"Kamu boleh saja mencintai, tetapi jangan sampai memaksa untuk dicintai. Sebab, selain menyakiti diri sendiri, kamu juga menyakiti orang lain."
***"Woi, Richard, keluar lo!"Richard yang baru saja merebahkan tubuh di kasur nan empuk untuk tidur, segera membuka mata kala mendengar teriakan memekak dari arah luar. Suara melengking bak toa masjid itu sangat dikenalnya, membuat ia mendesah kesal, lalu turun dari ranjang. Apalagi sekarang pintu kamar pun menjadi korban. Semoga tidak sampai rusak akibat gedoran keras dan membabi buta dari gadis meresahkan itu."Keluar lo Cupu!"Tidur siang yang diharapkan lancar jaya, harus terganggu karena kehadiran si gadis tomboi. Annastella, anak dari sahabat sang papa yang hampir setiap hari merecoki kehidupan seorang Richard tanpa henti. Untung saja papanya berada di tempat kerja saat ini.Kini, gadis yang akrab dipanggil Anna itu tengah berdiri di depan pintu[Kyuni's Note]: See you in the next part hehe
"Terkadang, kamu perlu untuk tidak jatuh cinta pada seseorang sebelum datang waktu yang tepat. Semata-mata agar hatimu tak hancur berkeping-keping hanya karena seseorang yang masih berstatus haram bagimu." *** Stella memarkirkan Rose di pelataran. Meninggalkan pelataran, gadis itu berjalan ke kosan dengan tangan memegangi kepala yang tiba-tiba terasa berat dan nyut-nyutan. Sembari bedecak memijit pelipis, Stella membuka pintu, lalu masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi cahaya lampu. Hal itu kian menambah rasa sakit di kepala hingga membuatnya meringis. "Stella." Panggilan familiar itu menarik perhatian Stella untuk menghentikan kegiatan memicing akibat sorotan lampu ruangan. Rella tampak berjalan ke arahnya lalu berhenti tepat di depan. "Kenapa baru pulang?" Rella bersedekap depan dada. Tangan kirinya terangkat, memperhatikan jam yang melingkar di pergelangan, lalu kembali menatap Stella dengan saksama. "Jam sebe
"Perlu jatuh untuk rasakan bangun, perlu sakit untuk rasakan sembuh, perlu sedih untuk rasakan senang, dan perlu berjuang untuk dapatkan hatinya." *** From: Who Are You? [Sepertinya kamu sudah tau siapa aku, makanya memilih bersembunyi. Iya, 'kan?] [Kenapa? Are you scare? Oh, c'mon, kenapa harus takut? Mungkin aku akan lebih takut bertemu denganmu ..., Gorila.] Rella mengeratkan rahang serta meremas ponsel yang berada di genggamannya. Orang misterius itu benar-benar tidak tahu sopan santun. Pukul 00.06, ayam tetangga terdengar berkokok, pertanda bahwa malam telah larut. Mengembuskan napas pelan, mencoba bersabar dan memilih mengabaikan pesan tidak jelas tersebut. Beralih memantengi layar laptop selepas menaruh ponsel, Rella kembali mengerjakan tugas yang terlalaikan gara-gara bunyi notifikasi dari pesan menyebalkan itu. Daripada membuang-buang energinya dengan meladeni chat da
"Terkadang, kita hanya perlu belajar mengikhlaskan untuk tahu sampai mana batas kesabaran." *** "Lain kali periksa mesin mobilnya sebelum berangkat, ya, Pak. Biar nggak kejadian lagi seperti tadi," pesan Rella pada driver taksi online setelah turun dari mobil, tentu dengan nada pelan, sedikit pun tidak berisi emosi. Laki-laki paruh baya yang berada di balik kemudi tersebut menyunggingkan senyum, merasa tidak enak hati. "Iya, Bu, pasti. Sekali lagi saya mohon maaf atas ketidaknyamanannya, semoga dengan kejadian ini saya bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Terima kasih atas pesan Ibu barusan." Rella tersenyum seraya mengangguk satu kali. "Terima kasih kembali, Pak. Semoga pekerjaan Bapak lancar dan berkah." "Aamiin. Kalau begitu, saya lanjutkan pekerjaan dulu, ya, Bu. Assalamualaikum." "Waalaikumussalam," balas Rella. Mobil pun melaju membelah jalan, meninggalkan Rella yang mas
"Dengar, jangan pernah memaksa seseorang untuk mencintaimu jika ia tidak memiliki perasaan yang sama, meski bagaimanapun dan sebesar apa pun kamu mencintainya. Ingat, jangan samakan harga dirimu dengan orang yang senang meminta-minta, padahal sangat mampu untuk berusaha." *** Sepatu kaca yang kini lengkap menjadi sepasang tersebut tampak menarik keinginan Anna untuk mengenakannya ke kampus. Tidak lain untuk memanas-manasi Rella. "Tapi ... nanti bakal diliat sama Kak Alka dan bisa jadi ... akan timbul masalah jika Kak Alka tau sepatu itu adalah sepatu yang dia berikan untuk Rella," gumam gadis tersebut dengan raut was-was. Mengembuskan napas tersengal, gadis itu mengambil sepasang sepatu yang bersisian di meja rias seraya berkata, "Nggak ada salahnya dicobain." Lalu mengenakannya. Sempurna. Keduanya sekarang terlihat lebih cantik setelah dipasangkan pada kaki mulus milik Anna. Ya, cantik yang palsu.
"Tidak perlu melupakan, cukup dengan mengikhlaskan, itu lebih baik." *** Tidak pernah terlintas di pikiran Rella, bahwa Anna akan berbuat hal yang merusak citranya sendiri dengan mengamuk tidak jelas. Gadis itu marah-marah sembari menarik kerudung Rella, tak ayalnya seperti orang kesetanan. Entah apa yang merasukinya. "Beraninya kamu mendekati calon suamiku setelah kemarin menyerahkan sepatu kacamu padaku dan bilang akan menjauhi Kak Alka! Dasar pelakor! Nggak tau malu!" Kicauan melengking Anna seketika mengundang perhatian khalayak. Alka dan Stella yang melihat momen menegangkan tersebut tentu saja tidak tinggal diam, segera melerai keduanya. Rella tampak tersiksa di bawah kuasa Anna yang membabi buta dengan terus memukulkan tasnya ke tubuh korban. Dalam sekejap mata, perbuatan gadis itu menjadi tontonan para penghuni kampus. Alka calon suami Anna? Sepatu kaca? Rella pelakor? Gosip pun mulai bertebaran dari mulut ke mulut,
"Kodrat seorang laki-laki itu mengejar dan memperjuangkan. Karena kalau laki-laki tidak demikian, maka akan semakin banyak perempuan yang tidak menghargai harga dirinya. Betul? Harus, sebab perempuan itu umpama mutiara dalam cangkang yang berada di dasar laut dan jika ingin mendapatkannya, maka harus menyelami laut tersebut, seberapapun dalamnya." *** Diri memang ragu, tetapi hati teramat ingin memberitahu, agar tiada lagi gelisah menjerat kalbu. Maka, Alka menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Ia melangkah, memastikan bahwa keputusan yang diambil memanglah tepat. Menghentikan jejak dengan menyisakan jarak, seketika Alka menarik perhatian gadis yang berada tepat di hadapannya. Raut gadis itu menyimpan kepanikan sekaligus tanda tanya. Manik mereka bertemu selama beberapa saat, menimbulkan tabuhan riuh pada jantung Alka. Ini untuk ke sekian kalinya ia gugup di depan Rella, hanya Rella. Berusaha menutupi kegugupan dengan
"Jika ada dua pilihan, kamu memilih adik atau sahabat? Satu kuncinya, bedakan antara yang hak (benar) dan yang batil (salah). Maka, kamu akan menemukan pilihan yang tepat. Jangan hanya karena rasa sayang lebih pada salah satunya, kamu lebih memilihnya. Sebab itu, pilihlah orang yang berhak mendapatkan 'hal' itu. Sebab setiap perbuatan, akan ada pertanggungjawaban." *** Nada dering khas ponsel pintar milik Stella berdering ketika gadis dengan short dress lengan pendek itu membuka pintu kos, berniat untuk keluar. Demikian membuatnya urung dan memilih mengangkat telepon dari seseorang yang saat ini hendak ia temui. Menempel ponsel ke telinga, Stella berkata, "Hm?" "Kakak di mana, sih? Udah sejam ditungguin, nggak dateng-dateng." Suara yang terdengar lemas seperti orang setengah sadar itu menimbulkan kernyitan di dahi Stella. "Ann, kamu mabuk? Di klub mana? Kakak, kan, udah bilang ketemunya di cafe, ngapain ke klub?
"Ada kalanya kamu diberi kecewa tatkala mencinta oleh Sang Kuasa, karena mungkin Dia tak ingin kamu berharap pada manusia yang sejatinya hanya mampu memberi harapan, tetapi belum tentu mau memberi kepastian." *** "Ternyata, mencintaimu adalah suatu hal yang menyakitkan." -Stella- *** Sorot mata Rella tidak pernah lepas dari sosok Stella yang duduk di kursi. Gadis itu terus saja menunduk menatap meja makan yang memisahkan dirinya dengan Rella. "Kenapa nggak beritau aku kalau kamu keluar malam? Bahkan dalam keadaan kurang enak badan," kata Rella memulai interogasi dengan netra menyelidik. Ia curiga, mungkinkah Stella berbohong pasal sakit kepala yang dialami? Kelihatannya, gadis tersebut baik-baik saja dan segar bugar. Menelan saliva lamat-lamat, Stella ragu-ragu bercicit, "Tadi pulang ke rumah sebentar." Masih dalam keadaan menunduk. "Bicara dengan suara yang lebih keras, Stel, jangan be