Share

Alvindra C. Grason

Wanita yang rambutnya setengah acak-acakkan itu tersentak. Ditatapnya lagi Vindra dengan penuh seksama, tak tampak gurauan di raut garang tersebut. Namun, Lyra harus cepat bertindak. Sekarang bukan masa yang tepat untuk sekadar kebingungan. Ia pun menarik napas dalam, lalu memberi tanggapan. 

 

"Aku bersedia menikah, tapi apa profesimu? Kamu tentu harus menafkahiku nanti. Aku mana sudi menikahi gembel yang pura-pura kaya," ceteluk Lyra dengan penuh kejujuran. 

 

"Bisa saja biaya sewa hotel ini kamu limpahkan padaku dan kabur," imbuhnya. 

 

Vindra tersenyum. "Dasar perempuan matre! Bukan hanya uangku, tapi kunci brangkas pun akan kuserahkan. Kekayaanku tak akan habis, sekalipun kamu mencurinya nanti."

 

"Sombong sekali. Kalau begitu, biar aku lihat KTP-mu." Lyra menengadahkan tangan. 

 

Tanpa pikir panjang, pria bernetra elang itu merosok saku dan memberikan dompet kulit miliknya. Mantan kekasih Axe pun langsung meneliti benda berisi segepok kartu kredit itu. Akan tetapi, ada sesuatu yang mencuri perhatiannya, yakni kartu nama bertulis Alvindra Clearence Grason. Grason! Nama yang diketahui bahkan oleh tukang sapu di sudut kota, itu adalah salah satu nama keluarga terkaya yang menguasai perusahaan kelas kakap.

 

Sayangnya, ia tak terkejut. Melihat betapa angkuh cara Vindra bernapas, ia telah menebak jika pria tersebut berasal dari kalangan elit. Wanita beranting kupu pun memasukkannya kembali dan menebar senyum picik. Keduanya kini berjabat tangan, bukti jika telah mencapai kesepakatan.

 

"Aaa, gampang sekali. Kamu benar-benar matre, ya. Sudah, Aku ada urusan, kita ketemu enam jam lagi. Aku sudah memasukkan nomorku di ponselmu, jangan ragu untuk meminta bantuan," kata Vindra. 

 

"Ponselku memiliki pola kunci."

 

"Ya," balasnya, "jarimu cukup bijak untuk membiarkanku mengaksesnya semalam."

 

Netra Lyra mulai melotot. "Kamu membobolnya!"

 

"Apa itu penting? Kita akan menikah, akan lebih baik jika kita saling terbuka. Bukankah begitu, Sayang?" Sebuah kecupan diberikan. 

 

Pria berpostur tinggi itu bangkit, ia meninggalkan mitra bicaranya terpatung di sudut ruangan tanpa mengutarakan hal lain, sementara Lyra terdiam. Netranya memang memandang sosok yang mulai menjauh itu. Namun, pikirannya terpatri pada ciuman yang lebih menyejutkan daripada terbangun tanpa pakaian. 

 

***

 

Pagi telah berganti siang. Bagaskara beranjak naik, tapi Lyra masih menelungkup di ranjang. Setelah pulang, ia memilih untuk mengunci diri di kamar. Wanita itu telah menjadi sebatang kara sejak tiga tahun terakhir, bukan karena tak memiliki keluarga. Lebih tepatnya, ia kabur karena tak setuju dengan pernikahan kedua yang dilangsungkan sang ayah. 

 

Untunglah ponselnya berdering, sehingga wanita bulu mata panjang itu terjaga. Denga malas dirinya meraba ranjang untuk menemukan benda berlayar tipis yang telah mengganggu. Tanpa melihat dahulu siapa yang menelepon, ia terlanjur menggulir tombol hijau ke atas. 

 

"Halo, Lyra? Kamu di mana? Kenapa tak masuk kerja?!" Teriakan tersebut membuat sang pemilik ponsel menjadi melek. 

 

Lyra menjauhkannya beberapa senti dari telinga lalu menjawab, "Aku tak bisa masuk. Tolong katakan pada Bos jika aku memgambil cuti hari ini."

 

Meta, rekan kerja sekaligus teman Lyra sejak kecil pun menanggapi dengan nada tinggi. "Kalau kamu tak masuk hari ini, kontrakmu akan dibatalkan."

 

"Apa maksudmu?!" 

 

"Ada seorang model baru yang direkomendasikan Kak Jinju, dia akan mengambil kesempatanmu untuk tampil di sampul depan. Cepatlah datang sebelum wanita itu! Pastikan kamu sampai dalam sepuluh menit, aku matikan dulu."

 

"Tu--tunggu, Me! Meta!" Panggilan telah terputus.

 

Lyra menggigit bibir bawahnya. Ia melempar selimut jauh-jauh dan berganti baju dengan sigap. Lima semprotan parfum menghilangkan bau kecut dari wanita yang baru bangun itu. Netranya memandang dengan sedikit buram, tapi ia bergegas memacu mobil dengan kecepatan tinggi. 

 

Kebetulan hari itu jalanan sepi, Lyra menengok spion, memastikan jika tak ada mobil patroli polisi yang mengejarnya, setelah mengendarai si biru dengan kecepatan 150 km/jam. Ia sudah pasrah menerima keadaan. Baik keluarga maupun kekasih, keduanya tidak berjalan sesuai dengan angannya. Ia tak masalah dengan hal tersebut. Namun, pekerjaannya adalah sesuatu yang lebih penting.

 

Lyra telah berusaha keras agar bisa sampai di posisi sekarang. Bukan hal yang mudah untuk bersaing di dunia modeling. Dirinya hidup dengan semua peraturan ketat, bahkan makan dan tidur pun harus diperhitungkan dengan baik agar kulitnya tetap sehat. 

 

Kini wanita berdress hitam selutut itu memutar kemudi ke kiri. Ia menghentikan mobil di altar J.D Entertaiment.

 

Wanita itu berjalan cepat, mengambil tiap langkah sejauh yang ia bisa, lalu menuju ruangan sudut koridot. Amarahnya telah naik di ubun-ubun. Setelah melakukan kontrak, bagaimana bisa model lain mencuri tempatnya di sampul majalah ternama. Ia lantas membanting pintu ruang kerja sang direksi dengan kasar.

 

"Surprise!" teriak teman-temannya dengan ramai. 

 

Lagu selamat ulang tahun pun bergema. Lyra terpatung dengan tatapan sinis, memandang Meta yang memakai topi ulang tahun sambil memegangi kue tar. Wanita imut berumur 21 tahun itu pun mendekati kawannya yang tengah berulang tahun. 

 

"Selamat ...."

 

"Selamat apa?!" sela Lyra, "aku ke sini setelah nyaris tertabrak. Seratus lima puluh, apa kamu tahu seberapa kencangnya itu?"

 

Meta tersenyum. "Sudahlah, Sayang. Tanpa kuminta pun, kamu memang menjadi pembalap setiap waktu. Lupakan saja itu, mari potong kuenya."

 

"Benar, ayo potong kuenya," sahut Jinju, senior wanita yang paling dihormati di J.D Entertainment.

 

"Aku tak menyangka jika Kakak juga terlibat." Lyra mulai memeluk semua orang di ruangan tersebut. 

 

Ia melakukan ritual tiup lilin, potong kue, dan menyuapi teman-teman yang telah dianggap keluarganya itu. 

 

Di penghujung jam kerja, Meta mengekor seolah tahu jika gundah tengah menerjang hati model cantik itu. Mereka tak langsung pulang, tapi pergi makan malam bersama. Semua berjalan baik karena Lyra cukup mahir dalam menyembunyikan duka. Namun, tetap saja ia tak bisa tertawa lepas. Padahal ini hari ulang tahunnya, tapi pria yang biasa memeriahkan acara malah tak terlihat. 

 

Mana mungkin bisa datang, kini Axe tak lebih dari masa lalu. Biar begitu, Lyra sangat merindukannya. Sore itu ia sadar jika sang mantan sengaja mengadakan pertunangan sehari sebelum ulang tahunnya, pasti ubtuk menyakiti Lyra. Ah, kepala wanita itu kembali sakit. Tangan kirinya terus menjambak pelan rambut panjang itu. 

 

"Jangan dilupakan," ucap Meta. 

 

"Apa maksudmu?"

 

"Melupakan sesuatu yang penting seperti itu hanya akan membuatmu tertekan. Berdamailah saja, Ra. Hidupmu tetap berlanjut, bahkan saat pria bodoh itu ditelan bumi."

 

Lyra berusaha menerima saran Meta. Ia berusaha sebaik mungkin untuk mengontrol emosi. Akan tetapi, bukan hal yang mudah untuk membiasakan diri. Ia harus memulai lagi dari awal, menata hati agar tak makin terluka. 

 

"Ternyata kamu di sini." Vindra muncul dari samping.

 

Sontak kedua wanita itu menoleh, mereka heran mencumpai seorang pria yang berjalan mendekati meja. Masih dengan raut wajah tak terdeskripsikan, Vindra mengusap rambut wanitanya yang masih duduk. 

 

"Aku berusaha meneleponmu sejak tadi, apa kau melupakan janji kita untuk bertemu, Cantik?" tanya Vindra dengan senyum khasnya yang memecah rasa muram. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status