Aku menghela napas, daripada memikirkan omongan Mrs Elena dan sikap aneh Ben lebih baik aku tidur. Biasanya aku akan mudah tertidur setelah minum obat, tapi entah kenapa kali ini berbeda. Meskipun mataku terpejam, aku tidak benar-benar tertidur. Pikiranku melayang ke kejadian beberapa jam yang lalu.
Berbagai pertanyaan mulai berputar-putar dalam kepalaku. Dari bagaimana bisa sepatu boot-ku terlepas hingga mengenai kepala Jason.
Mungkin jawabannya karena aku kurang kencang mengikatnya dan sepertinya juga karena ukuran sepatu itu sedikit lebih besar dari kakiku, jadi ketika aku terpeleset sepatu itu terlepas bahkan terlontar sampai mengenai kepala Jason.
Pertanyaan pertama terjawab, sekarang pertanyaan kedua. Kenapa Jason bisa terluka separah itu? Aku ingat betul berapa banyak darah yang mengalir dari pelipisnya lelaki itu. Aku menghembuskan napas, berusaha menghilangkan rasa tercekat di tenggorokanku. Itu hanya sepatu boot, harusnya ia hanya benjol. Kenapa bisa sampai berdarah?
Oh, aku ingat! Ada ukiran besi dengan inisial namaku yang menonjol di sana. Pelipis Jason pasti tergores ukiran itu. Jason terluka karena kecerobohanku. Dan dia sekarang sedang mencariku untuk membuat perhitungan.
Pertanyaan ketiga muncul di kepalaku, apa yang akan Jason lakukan padaku jika ia tahu akulah pemilik sepatu boot yang menghantam kepalanya? Apa ia akan menghajarku?
Jason memang berandalan, tapi aku punya keyakinan kalau ia tidak akan menghajar wanita. Yah... semoga saja keyakinanku ini benar adanya.
"Ssshh," aku bangkit duduk setelah beberapa menit berbaring.
Obat yang diberikan oleh Mrs Elena sama sekali tidak membantu. Kepalaku malah semakin pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Perasaan gelisah mulai menyerang, rasa mual yang sudah hilang kini kembali muncul.
Aku menatap kosong kakiku yang menjuntai ke bawah, menatap sepatu kets yang sekarang kupakai. Tadi setelah insiden di parkiran, aku langsung bergegas menuju loker sebelum berlari ke gedung sepuluh. Aku tak mungkin masuk kelas hanya dengan sebelah sepatu, aku juga bisa mati membeku--sungguh hiperbolis tapi suhu udara saat ini benar-benar dingin, beruntung aku masih menyimpan sepatu kets-ku di loker.
Aku masih mengamati sepatu kets ku selama beberapa detik sebelum mataku menangkap objek lain di bawah sana. Sepatu boots coklat yang tidak asing dimataku.
Itu sepatuku!
Aku nyaris melompat dari ranjang untuk mengambil sepatu boot itu jika saja tirai di depanku tidak terbuka dan menampakkan sosok yang sangat kutakuti saat ini. Sosok yang paling kuhindari eksistensinya.
Jason Butler!
Dia duduk sepertiku dengan kaki menjuntai ke lantai dan tangan kanan yang menyingkap tirai pembatas antara ruang kecil tempat ranjang yang ku tempati dengan ranjangnya. Di kepala lelaki itu ada perban dengan rembesan obat merah tepat di atas lukanya, syukurlah setidaknya rasa bersalahku sedikit berkurang melihat lukanya sudah diobati.
Namun saat mata hijau gelapnya menatapku dan pandangan kami bertemu.
Aku tercekat.
Mataku berkedip sekali dengan mulut yang terbuka, meraup udara sebanyak mungkin untuk mengisi kekosongan pada paru-paruku karena saat ini sulit bagiku bahkan hanya untuk sekedar bernapas dengan benar.
Seharusnya aku memikirkan kemungkinan buruk seperti bertemu dengan Jason di klinik. Alih-alih menyetujui Mrs Brown yang dengan seenaknya menyuruh Ben mengantarku ke tempat ini seharusnya aku tadi langsung minta ijin pulang.
Astaga, kenapa hari ini aku sial sekali?! Semoga tidak ada yang lebih buruk dari ini. Harapku sia-sia.
# PENYELAMATDia di depanku. Bola mata hijaunya menatap ku, membuat sekujur tubuhku gemetar hanya karena melihat betapa tajamnya tatapan seorang Jason Butler. Aku belum pernah melihat mata seindah sekaligus... semenyeramkan itu, menyeramkan? Kau berlebihan Stefie.Aku masih menatapnya tak berkedip, hanya diam tanpa suara saat sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seringaian arogan."Aku tahu aku ini sangat tampan, tapi kau tak perlu mengagumiku sampai meneteskan air liur seperti itu," kata Jason, nada suaranya terdengar mengejek.Aku tersentak, buru-buru menggerakkan tangan untuk menyeka mulutku dahiku mengernyit saat mengamati tanganku yang kering, tak ada air liur disana. Kembali kualihkan pandangan ke Jason, dia masih menatapku, kali ini ada sinar geli di bola mata hijaunya."Dasar gadis bodoh," ia menggumam sambil terkekeh pelan.Apa dia bilang? Gadis bodoh? Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Ingin rasanya membalas ucapan tapi
Setiap langkah yang terayun terasa begitu lambat. Aku berjalan tanpa semangat menuju loker untuk mengambil beberapa buku dan sebelah sepatu bootku.Setelah kembali ke kelas biologi untuk mengambil tas, aku memutuskan untuk pulang. Tidak ada gunanya tetap tinggal dan belajar di sekolah ketika pikiranku kacau. Setidaknya di rumah aku bisa menenangkan diri sekaligus menyiapkan mental untuk menghadapi hari-hariku setelah kejadian memalukan di klinik dan kemungkinan buruk yang akan kuterima jika Jason mengetahui akulah orang yang ia cari.Begitu sampai di loker, aku langsung memasukkan buku dan sebelah sepatu bootku dengan asal. Hanya butuh waktu sepuluh detik dan aku sudah selesai berkemas. Sekarang tinggal ke parkiran, ambil mobil, lalu pulang.Suara isakan terdengar saat aku melewati koridor menuju parkiran. Suasana koridor yang terlampau sepi membuat isakan itu terdengar jelas. Aku menajamkan indera pendengaranku, berjalan mengendap seperti pencuri menuju sumber sua
Dorong dia Stef!Tampar pipinya!Tendang tulang keringnya!Atau pukul sampai babak belur!Oke yang terakhir itu aku akui aku terlalu berlebihan, aku tidak mungkin bisa melakukannya. Abaikan saja. Intinya, aku harus marah dan menunjukkan padanya kalau perbuatannya itu sangat kurang ajar. Dia menciummu!Aku tahu, harusnya aku melakukan salah satu atau dua dari yang ada di otakku. Tapi otak dan tubuhku saat ini benar-benar tidak sinkron. Saraf motorikku seakan berhenti bekerja, mereka menghianatiku dengan membuatku hanya bisa diam dan terpaku menerima segala perbuatan kurang ajar Jason.Aku bisa merasakan Jason tersenyum di atas bibirku, ia pasti merasa menang karena aku hanya diam tak berkutik. Mata kami beradu, bukannya berhenti, Jason malah memejamkan matanya seakan menikmati ciuman ini. Perasaanku campur aduk, adrenalin berpacu dalam darahku seperti saat naik roller coaster. Telapak tangan Jason yang dingin mendorong tengkukku, pikiran
Alunan musik dari yang ada di dashboard mobil mengisi keheningan. Aku duduk diam di jok penumpang sambil menatap penuh tanya sosok yang ada di balik kemudi. Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalaku, tentang dia yang tiba-tiba muncul dan hubungannya dengan Jason. Aku merasa Jason dan dia sudah saling mengenal, tapi bukan saling kenal dalam artian teman, melainkan sebaliknya. Dilihat dari cara mereka yang saling menatap saja sudah terlihat betapa besarnya aura permusuhan antara keduanya."Stef, Bisakah kau berhenti memelototiku?" Dari nada suaranya, ia terdengar jengah.Aku sama sekali tidak mengalihkan pandangan darinya ketika mulai mengatakan hal yang sejak tadi sudah ingin aku tanyakan. "Kenapa kau tadi bisa ada di sana?" tanyaku."Ayahmu menyuruhku untuk memastikan kondisi mu setelah mendapat telepon dari pihak sekolah. Mereka bilang kau sakit, tapi yang kutemukan sepertinya tidak sama dengan yang mereka katakan."Aku mengalihkan pandangan ke de
-15 derajat celsius. Salju turun lebih lebat dari kemarin, aku merapatkan mantel yang kukenakan. Beruntung aku mengikuti saran Rob untuk memakai mantel tebal hadiah dari Grandma pada thanksgiving tahun kemarin. Jika tidak bisa-bisa cuping telinga dan ujung jariku kesakitan atau mati rasa karena kedinginan.Ngomong-ngomong soal Rob, nasib baik sepertinya masih ada dipihakku. Dia tidak menanyakan perihal sepatu boots hadiah darinya. Tadi pagi Rob tampak terburu-buru berangkat ke bengkel. Dia bilang ada pelanggan yang akan datang pagi-pagi sekali untuk mengambil mobil dan karena Jack ada jadwal kuliah pagi, Rob yang mengurusnya."Hei, gadis aneh, berhenti!"Langkahku terhenti. Jangan berpikir aku berhenti karena panggilan bodoh itu. Aku berhenti karena lenganku dicekal."Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."Aku tahu suara ini, suara dengan nada dingin sekaligus sombong. Siapa lagi kalau bukan Jason."Aku buru-buru," sahutku, sebisa mungkin a
Ada peribahasa yang mengatakan, "Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga." peribahasa itu sepertinya cocok untukku. Cepat atau lambat Rob pasti akan tahu kalau aku menghilangkan sepatu boots pemberiannya. Mungkin bagi kalian ini hanya masalah sepele.Ayolah itu hanya 'sepatu boots', kau bisa membelinya kapan saja!Ya, itu memang benar. Itu hanya sepatu boots, biasa bagi kalian tapi tidak bagiku. Itu hadiah ulang tahunku yang ke-17. Aku tahu ini konyol, setiap tahun orang pasti akan mengalami yang namanya 'ulang tahun' -jika Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup-, tapi tidakkah kalian berpikir tentang betapa spesialnya ulang tahun ke-17?Tahun dimana orang-orang akan mengakuimu sebagai seorang remaja, bukan seorang bocah ingusan lagi. Terlepas dari itu, ada hal
Mobil yang aku kendarai memang sudah berhenti di pekarangan rumah, tapi itu tidak menghentikan getaran pada kedua telapak tanganku yang memegangi stir, jantungku juga masih berdetak lebih cepat dari biasanya. Kelebatan ingatan tentang kejadian memalukan itu masih saja berputar-putar di dalam kepalaku. Seolah mengejekku, ingatan itu enggan menghilang.Kubenturkan kepalaku pada stir, berharap aku bisa amnesia tapi yang kudapat malah memar di dahi. Aku meringis memegangi memar yang baru saja kubuat."Aku harap tidak bertemu dengan Jason lagi seumur hidupku."Aku mendesah panjang, menenggelamkan wajahku pada lipatan lengan di atas stir mobil. Setelah mengatakan hal memalukan itu aku berhasil merampas paper bag-ku dan kabur dari Jason. Entah ini harus disebut keberuntungan atau justru malap
"Lucas, aku bisa berangkat sendiri! Kembalikan kunci mobilku!" teriakku pada Lucas. Dia berpura-pura tidak mendengar. Lucas tetap duduk manis di depan kemudi."Lucas!" raungku frustasi. Lucas tidak juga mau mengembalikan kunci mobilku. Dia menyembunyikannya entah di mana. Kesabaranku mulai habis sekarang. Kutarik lengannya dengan kencang hingga pegangannya pada kemudi terlepas.Lucas menoleh, dia memberiku tatapan tajam."Berhentilah bersikap kekanak-kanakan. Aku hanya melaksanakan amanat dari Ayahmu.""Amanat apanya? Asal kau tahu, biasanya aku selalu berangkat sendiri.""Amanat memastikanmu aman dari jangkauan Jason. Itu pesan Ayahmu. Maka dari itu aku menyita kunci mobilmu. Oh ya,
Aku meringis, Mrs Elena sudah selesai mengobati lukaku dan sekarang tengah membereskan peralatan yang tadi dia gunakan.Sialan, si Brengsek itu membuatku mendapat dua jahitan di dagu, ditambah rasaa nyeri di lututku belum juga hilang. Persetan dengan hukum, aku benar-benar ingin membunuhnya detik ini juga."Jangan cengeng. Luka di dagumu tidak seberapa. Perlu kau tahu, gara-gara sepatu boots -sialan- mu itu aku mendapat lima jahitan di pelipisku."Aku mendongak, menemukan Jason berdiri sambil menyibak tirai. Mati-matian aku menahan emosiku. Keinginan untuk melenyapkan Jason dari muka bumi ini makin kuat.Dia melangkah mendekat, tak sedetikpun aku mengalihkan pandangan darinya. Gerakannya saat membuka kaos juga tidak luput dari penglih
"Lucas, aku bisa berangkat sendiri! Kembalikan kunci mobilku!" teriakku pada Lucas. Dia berpura-pura tidak mendengar. Lucas tetap duduk manis di depan kemudi."Lucas!" raungku frustasi. Lucas tidak juga mau mengembalikan kunci mobilku. Dia menyembunyikannya entah di mana. Kesabaranku mulai habis sekarang. Kutarik lengannya dengan kencang hingga pegangannya pada kemudi terlepas.Lucas menoleh, dia memberiku tatapan tajam."Berhentilah bersikap kekanak-kanakan. Aku hanya melaksanakan amanat dari Ayahmu.""Amanat apanya? Asal kau tahu, biasanya aku selalu berangkat sendiri.""Amanat memastikanmu aman dari jangkauan Jason. Itu pesan Ayahmu. Maka dari itu aku menyita kunci mobilmu. Oh ya,
Mobil yang aku kendarai memang sudah berhenti di pekarangan rumah, tapi itu tidak menghentikan getaran pada kedua telapak tanganku yang memegangi stir, jantungku juga masih berdetak lebih cepat dari biasanya. Kelebatan ingatan tentang kejadian memalukan itu masih saja berputar-putar di dalam kepalaku. Seolah mengejekku, ingatan itu enggan menghilang.Kubenturkan kepalaku pada stir, berharap aku bisa amnesia tapi yang kudapat malah memar di dahi. Aku meringis memegangi memar yang baru saja kubuat."Aku harap tidak bertemu dengan Jason lagi seumur hidupku."Aku mendesah panjang, menenggelamkan wajahku pada lipatan lengan di atas stir mobil. Setelah mengatakan hal memalukan itu aku berhasil merampas paper bag-ku dan kabur dari Jason. Entah ini harus disebut keberuntungan atau justru malap
Ada peribahasa yang mengatakan, "Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga." peribahasa itu sepertinya cocok untukku. Cepat atau lambat Rob pasti akan tahu kalau aku menghilangkan sepatu boots pemberiannya. Mungkin bagi kalian ini hanya masalah sepele.Ayolah itu hanya 'sepatu boots', kau bisa membelinya kapan saja!Ya, itu memang benar. Itu hanya sepatu boots, biasa bagi kalian tapi tidak bagiku. Itu hadiah ulang tahunku yang ke-17. Aku tahu ini konyol, setiap tahun orang pasti akan mengalami yang namanya 'ulang tahun' -jika Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup-, tapi tidakkah kalian berpikir tentang betapa spesialnya ulang tahun ke-17?Tahun dimana orang-orang akan mengakuimu sebagai seorang remaja, bukan seorang bocah ingusan lagi. Terlepas dari itu, ada hal
-15 derajat celsius. Salju turun lebih lebat dari kemarin, aku merapatkan mantel yang kukenakan. Beruntung aku mengikuti saran Rob untuk memakai mantel tebal hadiah dari Grandma pada thanksgiving tahun kemarin. Jika tidak bisa-bisa cuping telinga dan ujung jariku kesakitan atau mati rasa karena kedinginan.Ngomong-ngomong soal Rob, nasib baik sepertinya masih ada dipihakku. Dia tidak menanyakan perihal sepatu boots hadiah darinya. Tadi pagi Rob tampak terburu-buru berangkat ke bengkel. Dia bilang ada pelanggan yang akan datang pagi-pagi sekali untuk mengambil mobil dan karena Jack ada jadwal kuliah pagi, Rob yang mengurusnya."Hei, gadis aneh, berhenti!"Langkahku terhenti. Jangan berpikir aku berhenti karena panggilan bodoh itu. Aku berhenti karena lenganku dicekal."Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."Aku tahu suara ini, suara dengan nada dingin sekaligus sombong. Siapa lagi kalau bukan Jason."Aku buru-buru," sahutku, sebisa mungkin a
Alunan musik dari yang ada di dashboard mobil mengisi keheningan. Aku duduk diam di jok penumpang sambil menatap penuh tanya sosok yang ada di balik kemudi. Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalaku, tentang dia yang tiba-tiba muncul dan hubungannya dengan Jason. Aku merasa Jason dan dia sudah saling mengenal, tapi bukan saling kenal dalam artian teman, melainkan sebaliknya. Dilihat dari cara mereka yang saling menatap saja sudah terlihat betapa besarnya aura permusuhan antara keduanya."Stef, Bisakah kau berhenti memelototiku?" Dari nada suaranya, ia terdengar jengah.Aku sama sekali tidak mengalihkan pandangan darinya ketika mulai mengatakan hal yang sejak tadi sudah ingin aku tanyakan. "Kenapa kau tadi bisa ada di sana?" tanyaku."Ayahmu menyuruhku untuk memastikan kondisi mu setelah mendapat telepon dari pihak sekolah. Mereka bilang kau sakit, tapi yang kutemukan sepertinya tidak sama dengan yang mereka katakan."Aku mengalihkan pandangan ke de
Dorong dia Stef!Tampar pipinya!Tendang tulang keringnya!Atau pukul sampai babak belur!Oke yang terakhir itu aku akui aku terlalu berlebihan, aku tidak mungkin bisa melakukannya. Abaikan saja. Intinya, aku harus marah dan menunjukkan padanya kalau perbuatannya itu sangat kurang ajar. Dia menciummu!Aku tahu, harusnya aku melakukan salah satu atau dua dari yang ada di otakku. Tapi otak dan tubuhku saat ini benar-benar tidak sinkron. Saraf motorikku seakan berhenti bekerja, mereka menghianatiku dengan membuatku hanya bisa diam dan terpaku menerima segala perbuatan kurang ajar Jason.Aku bisa merasakan Jason tersenyum di atas bibirku, ia pasti merasa menang karena aku hanya diam tak berkutik. Mata kami beradu, bukannya berhenti, Jason malah memejamkan matanya seakan menikmati ciuman ini. Perasaanku campur aduk, adrenalin berpacu dalam darahku seperti saat naik roller coaster. Telapak tangan Jason yang dingin mendorong tengkukku, pikiran
Setiap langkah yang terayun terasa begitu lambat. Aku berjalan tanpa semangat menuju loker untuk mengambil beberapa buku dan sebelah sepatu bootku.Setelah kembali ke kelas biologi untuk mengambil tas, aku memutuskan untuk pulang. Tidak ada gunanya tetap tinggal dan belajar di sekolah ketika pikiranku kacau. Setidaknya di rumah aku bisa menenangkan diri sekaligus menyiapkan mental untuk menghadapi hari-hariku setelah kejadian memalukan di klinik dan kemungkinan buruk yang akan kuterima jika Jason mengetahui akulah orang yang ia cari.Begitu sampai di loker, aku langsung memasukkan buku dan sebelah sepatu bootku dengan asal. Hanya butuh waktu sepuluh detik dan aku sudah selesai berkemas. Sekarang tinggal ke parkiran, ambil mobil, lalu pulang.Suara isakan terdengar saat aku melewati koridor menuju parkiran. Suasana koridor yang terlampau sepi membuat isakan itu terdengar jelas. Aku menajamkan indera pendengaranku, berjalan mengendap seperti pencuri menuju sumber sua
# PENYELAMATDia di depanku. Bola mata hijaunya menatap ku, membuat sekujur tubuhku gemetar hanya karena melihat betapa tajamnya tatapan seorang Jason Butler. Aku belum pernah melihat mata seindah sekaligus... semenyeramkan itu, menyeramkan? Kau berlebihan Stefie.Aku masih menatapnya tak berkedip, hanya diam tanpa suara saat sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seringaian arogan."Aku tahu aku ini sangat tampan, tapi kau tak perlu mengagumiku sampai meneteskan air liur seperti itu," kata Jason, nada suaranya terdengar mengejek.Aku tersentak, buru-buru menggerakkan tangan untuk menyeka mulutku dahiku mengernyit saat mengamati tanganku yang kering, tak ada air liur disana. Kembali kualihkan pandangan ke Jason, dia masih menatapku, kali ini ada sinar geli di bola mata hijaunya."Dasar gadis bodoh," ia menggumam sambil terkekeh pelan.Apa dia bilang? Gadis bodoh? Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Ingin rasanya membalas ucapan tapi