"Cinta tidak pernah salah, tetapi atas sebab apa ia dipertaruhkan, itulah sebab timbulnya masalah. Cinta karena-Nya bukanlah masalah, sebab itu adalah sesuatu yang amat indah daripada dunia dan seisinya."
***Tangis yang tidak kunjung reda selepas salat Isya masih terdengar hingga kini, pukul 9 malam. Entah sudah berapa lembar tisu yang dihabiskan untuk menghapus air mata gadis berwajah merah itu. Stella tidak tahu harus berbuat apa pada sang sahabat, hanya mampu menepuk pelan punggungnya yang masih terbalut mukena. Bahkan, ia masih berada di atas sajadah.Rella bukan menangisi perlakuan buruk Cellin terhadapnya, tetapi tentang keputusan untuk menghilang dari segala cerita bersama laki-laki itu. Melupakan semua hal yang pernah dilalui bersama sejak duduk di bangku SD, hingga Tuhan mempertemukan kembali, lalu semakin dekat seiring berubahnya hari.Sosok Alka yang pernah ia hindari karena merasa tidak pantas menjadi pengisi hati seorang yang[Kyuni's Note]: Alhamdulillah, bisa update 😍
"Kamu boleh lelah, kamu boleh menyerah, tapi jangan pernah tinggalkan Allah. Ingatlah, penyabab kamu hidup bukan untuk mendapatkan cinta manusia, tapi untuk mengejar ridho-Nya." *** Bujukan Stella sedari pagi-pagi sekali tidak kunjung membuahkan hasil. Pasalnya, Rella terus menolak dan meminta ruang untuk menyendiri. "Ayo, dong, El, kita cuma sebentar, kok, di rumah Kak Abil ..." Stella bergelayut di lengan Rella yang tampak menyibukkan diri dengan tugas kuliah. "Temenin gue, please ...., nggak mungkin, 'kan, gue ke rumah cowok sendirian? Nanti kalo gue kenapa-kenapa, gimana? Lo juga, 'kan, yang cemas? Mau, dong, El ...." "Malas keluar, Stel. Ajak teman yang lain aja," tolak Rella. "Temen gue, kan, cuma lo, El ...." Stella tidak membiarkan gadis itu melepaskan pelukannya pada lengan yang tampak kurusan. "Memangnya mau ngapain, sih, ke rumah Kak Abil?" "Ada hal yang penting ... banget dan nggak
"Seseorang yang meninggalkan duniawi demi Allah adalah sebaik-baiknya hamba, tetapi seseorang yang meninggalkan Allah demi kepuasan duniawi adalah serendah-rendahnya manusia."***"Coba, deh, pikirin gimana perasaan Tuhan kalo lo-nya aja sebagai hamba lebih mencintai ciptaan-Nya daripada Yang Menciptakan. Ibaratnya, lo lebih seneng makan masakan orang di restoran ketimbang masakan ibu lo di rumah. Pasti ada, lah, rasa cemburunya."Entah sudah berapa kali Rella tertampar oleh kalimat-kalimat yang dilontarkan Abil padanya. Yang jelas, sekarang matanya sudah membengkak dengan wajah memerah. Ia pun hanya mampu tergugu saat ini."Gue cuma minta satu hal sama lo, jangan pernah tinggalkan Tuhan, apalagi cuma gara-gara patah hati. C'mon, itu sama sekali nggak ngegambarin watak lo waktu kita cek-cok di cafe J, El."Kekehan samar keluar dari bibir Rella. Ia menghapus jejak air mata di kedua pipi, beban di pundak terasa tak bersisa, habis
"Ada kalanya Tuhan merenggangkan jarak seluas-luasnya dengan sosok yang dicinta untuk menguji seberapa teguh iman di dada. Lebih ingatkah ia pada sang Maha Esa dibanding si dia, atau sebaliknya?" *** Bibir berbalur liptin merah delima itu melengkung membentuk senyum lebar. Mata berlensa kontak abunya mengerling ke arah bangunan menjulang di depan. "Welcome to your future, Anna, dan selamat menempuh kehidupan baru," ucap gadis berbaju kurung lengan panjang tersebut pada diri sendiri. Kaki jenjangnya pun diayun pelan memasuki area kampus ternama di daerah tersebut. Annasterra, mahasiswa baru di universitas tempat sosok laki-laki pujaannya menjadi dosen. Tidak lain adalah Muhammad Alka Marshal. Tentu tujuan Anna bukan sekadar mendapatkan gelar sarjana, tetapi juga mewujudkan cinta bersama Alka. Sampai di bagian dalam, semua mata tersorot padanya. Ada yang saling berbisik bahwa mereka pernah melihat gadis itu beberapa wak
"Iya, aku tahu. Kamu hanyalah bagian dari kisahku yang tak pernah berujung jera, padahal sudah tahu tak ada rasa. Akan tetapi, bukankah cinta harus diperjuangkan?"-(Annasterra) *** [Mencintaimu memang bukan kuasaku, tapi untuk menghentikan perasaan itu, aku pasti mampu. Meskipun, seberapa pun besar cinta yang masih bersisa di dalam sini, tetap saja cintaku untuk-Nya haruslah jauh lebih besar. Aku berdoa, semoga perasaan cinta dan suka terhadapmu bisa lekas menepi, turun dari perahu layar, dan pergi sejauh mungkin, hingga tidak ada lagi sisa yang tertinggal. Semoga.] Rella menghentikan kegiatan menuliskan isi hatinya pada buku diary yang beberapa waktu lalu dibeli. Ia pikir, akan memerlukan benda itu untuk meluapkan segala gundah dan gelisah yang tertampung di hati. Dengan begitu, perasaannya pun terasa membaik setelah merangkai kata dalam kalimat puitis. Gadis itu tersenyum membaca kembali hasil coretan tangan dan pemikir
"Kamu boleh saja mencintai, tetapi jangan sampai memaksa untuk dicintai. Sebab, selain menyakiti diri sendiri, kamu juga menyakiti orang lain." *** "Woi, Richard, keluar lo!" Richard yang baru saja merebahkan tubuh di kasur nan empuk untuk tidur, segera membuka mata kala mendengar teriakan memekak dari arah luar. Suara melengking bak toa masjid itu sangat dikenalnya, membuat ia mendesah kesal, lalu turun dari ranjang. Apalagi sekarang pintu kamar pun menjadi korban. Semoga tidak sampai rusak akibat gedoran keras dan membabi buta dari gadis meresahkan itu. "Keluar lo Cupu!" Tidur siang yang diharapkan lancar jaya, harus terganggu karena kehadiran si gadis tomboi. Annastella, anak dari sahabat sang papa yang hampir setiap hari merecoki kehidupan seorang Richard tanpa henti. Untung saja papanya berada di tempat kerja saat ini. Kini, gadis yang akrab dipanggil Anna itu tengah berdiri di depan pintu
"Terkadang, kamu perlu untuk tidak jatuh cinta pada seseorang sebelum datang waktu yang tepat. Semata-mata agar hatimu tak hancur berkeping-keping hanya karena seseorang yang masih berstatus haram bagimu." *** Stella memarkirkan Rose di pelataran. Meninggalkan pelataran, gadis itu berjalan ke kosan dengan tangan memegangi kepala yang tiba-tiba terasa berat dan nyut-nyutan. Sembari bedecak memijit pelipis, Stella membuka pintu, lalu masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi cahaya lampu. Hal itu kian menambah rasa sakit di kepala hingga membuatnya meringis. "Stella." Panggilan familiar itu menarik perhatian Stella untuk menghentikan kegiatan memicing akibat sorotan lampu ruangan. Rella tampak berjalan ke arahnya lalu berhenti tepat di depan. "Kenapa baru pulang?" Rella bersedekap depan dada. Tangan kirinya terangkat, memperhatikan jam yang melingkar di pergelangan, lalu kembali menatap Stella dengan saksama. "Jam sebe
"Perlu jatuh untuk rasakan bangun, perlu sakit untuk rasakan sembuh, perlu sedih untuk rasakan senang, dan perlu berjuang untuk dapatkan hatinya." *** From: Who Are You? [Sepertinya kamu sudah tau siapa aku, makanya memilih bersembunyi. Iya, 'kan?] [Kenapa? Are you scare? Oh, c'mon, kenapa harus takut? Mungkin aku akan lebih takut bertemu denganmu ..., Gorila.] Rella mengeratkan rahang serta meremas ponsel yang berada di genggamannya. Orang misterius itu benar-benar tidak tahu sopan santun. Pukul 00.06, ayam tetangga terdengar berkokok, pertanda bahwa malam telah larut. Mengembuskan napas pelan, mencoba bersabar dan memilih mengabaikan pesan tidak jelas tersebut. Beralih memantengi layar laptop selepas menaruh ponsel, Rella kembali mengerjakan tugas yang terlalaikan gara-gara bunyi notifikasi dari pesan menyebalkan itu. Daripada membuang-buang energinya dengan meladeni chat da
"Terkadang, kita hanya perlu belajar mengikhlaskan untuk tahu sampai mana batas kesabaran." *** "Lain kali periksa mesin mobilnya sebelum berangkat, ya, Pak. Biar nggak kejadian lagi seperti tadi," pesan Rella pada driver taksi online setelah turun dari mobil, tentu dengan nada pelan, sedikit pun tidak berisi emosi. Laki-laki paruh baya yang berada di balik kemudi tersebut menyunggingkan senyum, merasa tidak enak hati. "Iya, Bu, pasti. Sekali lagi saya mohon maaf atas ketidaknyamanannya, semoga dengan kejadian ini saya bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Terima kasih atas pesan Ibu barusan." Rella tersenyum seraya mengangguk satu kali. "Terima kasih kembali, Pak. Semoga pekerjaan Bapak lancar dan berkah." "Aamiin. Kalau begitu, saya lanjutkan pekerjaan dulu, ya, Bu. Assalamualaikum." "Waalaikumussalam," balas Rella. Mobil pun melaju membelah jalan, meninggalkan Rella yang mas