Keheningan membungkus suasana dalam mobil. Bayangan keluarga pengantin yang bertumbangan di lantai terputar ulang dalam ingatan Gami dan Wira. Isak pilu dan teriakan histeris masih meramaikan pendengaran meskipun kenyataannya tidak ada siapa-siapa di sekitar keduanya.
Ya, pasangan tragis itu meninggal di meja operasi. Keluarga yang tidak siap melepas kepergian keduanya, lantas meluapkan perasaan dengan tangisan dan amukan.
“Tragis banget, ya, Mas,” ucap Gami dengan sorot mata kosong ke depan.
Wira hanya menanggapi dengan gumaman. Bibirnya enggan bergerak. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus berkomentar apa. Duka yang dirasakan keluarga telah menular ke dalam hatinya.
“Semoga kita enggak kayak gitu, ya, Mas.”
Kali ini Wira menoleh dengan sebelah alis terangkat. Dia tidak mempermasalahkan doa yang dipanjatkan Gami. Hanya saja, kata ‘kita’ cukup mengganggunya. Bukan terganggu dalam artian tidak suka, tapi lebih seperti merasakan sesuatu yang aneh menyentuh hatinya.
Meskipun tidak ikut menoleh, Gami merasakan tatapan Wira. Dia menyadari bahwa pria itu terganggu dengan doanya. Untuk itulah dia menyengir lebar, lalu memberikan klarifikasi.
“Maksud saya, semoga Mas Wira panjang umur. Kalau menikah nanti bisa langgeng sampai akhir hayat. Punya banyak anak. Kalau perlu bisa ngerasain capeknya jadi kakek-kakek.”
“Begitu juga dengan saya. Semoga saya bisa menikah sama Mas Wira, terus bisa produksi anak banyak-banyak, dan masih bisa bergulat di ranjang meskipun udah jadi nenek-nenek,” tambahnya. Kemudian menoleh dan melemparkan cengiran yang lebih lebar.
Meskipun diutarakan dengan cengiran, bukan berarti Gami bercanda. Dia sangat serius. Harapannya untuk bisa menikah dengan Wira adalah satu hal yang nyata. Cengiran tadi hanya kamuflase agar Wira tidak menganggapnya serius hingga merasa terbebani atau tidak nyaman dengannya.
Beruntung Wira benar-benar tidak menanggapi serius. Alih-alih merasa kesal karena Gami merobohkan tembok pembatas antara majikan dan asisten, Wira justru merasa terhibur. Dia senang karena Gami tidak pernah kikuk dan sungkan kepadanya.
Selama ini, Wira sudah sering mendengar Gami menggombalinya. Bahkan wanita itu terang-terangan menunjukkan rasa sukanya. Namun, tidak mudah baginya untuk membedakan, apakah sikap Gami padanya benar-benar tulus karena rasa suka atau hanya cari muka dan sekadar bercanda.
Apakah Wira menyukainya? Tentu saja. Ketimbang Adisti yang selalu sungkan dan tidak berani menatap majikan, Wira lebih menyukai ketidaksopanan Gami. Terlebih lagi Gami adalah pengasuh kucingnya. Tidak mungkin, ‘kan, Wira membiarkan orang yang tidak dia sukai merawat peliharaannya?
Jadi, jelas bahwa rasa suka yang dirasakan Wira hanya sebatas itu. Bukan rasa suka pria pada wanita.
“Oh, ya. Tanganmu, ‘kan, lagi luka. Besok enggak usah bersihin rumah belakang. Biar Adisti aja yang ngerjain,” kata Wira.
Seharusnya Gami senang dibebastugaskan. Anehnya, keningnya malah berkerut tidak setuju.
“Kok, Adisti, Mas?”
“Terus siapa? Saya?”
Gami menggeleng. “Bukan gitu maksud saya. Saya enggak rela kerjaan saya diambil Adis. Nanti kalau Mas Wira juga diambil sama dia gimana?”
Wira tertawa lagi. “Kamu, tuh, ngomong apaan, sih? Melanturnya jangan kebangetan, deh.”
Gami kembali menggeleng. “Saya enggak lagi melantur, Mas. Tapi saya tersanjung, loh, atas perhatian Mas Wira. Jarang-jarang ada majikan yang ‘ngeh’ sama luka kecil kayak gini.” Dia mengguncang-guncangkan telapak kanannya yang dipenuhi goresan dan ditempeli plester luka.
“Gimana saya enggak ‘ngeh’ kalau kamu dapat luka itu waktu jalan sama saya.”
Gami mengulum senyum. Kemudian mencolek lengan Wira sambil tersipu. “Jadi ... Mas Wira nganggapnya kita tadi lagi nge-date, ya, Mas?”
“Hah?” Wira melongo. Jelas bukan seperti itu maksudnya. Namun, alih-alih meluruskan, dia memilih membiarkan Gami mengunyah pemahamannya sendiri. Lagipula Wira yakin, Gami tidak akan segegabah itu mengambil kesimpulan. Wanita itu hanya sedang menggodanya.
“Saya masih bisa kerja, kok, Mas. Lagipula saya, ‘kan, pakai sarung tangan karet.” Gami mengembalikan topik setelah senyumnya dapat dikendalikan.
“Emangnya kamu bisa megang gagang sikat?” Wira tidak yakin. Goresan sebanyak itu pasti akan menyulitkan Gami dalam menggenggam benda. Terlebih lagi yang terluka itu tangan kanan.
Untuk meyakinkan Wira bahwa ucapannya benar, Gami pun mempraktikkan langsung. Meskipun tidak bisa maksimal, dia berhasil mengepalkan tangan.
“Enggak usah dipaksain, Gami. Kamu pikir saya enggak dengar kamu meringis-ringis?”
Gami tersipu lagi. “Mas Wira perhatian banget, ish. Saya jadi ngebayangin gimana kalau nanti saya hamil dan melahirkan. Perhatian Mas Wira pasti ektra eksklusif.”
“Astaga ....” Wira tertawa sambil geleng-geleng kepala. Dia juga memalingkan muka. Menatap jalanan melalui jendela sekaligus menyembunyikan tawa yang tidak bisa reda secepat biasanya.
“Oh, iya.” Wira tiba-tiba teringat sesuatu yang berhasil meredupkan tawanya. Dia kembali menengok Gami. “Kamu belum jawab pertanyaan saya soal barang punya pengantin itu. Kamu masih simpan, ‘kan?”
Dalam detik ke tiga, Gami langsung menepuk dahinya. Dia merutuki ingatannya yang mulai menua. Bagaimana bisa dia lupa mengembalikan barang sepenting itu kepada keluarga korban?
“Saya lupa mengembalikan, Mas,” ucapnya penuh sesal.
“Jawab dulu pertanyaan saya, Gami. Kamu mengambil apa?”
“Cincin, Mas.”
“Cincin nikah?”
Gami menggeleng. “Enggak tau, Mas. Kayaknya, sih, bukan. Soalnya aku nemuinnya bukan di jari mereka, tapi di lantai--eh, bukan-bukan--di bagian dalam atap mobil yang jadi lantai. Mobilnya, ‘kan, terbalik,” jelasnya.
Kening Wira berkerut. Otaknya berusaha mencerna lamat-lamat penjelasan Gami.
“Mas sadar enggak kalau pengantin itu enggak pakai cincin?” tanya Gami.
Wira ingat saat di TKP Gami memberi tahu bahwa pasangan pengantin itu tidak mengenakan cincin. Sayangnya, meskipun sempat terkontak dengan kedua korban, Wira lupa mengamati jari manis keduanya. Alhasil, dia tidak mendapati dengan mata kepalanya sendiri kalau pasangan yang baru menikah itu tidak mengenakan simbol pernikahan.
“Coba sini cincinnya!” Wira menjulurkan telapak tangan kiri. “Saya mau lihat,” jelasnya.
“Eh, nanti aja, deh,” ralatnya tiba-tiba.
Tangan yang tadinya terulur sudah kembali meremas kemudi. Tangan itu harus bekerja sama dengan pasangannya untuk memutar setir. Mereka sedang menyeberang ke kompleks perumahan.
Wira terpaksa mengulur rasa penasarannya karena sebentar lagi mereka akan sampai di rumah. Tempat tinggal Wira tidak jauh dari gapura kompleks. Rumahnya terletak di sisi kanan. Berada di urutan ke tiga dari rumah-rumah megah yang menjadi pendahulunya.
Gami turun setelah Wira memberhentikan mobil. Dia membuka pagar lebar-lebar agar mobil bisa berlalu dengan mudah.
Adisti yang kebetulan hendak membuang sampah langsung menghampiri Gami. Dia tergopoh-gopoh menyeret kantong plastik hitam berukuran besar yang isinya penuh. Dia menanyakan kondisi pengantin yang menjadi alasan Gami dan Wira pulang terlambat.
“Enggak selamat,” jawab Gami sambil menggeleng prihatin.
“Kasian banget, ya. Belum ngerasain honeymoon udah berpulang,” timpal Adisti yang juga ikut berduka.
“Ya, mau gimana lagi? Namanya juga takdir. Seenggaknya, mereka udah nepati janji sehidup semati,” tanggap Gami.
Setelah itu, keduanya berpisah. Adisti lanjut membuang sampah, sedangkan Gami masuk ke rumah.
Sepanjang langkah, Gami memikirkan bagaimana cara mengembalikan cincin permata hitam yang masih tersaku aman di celananya. Dia menyesal tidak meminta nomor salah satu keluarga korban.
“Tapi, mana mungkin aku kepikiran minta nomor mereka? Situasinya, ‘kan, emang enggak memungkinkan,” gumamnya sambil membuka dan menutup pintu kamar.
Gami langsung mengempaskan tubuhnya ke kasur. Dia mengerang saat merasakan sakit di punggung. Entah karena apa.
“Gila! Capek banget! Tulang belulang rasanya pada rontok semua,” keluhnya sambil membenahi posisi agar semakin nyaman.
Sambil memejamkan mata, dia mendesah lega karena pulang dalam keadaan hidup. Dia juga bersyukur karena Wira tidak mendapatkan luka serius.
“Soal cincin biar dipikirkan nanti. Sekarang aku mau tidur dulu. Capek! Ngantuk!” ucapnya pada diri sendiri sambil memiringkan badan dan merengkuh guling.
Telapak kaki yang basah baru saja menapaki keset tipis yang kusam. Seluruh batang betisnya dipenuhi butiran air. Tubuh bagian atas dan setengah pahanya hanya ditutupi kain jarik yang warnanya sudah pudar, sepudar isi dompetnya menjelang akhir bulan.“Bedak sekarat. Body lotion mau habis. Sabun udah kombinasi sama air. Tck! Lengkap sudah derita akhir bulan,” keluh wanita itu ketika duduk bersimpuh di depan meja berkaki pendek. Selain cermin bulat yang dibingkai plastik hijau, meja itu juga menampung beberapa peralatan make up sekadarnya.Ketika wanita itu menggosok rambut dengan handuk yang masih melilit kepala, ingatannya tersangkut pada satu benda yang disembunyikan di bawah bantal. Dia bangkit dan mengambil benda kecil itu. Cincin permata hitam. Dia tersenyum mengamati kilau permata itu.“Kalau dilihat-lihat lagi, cincin ini ternyata cantik juga, ya. Kenapa tadi malam aku malah merasanya kayak horor banget?” gumamnya pada diri sendiri.
Wira menyorot tajam pada wanita asing di hadapannya. Siapa dia? Kenapa pagi-pagi ada di rumahnya? Kenapa menggunakan toilet khusus karyawannya? Kenapa hanya mengenakan kain jarik sedada? Kenapa memanggilnya ‘Mas’ seolah sudah akrab lama dengannya?Apakah dia penyusup? Jika benar, siapa yang sedang dia kuntit? Dira atau dirinya?Otaknya membentak menyuruh berteriak. Namun, nuraninya berontak dengan alasan kasihan.“Mas ... enggak kenal saya?”Pertanyaan macam apa itu? Jelas Wira tidak mengenalnya. Bertemu saja baru pertama kalinya.Wira ingin sekali membalasnya sarkas. Namun, sisi lembut hatinya melarang. Dia memilih bungkam. Membebaskan wanita itu berspekulasi sesuka hati.“Saya ... kakaknya Gami, Mas. Gita.”Benarkah? Wira baru tahu kalau Gami memiliki saudara, padahal sudah setahun wanita itu bekerja di rumahnya.Ah! Wira baru sadar bahwa selama ini jarang menanyakan hal-hal yang menyangkut
Gami masih mengagumi kecantikan sendiri ketika ketukan pintu berbunyi. Dia refleks meniarapkan cermin dengan keras sampai terdengar bunyi rengat. Namun, dia mengabaikan bunyi itu dan bergegas menggapai pintu.Ternyata, sang pengetuk pintu masihlah orang yang sama. Pria tampan dengan perawakan tinggi yang rambut gondrongnya sering dikuncir rapi.“Kenapa balik lagi, Mas? Udah kangen, ya, sama saya?” godanya sambil tersipu malu. Bahkan menghantamkan dahi sendiri ke papan pintu.Gandi yang semula berekspresi biasa saja berubah ‘ilfeel’ dalam sekejap. “Please, jangan ngarang, ya, Mbak. Saya ke sini mau cari Gami.”Mbak? Gami?Astaga! Gami lupa bahwa dia masih mengenakan cincin. Itu artinya, jati dirinya masih sebagai Gita. Pantas saja Gandi terlihat ‘ilfeel’. Bagaimana mungkin wanita cantik yang baru berkenalan dengannya sudah menggodanya sedemikian menjijikkan?Ah! Belum apa-apa dia sudah menghancu
Hidung kucing kampung berwajah lonjong tengah bergerak-gerak. Mengendus aroma asap yang bergoyang-goyang di atas genangan pekat.“Usro mau kopi juga?” tanya si pemilik kopi sambil mengangkat kucingnya dari nakas.“Tolong bawain ke balkon, ya, Gami,” pintanya sambil melangkah menuju tempat yang diinginkan. Juga mengelus lembus kepala anabulbetina yang meraung-raung entah karena apa.“Katanya Mas Wira ketemu sama kakak saya, ya?” pancing Gami yang mengekor sambil membawa cangkir kopi. Dia penasaran, apa yang dipikirkan Wira setelah bertemu Gita yang mulus dan jelita. Apakah tanda-tanda jatuh cinta sudah ada?“Itu yang mau saya omongin ke kamu,” kata Wira. Duduk bersila di kursi kayu. Membenahi tata letak pantat Usro agar nyaman duduk di pangkuannya.“Kamu lupa aturan di rumah ini?” lanjutnya dengan pertanyaan retoris. “Enggak boleh bawa siapa pun menginap di sini tanpa izin saya
Memble. Masam. Kusut. Kehilangan semangat hidup. Begitulah keadaan Gami usai mengobrol dengan Wira.“Kalau seorang Gita aja enggak bisa bikin Mas Wira terkesan, terus seleranya yang kayak gimana?” erangnya frustrasi sampai tega memberantakkan rambut sendiri. Kuncirannya pun kini tak lagi berbentuk.“Buat apa, sih, punya wajah cantik kalau enggak bisa bikin orang lain nyaman?” tirunya sambil bertandak. Meledek ucapan Wira yang menurutnya telah membunuh asa--asa untuk terlahir kembali sebagai Gita.“Sebenarnya kamu, tuh, maunya cewek yang kaya mana, Mas Wira?” tanyanya gemas seolah lawan bicaranya duduk di hadapan.“Saya harus berubah jadi apa supaya bisa mendapatkan hati kamu? Jadi guling biar bisa dipeluk tiap malam? Mungkin jadi baju biarbisa nempel terus sama kamu? Atau ... jadi jok mobil biar bisa nyium pantat kamu? Saya mau, kok, jadi benda mati apa aja asalkan bisa terus sama kamu. Masalahnya, saya haru
“Wira itu paling enggak suka sama cewek yang keganjenan kayak kamu.”Bibir Gami maju lima senti. Manyun. Kecewa karena usahanya untuk meraih perhatian Wira selama ini justru menjadi nilai minus.“Masa, sih, Bang?” Berharap Dira akan berkata ‘bercanda’.“Yeee, dibilangin enggak percaya. Ngapain nanya kalau begitu?”Sekarang Dira ikut memutar badan, sepenuhnya menghadap Gami. Berhubung masih dalam keadaan jongkok, pria itu melipat kedua tangan dan menopangkan di atas lutut.“Kalau mau mendekati Wira itu harus dengan cara yang elegan. You know elegant? Jangan flirting terus! Kamu harus jaga image! Aturannya begini: cewek itu dikejar, bukan mengejar; cewek itu dicintai, bukan mencintai; cewek itu ditembak, bukan menembak.”“Tapi, ya, Bang, kalau saya enggak gerak duluan, Mas Wira enggak akan--”“Itulah kesalahan kamu,” potong Dira. “Kamu pikir semua
“Tolongin, dong, Maaaas.” Gami memelas. Memasang wajah butuh pertolongan. “Saya enggak kuat, nih.”Ketika itu, posisinya tengah membungkuk. Memegang karung makanan kucing yang terbaring di pijakan motor metic.Gami baru pulang dari pet shop, membeli dua karung makanan kucing hingga perlengkapan mandi. Di teras, dia bertemu dengan Wira yang hendak joging sore. Pertemuan itu dia manfaatkan untuk flirting dengan Wira.“Biasanya kamu bisa, tuh, angkat sendiri sampai ke rumah belakang,” kata Wira sambil berpegangan pada kedua buncu handuk yang terkalung di leher. Tak ada niatan membantu. Wajah memelas Gami tidak membuatnya iba sama sekali.“Yah, Mas. Masa nolongin sekali doang enggak mau, sih? Saya ini cewek, loh, Mas. Masa Mas tega, sih, lihat saya angkat yang berat-berat kayak gini?”Gami menurunkan karung itu dari motor. Pura-pura kepayahan. Padahal biasanya dia mampu memanggul dua karung sekaligus.
Gami berdiri di depan cermin besar dan kinclong. Cermin itu memperlihatkan pantulan diri seutuhnya, mulai dari ujung kaki sampai kepala.Melalui cermin itu, Gami memandangi cincin permata hitam yang dipungutnya sekitar dua setengah minggu yang lalu. Cincin milik salah satu pengantin yang tewas dalam kecelakaan beruntun.“Maaf, ya, Mbak, kalau saya lancang memakai cincin ini tanpa seizin kalian. Tapi, saya membutuhkan kekuatan cincin ini untuk meraih cinta sejati saya,” ucapnya sambil mengusap-usap permata hitam. Memandang permata itu membuatnya merasa berhadapan langsung dengan arwah pengantin wanita.“Jangan marah, ya. Mbak sama Masnya, ‘kan, udah tenang di alam sana. Kalian enggak butuh lagi sama benda duniawi kayak gini. Nah, daripada enggak terpakai dan jadi barang rongsokan, mending saya yang pakai, ‘kan?” pungkasnya. Ditutup dengan cengirang lebar, seolah mengajak pemilik cincin bercanda dengan bujukannya.Selesai
"Okay." Gita manggut-manggut."Apanya yang okay?" Wira menatap bingung."Kita pacaran."Hening. Lebih tepatnya, keheningan itu hanya menyelimuti mereka berdua. Sementara itu, orang-orang di sekitar mereka tetap berbincang dan tertawa. Meriuhkan suasana menjelang makan siang.Gita memutuskan untuk menerima Wira. Selain karena tidak ingin kehilangan kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu, Gita juga yakin bahwa alasan-alasan yang diutarakan Wira hanya bualan.Pria itu pasti sudah jatuh cinta dengannya. Itulah sebabnya dia repot-repot mengaku kepada Gami, meminta Gami mengawasinya, menerima usulan Gami untuk bertemu dengannya, lalu sekarang mengajaknya berpacaran. Menurutnya, tidak ada alasan paling valid dan logis selain cinta."Berapa nomor kamu?" tanya Wira sembari mengeluarkan HP dari saku celana jeans.'Mampus!' Gita melebarkan mata. 'Ini maksudnya nomor Gita, 'kan? Sial! Aku belum nyiapin!'Gita menelan ludah. Ot
"Kita mau ke mana, Mas?"Gita bingung ketika mobil meluncur ke jalan raya. Meninggalkan tempat janjian yang seharusnya."Saya udah enggak mood makan di situ," jawab Wira datar.Pria itu sedang menyalip mobil box dengan kecepatan di atas rata-rata. Kebetulan jalanan memang sedang lengang karena bukan jam makan siang. Saat ini masih jam 10 lewat."Kenapa?" tanya Gita sambil mengulum senyum.Sebenarnya dia tahu jawabannya. Dia yakin alasan Wira tidak mood lagi makan di kafe itu karena kejadian sebelumnya--kejadian di mana dirinya nyaris tertabrak motor.Mungkin--tapi ini hanya sebatas dugaan Gita saja--Wira trauma dengan tempat itu. Ah, bisa juga Wira benar-benar mengira bahwa Gita shock setelah nyaris berurusan dengan marabahaya.Apakah benar Gita merasa shock seperti yang dikatakan Wira kepada pemotor tadi? Hohoho! Tentu saja ... tidak. Alih-alih shock, Gita malah terpegun menyaksikan ketampanan paras Wira dari angle yang berbeda.
Setelah kemarin malam Wira mengiakan tawarannya, hari ini Gami tersenyum sepanjang hari. Bahkan ketika berubah menjadi Gita pun deretan giginya yang rapi, tapi kekuningan itu masih saja terkena angin.Maksudnya, dia terus tersenyum lebar. Tak peduli deretan giginya mengering terkena angin."Kayaknya lagi bahagia banget, ya, Mbak?" tanya sopir taksi online sambil tersenyum penuh ledekan. Dia melirik Gita yang duduk di kursi belakang melalui pantulan cermin yang menggantung di dashboard atas.Sepengamatan si sopir, sejak masuk mobil hingga seperempat perjalanan, penumpangnya yang menawan itu terus saja semringah. Bahkan kadang menyenandungkan lagu riang."Mau ketemu cowok terkasih, ya?" tebaknya. Hapal dengan jenis senyuman orang kasmaran.Gita terkekeh. "Tau aja si Bapak. Keliatan banget, ya?""Waaah, jadi benar, ya, udah ada yang punya? Padahal tadi cuma iseng nebak. Kalau gini, berarti saya enggak bisa ...."Sopir itu sengaja menggan
"Saya minta maaf."Gami merapatkan kedua pangkal alisnya. "Buat apa?" tanyanya tak mengerti, apa yang membuat Wira merasa perlu meminta maaf."Ya, karena saya udah menodai kakak kamu. Saya tau minta maaf aja enggak cukup, tapi ... semuanya udah terjadi. Saya enggak bisa apa-apa."Kerutan di kening Gami terurai. Tadinya dia ingin tersenyum lebar dan berkata, "Enggak apa-apa kali, Mas. Toh, kalian udah sama-sama dewasa. Umur kalian juga udah saatnya menikah. Jadi, ya, wajar kalian penasaran pengin nyoba begituan."Namun, setelah berpikir ulang, Gami urung menyalurkan kalimat demikian. Menurutnya, respons seperti itu sangat tidak wajar mengingat selama ini dirinya begitu gentol mengejar Wira. Respons paling wajar yang terlintas di kepalanya adalah mendengus kesal atau memaki sesekali.Sayangnya, Gami telanjur bersikap lembek di awal. Jadi, rasanya akan semakin aneh jika dia mengamuk dan memaki.'Jadi sekarang aku musti gimana?'Soal mene
"Ngomong, Mas!" pinta Gami sambil menarik tatakan kayu berisi chicken cheese burger ke hadapannya."Nanti aja! Makan dulu!" Wira sudah lebih dulu memotong dan menyuap chicken steak-nya. Makan dengan gerakan dan kunyahan yang cepat."Sambil menyelam minum air. Sambil makan, 'kan, bisa cerita.""Saya enggak mau dimuncratin kunyahan burger.""Emangnya semengejutkan apa, sih, cerita yang mau Mas omongin sampai udah bisa prediksi kalau saya bakalan muncrat?"Bungkam. Pria itu lebih tertarik mengunyah makanannya dalam keadaan bibir mengatup daripada harus menanggapi pertanyaan Gami.Semakin ke sini, menguatlah kecurigaan Gami. Hampir 90% keyakinannya mengarah pada topik 'kesalahan' sepuluh hari yang lalu.Anehnya, Gami tidak merasa se-excited sebelumnya. Dia malah was-was melihat gelagat Wira yang mengkhawatirkan."Apa, sih, Mas?" Gami mencoba kembali mendesak. Namun, nada desakan serta ekspresi wajahnya dibuat sesantai mungkin. Bahk
"Harusnya Mas Wira ngomong dulu kalau mau ngajakin nge-date." Gami mengulum senyum sambil melepaskan sabuk pengaman."Tau kayak gini, 'kan, saya pakai baju bagus," tambahnya. Kemudian terkikik sendiri.Gami sadar ini bukan kencan. Dia hanya menggoda Wira karena sejak tadi, pria itu menyetir dalam keadaan tegang. Kekakuan wajahnya mungkin sudah mengalahkan kanebo kering.Saat ini mobil telah menepi di parkiran kafe. Sebelumnya, Wira mengajak Gami pergi karena ingin membicarakan sesuatu. Namun, dia tidak mengatakan ke mana tujuannya dan apa topik yang akan dibahas.Gami pikir mereka akan pergi ke petshop. Makanya dia hanya memakai pakaian ala kadarnya. Bahkan tidak berdandan. Dia hanya merapikan kuciran, menabur bedak bayi ke wajah, lalu mengusap tissue parfum ke leher dan baju.Seandainya dia tahu akan merapat ke kafe dan berbaur bersama pemuda-pemudi gaul, dia tidak akan ragu memakai kaus dan jeans baru yang baru dibeli melalui marketplace.
“Loh? Kok, bikin kopi sendiri, sih, Mas?”Gami baru saja masuk dapur setelah membersihkan rumah kucing. Tadinya dia ingin membuatkan Wira kopi, seperti kebiasannya setiap pagi. Sayang, dia kalah cepat dengan Wira yang ternyata sudah menyeduh kopinya sendiri.Pria itu hanya tersenyum tipis dan singkat. Tidak sedetik pun menatap Gami. Tangannya sibuk memutar sendok, mengaduk seduhan kopinya.Gami menghampiri dalam keadaan manyun. “Yaaaah, kalau Mas Wira udah bikin kopi, saya bikin apa, dong?”“Bikin aja buat diri kamu sendiri,” sahut Wira kalem. Kemudian menjauh meninggalkan dapur.Sikap Wira membuat kening Gami berkerut. Kepalanya teleng ke kiri dan kanan. “Kayaknya ada yang aneh sama Mas Wira, tapi apa, ya?”Tidak ingin menyimpan pertanyaan lebih lama lagi, Gami pun beranjak mengejar Wira. Mengintilinya sampai ke ruang keluarga."Mas Wira kapan sampai?" tanyanya basa basi, meskipun seben
“Bang!”Gami mencolek lengan Dira. Berdiri di sebelah kursi pria itu. Bibirnya manyun lima senti.“Apa?”Dira bertanya tak acuh. Melirik pun tidak. Keasyikan melahap makaroni schotel buatan Adisti.“Si Mas Ganteng kapan pulang?” Tentu saja orang yang dimaksud adalah Wira. “Ini udah seminggu, loh, Bang. Kenapa dia enggak balik-balik?”Beberapa hari ini Gami uring-uringan karena Wira tak kunjung pulang. Padahal Dira sudah pulang empat hari yang lalu.“Ini pasti gara-gara Abang bawa pulang mobilnya, ‘kan? Jadinya Mas Wira susah pulang,” tuduhnya serta merta.Ini bukan kali pertama Gami menuduh seperti itu. Makanya tidak heran kalau Dira hanya menanggapi dengan decakan lidah. Jengah.“Berapa kali, sih, musti saya bilangin? Dia itu enggak pulang gara-gara kecantol sama tetangga sebelah yang baru pindahan.”“Keji sekali dustamu, Rhoma! Bisa-bis
“Heh! Ngapain di sini?” tanya Adisti yang berdiri di ambang pintu. Tangannya bertahan di gagang seolah sewaktu-waktu pintu itu siap ditutup kembali atau didorong lebih melebar lagi.“Mau tidur, lah. Emangnya mau ngapain lagi?”Gami menjawab sambil memeluk guling. Mengulum senyum. Memejamkan mata. Menghidu aroma yang menguar dari sarung guling itu.‘Aromanya Mas Wira banget, nih.’Saat ini, Gami membaringi ranjang Wira. Nostalgia dengan momen panas yang terjadi pada subuh dan pagi tadi. Ingin mengingat dan membayangkan lagi, bagaimana sensasi degupan jantung saat berada di bawah tindihan Wira. Memandang dan menikmati ketampanan wajah Wira dari sudut terdekat.“Jangan ‘ngadi-ngadi’, deh, ya! Bangun! Balik ke kamar kamu sana!” pinta Adisti dengan tegas.“Enggak mau! Saya mau tidur di sini.”Gami bersikukuh. Semakin erat memeluk guling. Membuat Adisti berdecak kesal.