"Terkadang, kita hanya perlu belajar mengikhlaskan untuk tahu sampai mana batas kesabaran."
***"Lain kali periksa mesin mobilnya sebelum berangkat, ya, Pak. Biar nggak kejadian lagi seperti tadi," pesan Rella pada driver taksi online setelah turun dari mobil, tentu dengan nada pelan, sedikit pun tidak berisi emosi.Laki-laki paruh baya yang berada di balik kemudi tersebut menyunggingkan senyum, merasa tidak enak hati. "Iya, Bu, pasti. Sekali lagi saya mohon maaf atas ketidaknyamanannya, semoga dengan kejadian ini saya bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Terima kasih atas pesan Ibu barusan."Rella tersenyum seraya mengangguk satu kali. "Terima kasih kembali, Pak. Semoga pekerjaan Bapak lancar dan berkah.""Aamiin. Kalau begitu, saya lanjutkan pekerjaan dulu, ya, Bu. Assalamualaikum.""Waalaikumussalam," balas Rella. Mobil pun melaju membelah jalan, meninggalkan Rella yang mas[Kyuni's Note]: Selamat membaca ❤
"Dengar, jangan pernah memaksa seseorang untuk mencintaimu jika ia tidak memiliki perasaan yang sama, meski bagaimanapun dan sebesar apa pun kamu mencintainya. Ingat, jangan samakan harga dirimu dengan orang yang senang meminta-minta, padahal sangat mampu untuk berusaha." *** Sepatu kaca yang kini lengkap menjadi sepasang tersebut tampak menarik keinginan Anna untuk mengenakannya ke kampus. Tidak lain untuk memanas-manasi Rella. "Tapi ... nanti bakal diliat sama Kak Alka dan bisa jadi ... akan timbul masalah jika Kak Alka tau sepatu itu adalah sepatu yang dia berikan untuk Rella," gumam gadis tersebut dengan raut was-was. Mengembuskan napas tersengal, gadis itu mengambil sepasang sepatu yang bersisian di meja rias seraya berkata, "Nggak ada salahnya dicobain." Lalu mengenakannya. Sempurna. Keduanya sekarang terlihat lebih cantik setelah dipasangkan pada kaki mulus milik Anna. Ya, cantik yang palsu.
"Tidak perlu melupakan, cukup dengan mengikhlaskan, itu lebih baik." *** Tidak pernah terlintas di pikiran Rella, bahwa Anna akan berbuat hal yang merusak citranya sendiri dengan mengamuk tidak jelas. Gadis itu marah-marah sembari menarik kerudung Rella, tak ayalnya seperti orang kesetanan. Entah apa yang merasukinya. "Beraninya kamu mendekati calon suamiku setelah kemarin menyerahkan sepatu kacamu padaku dan bilang akan menjauhi Kak Alka! Dasar pelakor! Nggak tau malu!" Kicauan melengking Anna seketika mengundang perhatian khalayak. Alka dan Stella yang melihat momen menegangkan tersebut tentu saja tidak tinggal diam, segera melerai keduanya. Rella tampak tersiksa di bawah kuasa Anna yang membabi buta dengan terus memukulkan tasnya ke tubuh korban. Dalam sekejap mata, perbuatan gadis itu menjadi tontonan para penghuni kampus. Alka calon suami Anna? Sepatu kaca? Rella pelakor? Gosip pun mulai bertebaran dari mulut ke mulut,
"Kodrat seorang laki-laki itu mengejar dan memperjuangkan. Karena kalau laki-laki tidak demikian, maka akan semakin banyak perempuan yang tidak menghargai harga dirinya. Betul? Harus, sebab perempuan itu umpama mutiara dalam cangkang yang berada di dasar laut dan jika ingin mendapatkannya, maka harus menyelami laut tersebut, seberapapun dalamnya." *** Diri memang ragu, tetapi hati teramat ingin memberitahu, agar tiada lagi gelisah menjerat kalbu. Maka, Alka menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Ia melangkah, memastikan bahwa keputusan yang diambil memanglah tepat. Menghentikan jejak dengan menyisakan jarak, seketika Alka menarik perhatian gadis yang berada tepat di hadapannya. Raut gadis itu menyimpan kepanikan sekaligus tanda tanya. Manik mereka bertemu selama beberapa saat, menimbulkan tabuhan riuh pada jantung Alka. Ini untuk ke sekian kalinya ia gugup di depan Rella, hanya Rella. Berusaha menutupi kegugupan dengan
"Jika ada dua pilihan, kamu memilih adik atau sahabat? Satu kuncinya, bedakan antara yang hak (benar) dan yang batil (salah). Maka, kamu akan menemukan pilihan yang tepat. Jangan hanya karena rasa sayang lebih pada salah satunya, kamu lebih memilihnya. Sebab itu, pilihlah orang yang berhak mendapatkan 'hal' itu. Sebab setiap perbuatan, akan ada pertanggungjawaban." *** Nada dering khas ponsel pintar milik Stella berdering ketika gadis dengan short dress lengan pendek itu membuka pintu kos, berniat untuk keluar. Demikian membuatnya urung dan memilih mengangkat telepon dari seseorang yang saat ini hendak ia temui. Menempel ponsel ke telinga, Stella berkata, "Hm?" "Kakak di mana, sih? Udah sejam ditungguin, nggak dateng-dateng." Suara yang terdengar lemas seperti orang setengah sadar itu menimbulkan kernyitan di dahi Stella. "Ann, kamu mabuk? Di klub mana? Kakak, kan, udah bilang ketemunya di cafe, ngapain ke klub?
"Ada kalanya kamu diberi kecewa tatkala mencinta oleh Sang Kuasa, karena mungkin Dia tak ingin kamu berharap pada manusia yang sejatinya hanya mampu memberi harapan, tetapi belum tentu mau memberi kepastian." *** "Ternyata, mencintaimu adalah suatu hal yang menyakitkan." -Stella- *** Sorot mata Rella tidak pernah lepas dari sosok Stella yang duduk di kursi. Gadis itu terus saja menunduk menatap meja makan yang memisahkan dirinya dengan Rella. "Kenapa nggak beritau aku kalau kamu keluar malam? Bahkan dalam keadaan kurang enak badan," kata Rella memulai interogasi dengan netra menyelidik. Ia curiga, mungkinkah Stella berbohong pasal sakit kepala yang dialami? Kelihatannya, gadis tersebut baik-baik saja dan segar bugar. Menelan saliva lamat-lamat, Stella ragu-ragu bercicit, "Tadi pulang ke rumah sebentar." Masih dalam keadaan menunduk. "Bicara dengan suara yang lebih keras, Stel, jangan be
"Ketika kamu jatuh cinta pada seseorang, terkadang bisa membuatmu tidak akan peduli pada perasaan orang lain yang mencintaimu, sekalipun kamu tahu. Karena mencintai, akan menciptakan keinginan untuk terus memperhatikannya, berada di dekatnya, bahkan memilikinya." *** Selesai mata kuliah pertama, Rella tampak buru-buru memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Hal itu menyita perhatian Stella yang duduk di sampingmya. "Mau ke mana, sih, El, kok buru-buru banget?" Rella menghentikan kegiatannya, mendekat ke Stella, lantas berbisik, "Eum ... Pak Alka minta bertemu di perpustakaan. Kamu ... nggak pa-pa, 'kan, sendirian ke kantin?" "Oh ... gitu." Stella mangut-mangut dengan senyum penuh arti. "Nongol juga dia setelah tiga hari nggak berani keliatan," lanjutnya bergumam. "Kamu bilang apa, Stel? Aku nggak dengar." Rella bertanya dengan kernyitan di dahi tatkala melihat Stella berbicara sendiri. "Hm? O
"Bagaimanapun jahatnya orang tua, tolong jangan pernah membalas perbuatan mereka dengan kejahatan pula. Tolong, balas mereka dengan sebaik-baik perlakuan anak kepada orang tuanya. Sebab, keajaiban itu ada. Ibaratkan saja dengan air yang mengguyur batu. Meski sekeras apa pun sebuah batu, air akan tetap mampu membuatnya berlubang. Hanya perlu waktu dan kesabaran." *** Embusan napas menguar dari mulut Alka tatkala sampai di ambang pintu rumah sang papa. Ia begitu buru-buru menyelesaikan kelasnya hanya untuk menghadiri pertemuan konyol ini? Bahkan meminta pulang lebih awal, padahal kelas belum selesai. Hh, yang benar saja. Sekarang bukan hanya sang papa yang berbohong, tetapi ia juga. "Alka, adikmu mengalami kecelakaan dan sekarang dirawat di rumah. Keadaannya sangat memprihatinkan." "Apa?! Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit kalau keadaannya memprihatinkan?!" Tanpa berpikir dua-tiga kali, Alka percaya begitu saja terhadap omong kosong sang
"Cinta itu tumbuh tanpa kita sadari. Berawal dari biasa saja, bahkan tak suka ketika berjumpa. Seiring berjalannya waktu, akan berubah menjadi tak biasa, bahkan menciptakan detak tak berirama tatkala mata bertemu mata. Itulah luar biasanya Allah dalam membolak-balikkan hati setiap hamba. Maka, jangan berlebihan dalam membenci, apalagi pada ajnabi, karena sering kali itu menjadi awal tertanamnya benih-benih cinta di hati." *** "Saya akan tetap melanjutkan perjodohan ini," putus Gloria akhirnya setelah lama berperang dengan pikirannya. Seketika Antonio menatap penuh binar pada Gloria. Tentu saja senang bukan kepalang, sebab tidak jadi kehilangan kesempatan untuk menjabat sebagai wakil CEO di salah satu perusahaan besar wanita itu. Tersenyum penuh kemenangan, Antonio berujar, "Itu keputusan yang tepat, Bu Gloria, sangat tepat. Kalau Stella menikah dengan Alka, saya jamin, hidup Stella tidak akan susah. Ibu bisa mempercayakannya pada