“Tolongin, dong, Maaaas.” Gami memelas. Memasang wajah butuh pertolongan. “Saya enggak kuat, nih.”
Ketika itu, posisinya tengah membungkuk. Memegang karung makanan kucing yang terbaring di pijakan motor metic.
Gami baru pulang dari pet shop, membeli dua karung makanan kucing hingga perlengkapan mandi. Di teras, dia bertemu dengan Wira yang hendak joging sore. Pertemuan itu dia manfaatkan untuk flirting dengan Wira.
“Biasanya kamu bisa, tuh, angkat sendiri sampai ke rumah belakang,” kata Wira sambil berpegangan pada kedua buncu handuk yang terkalung di leher. Tak ada niatan membantu. Wajah memelas Gami tidak membuatnya iba sama sekali.
“Yah, Mas. Masa nolongin sekali doang enggak mau, sih? Saya ini cewek, loh, Mas. Masa Mas tega, sih, lihat saya angkat yang berat-berat kayak gini?”
Gami menurunkan karung itu dari motor. Pura-pura kepayahan. Padahal biasanya dia mampu memanggul dua karung sekaligus.
Gami berdiri di depan cermin besar dan kinclong. Cermin itu memperlihatkan pantulan diri seutuhnya, mulai dari ujung kaki sampai kepala.Melalui cermin itu, Gami memandangi cincin permata hitam yang dipungutnya sekitar dua setengah minggu yang lalu. Cincin milik salah satu pengantin yang tewas dalam kecelakaan beruntun.“Maaf, ya, Mbak, kalau saya lancang memakai cincin ini tanpa seizin kalian. Tapi, saya membutuhkan kekuatan cincin ini untuk meraih cinta sejati saya,” ucapnya sambil mengusap-usap permata hitam. Memandang permata itu membuatnya merasa berhadapan langsung dengan arwah pengantin wanita.“Jangan marah, ya. Mbak sama Masnya, ‘kan, udah tenang di alam sana. Kalian enggak butuh lagi sama benda duniawi kayak gini. Nah, daripada enggak terpakai dan jadi barang rongsokan, mending saya yang pakai, ‘kan?” pungkasnya. Ditutup dengan cengirang lebar, seolah mengajak pemilik cincin bercanda dengan bujukannya.Selesai
Dira melongo seperti orang bego. Matanya yang membulat itu hanya menyorot satu titik, yakni wajah Gita.Dalam penglihatannya, wajah Gita seperti disiram cahaya, benar-benar berkilau. Namun, kilauan yang terpancar di wajah gadis itu tidak membuat matanya menyipit kesilauan. Kilauan indah itu justru membuat pandangannya terasa nyaman dan tak sanggup berkedip sedetik pun.“Bang Dira? Habis dari mana?” tanya Gita yang bodoh. Ya, dia benar-benar bodoh. Dia lupa kalau seharusnya dia berakting tidak mengenal Dira.“Kamu kenal saya?” tanya Dira sambil menunjuk wajah sendiri.Gita memalingkan muka dalam keadaan terpejam. Lidahnya mendecak sangat pelan. Memaki diri sendiri dalam hati. Kemudian bersumpah tidak akan gegabah, mengontrol mulut dengan ekstra hati-hat, dan tidak akan bicara duluan sebelum pria itu membuka obrolan.“Emh, saya minta maaf kalau terkesan sok kenal sama Abang. Saya tau nama Abang dari Gami, adik saya,&rdqu
Pada umumnya, orang akan segan mengomentari kekurangan orang lain secara face to face. Tolong digarisbawahi, PADA UMUMNYA!Jangan harap situasi umum seperti itu terjadi kepada kaum low level seperti Gami. Warna kulitnya, jerawatnya, rambutnya yang bau, cara berpakaiannya, hingga tinggi badannya sudah sering menjadi bahan ledekan dan tertawaan seorang Suganda Yudistira.Namun, seakan belum puas, Gami ingin mendengar sekali lagi, bagaimana penilaian Dira terhadap dirinya--dengan cara yang berbeda. Yap, kali ini dia ingin mendengar penilaian Dira tentang Gami melalui perantara Gita.“Saya minta maaf banget, ya, Bang, kalau selama bekerja di sini, adik saya banyak nyusahin kalian.” Umpan awal mulai dilempar.“No worries, Gita. So far selama ini Gami enggak pernah bikin masalah besar.”Gita tidak tahu, apakah Dira berujar demikian karena berhadapan dengannya atau memang seperti itulah kenyataan yang dia rasakan. Maksudnya, sekara
“Adik kamu baik, kok. Bertanggung jawab. Cuma, ya ... jarang mandi.”Dira tergelak sendiri, sedangkan Gita mengulas senyum. Wanita itu mati-matian menahan tangan agar tidak memukul lengan Dira.“Baunya itu kadang-kadang udah ngalahin ‘ranjau Usro’,” tambahnya.Sekarang saatnya Gita berakting. “Ranjau kucing?” beonya seolah tidak tahu apa-apa.“Itu ... kotorannya kucing. Di sini, ‘kan, kerjaan dia bersihin sama merawat kucing-kucingnya Wira.”“Wira?”Bagus Gita! Aktingmu perfect!“Who ...?”“Oooh, jadi kamu cuma tau nama saya, ya?” Dira tampak berbangga hati. Teringat saat pertemuan pertama di depan pagar, Gita langsung mengenali dan menyebut namanya dengan jitu.“Saya pikir Gami juga udah cerita kalau di rumah ini ada dua laki-laki; saya dan adik saya, Wira.”Gita ber-oh pendek sambil mengangguk-angguk
“Di luar dari kebiasaan Gami yang kadang ngeselin, actually, saya udah menganggap dia kayak adik sendiri. Serius.” Dira menciptakan huruf V dengan jari tengah dan telunjuk.Gita diam dan tersenyum. Tulus. Di kepalanya, sorakan gembira seorang Gami menggema. “Yeay! I love you Abang Diraku tersayang. Semoga cepat dapat jodoh biar enggak ngepoin saya sama Mas Wira lagi.”“Pokoknya jangan disuruh berhenti, ya. Ya-ya-ya,” bujuknya sampai menaik-turunkan alis. Membuat Gita tertawa geli.“Kalau soal keamanan, kamu enggak perlu khawatir. Meskipun ada dua pejantan di rumah ini, kita berdua jinak, kok.” Dira tertawa.“Kamu ngerti, ‘kan, maksud saya?”“Iya, Bang. Saya ngerti, kok.” Gita mengangguk. “Saya percaya sama kalian.”Sepanjang dua tahun bekerja di rumah ini, Gami tidak pernah takut dengan yang namanya pelecehan seksual. Justru terkadang, dia berkhayal bisa
“For your information, saya dan Wira masih single.”Seulas senyum penuh kelegaan tercetak jelas di wajah Gita. Satu tanda tanya besar tentang Wira sudah terjawab. Semakin muluslah jalan Gita untuk menggait sang pujaan hati.Sebenarnya Gita ingin tertawa karena jawaban Dira sedikit berlebihan. Bukankah sebelumnya Gita hanya menanyakan apakah Wira sudah memiliki calon? Kenapa Dira malah menambahkan informasi tentang dirinya sendiri?“Kenapa senyumnya kayak gitu banget, sih? Lega, ya, karena tau saya belum punya pacar?” goda Dira sambil menaik-turunkan kedua alis.Gita ingin sekali menyanggah. Sayangnya, dia masih harus bersikap sopan dan menjaga mulut agar tidak terlihat sama seperti Gami. Sebab itulah Gita hanya tersenyum, tapi tidak mengangguk atau menggeleng.Rupanya, reaksi Gita mengundang spekulasi berkelanjutan. Di mata Dira, Gita malah kelihatan seperti tersipu malu. Tak pelak, pria itu berasumsi bahwa Gita malu mengaku
Gita me-reject panggilan Wira. “Silent-silent-silent.” Dia merapalkan kata itu sambil cepat-cepat menyetel mode senyap di HP-nya.Gita tak jadi mengurungkan niat mengejar Wira. Setelah selesai dengan urusan HP, dia pun berlari mendatangi Wira.Ketukan heels-nya yang beradu dengan keramik membuat Wira dengan cepat menyadari keberadaannya. Pria yang berdiri di ujung tangga itu membalikkan badan, menunggu sampai Gita sampai ke hadapannya.Dalam hati, Gita bersyukur karena Wira mengantongi HP. Artinya, pria itu sudah berhenti berusaha menghubungi Gami.“Mas, maaf kalau saya harus nyamperin sampai ke sini. Saya enggak enak kalau harus teriak manggil nama Mas,” jelas Gita dengan napas terengah-engah. Posisinya berada di bawah Wira dua tingkat.Wira tidak menggubris. Dia hanya menatap Gita dengan tatapan sayu.Dalam hati, Gita merasa aneh dengan cara Wira menatapnya. Pria itu seperti orang yang jengah setelah diganggu terus-
Dalam perjalanan pulang, Gita berpikir keras. Menduga-duga berbagai kemungkinan, kira-kira apa penyebab Wira bersikap sedemikian kasar sampai membanting pintu. Padahal saat masuk rumah, pria itu kelihatan baik-baik saja.“Sebenarnya, apa yang dibilang Bang Dira itu benar enggak, sih?” gumamnya dengan kening berkerut.“Kenapa, Mbak?” Sopir wanita yang sedang menyetir mendengar gumaman Gita. Dia mengira bahwa penumpangnya mengajak bicara.“Oh, enggak, Mbak. Saya cuma ngeluh aja. Kok, bisa macet banget, sih?” Gita terpaksa berdusta. Dia tidak enak hati kalau harus membuat sopir itu malu.Kebetulan, situasi juga sangat mendukung. Taksi yang ditumpangi Gita tak kunjung bergerak sejak 5 menit yang lalu. Terjebak di antara mobil box di depan dan belakang, serta mini bus di sisi kiri.“Maklumlah, Mbak. Menit-menit menjelang magrib gini emang padat. Mungkin karena lalu lintasnya diisi dua makhluk beda alam kali,&nbs
"Okay." Gita manggut-manggut."Apanya yang okay?" Wira menatap bingung."Kita pacaran."Hening. Lebih tepatnya, keheningan itu hanya menyelimuti mereka berdua. Sementara itu, orang-orang di sekitar mereka tetap berbincang dan tertawa. Meriuhkan suasana menjelang makan siang.Gita memutuskan untuk menerima Wira. Selain karena tidak ingin kehilangan kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu, Gita juga yakin bahwa alasan-alasan yang diutarakan Wira hanya bualan.Pria itu pasti sudah jatuh cinta dengannya. Itulah sebabnya dia repot-repot mengaku kepada Gami, meminta Gami mengawasinya, menerima usulan Gami untuk bertemu dengannya, lalu sekarang mengajaknya berpacaran. Menurutnya, tidak ada alasan paling valid dan logis selain cinta."Berapa nomor kamu?" tanya Wira sembari mengeluarkan HP dari saku celana jeans.'Mampus!' Gita melebarkan mata. 'Ini maksudnya nomor Gita, 'kan? Sial! Aku belum nyiapin!'Gita menelan ludah. Ot
"Kita mau ke mana, Mas?"Gita bingung ketika mobil meluncur ke jalan raya. Meninggalkan tempat janjian yang seharusnya."Saya udah enggak mood makan di situ," jawab Wira datar.Pria itu sedang menyalip mobil box dengan kecepatan di atas rata-rata. Kebetulan jalanan memang sedang lengang karena bukan jam makan siang. Saat ini masih jam 10 lewat."Kenapa?" tanya Gita sambil mengulum senyum.Sebenarnya dia tahu jawabannya. Dia yakin alasan Wira tidak mood lagi makan di kafe itu karena kejadian sebelumnya--kejadian di mana dirinya nyaris tertabrak motor.Mungkin--tapi ini hanya sebatas dugaan Gita saja--Wira trauma dengan tempat itu. Ah, bisa juga Wira benar-benar mengira bahwa Gita shock setelah nyaris berurusan dengan marabahaya.Apakah benar Gita merasa shock seperti yang dikatakan Wira kepada pemotor tadi? Hohoho! Tentu saja ... tidak. Alih-alih shock, Gita malah terpegun menyaksikan ketampanan paras Wira dari angle yang berbeda.
Setelah kemarin malam Wira mengiakan tawarannya, hari ini Gami tersenyum sepanjang hari. Bahkan ketika berubah menjadi Gita pun deretan giginya yang rapi, tapi kekuningan itu masih saja terkena angin.Maksudnya, dia terus tersenyum lebar. Tak peduli deretan giginya mengering terkena angin."Kayaknya lagi bahagia banget, ya, Mbak?" tanya sopir taksi online sambil tersenyum penuh ledekan. Dia melirik Gita yang duduk di kursi belakang melalui pantulan cermin yang menggantung di dashboard atas.Sepengamatan si sopir, sejak masuk mobil hingga seperempat perjalanan, penumpangnya yang menawan itu terus saja semringah. Bahkan kadang menyenandungkan lagu riang."Mau ketemu cowok terkasih, ya?" tebaknya. Hapal dengan jenis senyuman orang kasmaran.Gita terkekeh. "Tau aja si Bapak. Keliatan banget, ya?""Waaah, jadi benar, ya, udah ada yang punya? Padahal tadi cuma iseng nebak. Kalau gini, berarti saya enggak bisa ...."Sopir itu sengaja menggan
"Saya minta maaf."Gami merapatkan kedua pangkal alisnya. "Buat apa?" tanyanya tak mengerti, apa yang membuat Wira merasa perlu meminta maaf."Ya, karena saya udah menodai kakak kamu. Saya tau minta maaf aja enggak cukup, tapi ... semuanya udah terjadi. Saya enggak bisa apa-apa."Kerutan di kening Gami terurai. Tadinya dia ingin tersenyum lebar dan berkata, "Enggak apa-apa kali, Mas. Toh, kalian udah sama-sama dewasa. Umur kalian juga udah saatnya menikah. Jadi, ya, wajar kalian penasaran pengin nyoba begituan."Namun, setelah berpikir ulang, Gami urung menyalurkan kalimat demikian. Menurutnya, respons seperti itu sangat tidak wajar mengingat selama ini dirinya begitu gentol mengejar Wira. Respons paling wajar yang terlintas di kepalanya adalah mendengus kesal atau memaki sesekali.Sayangnya, Gami telanjur bersikap lembek di awal. Jadi, rasanya akan semakin aneh jika dia mengamuk dan memaki.'Jadi sekarang aku musti gimana?'Soal mene
"Ngomong, Mas!" pinta Gami sambil menarik tatakan kayu berisi chicken cheese burger ke hadapannya."Nanti aja! Makan dulu!" Wira sudah lebih dulu memotong dan menyuap chicken steak-nya. Makan dengan gerakan dan kunyahan yang cepat."Sambil menyelam minum air. Sambil makan, 'kan, bisa cerita.""Saya enggak mau dimuncratin kunyahan burger.""Emangnya semengejutkan apa, sih, cerita yang mau Mas omongin sampai udah bisa prediksi kalau saya bakalan muncrat?"Bungkam. Pria itu lebih tertarik mengunyah makanannya dalam keadaan bibir mengatup daripada harus menanggapi pertanyaan Gami.Semakin ke sini, menguatlah kecurigaan Gami. Hampir 90% keyakinannya mengarah pada topik 'kesalahan' sepuluh hari yang lalu.Anehnya, Gami tidak merasa se-excited sebelumnya. Dia malah was-was melihat gelagat Wira yang mengkhawatirkan."Apa, sih, Mas?" Gami mencoba kembali mendesak. Namun, nada desakan serta ekspresi wajahnya dibuat sesantai mungkin. Bahk
"Harusnya Mas Wira ngomong dulu kalau mau ngajakin nge-date." Gami mengulum senyum sambil melepaskan sabuk pengaman."Tau kayak gini, 'kan, saya pakai baju bagus," tambahnya. Kemudian terkikik sendiri.Gami sadar ini bukan kencan. Dia hanya menggoda Wira karena sejak tadi, pria itu menyetir dalam keadaan tegang. Kekakuan wajahnya mungkin sudah mengalahkan kanebo kering.Saat ini mobil telah menepi di parkiran kafe. Sebelumnya, Wira mengajak Gami pergi karena ingin membicarakan sesuatu. Namun, dia tidak mengatakan ke mana tujuannya dan apa topik yang akan dibahas.Gami pikir mereka akan pergi ke petshop. Makanya dia hanya memakai pakaian ala kadarnya. Bahkan tidak berdandan. Dia hanya merapikan kuciran, menabur bedak bayi ke wajah, lalu mengusap tissue parfum ke leher dan baju.Seandainya dia tahu akan merapat ke kafe dan berbaur bersama pemuda-pemudi gaul, dia tidak akan ragu memakai kaus dan jeans baru yang baru dibeli melalui marketplace.
“Loh? Kok, bikin kopi sendiri, sih, Mas?”Gami baru saja masuk dapur setelah membersihkan rumah kucing. Tadinya dia ingin membuatkan Wira kopi, seperti kebiasannya setiap pagi. Sayang, dia kalah cepat dengan Wira yang ternyata sudah menyeduh kopinya sendiri.Pria itu hanya tersenyum tipis dan singkat. Tidak sedetik pun menatap Gami. Tangannya sibuk memutar sendok, mengaduk seduhan kopinya.Gami menghampiri dalam keadaan manyun. “Yaaaah, kalau Mas Wira udah bikin kopi, saya bikin apa, dong?”“Bikin aja buat diri kamu sendiri,” sahut Wira kalem. Kemudian menjauh meninggalkan dapur.Sikap Wira membuat kening Gami berkerut. Kepalanya teleng ke kiri dan kanan. “Kayaknya ada yang aneh sama Mas Wira, tapi apa, ya?”Tidak ingin menyimpan pertanyaan lebih lama lagi, Gami pun beranjak mengejar Wira. Mengintilinya sampai ke ruang keluarga."Mas Wira kapan sampai?" tanyanya basa basi, meskipun seben
“Bang!”Gami mencolek lengan Dira. Berdiri di sebelah kursi pria itu. Bibirnya manyun lima senti.“Apa?”Dira bertanya tak acuh. Melirik pun tidak. Keasyikan melahap makaroni schotel buatan Adisti.“Si Mas Ganteng kapan pulang?” Tentu saja orang yang dimaksud adalah Wira. “Ini udah seminggu, loh, Bang. Kenapa dia enggak balik-balik?”Beberapa hari ini Gami uring-uringan karena Wira tak kunjung pulang. Padahal Dira sudah pulang empat hari yang lalu.“Ini pasti gara-gara Abang bawa pulang mobilnya, ‘kan? Jadinya Mas Wira susah pulang,” tuduhnya serta merta.Ini bukan kali pertama Gami menuduh seperti itu. Makanya tidak heran kalau Dira hanya menanggapi dengan decakan lidah. Jengah.“Berapa kali, sih, musti saya bilangin? Dia itu enggak pulang gara-gara kecantol sama tetangga sebelah yang baru pindahan.”“Keji sekali dustamu, Rhoma! Bisa-bis
“Heh! Ngapain di sini?” tanya Adisti yang berdiri di ambang pintu. Tangannya bertahan di gagang seolah sewaktu-waktu pintu itu siap ditutup kembali atau didorong lebih melebar lagi.“Mau tidur, lah. Emangnya mau ngapain lagi?”Gami menjawab sambil memeluk guling. Mengulum senyum. Memejamkan mata. Menghidu aroma yang menguar dari sarung guling itu.‘Aromanya Mas Wira banget, nih.’Saat ini, Gami membaringi ranjang Wira. Nostalgia dengan momen panas yang terjadi pada subuh dan pagi tadi. Ingin mengingat dan membayangkan lagi, bagaimana sensasi degupan jantung saat berada di bawah tindihan Wira. Memandang dan menikmati ketampanan wajah Wira dari sudut terdekat.“Jangan ‘ngadi-ngadi’, deh, ya! Bangun! Balik ke kamar kamu sana!” pinta Adisti dengan tegas.“Enggak mau! Saya mau tidur di sini.”Gami bersikukuh. Semakin erat memeluk guling. Membuat Adisti berdecak kesal.