“Memangnya kenapa?” Lembayung bertanya dengan nada datar pada Jingga. Mereka berdua sedang berada di kamar Jingga. Sang pemilik kamar tengah rebah di kasur setelah selesai menceritakan hal yang seharian ini dialaminya serta tentang Krisna. Sementara Lembayung duduk tenang di sampingnya sembari melihat-lihat beberapa sketsa sepatu yang baru dibuat sang kakak.
“Dia tertarik padaku karena malam itu aku kelihatan cantik. Dia bahkan sampai nggak mengenaliku.” Jingga menjawab pertanyaan sang adik seraya menatap langit-langit kamarnya.“Nggak masalah, kan? Memang malam itu kamu kelihatan lebih cantik, kok. Wajar aja kalau dia tertarik.”“Tapi, itu berarti dia nggak suka padaku apa adanya, kan? Dia cuma mandang penampilan, sama seperti saat kami pertama bertemu dulu. Dia menghina dan meremehkanku salah satunya karena penampilanku yang menurutnya jelek.” Jingga selalu teringat pertemuan pertamanya dengan Krisna. Padahal kejadian itu sama sekali tidak berkesan.Baju, oke. Wajah dan rambut, oke. Hadiah, oke.Krisna tersenyum puas setelah memastikan baik penampilan maupun benda yang harus dibawa telah siap. Lengkap. Untuk kesekian kali, Krisna bercermin pada kaca mobil, membenahi kerah kemeja yang sejatinya tidak bermasalah. Juga rambut gaya pompadour-nya yang masih tampak keren.Sembari mengeratkan kembali genggamannya pada buket mawar merah dan sebuah kotak kecil, Krisna lalu menegakkan badan. Bersiap menyambut gadis yang membuatnya tampil spesial malam ini. Penantiannya tak membutuhkan waktu lama, karena sejurus kemudian Jingga tampak bersama teman-temannya keluar dari gedung.Senyum Krisna seketika mengembang. Namun, hal yang sama tidak berlaku pada Jingga. Gadis itu sontak melotot alih-alih balas tersenyum begitu melihat kehadiran Krisna. Sementara teman-teman gadis itu justru senyum-senyum sembari menggodanya."Cie, ditungguin Pak Bos, tuh, Ga.""Buruan disamperin, gih. Udah ganteng pakai ba
Krisna menggeleng setiap kali teringat kejadian barusan. Terus mempertanyakan bagaimana bisa ia bertindak memalukan seperti itu di depan Jingga. Mau ditaruh mana mukanya sekarang."Pak Krisna." Panggilan Jingga memutus lamunan Krisna. Gadis itu terlihat khawatir. "Bapak beneran nggak papa? Nggak ada yang sakit? Kepalanya gitu?"Krisna memegangi kepalanya, kembali merasa malu atas ingatan jurus seruduk yang tadi ia keluarkan untuk menyerang si preman. Sejujurnya, Krisna memang tidak bisa berkelahi, tapi tindakannya tadi benar-benar tidak keren. Sepayah-payahnya ia memberi pukulan, itu pasti akan terlihat lebih baik daripada menyundulkan kepala ke perut preman."Oh, saya nggak papa, kok." Krisna akhirnya membalas. Kini ia dan Jingga sedang duduk di tepi jalan, tepatnya di pinggir trotoar tempat mereka tadi dihadang. Dua pria pemalak tadi sudah diamankan oleh si Jabrik dan kawan-kawannya yang kebetulan melintas dan melihat Jingga. Setelahnya hanya tersisa Jin
Rengga hanya bisa terheran sewaktu memasuki ruangan Krisna dan mendapati sang bos tengah senyum-senyum sembari menatap layar laptop. Sebenarnya tidak aneh karena bisa saja Krisna sedang menonton film komedi. Masalahnya ini masih jam kantor dan hal semacam itu bukan sesuatu yang wajar dilakukannya."Pak Krisna," tegur Rengga sewaktu sudah berada di depan sang bos. "Ada dokumen yang perlu Bapak tandatangani."Rengga menyerahkan map yang ia bawa, tapi Krisna masih fokus pada layar di hadapannya dan tak menoleh. "Taruh di situ saja. Nanti saya lihat," perintahnya."Baik, Pak." Sang asisten menurut lalu melakukan yang disuruh Krisna. Sayangnya, sang bos masih sibuk sendiri, bahkan kini tertawa. Mengetahui beberapa kebiasaan Krisna, Rengga hanya bisa mengernyit melihat keanehan tersebut tapi tak berniat bertanya. Dan, karena tak ada hal lain yang perlu ia sampaikan, pria berkacamata itu hendak undur diri.Awalnya Krisna mengangguk mengiakan, masih
"Eh, Ga. Gimana kencan kamu sama Pak Krisna?" Santi bertanya pada Jingga yang baru saja memakan bekalnya. "Cerita, dong."Jingga menatap temannya itu malas. Sekarang setiap jam istirahat ia bukannya bisa makan dan beristirahat dengan tenang, tapi malah harus menghadapi rasa penasaran teman-temannya. Tidakkah mereka mengerti kalau Jingga ingin menyimpan sendiri kebersamaannya bersama Krisna? Lagipula, tidak ada yang menarik dari itu. Kalau bukan pria itu yang merayu, maka mereka akan berdebat yang selalu dimulai oleh Jingga. "Nggak ada yang perlu diceritain," jawab Jingga enggan. Ia masih berusaha menikmati kunyahan nasi di mulutnya yang jadi terasa tak enak gara-gara kekepoan Santi. Belum lagi kalau rekannya, Dewi, ikut serta mengulik tentangnya. "Ih, Jingga pelit. Bilang aja mau bikin kita iri." Santi tiba-tiba saja merajuk, membuat Jingga kembali menatapnya, kali ini dengan heran. "Mentang-mentang kamu bisa bikin Pak Krisna bucin sama kamu."Jingga memutar mata jengah. Ia tidak pe
Jingga menggeliat dengan nyaman bersamaan dengan layar televisi yang menampilkan credit title dari film yang baru selesai ia tonton. Punggungnya pegal duduk selama hampir dua jam menatap layar, tapi cukup terbayar dengan filmnya yang tidak mengecewakan. Sejauh ini ia selalu mengambil rekomendasi film-film bagus dari sebuah situs di internet dan sejauh ini pula belum pernah kecewa dengan pilihan mereka.Berdiri dan berjalan menuju dapur, Jingga mengendus-endus aroma masakan yang sayangnya tidak ada. Kemudian ia teringat jika hari ini Riani tengah pergi menjenguk salah satu tetangga mereka yang sakit dan belum pulang. Saat ini hanya ada dirinya dan Lembayung di rumah, tapi adiknya itu masih sibuk di kamarnya sendiri mengerjakan sesuatu. Jingga menebak Lembayung sedang kebanjiran tugas kuliah. Walaupun sebenarnya gadis itu memang lebih suka bersemedi di kamarnya setiap kali ada waktu.Perut Jingga mengeluarkan bunyi gemuruh kecil, menandakan sang pemilik kelaparan. Film bagus memang berh
Krisna terlonjak kaget sewaktu pintu di hadapannya yang tadi terbuka kini menutup dengan sangat keras. Lebih tepatnya dibanting dengan keras. Ia bahkan belum sempat mengucapkan apa pun pada sang tuan rumah."Dia pasti sangat suka kejutanku sampai bereaksi begitu," gumam Krisna yang sama sekali tak berpikiran buruk. Pria itu malah merasa bangga karena bisa membuat Jingga yang tak lain penghuni rumah di depannya sekarang, terlihat sangat terkejut. Dengan kata lain, kejutan yang ia buat berhasil.Krisna mengulurkan tangan ke daun pintu, hendak mengetuk lagi. Akan tetapi, sebelum sempat melakukannya, seorang perempuan yang tampak sedikit lebih muda dari Ratih muncul dan berjalan ke arahnya."Eh, ada tamu," ujar perempuan yang ternyata Riani itu. "Cari siapa, ya?"Krisna menebak Riani adalah kerabat atau siapa pun dari keluarga Jingga yang juga tinggal di sana. Sebab dugaan perempuan itu adalah ibunya Jingga agak sulit ia terima. Tidak ada kemiripan antara Riani dan Jingga. Sama sekali."J
"Pagi, Pak." "Pagi, Pak Krisna.""Selamat pagi, Pak."Sepanjang memasuki lobi kantor hingga menuju ruangannya, hampir seluruh orang yang Krisna temui menyapanya. Bukan hal aneh sebenarnya, mengingat pria itu memang CEO di sana. Akan tetapi, biasanya kebanyakan para pegawai Krisna lebih memilih untuk menghindar jika melihat sang bos. Ekspresi Krisna yang kerap terlihat dingin membuat hanya beberapa orang saja yang berani melakukannya.Namun, hari ini semua orang seperti mendapat keberanian untuk menyapa CEO mereka itu. Sebabnya tak lain adalah senyum dan raut wajah gembira yang Krisna tunjukkan sejak dari menginjakkan kaki di depan gedung kantornya. Pemandangan langka yang jarang dilihat para anak buah Krisna, kecuali sang asisten setianya, Rengga.Krisna sendiri menikmatinya. Ia membalas satu persatu sapaan itu tanpa mengubah ekspresi kegembiraan di wajahnya. Kesenangan yang sudah muncul sejak ia bangun pagi tadi itu,
Tidak seperti biasa, malam ini Jingga bergegas pulang mendahului teman-temannya yang masih sibuk bercanda di ruang loker. Gadis itu berjalan cepat keluar dari gedung tempat butiknya berada dan menuju ke tempat di mana ia sering mendapati mobil Krisna di sana. Sayangnya, sama seperti dia hari sebelumnya, tidak ada mobil BMW hitam yang terparkir di sana. Juga tidak ada pria labil yang tiap malam membawa buket mawar untuknya seperti orang kurang kerjaan.Jingga mendesah kecewa. Saat ia tidak menginginkannya, Krisna selalu muncul. Akan tetapi, saat Jingga membutuhkannya, pria labil itu justru tidak menunjukkan batang hidungnya. Apa Krisna sudah bosan menghadapinya?Yah, kalaupun benar begitu, Jingga harap pria itu tidak meninggalkan benda mahal untuknya. Sebab, ia berniat mengembalikan benda tersebut, jam tangan mewah yang Krisna titipkan Riani saat datang ke rumahnya tempo hari.Jingga tidak membutuhkan benda itu. Bahkan meski yang Krisna berikan hanya sebuah
“Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak
“Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so
Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga
"Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera
Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.
“Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung
Jingga terbangun di ruangan yang berbeda dari terakhir kali ia terjaga. Gadis itu sudah tidak lagi berada di IGD. Sebagai gantinya, ia kini menempati sebuah ruangan yang luas. Terlalu luas malah untuk ukuran ruang rawat yang pernah ia tempati sebelum-sebelumnya. Ruangan tersebut terang benderang dan sekilas menguarkan wangi karbol. Benda-benda yang ada di sana sama seperti ruangan lain di rumah sakit pada umumnya, tapi luasnya jelas lebih besar dari kamar Jingga. Gadis itu juga tidak tahu jam berapa sekarang karena tidak mendapati petunjuk waktu di sekitarnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa lama ia terlelap setelah dokter memberinya suntikan begitu sampai di rumah sakit tadi. Cahaya di luar jendela kamar menunjukkan kegelapan yang mulai bercampur terang, tapi Jingga tidak yakin itu adalah fajar menyingsing atau menuju senja. Jingga berusaha bangun, menggerakkan tangan kirinya yang dipasangi infus dengan perlahan dan hati-hati. Gadis itu masih belum men
Krisna bergegas menuju ruang IGD setelah selesai memarkir mobil. Begitu memasuki tempat tersebut, pandangannya memindai seisi ruangan dan menemukan Jingga yang tergolek lemah di salah satu brankar. Di samping gadis itu ada seorang gadis yang tidak Krisna kenal. Kemungkinan salah satu rekan kerja di butik."Mana Farhan?" tanya Krisna. Pertanyaannya membuat gadis itu terkesiap dan sedikit linglung. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya terdengar jawaban darinya."Di depan, Pak. Mengurus administrasinya."Setelah mendapat jawaban, perhatian Krisna segera beralih pada Jingga. Gadis itu tengah memejamkan mata, napasnya teratur. Sebuah infus tergantung di sampingnya."Bagaimana kondisinya?" Krisna bertanya lagi. Berharap jawaban yang akan ia dengar bukan kabar buruk. Ia memang belum sempat menanyakan lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga. Begitu mendapat kabar tadi, ia hanya berpikir untuk segera datang. "Oh, ya. Kamu siapanya? Pegawai butik juga?" Bahkan, Krisna baru ingat jik
"Ga, kamu kenapa?" Lina bertanya khawatir sewaktu melihat ruam-ruam di tangan dan wajah Jingga. Mereka sedang berada di ruang loker, rutinitas biasa saat hendak pulang.Jingga tidak segera menjawab karena mendadak sibuk menggaruk lengan dan wajah. Ia juga merasa kesemutan di beberapa bagian tubuh, padahal seingat Jingga tidak ada kegiatan apa pun yang memicu hal tersebut. "Nggak tahu, Lin. Tadi nggak apa-apa, kok. Tahu-tahu badanku terasa gatal."Melihat kemerahan hampir di sekujur badan Jingga, Lina yakin itu bukan gigitan serangga. Ada hal lain yang memicu hal tersebut. "Kamu alergi makanan tertentu?" tanya Lina lagi yang ditanggapi Jingga dengan sebuah gelengan.Kecemasan Lina segera bertambah saat Jingga kini memegangi perut dan terlihat hendak muntah. Meski belum tahu pasti, Lina menebak temannya itu kemungkinan keracunan makanan. Ia teringat makanan yang tadi siang dimakan Jingga, kemudian segera berplaingmencari keberadaan Santi yang belum memasuki ruangan tersebut."Jingga ken