cetusku kesal mendengar ucapannya.
Saat itu dia hanya diam dan menarik tanganku untuk segera berdiri dan masuk ke pesawat. Seperti kemarin pas berangkat, aku duduk disampingnya. Oh iya, ini adalah kali pertama aku naik pesawat. Jadi, aku ingin sekali duduk di samping jendela. Aku berlari mendahului pak Bram dan duduk di samping jendela.
"Hanya ini tujuanmu berlari!" ujarnya dingin.
"Aku ingin melihat ke bawah Pak!" jawabku.
"Ya sudah, loncat saja agar lebih leluasa melihat ke bawah!" celetuk pak Bram.
Aku yang kesal langsung mengalihkan pandanganku ke arah luar.
"Oh, jadi sekarang, kamu sudah berani bersikap cuek padaku!" sambung Pak Bram.
"Ih, Bapak ini ganggu saja," ujarku.
Tak lama setelah itu, pesawat mendarat, aku sangat terpesona melihat ke rah luar yang penuh dengan awan.
"Siapa Alex itu?" tanya pak Bram tiba-tiba.
Aku berlahan melihat ke arahnya.
"Anak teman bunda," jawabku Cepat. Lalu aku kembali melihat ke arah jendela.
"Apa dia menyukaimu?" tanyanya lagi.
"Untuk apa Bapak tau, apa Bapak cemburu?" ujarku menggodanya.
"Tidaklah, untuk apa saya cemburu?" ujarnya singkat dan terlihat wajahnya yang kian memerah.
"Siapa tau Bapak suka sama saya!' balasku tetap bernada mengejek.
Pak Bram tidak melanjutkan pertanyaan itu lagi, aku juga memfokuskan pandanganku ke luar. Tapi ditengah perjalanan aku kedinginan, tetapi lupa mengeluarkan jaket ku yang sudah di garasi pesawat.
"Kamu kedinginan?" tanya Pak Bram cuek.
"Tidak!" balasku singkat, kalau aku bikang iya, mungkin ia akan mengejekku bukannya bukannya membantu.
Tiba-tiba Pak Bram membuka jasnya dan menaruhnya ke tubuhku agar sedikit hangat. Aku melihat Pak Bram dengan tatapan kagum, karena ternyata dia itu adalah orang yang baik.
"Apa?" tanyanya sinis melihat ke arahku.
"Tidak, tidak ada Pak!" balasku.
"Kamu gak usah GR, saya hanya merasa panas berhubung kamu kedinginan, tidak ada salahnya saya memberi jas itu kepadamu!" ujarnya tetap dingin. Itu yang membuatku selalu jengkel padanya.
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Jakarta. Saat itu aku masih tertidur, aku tidak sadar kalau kami sudah sampai di tempat tujuan.
"Bangun, tidur saja kerjamu!" bisiknya.
"Eh, iya Pak, sudah sampai ya?" tanyaku dan melihat ke sekeliling, berhubung kami berada di kelas bisnis, aku melihat sudah tidak ada lagi orang disana. Aku langsung berjalan ke luar dan meninggalkan Pak Bram di dalam. Tetapi, aku terus berjalan menuju bagian luar bandara, saat aku sudah berada di luar, aku mulai menyadari bahwa aku belum mengambil barang.
"Ya ampun, aku belum mengambil barang ku!" teriakku dan berniat langsung masuk kembali.
Tiba-tiba pak Bram datang dan membawa dua tas, tas yabg satunya adalah milikku.
"Tinggalkan saja!" ujarnya sinis melihatku.
"Maaf Pak, saya lupa!" balasku sambil sedikit tertawa malu.
"Ketawa lagi, nih ambil, bawakan sekalian sama tas saya!" ujarnya melempar tas itu ke tanganku.
"Iss, ngebelin banget sih!" ucapku kecil.
"Mengomellah semaumu," ujarnya dan berjalan menuju mobilnya.
Aku mengikutinya dan masuk ke mobilnya juga. Aku sudah tidak sabar ingin segera sampai dan bertemu dengan Alex.
"Nah, sudah sampai di rumahmu!" ujarnya.
Aku tetap diam membayangkan betapa bahagianya nanti aku jalan bersama Alex.
"Apa yang kamu fikirkan? Turun!" senggaknya.
"Iya Pak ah, sabar dong!" cetusku.
"Makanya, jangan kebanyakan ngayal!" teriaknya dari mobil dan langsung menutup kaca mobilnya. Lalu pak Bram pergi.
"Bunda!" ujarku bahagia.
"Sayang, kamu sudah pulang, gimana perjalanan kamu?" tanya Bunda.
"Aku senang Bun karena bisa naik pesawat, tapi aku benci karena harus sama CEO korban Ghosting itu!" pekik ku.
"Alah, kamu senang kan sama Pak CEO yang tampan itu!" ujar kakak tiba-tiba datang menghampiri aku dan Bunda.
"Ih Kak, aku males banget sama dia, dia gak waras!" ujarku langsung masuk kemarku. Aku mendengar kakak dan bunda tertawa membahas ku di ruang tamu. Tapi jujur aku juga merasa kalau Pak Bram itu tampan.
Ponselku berdering, aku langsung mengangkat dan ternyata itu Alex, aku sontak bahagia karena aku berfikir Alex ingin mengajakku jalan.
"Halo Ri," ujar Alex.
"iya Lex, ada apa?" tanyaku pura-pura tidak tau.
"Kamu sudah di Jakarta kan? Nanti malam jalan yuk!" anaknya, benar memang Alex ingin mengajakku jaln, aku yang benar-benar senang langsung menerima ajakan Alex.
"Iya Lex, kamu datang aja, aku siap-siap sekarang!" sambung ku, karena memang aku tiba di Jakarta sudah sore hari.
Alex langsung mematikan ponselnya dan bergegas menjemputku.
"Assalamualaikum Ri!" ujar Alex mengucap salam.
"Walaikumsalam, iya Lex, bentar ya aku keluar!" ujarku dari kamar.
Langsung aku keluar untuk menemui Alex, kami izin ke Bunda dan langsung pergi untuk makan malam di luar. Di tengah perjalanan, aku sangat bahagia bisa bersama Alex, walaupun kami belum sah berpacaran, tapi aku sudah bahagia. Ya kebahagiaan ku memang sesimpel itu.
Kebahagiaan bersama Alex membuatku melupakan kekesalan terhadap pekerjaanku, sesaat aku melupakan kekesalanku terhadap Pak Bram yang selalu membuatku dalam kesusahan."Ri, mau mau ngomong sesuatu deh sama kamu!" ujar Alex dengan wajah merah. Aku juga sudah tidak sabar mendengar ucapan yang akan dilontarkan oleh Alex. Aku yakin dia pasti ingin memintaku menjadi pacarnya."Iya Lex, ngomong aja kali," ujarku sedikit bergurau, tetapi hatiku berdebar tidak karuan."Ri, sebenarnya aku - aku cinta sama kamu!" ungkap Alex kepadaku sambil menunduk malu dan wajahnya juga terlihat menjadi sangat gugup."A- apa? Sejak kapan?" tanyaku, berpura-pura sedikit terkejut, padahal aku sudah tau."Apanya yang sejak kapan?" tanyanya bingung, Alex mulai linglung, mungkin karena takut tidak direspon atau malah ditolak."Ya, ya itu kamu mencintai aku, sejak kapan?" tanyaku sedikit getir."Sudah lama Ri, sejak SMA!" ujarnya, namun wajahnya tetap tertunduk ke b
sesampainya di rumah aku langsung menemui bunda."Assalamualaikum Bun," teriakku yang bahkan belum masuk ke rumah."Iya walaikumsalam, kamu kenapa Nak?" tanya bunda bingung."Alex mana?" tanyanya lagi melihat ke luar dan tidak ada Alex."Gatau tuh Bun, masa ya Bu dia ninggalin aku gitu aja!" ucapku terlihat semakin kesal."Ditinggalin gimana?" tanya bunda bingung dengan kalimat ambiguku."Jadi tuh Bun tadi ada kenalannya yang bertepatan ada di kafe itu juga, lalu kenalannya itu malah menarik tangannya dan meninggalkan Riri," jelas ku."Haha, kasihan nya anak Bunda malah ditinggal!" ujar bunda menggodaku."Ih Bunda kok malah ngejek Riri sih, kesal aku!" cetusku dan langsung masuk ke kamarku."Dimana sekarang Alex?" tanya kakak agak marah, ternyata kakak mendengar pembicaraan kami dengan bunda dari kamarnya yang tepat di depan ruang tamu."Ah sudahlah kak!" ujarku mengira kakakku bercanda."Masa kamu ditingga
Aku langsung masuk ke kamar karena malu. Aku merasa bahwa hatiku benar-benar dalam keadaan kegirangan yang sangat membahagiakan. Aku terus menerus tersenyum dan sesekali menepuk lembut jidatku. Aku tidak tau apa yang aku rasakan sendiri, aku merasa bahwa hatiku sedang gugup, canggung, senang dan sedih juga. Kamarku yang ku stel dengan lampu yang agak gelap serasa menjadi sangat terang. Aku bahkan tidak bisa menikmati lampu yang aku desain sendiri. Keesokan harinya seperti biasa, aku telat bangun dan harus pergi ke kantor dengan terburu-buru. "Bun, Riri ke kantor ya!" teriakku langsung menarik tangan lembut bunda untuk berpamitan. "Sarapan dulu Nak!" teriak bunda. "Aku telat Bun, nanti aja di kantor!" ujarku sambil memakai jam tangan. "Ruri tunggu!" panggil kak Ando. Aku langsung menghentikan langkah kakiku dan berbalik melihat ke arah kak Ando. "Iya Kak, ada apa?" sahutku sedikit panik, takut kak Ando akan melarangku bertemu deng
Akhirnya Pak Bram pulang, aku juga segera pulang setelah itu. Aku merasa Pak Bram memang benar sudah pulang, tetapi aku malah melihatnya masih berdiri di samping mobilnya seperti mengintai seseorang. Aku yang kebingungan segera menghampiri dan memanggilnya, lama aku memanggil tidak dijawab oleh Pak Bram, akhirnya aku mencoba menepuk bahunya."Pak!""Eh Allahuakbar!" teriaknya sambil sedikit melompat. Ia sampai terkejut separah itu dong."Ih, apaan sih Pak? Kayak liat setan aja!" ujarku kesal."Ya, ya memang benar, saya melihat setan. Awalnya saya melihat iblis dan sekarang melihat setan juga!" bentaknya kesal, aku bingung dengan hal itu sehingga aku juga mencoba melihat ke arah yang diintai oleh Pak Bram. Aku melihat ke segala arh, tetapi aku tidak melihat apapun. Pak Bram yang sadar bahwa aku mengikutinya langsung menepuk tangannya pas di mataku."Hei, apa yang sedang kamu lakukan!" ujarnya sambil menepuk tangan."Ih Bapak, saya kaget
Aku yang melihat hal itu langsung pergi menghampiri Pak Bram dan orang itu. Ia mencoba untuk melerai pertengkaran itu karena Pak Bram tidak bisa berhenti berbicara jika sedang marah.“Pak sudah sini!” ujarku langsung menarik tangan Pak Bram untuk menjauh dari tempat itu. Aku juga tidak lupa menyuruh orang yang bermasalah dengan Pak Bram itu untuk segera pergi dari situ, untungnya ia langsung pergi megindahkan ucapanku.“Eh, mau kemana kamu? Jangan pergi dasar tidakk pumya soan santun!” teriak Pak Bram pada orang itu. Iya juga masih ingin mengejarnya tak terima kalau si penabrak mobilnya lepas begitu saja. Tapi aku terus sekuat tenaga menahan Pak Bram.”Sudahlah Pak, apaan sih? Malu-maluin tau gak sih Pak,” ujarku kesal pada pak Bram, karena keributan itu, kami menjadi bahan tontonan orang lain disana.“Apaan sih kamu, lepasin tangan saya!” bentaknya padaku, malah ia marah kepdaku karena sudah menahannya.
Aku dan Pak Bram mulia bercerita satu sama lain, kami tertawa membuang semua keluh kesah kami ditempat itu. Aku juga sangat bahagia dan sedikit terkejut dengan sifat dan sikap asli Pak Bram yang sebenarnya sangat lembut dan rapuh. Dia hanya menginginkan sebuah keluarga yang utuh, seperti keluagaku yang bahagia dalam sebuah kesederhanaan yang Tuhan berikan. Melihat waktu sudah gelap dan mulai larut malam, Pak Bram mengajakku segera pulang.“Ri, sudah larut malam pulang yuk!” ujarnya sambil mengambil kunci mobil yang ia masukkan ke dalam saku kemeja yang ia kenakan.“Iya Pak, bunda juga pasti udah nungguin aku!” balasku lambut tersenyum padanya.Kami pulang dengan menggunakan mobil mewah milik Pak Bram. Pak Bram juga terlihat merasa lega karena untuk pertama kali ia menceritakan keluh kesahnya pada seseorang, sesekali ia melihat ke arahku dan tersenyum. Aku seperti tidak melihat Pak Bram yang yang dingin da sombong itu.“Ri, makasih ya
Sumpah aku juga terkejut dan terheran ketika Pak Bram menarik tangan ku, di sanaterlihat betul bahwa Bapak Bram lebih memilih ku daripada mantan nya itu.Padahal aku ini siapa nya? Bukan siapa-siapa!Pak Bram terus menarik ku hingga kami berada di ruangan milik nya."Ada apa Pak? Mengapa Bapak menarik ku?" tanya ku segera setelah ia melepaskan tangan ku. Aku juga memegang pergelangan tangan ku karena Pak Bram terlalu kencang memegang nya hingga terasa sedikit sakit."Kamu tidak papa Ri?" tanya Pak Bram sambil meraih tangan ku yang terasa sakit."Tidak apa-apa Pak, sudah sudah tidak apa-apa Pak ini sudah lebih baik!" Jawab ku langsung menarik tangan ku.Hati ku masih merasa sedikit bersalah, karena aku adalah penyebab mereka bertengkar.Aku yang merasa bersalah, ingin segera pergi dari ruangan itu demi menghindari kesalahpahaman dari mantan pacarnya Pak Bram.tetapi Pak Bram malah menahan ku, ia tidak mengizinkan ku keluar dari ruan
Setelah beberapa hari, aku melihat bahwa tidak ada mantan kekasih Pak Bram yang datang untuk melabrak ku, di sana aku sangat tidak takut, aku merasa bahwa tidak akan terjadi apa-apa saat itu.setelah seharian bekerja,tiba waktu nya untuk aku pulang dari pekerjaan ku dan beristirahat. Seperti biasaaku tidak langsung pulang, aku berhenti dan aku singgah dulu di sebuah kafe kesukaan ku untuk meminum secangkir kopi di sana. Ya kafe itu dekat dengan rumah ku, aku sangat menyukainya karena Suasana nya yang begitu romantis walau aku sendiri, aku merasa bahwa aku di manjakan oleh seorang pria, seperti itu lucu nya aku melewati masa-masa jomblo, masa-masa di manaku merasa selalu sendiri.Aku mengharapkan Alex agar segera menjadi kekasih ku.Tapi mungkin itu adalah sebuah halusinasi yang aku hadapi setiap hari, Alex tidak akan menjadi Kasih ku karena ia tidak mencintai ku. Jika dia mencintai ku maka dia sudah menyatakan itu dari dulu.Bahkan jika ada kese
Setelah itu aku dan Pak Bram langsung pergi ke rumah, pak Bram mengantar ku,di mobil lihat sangat merasa tidak enak sebuah topik pembicaraan padahal aku sudah tahu kalau Pak Bram itu pasti merasa tidak enak kepada ku karena mantan pacar nya melabrak ku di depan banyak orang sehingga membuat ku sangat malu."Tidak apa-apa! Saya hanya merasa sedikit tidak enak kepada kamu karena saya, kamu menjadi bahan pembicaraan dan bahan tontonan orang tadi di sana,"ujar nya merasa tidak enak."Ah sudah enggak apa-apa lah Pak, biasa saja saya sudah melupakan itu dan saya tidak akan mengingat nya lagi,"ucap ku berusaha membuat Pak Bram menjadi tenang."Tapi saya meminta maaf kepada kamu Ri karena saya, kamu menjadi seperti ini, saya janji kamu tidak akan pernah di permalukan oleh nya lagi. Nanti saya kan ngomong sama dia,""Ya Pak, sama saya juga minta maaf karena sedikit tidak bisa menahan emosi tadi,"ujar ku meminta maaf pula karena aku ju
Setelah beberapa hari, aku melihat bahwa tidak ada mantan kekasih Pak Bram yang datang untuk melabrak ku, di sana aku sangat tidak takut, aku merasa bahwa tidak akan terjadi apa-apa saat itu.setelah seharian bekerja,tiba waktu nya untuk aku pulang dari pekerjaan ku dan beristirahat. Seperti biasaaku tidak langsung pulang, aku berhenti dan aku singgah dulu di sebuah kafe kesukaan ku untuk meminum secangkir kopi di sana. Ya kafe itu dekat dengan rumah ku, aku sangat menyukainya karena Suasana nya yang begitu romantis walau aku sendiri, aku merasa bahwa aku di manjakan oleh seorang pria, seperti itu lucu nya aku melewati masa-masa jomblo, masa-masa di manaku merasa selalu sendiri.Aku mengharapkan Alex agar segera menjadi kekasih ku.Tapi mungkin itu adalah sebuah halusinasi yang aku hadapi setiap hari, Alex tidak akan menjadi Kasih ku karena ia tidak mencintai ku. Jika dia mencintai ku maka dia sudah menyatakan itu dari dulu.Bahkan jika ada kese
Sumpah aku juga terkejut dan terheran ketika Pak Bram menarik tangan ku, di sanaterlihat betul bahwa Bapak Bram lebih memilih ku daripada mantan nya itu.Padahal aku ini siapa nya? Bukan siapa-siapa!Pak Bram terus menarik ku hingga kami berada di ruangan milik nya."Ada apa Pak? Mengapa Bapak menarik ku?" tanya ku segera setelah ia melepaskan tangan ku. Aku juga memegang pergelangan tangan ku karena Pak Bram terlalu kencang memegang nya hingga terasa sedikit sakit."Kamu tidak papa Ri?" tanya Pak Bram sambil meraih tangan ku yang terasa sakit."Tidak apa-apa Pak, sudah sudah tidak apa-apa Pak ini sudah lebih baik!" Jawab ku langsung menarik tangan ku.Hati ku masih merasa sedikit bersalah, karena aku adalah penyebab mereka bertengkar.Aku yang merasa bersalah, ingin segera pergi dari ruangan itu demi menghindari kesalahpahaman dari mantan pacarnya Pak Bram.tetapi Pak Bram malah menahan ku, ia tidak mengizinkan ku keluar dari ruan
Aku dan Pak Bram mulia bercerita satu sama lain, kami tertawa membuang semua keluh kesah kami ditempat itu. Aku juga sangat bahagia dan sedikit terkejut dengan sifat dan sikap asli Pak Bram yang sebenarnya sangat lembut dan rapuh. Dia hanya menginginkan sebuah keluarga yang utuh, seperti keluagaku yang bahagia dalam sebuah kesederhanaan yang Tuhan berikan. Melihat waktu sudah gelap dan mulai larut malam, Pak Bram mengajakku segera pulang.“Ri, sudah larut malam pulang yuk!” ujarnya sambil mengambil kunci mobil yang ia masukkan ke dalam saku kemeja yang ia kenakan.“Iya Pak, bunda juga pasti udah nungguin aku!” balasku lambut tersenyum padanya.Kami pulang dengan menggunakan mobil mewah milik Pak Bram. Pak Bram juga terlihat merasa lega karena untuk pertama kali ia menceritakan keluh kesahnya pada seseorang, sesekali ia melihat ke arahku dan tersenyum. Aku seperti tidak melihat Pak Bram yang yang dingin da sombong itu.“Ri, makasih ya
Aku yang melihat hal itu langsung pergi menghampiri Pak Bram dan orang itu. Ia mencoba untuk melerai pertengkaran itu karena Pak Bram tidak bisa berhenti berbicara jika sedang marah.“Pak sudah sini!” ujarku langsung menarik tangan Pak Bram untuk menjauh dari tempat itu. Aku juga tidak lupa menyuruh orang yang bermasalah dengan Pak Bram itu untuk segera pergi dari situ, untungnya ia langsung pergi megindahkan ucapanku.“Eh, mau kemana kamu? Jangan pergi dasar tidakk pumya soan santun!” teriak Pak Bram pada orang itu. Iya juga masih ingin mengejarnya tak terima kalau si penabrak mobilnya lepas begitu saja. Tapi aku terus sekuat tenaga menahan Pak Bram.”Sudahlah Pak, apaan sih? Malu-maluin tau gak sih Pak,” ujarku kesal pada pak Bram, karena keributan itu, kami menjadi bahan tontonan orang lain disana.“Apaan sih kamu, lepasin tangan saya!” bentaknya padaku, malah ia marah kepdaku karena sudah menahannya.
Akhirnya Pak Bram pulang, aku juga segera pulang setelah itu. Aku merasa Pak Bram memang benar sudah pulang, tetapi aku malah melihatnya masih berdiri di samping mobilnya seperti mengintai seseorang. Aku yang kebingungan segera menghampiri dan memanggilnya, lama aku memanggil tidak dijawab oleh Pak Bram, akhirnya aku mencoba menepuk bahunya."Pak!""Eh Allahuakbar!" teriaknya sambil sedikit melompat. Ia sampai terkejut separah itu dong."Ih, apaan sih Pak? Kayak liat setan aja!" ujarku kesal."Ya, ya memang benar, saya melihat setan. Awalnya saya melihat iblis dan sekarang melihat setan juga!" bentaknya kesal, aku bingung dengan hal itu sehingga aku juga mencoba melihat ke arah yang diintai oleh Pak Bram. Aku melihat ke segala arh, tetapi aku tidak melihat apapun. Pak Bram yang sadar bahwa aku mengikutinya langsung menepuk tangannya pas di mataku."Hei, apa yang sedang kamu lakukan!" ujarnya sambil menepuk tangan."Ih Bapak, saya kaget
Aku langsung masuk ke kamar karena malu. Aku merasa bahwa hatiku benar-benar dalam keadaan kegirangan yang sangat membahagiakan. Aku terus menerus tersenyum dan sesekali menepuk lembut jidatku. Aku tidak tau apa yang aku rasakan sendiri, aku merasa bahwa hatiku sedang gugup, canggung, senang dan sedih juga. Kamarku yang ku stel dengan lampu yang agak gelap serasa menjadi sangat terang. Aku bahkan tidak bisa menikmati lampu yang aku desain sendiri. Keesokan harinya seperti biasa, aku telat bangun dan harus pergi ke kantor dengan terburu-buru. "Bun, Riri ke kantor ya!" teriakku langsung menarik tangan lembut bunda untuk berpamitan. "Sarapan dulu Nak!" teriak bunda. "Aku telat Bun, nanti aja di kantor!" ujarku sambil memakai jam tangan. "Ruri tunggu!" panggil kak Ando. Aku langsung menghentikan langkah kakiku dan berbalik melihat ke arah kak Ando. "Iya Kak, ada apa?" sahutku sedikit panik, takut kak Ando akan melarangku bertemu deng
sesampainya di rumah aku langsung menemui bunda."Assalamualaikum Bun," teriakku yang bahkan belum masuk ke rumah."Iya walaikumsalam, kamu kenapa Nak?" tanya bunda bingung."Alex mana?" tanyanya lagi melihat ke luar dan tidak ada Alex."Gatau tuh Bun, masa ya Bu dia ninggalin aku gitu aja!" ucapku terlihat semakin kesal."Ditinggalin gimana?" tanya bunda bingung dengan kalimat ambiguku."Jadi tuh Bun tadi ada kenalannya yang bertepatan ada di kafe itu juga, lalu kenalannya itu malah menarik tangannya dan meninggalkan Riri," jelas ku."Haha, kasihan nya anak Bunda malah ditinggal!" ujar bunda menggodaku."Ih Bunda kok malah ngejek Riri sih, kesal aku!" cetusku dan langsung masuk ke kamarku."Dimana sekarang Alex?" tanya kakak agak marah, ternyata kakak mendengar pembicaraan kami dengan bunda dari kamarnya yang tepat di depan ruang tamu."Ah sudahlah kak!" ujarku mengira kakakku bercanda."Masa kamu ditingga
Kebahagiaan bersama Alex membuatku melupakan kekesalan terhadap pekerjaanku, sesaat aku melupakan kekesalanku terhadap Pak Bram yang selalu membuatku dalam kesusahan."Ri, mau mau ngomong sesuatu deh sama kamu!" ujar Alex dengan wajah merah. Aku juga sudah tidak sabar mendengar ucapan yang akan dilontarkan oleh Alex. Aku yakin dia pasti ingin memintaku menjadi pacarnya."Iya Lex, ngomong aja kali," ujarku sedikit bergurau, tetapi hatiku berdebar tidak karuan."Ri, sebenarnya aku - aku cinta sama kamu!" ungkap Alex kepadaku sambil menunduk malu dan wajahnya juga terlihat menjadi sangat gugup."A- apa? Sejak kapan?" tanyaku, berpura-pura sedikit terkejut, padahal aku sudah tau."Apanya yang sejak kapan?" tanyanya bingung, Alex mulai linglung, mungkin karena takut tidak direspon atau malah ditolak."Ya, ya itu kamu mencintai aku, sejak kapan?" tanyaku sedikit getir."Sudah lama Ri, sejak SMA!" ujarnya, namun wajahnya tetap tertunduk ke b