Share

Bab 5

"Bu Elvina, bos kami sudah bayar biaya pengobatan nenekmu," ucap sopir itu sambil menyerahkan beberapa lembar kwitansi kepada Elvina.

Elvina mengambil lembaran kwitansi tersebut dan melihat jenis obat-obatan yang tertera di atasnya. Akhirnya dia bisa merasa lega sekarang. Kemudian, dia bertanya dengan penasaran, "Dexton yang ngutus kamu untuk jemput aku ya?"

Elvina tahu bahwa Dexton bisa melihatnya dari kamera pengawas yang dipasang di depan gedung.

Sopir itu menggelengkan kepalanya. "Pak Dexton sudah merebut segalanya darimu dan menganggapmu anjing. Apa lagi yang kamu harapkan?"

Setelah itu, dia membuka pintu mobil di kursi penumpang. "Bu Elvina, silakan."

Elvina menengadahkan kepalanya untuk melihat pria yang duduk di kursi belakang itu. Pria itu melipat kakinya sambil memegang rokok yang masih menyala. Auranya terkesan seperti orang yang sangat sulit didekati.

"Aku nggak kenal bos kalian ...."

"Bos kami akan beritahukan apa pun yang ingin kamu ketahui." Sopir itu melanjutkan, "Oh ya, bos kami juga nggak suka nunggu orang."

Elvina langsung memahami maksud ucapannya. Dia tidak tahu identitas pria yang berada di dalam mobil itu, tetapi dia ingin tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Sambil menggertakkan giginya, Elvina bangkit dari tanah. Luka di kakinya masih terus meneteskan darah segar.

Sopir itu langsung membantu Elvina untuk membalut lukanya dan memberikannya sebuah handuk. Elvina menyampirkan handuk tersebut, lalu naik ke mobil dan duduk di samping pria itu.

Sejenak kemudian, mobil mulai melaju.

Dari cahaya di dalam mobil, Elvina bisa melihat siluet pria itu dari samping. Wajahnya tampak sempurna dan tangannya masih memegang rokok .... Wajahnya juga terlihat sangat tidak asing.

Elvina mengulum bibirnya, lalu bertanya, "Kamu mau bilang apa?"

Pria itu tidak menjawab. Dia hanya berpaling memandang Elvina dengan tatapan dingin, lalu akhirnya pandangannya berhenti di leher Elvina.

"Kembalikan kalungku," ucap pria itu dengan nada datar.

Elvina refleks memegang kalung yang ada di lehernya. Saat mendengar kata "kembalikan", dia langsung paham bahwa kalung ini adalah milik pria itu yang terjatuh. Seketika, Elvina marah besar hingga tubuhnya gemetaran.

"Ter ... ternyata yang semalam itu kamu!" Elvina pernah melihat samping wajah pria itu dari foto.

"Kamu juga yang kirim pesan itu, 'kan?" tanya Elvina. Dia mengangkat tangan hendak menampar pria itu sambil memaki, "Bajingan!"

"Aku nggak kirim pesan padamu, tapi kamar itu memang aku yang pesan." Pria itu mendongak menatap Elvina sekilas. "Mau tahu kenapa kamu bisa masuk ke kamarku semalam?"

Tangan Elvina terhenti di udara. Dia teringat, semalam dia memang didorong seseorang saat hendak mengetuk pintu.

"Jangan bercanda!" Elvina menuding dengan kesal, "Kamu yang pesan kamar itu. Kalau bukan kamu yang kirim pesannya, lalu siapa lagi? Kita nggak ada dendam sama sekali, kenapa kamu mau celakain aku?"

Raiden mendengus, "Dasar bodoh!"

Elvina terdiam.

Tanpa menunggu reaksi dari Elvina, pria itu telah menarik kalung dari lehernya. Setelah itu, dia mengeluarkan sebuah saputangan untuk menyeka kalung itu sambil memerintahkan sopir, "Ke hotel, bawa Bu Elvina untuk lihat kebenarannya."

"Baik, Pak."

Tak lama kemudian, mobil mereka berhenti di parkiran bawah tanah Hotel Orchid.

Hotel ini tidak memberikan kenangan indah bagi Elvina. Ketika mengingat kejadian pagi itu, tubuhnya bergetar beberapa kali karena trauma. Dengan perban yang melilit kakinya dan pakaian yang basah kuyup, dia tampak benar-benar menyedihkan.

Elvina mengikuti Raiden masuk ke sebuah kamar. Sambil menggenggam erat handuk yang menutupi tubuhnya, dia bertanya dengan alis berkerut, "Mana kebenarannya?"

Raiden melirik sopirnya sekilas. Tanpa berkata apa-apa, sopir itu segera mengambil remot dan menyalakan televisi layar datar yang terpasang di dinding. Tak lama kemudian, sebuah ruangan muncul di layar, seolah-olah itu adalah rekaman pengawasan langsung.

Elvina melihat dua sosok yang sangat dikenalnya masuk ke ruangan tersebut. Mereka adalah Dexton, mantan suami yang baru saja menceraikannya, dan sahabatnya, Yessi!

"Dexton, selamat keinginanmu sudah terkabul." Yessi memeluk pria itu dari belakang. Tangannya yang ramping terus menggerayangi tubuh Dexton. "Tapi, kamu benar-benar kejam banget ya sampai nggak mau berikan sepeser pun sama Elvina. Katanya, obat neneknya itu mahal sekali!"

"Orang tua berusia setengah abad itu lebih baik mati saja." Suara Dexton terdengar sangat ketus. Dia berbalik, lalu mencium Yessi dengan mesra. "Semua berkat kamu juga. Kamu yang temukan kelemahan para investor itu, makanya aku bisa berhasil merebut saham Grup Libertix dari mereka dan menguasai perusahaan."

"Kamu ini pacarku. Kalau nggak bantu kamu, aku mau bantu siapa lagi?" Yessi memukul pria itu dengan manja.

"Aku sudah urus semuanya di kantor polisi. Kalaupun Elvina masih hidup, dia nggak akan bisa selidiki apa pun. Tapi Dexton, kamu kejam sekali ya? Kamu berani bunuh ayah dan ibu angkatmu sendiri?"

Mendengar kata-kata Yessi, pikiran Elvina langsung menjadi kosong. Tubuhnya bergetar dan terhuyung, lalu jatuh ke dada pria di belakangnya. Ternyata, kematian orang tuanya bukan kecelakaan. Mereka dibunuh oleh Dexton!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status