Wanita yang rambutnya setengah acak-acakkan itu tersentak. Ditatapnya lagi Vindra dengan penuh seksama, tak tampak gurauan di raut garang tersebut. Namun, Lyra harus cepat bertindak. Sekarang bukan masa yang tepat untuk sekadar kebingungan. Ia pun menarik napas dalam, lalu memberi tanggapan.
"Aku bersedia menikah, tapi apa profesimu? Kamu tentu harus menafkahiku nanti. Aku mana sudi menikahi gembel yang pura-pura kaya," ceteluk Lyra dengan penuh kejujuran. "Bisa saja biaya sewa hotel ini kamu limpahkan padaku dan kabur," imbuhnya. Vindra tersenyum. "Dasar perempuan matre! Bukan hanya uangku, tapi kunci brangkas pun akan kuserahkan. Kekayaanku tak akan habis, sekalipun kamu mencurinya nanti." "Sombong sekali. Kalau begitu, biar aku lihat KTP-mu." Lyra menengadahkan tangan. Tanpa pikir panjang, pria bernetra elang itu merosok saku dan memberikan dompet kulit miliknya. Mantan kekasih Axe pun langsung meneliti benda berisi segepok kartu kredit itu. Akan tetapi, ada sesuatu yang mencuri perhatiannya, yakni kartu nama bertulis Alvindra Clearence Grason. Grason! Nama yang diketahui bahkan oleh tukang sapu di sudut kota, itu adalah salah satu nama keluarga terkaya yang menguasai perusahaan kelas kakap. Sayangnya, ia tak terkejut. Melihat betapa angkuh cara Vindra bernapas, ia telah menebak jika pria tersebut berasal dari kalangan elit. Wanita beranting kupu pun memasukkannya kembali dan menebar senyum picik. Keduanya kini berjabat tangan, bukti jika telah mencapai kesepakatan. "Aaa, gampang sekali. Kamu benar-benar matre, ya. Sudah, Aku ada urusan, kita ketemu enam jam lagi. Aku sudah memasukkan nomorku di ponselmu, jangan ragu untuk meminta bantuan," kata Vindra. "Ponselku memiliki pola kunci." "Ya," balasnya, "jarimu cukup bijak untuk membiarkanku mengaksesnya semalam." Netra Lyra mulai melotot. "Kamu membobolnya!" "Apa itu penting? Kita akan menikah, akan lebih baik jika kita saling terbuka. Bukankah begitu, Sayang?" Sebuah kecupan diberikan. Pria berpostur tinggi itu bangkit, ia meninggalkan mitra bicaranya terpatung di sudut ruangan tanpa mengutarakan hal lain, sementara Lyra terdiam. Netranya memang memandang sosok yang mulai menjauh itu. Namun, pikirannya terpatri pada ciuman yang lebih menyejutkan daripada terbangun tanpa pakaian. *** Pagi telah berganti siang. Bagaskara beranjak naik, tapi Lyra masih menelungkup di ranjang. Setelah pulang, ia memilih untuk mengunci diri di kamar. Wanita itu telah menjadi sebatang kara sejak tiga tahun terakhir, bukan karena tak memiliki keluarga. Lebih tepatnya, ia kabur karena tak setuju dengan pernikahan kedua yang dilangsungkan sang ayah. Untunglah ponselnya berdering, sehingga wanita bulu mata panjang itu terjaga. Denga malas dirinya meraba ranjang untuk menemukan benda berlayar tipis yang telah mengganggu. Tanpa melihat dahulu siapa yang menelepon, ia terlanjur menggulir tombol hijau ke atas. "Halo, Lyra? Kamu di mana? Kenapa tak masuk kerja?!" Teriakan tersebut membuat sang pemilik ponsel menjadi melek. Lyra menjauhkannya beberapa senti dari telinga lalu menjawab, "Aku tak bisa masuk. Tolong katakan pada Bos jika aku memgambil cuti hari ini." Meta, rekan kerja sekaligus teman Lyra sejak kecil pun menanggapi dengan nada tinggi. "Kalau kamu tak masuk hari ini, kontrakmu akan dibatalkan." "Apa maksudmu?!" "Ada seorang model baru yang direkomendasikan Kak Jinju, dia akan mengambil kesempatanmu untuk tampil di sampul depan. Cepatlah datang sebelum wanita itu! Pastikan kamu sampai dalam sepuluh menit, aku matikan dulu." "Tu--tunggu, Me! Meta!" Panggilan telah terputus. Lyra menggigit bibir bawahnya. Ia melempar selimut jauh-jauh dan berganti baju dengan sigap. Lima semprotan parfum menghilangkan bau kecut dari wanita yang baru bangun itu. Netranya memandang dengan sedikit buram, tapi ia bergegas memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Kebetulan hari itu jalanan sepi, Lyra menengok spion, memastikan jika tak ada mobil patroli polisi yang mengejarnya, setelah mengendarai si biru dengan kecepatan 150 km/jam. Ia sudah pasrah menerima keadaan. Baik keluarga maupun kekasih, keduanya tidak berjalan sesuai dengan angannya. Ia tak masalah dengan hal tersebut. Namun, pekerjaannya adalah sesuatu yang lebih penting. Lyra telah berusaha keras agar bisa sampai di posisi sekarang. Bukan hal yang mudah untuk bersaing di dunia modeling. Dirinya hidup dengan semua peraturan ketat, bahkan makan dan tidur pun harus diperhitungkan dengan baik agar kulitnya tetap sehat. Kini wanita berdress hitam selutut itu memutar kemudi ke kiri. Ia menghentikan mobil di altar J.D Entertaiment. Wanita itu berjalan cepat, mengambil tiap langkah sejauh yang ia bisa, lalu menuju ruangan sudut koridot. Amarahnya telah naik di ubun-ubun. Setelah melakukan kontrak, bagaimana bisa model lain mencuri tempatnya di sampul majalah ternama. Ia lantas membanting pintu ruang kerja sang direksi dengan kasar. "Surprise!" teriak teman-temannya dengan ramai. Lagu selamat ulang tahun pun bergema. Lyra terpatung dengan tatapan sinis, memandang Meta yang memakai topi ulang tahun sambil memegangi kue tar. Wanita imut berumur 21 tahun itu pun mendekati kawannya yang tengah berulang tahun. "Selamat ...." "Selamat apa?!" sela Lyra, "aku ke sini setelah nyaris tertabrak. Seratus lima puluh, apa kamu tahu seberapa kencangnya itu?" Meta tersenyum. "Sudahlah, Sayang. Tanpa kuminta pun, kamu memang menjadi pembalap setiap waktu. Lupakan saja itu, mari potong kuenya." "Benar, ayo potong kuenya," sahut Jinju, senior wanita yang paling dihormati di J.D Entertainment. "Aku tak menyangka jika Kakak juga terlibat." Lyra mulai memeluk semua orang di ruangan tersebut. Ia melakukan ritual tiup lilin, potong kue, dan menyuapi teman-teman yang telah dianggap keluarganya itu. Di penghujung jam kerja, Meta mengekor seolah tahu jika gundah tengah menerjang hati model cantik itu. Mereka tak langsung pulang, tapi pergi makan malam bersama. Semua berjalan baik karena Lyra cukup mahir dalam menyembunyikan duka. Namun, tetap saja ia tak bisa tertawa lepas. Padahal ini hari ulang tahunnya, tapi pria yang biasa memeriahkan acara malah tak terlihat. Mana mungkin bisa datang, kini Axe tak lebih dari masa lalu. Biar begitu, Lyra sangat merindukannya. Sore itu ia sadar jika sang mantan sengaja mengadakan pertunangan sehari sebelum ulang tahunnya, pasti ubtuk menyakiti Lyra. Ah, kepala wanita itu kembali sakit. Tangan kirinya terus menjambak pelan rambut panjang itu. "Jangan dilupakan," ucap Meta. "Apa maksudmu?" "Melupakan sesuatu yang penting seperti itu hanya akan membuatmu tertekan. Berdamailah saja, Ra. Hidupmu tetap berlanjut, bahkan saat pria bodoh itu ditelan bumi." Lyra berusaha menerima saran Meta. Ia berusaha sebaik mungkin untuk mengontrol emosi. Akan tetapi, bukan hal yang mudah untuk membiasakan diri. Ia harus memulai lagi dari awal, menata hati agar tak makin terluka. "Ternyata kamu di sini." Vindra muncul dari samping. Sontak kedua wanita itu menoleh, mereka heran mencumpai seorang pria yang berjalan mendekati meja. Masih dengan raut wajah tak terdeskripsikan, Vindra mengusap rambut wanitanya yang masih duduk. "Aku berusaha meneleponmu sejak tadi, apa kau melupakan janji kita untuk bertemu, Cantik?" tanya Vindra dengan senyum khasnya yang memecah rasa muram."Ayo, jangan bengong begitu." Vindra buru-buru menarik tangan Lyra. Wanita itu pun bangkit, ia berpamitan pada rekannya yang kebingungan. Namun, ia belum sempat mengakatan apa-apa. Calon suaminya sudah tak sabar lagi, mereka pun beranjak dari restoran tersebut. "Tinggalkan mobil jelekmu di sini, kau naik mobilku saja." Kalimat tersebut terdengar angkuh, membuat yang mendengar merasa tak nyaman. "Maaf, Tuan, tapi mobil jelekku itu dibeli dengan uang. Memangnya kamu akan menyumbang kendaraan baru yang lebih bagus?""Ide bagus, kita sekalian saja beli mobil. Berikan kuncinya pada supirku, biar dia yang memungut barang bekasmu."Lagi-lagi mulut Lyra menganga. Ia berhenti sejenak, berpikir mengapa bisa ada orang yang sesombong itu di dunia? Akan tetapi, fakta yang lebih membuat miris adalah orang tersebut akan menjadi suaminya dengan segera. Belum lagi mereka menginjak parkiran, seorang pria tua berseragam datang menghampiri. Ia meminta kunci mobil Lyra, tentu saja wanita itu menolak.
"Apa-apaan anak ini?!" gumam Diana dalam hati. Ia mereguk pelan air putih, lalu sesekali melirik Lyra. Meski telah berusaha untuk tak acuh, pesona model tersebut memang tak tertolak. Namun, ini hanya berlaku bagi anggota lain di sana. Ibunda Romi mulai memotong chicken grill dan menguyahnya dengan rasa terpaksa. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa Vindra membawa seorang wanita asing ke pertemuan penting ini. Dirinya lebih cemas pada sang putra yang mau menjalin hubungan serius, Romi lebih senang berganti-ganti pacar seolah mereka adalah barang yang bisa diganti kapan pun. Tentu saja ini membuat jantung wanita beranak satu itu berdebar. "Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya paman Vindra. Pria itu pun tersenyum. "Pertanyaan yang bagus, Paman. Aku memang telah siap untuk meminangnya di jauh hari, tapi gadisku ini terlalu khawatir. Tempatnya bekerja melarangnya terlibat dengan skandal apa pun, karena itulah baru sekarang kami terlihat bersama.""Memang apa pekerjaan Lyra?""Dia mode
Alvindra berlari bak seorang atletis. Tanpa peduli jika handuk yang membalut bagian bawah tubuhnya hampir terlepas. Rumah itu terlalu sepi, dalam benaknya bertanya, mungkinkah ada pencuri? Dua penjaga di gerbang depan memang baru saja meminta izin untuk pulang, sementara penjaga lain malah ditugaskan di gerbang belakang. Jadilah pria tersebut kalang kabut saat mendengar teriakan nyaring dari sang model. "Hentikan, tolong hentikan. Kamu menakutkan," kata Lyra dengan pelan. Vindra pun segera mendobrak pintu yang dikunci. Satu kali gagal, ia mencoba lagi dan kini ....Aaa!!! Wanita berpiyama motif daun mapple itu kembali berteriak. "A--apa-apaan kamu?!"Tuan rumah pun segera bangkit usai tersungkur, rasa sakit tak dipedulikan sama sekali. Kemudian, ia menatap wanita yang duduk di lantai. Rupanya kucing peliharaannya masuk ke kamar Lyra dan membuatnya terkejut. Setelah mendengar sang hewan berbulu mengeong, Vindra mengembuskannya napas lega. Akan tetapi, ada masalah lain yang tercipta.
Netra Lyra masih terbelalak. Ia langsung meraih lengan Vindra, lalu mendekapnya. Ia terguncang, tapi berusaha mengembalikan kontrol diri. Disekanya rambut dengan angkuh, ia tersenyum dan memilih untuk menyapa sang mantan kekasih. Biarpun hampir pingsan, model kesayangan J.D Entertainment itu ingin menunjukkan sosok kuat pada orang-orang yang telah mengkhianatinya dengan sangat buruk. "Kebetulan sekali, Axe. Sepertinya kalian akan segera menikah, selamat untuk kalian. Sepertinya aku orang bertana yang mengucapkan selamat," tuturnya dengan nada bergetar. Vindra yang biasanya tak peka pun merangkul pundak calon istrinya. Ia ingin memberi dukungan, sekaligus menunjukkan jika wanita tersebut masih bernapas, meski Axe yang tak tahu malu itu meninggalkannya. "Ayo, Sayang. Giliran kita mendaftar." Setelah memberi ajakan, ia langsung beranjak."Apa kau akan menikah, Ra?" tanya Axe."Benar, ada apa? Mau memberiku selamat juga?" Lyra berbalik. "Mustahil. Aku bahkan tak mengenal pria ini. Bag
Lyra gagal mengontrol emosinya. Ia lantas menampar wajah pria yang telah berani mengatainya sebagai wanita jalang. Mau bagaimana pun juga, sebutan itu sungguh tak bermoral. Putri Burhan merasa perlu untuk membela harga dirinya sendiri. Tak peduli jika harus melakukan hal yang kasar sekalipun. "Pergi saja, aku tak mau melihatmu wajahmu lagi!" teriaknya sambil melotot. Nanar Axe menatap lantai, ia tak percaya jika mendapat pengusiran. Ditambah, ini kali pertama Lyra memperlakukannya demikian. Ia tak membalas tamparan tersebut, tapi malah menggenggam tangan pemilik rumah dengan tatapan memelas. "Maafkan aku, Ra. Aku tak berniat untuk berkata begitu. Aku hanya ....""Pergi!" ulangnya. "Pergilah saja, Axe. Anggap kita tak pernah mengenal."Ia pun masuk, membiarkan sang tamu tak diundang berdiri di teras. Pria berjaket jins itu lantas pergi, seeprti yang diminta. Di sisi lain, Lyra kehilangan tenaga. Ia sampai terduduk di lantai sambil memegangi kenop pintu. Perasaannya campur aduk, ia m
Hari pernikahan pun tiba. Lyra harus bangun jam empat subuh untuk mempersiapkan diri. Berulang kali menguap saat berendam di bak air hangat yang bertabur aneka kelompak bunga. Netranya bahkan terpejam, membiarkan para pelayan memijat kulit putihnya dengan lulur mandi. Ia tak menunjukkan ketertarikan di momen yang normalnya terjadi seumur hidup sekali. Baginya ini hanyalah acara formal yang mengatarkan ke gerbang impian. Hingga selesai pun, ekspresinya masih datar. Sang model berdiri di depan cermin yang setinggi dirinya, menatap bayang rupawan bergaun putih nan panjang. Selanjutnya, tim make up profesional mulai memoles wajah putri Burhan. Bulu mata palsu turut dilekatkan, menambah kesan lentik. Sayang sekali, ia tak takjub sekalipun semua yang ada di ruangan tersebut berdecak kagum. Dirinya bangkit. Seorang ajudan memegangi tangannya kala bidadari dunia itu berusaha mengenakan heels berhiaskan permata yang disusun menyerupai bulan sabit. "Wah, cantik sekali," tutur Diana sambil be
Segera Lyra memalingkan wajah. Suaminya pun kembali tersenyum melihat ekspresi tersipu itu. Meski telah melewati melam bersama, sang menantu keluarga Grason belum terbiasa dengan sentuhan yang diberikan. Ia memang tak menyukai semua itu, lebih tepatnya belum. Sontak suana menjadi teramat canggung. Beruntung gawai Vindra bergetar. Pria beralis tebal itu langsung menjauh untuk menerima panggilan. Lyra pun menghela napas, lalu lanjut membaca kontrak setebal dua belaa halaman. Tak ada hal yang merugikannya, ia terlalu ceroboh karena langsung memberi tanda tangan.[Ra, kau pasti belum membuka hadiahku, 'kan?] tanya Meta melalui pesan singkat. Penerima pesan lantas tersenyum. [Belum. Memang apa isinya?][Bukalah! Kau pasti akan mentukainya, itu adalah barang kesukaanmu.]Putri Burhan merasa penasaran. Ia menatap puluhan kado yang berjejer di sudut kamar dan tak tahu siapa pengirim dari masing-masing bingkisan. Baru kali ini ia mendapat begitu banyak hadiah. Mungkin tak akan seperti ini an
Lyra amat cepat beradaptasi. Kebiasaannya melakukan semua dengan sempurna menjadikan kontrak ini tak sekadar mainan. Ia ingin menghilangkan seluruh keraguan yang ada dalam benak anggota keluarga lain. Menjadi menantu ideal, sekaligus wanita karir yang sukses adalah sesuatu yang harus diwujudkan demi memenuhi ambisi. Vindra pun tersenyum, dipenuhi mood positif setelah mendapat ciuman selamat pagi. Ia bertaruh dalam hati bila ini akan menyenangkan. Sayangnya Diana masih berusaha mencari cela dalam hubungan sang anak tiri. Ia yakin bila pernikahan tersebut hanyalah taktik agar bisa lolos sebagai pemilik perusahaan yang lama dikembangkan oleh Malik, suaminya. Biar kata Romi adalah putra sulung, tapi kasih sayang Malik tetap dikuasi Vindra. Sebab, mendiang ibunya merupakan sosok tegar yang menemani Malik meniti karir dari nol usai mengalami kebangkrutan. Tentu saja ini tak akan bisa disaingi oleh Diana, sekalipun ia istri sah pertama. Ia teramat membenci ibu beranak itu. Kehadiran mereka