"Nadimu tak akan pernah berdenyut, kecuali atas izin-Nya. Jantungmu tak akan pernah berdetak, kecuali atas kehendak-Nya. Otakmu tak akan berakal, kecuali atas kuasa-Nya. Dan kakimu tak akan pernah memijak di bumi pertiwi hingga detik ini, kecuali atas cinta kasih-Nya, sekalipun kamu seorang ahli maksiat. Renungilah, betapa Allah sangat menanti sujud dan bisikan tobatmu, sehingga memberimu waktu lebih lama hidup di dunia."
***Jarum pendek pada jam yang melingkar di pergelangan kiri Cellin menunjuk pada angka dua belas. Itu artinya, sudah dua jam ia terjaga setelah Nindiya terlelap, mungkin saat ini sang mama sudah bermimpi banyak hal. Dengan sangat hati-hati, Cellin memindahkan tangan kiri Nindiya dari perutnya. Selamat, wanita itu tidak terbangun sama sekali.Sekarang, Cellin bergerak perlahan untuk bangun, lalu turun dari ranjang. Lagi-lagi selamat, sepertinya dewi fortuna sedang berpihak kepadanya, demikian pikir Cellin. Berjalan sangat alon"Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkata, “Aku tidak takut sesuatu hilang daripadaku, karena aku tahu selain takdirku, maka tidak akan pernah menjadi milikku. Aku pun tidak gelisah dengan sesuatu yang aku miliki kemudian aku pun kehilangannya, kenapa? Karena aku tahu sesuatu yang bukan menjadi milikku, bagaimanapun tidak akan pernah menjadi milikku. Begitu pun sebaliknya, aku tidak pernah risau dengan apa yang belum aku dapatkan saat ini, karena aku yakin kalau itu semua akan aku miliki, maka akan datang dengan cara apa pun.” "***Manusia memang sejatinya menjadi tempat salah dan Allah semata-mata Maha Benar, mutlak. Ketika Allah menyentuh hati hamba-Nya yang buruk, manusia malah terbujuk oleh rayuan setan dan dengan mudahnya mengikuti jejak makhluk yang amat dimurkai Allah tersebut.Hal demikian terjadi pada diri Cellin. Setelah menjadi gadis lugu nan baik di depan sang mama dan Alka, ia tetap saja tidak mengubah n
"Wanita, ketika ia jatuh cinta pada seorang pria, sulit baginya untuk lupa. Sekalipun pria yang ia cintai memberikan rasa sakit yang luar biasa, ia masih saja terkukung dalam perasaan cinta. Namun, jika suatu ketika ia menemukan sosok yang bisa membuat seisi hatinya yang porak poranda menjadi utuh, seperti sebelum menaruh rasa pada si pemberi luka, ia akan melepas rasa itu tanpa diminta. Karena yang memberi rasa sakit dan harapan akan kalah dengan yang memberi rasa nyaman dan kepastian." *** Tepat semalam, gadis yang ia pikir sudah berkurang rasa suka terhadap dirinya itu menjawab tiga buah pertanyaan. Ada perasaan senang, tetapi juga cemburu yang melingkupi Abil selepas kejadian semalam di bangku taman. "Pertanyaan pertama, apa Ella masih cinta sama Alka? Dia bakal ngelupain Alka, nggak, setelah batal dilamar? Dan ... lo tau, nggak, hal apa aja yang bisa bikin Ella bisa move on dari cowok? "Eu ... gue cuma mau bantu Ella aja, sih. Kas
"Mencintaimu tak hanya mecipta luka menganga, tetapi juga berhasil mengubah kehidupanku menjadi penuh dengan air mata. Bukankah sebelumnya, kau memberi tawa yang membawa bahagia? Kenapa sekarang malah sebaliknya? Kenapa kau tega merusak segalanya yang berusaha kujaga? Lalu sekarang, aku bisa apa selain menahan perih di hati seorang diri?"***Sekarang, Stella benar-benar mengerti, bagaimana seharusnya ia bersikap dan bagaimana seharusnya ia menanggapi setiap sikap. Meski secara fisik, ia termasuk wanita yang kuat, tetapi secara psikis, ia sangat lemah.Banyak orang yang memutuskan untuk mencintai satu orang dalam hidup, sayangnya Stella adalah satu dari sekian banyak orang itu. Sayangnya lagi, ia malah memilih mencintai satu orang sebelum waktu yang tepat tiba.Tanpa adanya kepastian, bahkan tanpa diberi harapan pun, Stella dengan bodohnya menaruh rasa pada laki-laki itu. Terlampau basah, hingga menjadikannya kering sep
"Orang baik di saat ini bisa jadi memiliki masa lalu yang kelam. Orang jahat di masa kini, juga bisa jadi memiliki masa depan yang cerah. Sebab, Allah Maha Membolak-balikkan keadaan."***Seharian ini, Anna diliputi perasaan aneh yang membingungkan. Bagaimana tidak, pagi ini ketika sampai di kampus, seorang satpam yang biasa berjaga di depan gerbang, tiba-tiba memberinya buket bunga sembari berkata, "Semoga Nona cantik bisa segera move on dari ketidakpastian."Ia sempat bertanya, kenapa satpam itu memberinya bunga? Namun, sang satpam malah tersenyum dan bersikap seolah meresleting bibir rapat-rapat yang berarti, ia tidak boleh memberitahu perihal siapa si pemberi bunga pada Anna.Lalu memasuki ruang kelas, ia dikejutkan lagi oleh sekumpulan dancer yang menggerak-gerakkan badannya sembari bernyanyi. Liriknya begini, "Hey, wanita bernama Anna. Kau bodoh, kenapa kau malah jatuh cinta pada pria berpunya? Kau bodoh, berjuang sendi
"Di antara keputusan terberat adalah, menjauh sejauh-jauhnya dari orang yang terlanjur dicinta. Namun, itu adalah sebuah pilihan terbaik seorang hamba. Karena secara tidak langsung, ia telah menyerahkan keputusan akhir kepada Sang Kuasa."***Napas berat menguar melewati hidung Stella. Keputusan sudah ia kantongi saat ini, tentunya setelah menghabiskan berjam-jam waktu di dalam kamar seorang diri. Rumah memang tempat paling tepat untuk gadis itu bersemadi guna menentukan pilihan hidup yang begitu rumit.Stella berjalan melewati jendela berbentuk pintu yang tergeser ke kanan. Angin malam menyambut kehadirannya, membelai rambut dan menyelimuti tubuh yang tertutup kaus hitam. Kedua siku kini ditumpukan pada pembatas balkon dengan tangan menjulur ke depan, sementara pandangannya jauh mengawang, meninggalkan keindahan bias lampu yang mengintip di antara kepekatan malam dan gemerlap taburan bintang di langit khatulistiwa. Tanpa terasa, mengalir anaka
"Orang jahat, tidak selamanya jahat. Pun orang baik, tidak selamanya baik. Selama mereka berpijak di bumi, selama itu ada peluang bagi mereka untuk berubah." *** Hari ini, Cellin tidak bisa fokus mengikuti pelajaran di kelas, dari jam pertama hingga siang menjelang sore ini, yakni jam terakhir. Sejak tadi, ia hanya melamun sembari memainkan bolpoin di antara jari-jari, sementara tangan yang lain menopang pipi sebelah kiri. Guru pengajar pun sepertinya tidak berniat menegurnya. Mencoba mengertikan keadaan Cellin yang mungkin masih belum bisa melupakan kejadian buruk yang menimpanya. Sebenarnya, guru tersebut meminta Cellin agar istirahat di UKS, tetapi gadis itu menolak dan lebih memilih mengikuti pelajaran. Setelah diserbu oleh teman sekelas dengan berbagai pertanyaan, menjadi bahan gosipan hangat anak-anak seantero sekolah, juga diinterogasi kepala sekolah hingga guru Bimbingan Konseling tentang hal yang membuatnya melamun seper
"Pertolongan Allah itu selalu ada. Jika kau meminta, maka Dia akan mendatangkan pertolongan yang tak terduga. Dialah Maha Penolong, Maha atas segala-galanya." *** From: My Bestie[Hari ini nggak bisa ke kampus lagi. Sorry, ya.] Me:[Kenapa? Kepala kamu masih sakit?] From: My Bestie[Mm, sedikit.] Me:[Get well soon, Bestie. I miss you so much <3 Aku pengin jengukin, boleh, ya? Please ...!] From: My Bestie[No. Lo nggak usah ke sini, entar juga kita ketemu kalo gue udah baikan. Tetep jaga kesehatan, ya. Gue juga kangen banget sama lo <3] Me:[Kenapa, sih? Kenapa nggak boleh ke rumah kamu? Aku juga pengin tau di mana kamu tinggal, Stel. Masa sahabat sendiri nggak pernah ke rumah sahabatnya?] From: My Bestie[Bukan gitu, tapi gue nggak mau lo sampe ketemu nyokap gue yang sentimenan. Yang jelas lo bakalan nyesel setelah ke rumah gue.] Me:[Up to
"Suatu ketika, keburukanmu akan menjadi kebaikan. Namun, cemaslah ketika kebaikanmu, mungkin suatu waktu akan menjadi keburukan."***Setelah menjalani sidang siang tadi, kini Cellin benar-benar merasa terbebas dan seolah beban-beban di pundaknya terhempas. Ia sebelumnya mengajak Rella ikut ke rumah saat pulang tadi, tetapi tampaknya gadis itu sedang menghindar dari Alka, sehingga menolak begitu saja. Alka pun sama saja, seperti tidak berniat untuk membujuk, padahal Cellin sudah memberi tatapan yang mengisyaratkan agar laki-laki itu membujuk Rella.Alka benar-benar menjauh, Rella pun demikian. Namun, Cellin melihat sesuatu yang tidak biasa di sepasang mata kedua insan itu. Dia pun mulai berinisiatif untuk membujuk sang papa untuk membatalkan perjodohan antara kakaknya dengan Stella. Sia-sia belaka ujungnya, sebab Antonio tidak semudah itu melepas jabatan yang sudah hampir di depan mata.Sempat ditanya alasan Cellin meminta pe
[Assalamu'alaikum, El, aku cuma pengin kamu tau satu hal, kalo sebenarnya perjodohan antara Kak Stella dan Kak Alka itu murni karena paksaan dari Om Antonio sama Mama Gloria.][Kalo kamu nggak percaya, bisa tanyakan langsung sama Kak Alka, tapi aku yakin, kamu nggak akan mau ngelakuin itu. Jadi, di sini aku mau ngeyakinin kamu kalo di antara Kak Stella dan Kak Alka nggak ada perasaan cinta sedikit pun. Mereka murni berteman, nggak lebih. Aku lihat, Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Terbukti waktu aku ngembaliin sepatu kaca itu, dia keliatan kecewa banget, El.][Oh, iya, aku ngembaliin sepatu itu beberapa saat setelah kita ketemu di cafe J. Awalnya Kak Alka nolak ajakanku, tapi pas nyebut nama kamu dan sepatu kaca pemberiannya, akhirnya dia mau.][Aku yakin, seyakin-yakinnya kalo Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Dan aku juga yakin, Kak Alka nerima perjodohan itu pasti karena ada alasan yang kuat dan nggak bisa disepelekan. Aku sedikit kenal gimana perangai Om Antonio. Kalo dia
Wanita dengan rambut hitam yang tercepol asal itu tengah sibuk mengemasi barang-barang ke dalam tas koper ketika seseorang menghubunginya via video call. Rella, setelah melihat pada layar gawai di samping tempat duduknya, seketika melebarkan kedua mata. “Kak Abil?!” pekiknya panik. Secepat kilat dia meraih ciput dan jilbab bergo yang ada di tepi ranjang, lantas memakainya tanpa bercermin. Gawai masih terus berbunyi, Rella segera mengambil dan meletakkannya ke bolongan berbentuk persegi panjang pada meja laptop yang biasa dia gunakan belajar jika ingin lesehan di lantai. Ini kali pertama Abil menghubunginya via vc, tentu saja Rella tidak cukup berani, tetapi ingin menolak pun rasanya segan. Setelah memastikan dirinya sudah siap, barulah Rella menggeser tombol hijau dan beberapa saat kemudian, wajah tampan Abil memenuhi layar gawainya. Rella mengerjap beberapa kali, mengatur gestur tubuh dan mimik wajah agar terlihat baik dan tidak tegang. Dia mengulas senyum canggung. “Assalamu'ala
Selepas puas bercurhat ria pada sang mama, kini Rella lebih lega untuk menarik dan mengembuskan napasnya. Meskipun masih ada sedikit perasaan kecewa dan luka yang terasa perih di dada. Namun, dia akan berusaha untuk ikhlas, merelakan segala alur yang telah dirancang Allah sedemikian rupa. Wanita itu membuka sebuah aplikasi sosial media dan mencari nama akun seseorang yang menjadi topik utama curhatannya barusan. Setelah masuk ke profil akun tersebut, dia mengklik bagian kirim pesan. Beruntung onstagramnya tidak diblokir juga, sementara itu nomor telepon dan wutsapp-nya sudah diblokir. Sebelum mengetikkan pesan, Rella mengatur napas, menarik seutas senyum penenang. Barulah jari-jemarinya bermain di layar keyboard dengan pelan bersama detakan jantung yang terasa lebih cepat. [Hai, Stel. Kabar baik? Aku harap sangat baik. Maaf malam-malam mengirimimu pesan lewat dm. Aku ... hanya merasa segan untuk memintamu bertemu langsung. Selain itu, aku juga nggak tau nomormu yang lain. Malam
Sejak diantar pulang ke kosan oleh Abil, Rella tidak henti-hentinya menangis. Pikiran dan hatinya benar-benar tidak tenang, kacau. Dia bukan menangisi perihal Alka yang lebih memilih wanita lain, melainkan tentang persahabatannya bersama Stella. Rella memang kecewa atas perlakuan Alka, sangat. Dua kali dilamar, tetapi bukan dirinya yang dinikahi. Namun, Rella sudah berusaha untuk merelakan, sebab jika memang Tuhan tidak menakdirkan mereka berjodoh, mau sekuat apa pun berjuang juga tidak akan pernah bersatu. Sekarang, pikirannya lebih terbuka untuk tidak lagi berlarut-larut menangisi perihal asmara. Itu semua tidak lekang dari bantuan Stella yang selalu setia memberi dukungan, juga nasihat dari Pak Psikolog alias Abil. Hanya saja, kali ini dia tidak yakin bisa lebih tegar. Kehilangan sahabat sungguh berkali-kali lebih menyakitkan dibanding kehilangan kekasih. Bagi Rella, sosok Stella tidak ada gantinya. Sahabat terbaik sejak awal masuk kuliah hingga masuk semester 6, rasanya ketika
Abil menatap lawan bicaranya sembari menahan amarah. “Lo berhutang penjelasan soal kejadian tadi pagi di rumah keluarga Stella. Soal pertunangan kalian yang katanya ... terpaksa?”Laki-laki berwajah lesu itu sekalipun tidak membalas tatapan Abil. Sepasang mata lelahnya hanya tertuju pada permukaan meja dengan segelas air putih yang baru saja ia hidangkan untuk tamu di depan. Alka mengembus berat. Sedikit pun tidak tampak bias keceriaan di wajahnya, hanya ada ketidaktenangan. “Kamu sudah mendengar semua perkataan Stella, apa masih kurang jelas?” Nada suaranya terdengar sangat malas untuk sekadar membahas permasalahan yang baru saja dilalui. Jika boleh, dia sendiri tidak ingin menghadapi alur serumit itu. “Jelas, tapi kenapa lo malah jalanin kalo lo sama Stella nggak mau? Lo udah sering bikin Ella sakit hati, Al, dan sekarang lo bener-bener ngehancurin harapan dia!”Alka memejam. Ia sangat sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sangat sadar telah membuat luka baru untuk Rella di s
“Tiada yang lebih baik daripada melepaskan. Karena jika aku memilih untuk terus mempertahankan, mungkin retaknya akan terus berulang.” *** Bagaikan racun yang dibungkus kain sutera, begitulah Stella yang menjadi racun dan Rella sebagai pembungkusnya. Kebaikan Rella menutupi segala bentuk tujuan buruk Stella, tetapi lambat laun ketika seseorang memaksa menyingkirkan kain sutera, mau tidak mau racun pun tampak. "Kenapa kamu masih di sini?" "Stella, aku--" "Pergi!" Bahkan, Stella memilih menenggak habis racun itu tanpa sisa, sebab tidak ingin sahabat terbaiknya terluka lebih jauh karena mempertahankan pertemanan mereka. Dia rela menjadi jahat, asalkan Rella menjauhinya. Dia rela menjadi bilah pisau, asalkan tidak ada lagi luka yang tercipta setelahnya. Demi kebaikan Rella, Stella rela menjadi seburuk-buruknya manusia. Rella tidak pantas bersahabat dengan manusia berhati busuk. Rella tidak pantas bebuat baik pada manusia berhati rubah. Sungguh tidak pantas. Satu dua tete
Wanita berpakaian khas dokter itu menggelung tt dan memasukkannya ke dalam tas khusus. Rautnya tampak berbeda selepas memeriksa keadaan pasien yang terbaring di ranjang king size. Sesaat kemudian, dia melempar senyum kepada orang tng duduk di kursi dekat ranjang, Gloria. "Bagaimana keadaan Stella, San? Dia tidak kenapa-napa, kan?" Kecemasan tergurat jelas di wajah renta Gloria. "Ibu jangan khawatir, Stella baik-baik aja. Dia cuma butuh istirahat untuk memulihkan tenaga, sebentar lagi pasti siuman." Ucapan Santiya, dokter yang biasa menanganinya terdengar meyakinkan, membuat Gloria tersenyum tenang dan bernapas lega. "Entah apa yang Stella kerjakan selain kuliah sampai membuatnya kecapean, tapi syukurlah kalau dia nggak kenapa-napa." Gloria berdiri mendekati Santiya yang telah selesai mengemasi peralatan medisnya. "Kamu nggak makan dulu bareng kita? Sambil nunggu Stella siuman.""Nggak usah, Bu, saya mau langsung balik ke rumah sakit selesai dari sini. Mungkin ... lain kali kalau ng
"Sebesar apa pun perjuanganmu untuk mendapatkannya, sekalipun mendaki gunung himalaya, bahkan mengarungi samudera hindia, jika Tuhan tidak berkehendak, kamu tidak akan pernah bisa memilikinya."***Anna, kenapa gadis yang pernah menjadi saudara tirinya itu ada di sini? Pertanyaan itulah yang pertama kali menyambangi pikiran Rella tatkala masuk ke rumah bak istana milik Gloria. Ia benar-benar terkejut, Abil berbisik padanya bahwa gadis dengan dress selutut itu adalah adik Stella. Adik kandung, tetapi beda ibu. Satu rahasia kembali terkuak. Lantas, kenapa selama ini, Stella bersikap seolah tidak mengenal Anna? Tunggu dulu. Annasterra dan ... Annastella. Kenapa Rella baru sadar, jikalau nama dari kedua gadis itu ada kemiripan? Kenapa ia tidak ngeh sama sekali? Rella tidak habis pikir. Lantas, apa alasan Stella sampai merahasiakan tentang ikatannya dengan Anna? Anna sangat menyukai Alka, apakah Stella mendukung hal itu di belakang Rella? Apakah Stella hanya berpura-pura mendukung per
"Setiap hal yang tersembunyi, ada kalanya tampak ke permukaan. Semata-mata agar manusia paham, bahwa sesuatu yang seharusnya tidak menjadi rahasia, tidak perlu dirahasiakan. Jika ketersembunyian saja mencipta masalah baru, kenapa tidak dengan menyuarakan kebenaran saja? Toh, ujungnya akan tetap sama. Walau sejatinya, kejujuran di awal lebih mampu untuk diterima hati, daripada menyemai kebohongan, yang pada akhirnya tertuai kekecewaan dan sulit untuk sekedar diikhlaskan."***[Kemarin lusa, kan, kamu belum jawab iya apa enggak. Apa mau ke sana sekarang? Kebetulan udah selesai kuliah. Kamu udah selesai?]Pesan itu didapat Rella dari Abil dua hari setelah mengajar di panti asuhan. Hal itu yang sangat ingin ditanyakan Rella, seandainya kemarin lusa laki-laki tersebut tidak menerima telepon penting. Pembicaraan tentang Stella pun terhenti, terlupakan begitu saja. Ingin bertanya, sudah sampai kos-an, jadilah Rella menahan rasa penasarannya hingga sekarang. [Udah selesai, Kak, ini mau bali