Telapak kaki yang basah baru saja menapaki keset tipis yang kusam. Seluruh batang betisnya dipenuhi butiran air. Tubuh bagian atas dan setengah pahanya hanya ditutupi kain jarik yang warnanya sudah pudar, sepudar isi dompetnya menjelang akhir bulan.
“Bedak sekarat. Body lotion mau habis. Sabun udah kombinasi sama air. Tck! Lengkap sudah derita akhir bulan,” keluh wanita itu ketika duduk bersimpuh di depan meja berkaki pendek. Selain cermin bulat yang dibingkai plastik hijau, meja itu juga menampung beberapa peralatan make up sekadarnya.
Ketika wanita itu menggosok rambut dengan handuk yang masih melilit kepala, ingatannya tersangkut pada satu benda yang disembunyikan di bawah bantal. Dia bangkit dan mengambil benda kecil itu. Cincin permata hitam. Dia tersenyum mengamati kilau permata itu.
“Kalau dilihat-lihat lagi, cincin ini ternyata cantik juga, ya. Kenapa tadi malam aku malah merasanya kayak horor banget?” gumamnya pada diri sendiri.
Tadi malam, Gami sempat memandangi cincin itu cukup lama. Ada rasa takut yang menyekat setengah hatinya. Pasalnya, benda itu milik pengantin yang tewas secara tragis. Dia takut arwah pemilik cincin akan menggentayanginya dan menyuruhnya mengembalikan cincin itu ke liang kubur.
Gami tahu pikirannya sudah terkontaminasi film horor. Namun, dia tidak bisa mengenyahkan ketakutakan itu. Dia buru-buru menyimpan cincin itu di bawah bantal. Kemudian bergegas tidur.
“Kayaknya bakalan pas, deh, di jariku,” ucapnya setelah mengamati ukuran lubang ring.
“Mbak Pengantin, Mas Pengantin--saya boleh nyobain cincinnya, ‘kan?” tanyanya pada cincin itu. Dia seolah meminta izin kepada arwah pasangan pengantin.
“Boleh, Gami. Pakai aja,” jawabnya sendiri sambil merubah suaranya menjadi jauh lebih lembut, seolah suara itu milik si pengantin wanita.
Merasa lucu dengan tingkah konyolnya, Gami pun tertawa sendiri. “Ini kalau ketahuan Bang Dira, aku bisa dimasukin ke rumah sakit jiwa,” katanya sambil berpindah ke meja rias.
Gami memasang cincin di jari manis kiri secara perlahan. Dia tertawa sendiri karena membayangkan Wiralah yang menyematkan cincin itu.
“Aku udah mulai gila, nih, kayaknya,” ucapnya sambil tertawa dan memandangi cincin yang tersemat indah di jari manisnya.
“Benar, ‘kan? Ukurannya pas banget. Jangan-jangan cincin ini memang ditakdirkan buat aku.” Ucapannya diakhiri dengan tarikan napas kaget setelah matanya tidak sengaja menangkap pantulan diri di cermin.
Ketika itu, reaksi tubuh Gami benar-benar spontanitas. Matanya membelalak sempurna, tangannya membekap mulut yang menganga, otot tubuhnya menegang tak terkira, dan napasnya tersekat entah di rongga dada yang mana.
“Astaga! Kok ...?”
Siapa yang tidak terkejut melihat perubahan diri seektrem itu? Gami yakin betul jika beberapa saat yang lalu, wajahnya masih sama; berjerawat, banyak flek hitam, komedo bertaburan di mana-mana, dan yang paling penting kulitnya masih kusam dan gelap. Sekarang ...?
“Ini beneran aku?” tanyanya sambil meraih cermin. Berusaha melihat pantulan diri dari dekat.
“Gila!” pekiknya saat menyentuh pipi. Biasanya, jemarinya akan langsung merasakan puluhan tonjolan keras seperti bisul. Sekarang, jarinya seperti mati rasa. Ya, dia tidak merasakan apa pun. Telapak tangannya seperti mengusap keramik baru yang mulus dan licin. Jerawat dan komedonya hilang entah ditelan bakteri apa.
Gami beranjak mematikan lampu untuk memastikan satu hal lagi. Setelah ruangan sedikit gelap, dia menyibak tirai dan membuka jendela. Dia kembali bercermin untuk memastikan warna kulitnya tidak berubah cerah gara-gara pantulan cahaya lampu.
Ternyata semuanya real. Bahkan rona kulitnya jauh lebih cerah saat terpapar cahaya mentari.
Seolah tidak cukup, Gami memeriksa kulit tangan, paha, dan betisnya. Ternyata tidak jauh berbeda dengan kulit wajahnya. Putih, cerah, dan mulus tanpa bulu.
“Ini kenapa, sih? Kok, bisa gini?” tanyanya panik. Tentu saja dia panik. Perubahan itu terlalu ekstrem. Dia memang terlihat jauh lebih cantik dan memesona melalui cermin. Namun, dia tidak mengetahui apa penyebab pastinya.
“Ini beneran aku, ‘kan? Beneran Gami, ‘kan?” tanyanya sampil menepuk-nepuk pipi. Mengamati sekali lagi setiap lekuk wajahnya. Namun, dia yakin betul bahwa wajah yang terpantul dalam cermin adalah Anggita Gamila. Bukan orang lain.
“Perasaan kemarin aku enggak pakai skin care apa-apa. Langsung tidur aja. Kok, bisa jerawatku hilang enggak berbekas kayak gini,” cicitnya lagi sambil mengamati kulit wajahnya yang bening.
Perubahan itu sangat tidak masuk akal. Bahkan mustahil. Sekalipun dia memakai krim dengan harga jutaan, bisakah kandungan kimia menghilangkan jerawat dan memutihkan kulitnya dalam waktu sekejap? Kecuali jika krim itu mengandung sihir.
“Sihir?”
Ya. Jika keadaan itu tidak masuk logika, berarti hanya ada satu jawabannya, sihir.
“Tapi, sihir apa?”
Gami kembali duduk bersimpuh di depan meja. Cermin yang sejak tadi digunakan sebagai alat identifikasi ditelungkupkan di meja. Keningnya berkerut. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja sambil berpikir keras.
Otaknya berusaha menayangkan ulang adegan yang dia lakukan sejak bangun tidur. Namun, tidak ada hal aneh apa pun yang dia lakukan selain menyematkan ... cincin?
Gami melotot menatap cincin permata hitam yang berkilau di jari manisnya. “Enggak mungkin!” sangkalnya sambil menggeleng. “Mustahil!”
Untuk memastikan dugaannya benar atau salah, Gami pun mencopot cincin itu. Dengan jantung yang berdegup kencang, dia mengambil cermin. Seketika, napasnya tertahan dengan sendirinya.
Jerawat itu ada! Flek itu nyata! Warna kulitnya berbeda!
“Ini apaan, sih?” Dia buru-buru menelungkupkan cermin itu. “Mungkin cerminnya yang bermasalah.”
Gami buru-buru beranjak menuju toilet di seberang kamar. Ada belahan cermin yang menempel di dinding. Cermin itu memperlihatkan wajah yang sama seperti Gami yang biasanya, penuh jerawat dan flek hitam.
Ada rasa kecewa yang menyempil dalam benaknya. Ya, meskipun tidak masuk logika, dia tidak menampik jika sebelumnya dia sempat merasa senang karena perubahan wajahnya yang pasti akan membuat Wira jatuh cinta. Namun, begitu menyadari semuanya kembali seperti sedia kala, dia pun hanya bisa tersenyum legawa.
“Mungkin efek kebentur tadi malam, mataku jadi bermasalah,” ucapnya membesarkan hati.
Gami ingin menyudahi fantasi gila itu. Dia pun berpaling hendak membuka pintu. Namun, sebelum memegang gagang, hatinya tergerak untuk kembali memasang cincin permata hitam. Dia pun kembali menyematkan cincin itu di jari yang sama seperti sebelumnya.
Seolah dipermainkan keadaan, Gami kembali dibuat terkejut. Bagaimana tidak? Dia menyaksikan sendiri bagaimana perubahan warna kulit tangannya secara konstan dari cokelat cenderung gosong menjadi seputih salju.
Gami buru-buru kembali mengintip cermin. Benar saja. Gami versi cantik jelita kembali terpantul di sana.
“Berarti gara-gara cincin ini?” tanyanya sambil menatap cincin di jari. “Masa, sih? Enggak mungkin banget!”
Demi membuktikan dugaannya salah, Gami melepas cincin itu tanpa mengalihkan pandangan dari cermin. Dia sudah mewanti-wanti matanya untuk tidak mengerjap sedikit pun. Matanya harus menjadi saksi bahwa cincin itu tidak menyebabkan perubahan apa pun.
Gami tertawa miris setelah mendapati perubahan yang nyata setelah melepas cincin dan memasangnya lagi. Ternyata benar. Gami versi cantik adalah efek magic yang disumbangkan cincin itu. Sementara Gami versi dekil adalah dirinya yang asli ketika tidak mengenakan cincin misterius itu.
“Jadi cincin ini benar-benar punya kekuatan mistis?” Dia menatap nanar pada cincin itu.
Jelas, logika dan akal sehatnya menolak percaya. Namun, apa yang harus dia lakukan jika setelah memasang dan melepas cincin itu, perubahan visualnya benar-benar tertangkap secara kasat mata? Apakah dia masih bisa berucap tidak percaya?
“Okay, Gami. Sekarang bukan waktunya untuk mengurusi cincin ini. Kamu harus kerja! Kalau enggak, gaji kamu bakal berkurang dan kamu cuma bisa gigit jari pas awal bulan nanti,” ucapnya sambil menatap pantulan Gami versi jelita.
Gami pun bergegas keluar toilet. Dia tersenyum mendapati Wira hendak mengetuk pintu kamarnya.
Kebetulan Wira mendengar suara pintu terbuka di belakangnya. Saat menoleh, keningnya langsung berkerut melihat Gami.
“Ada apa, Mas?” tanya Gami sambil tersenyum.
Wira tidak menjawab. Badannya berbalik secara perlahan. Matanya menyorot penuh selidik.
“Kenapa, Mas?” tanya Gami lagi. Perasaannya mulai tidak enak. Sorot mata Wira benar-benar mengganggunya.
“Kamu ... siapa? Kenapa bisa ada di rumah saya?”
Wira menyorot tajam pada wanita asing di hadapannya. Siapa dia? Kenapa pagi-pagi ada di rumahnya? Kenapa menggunakan toilet khusus karyawannya? Kenapa hanya mengenakan kain jarik sedada? Kenapa memanggilnya ‘Mas’ seolah sudah akrab lama dengannya?Apakah dia penyusup? Jika benar, siapa yang sedang dia kuntit? Dira atau dirinya?Otaknya membentak menyuruh berteriak. Namun, nuraninya berontak dengan alasan kasihan.“Mas ... enggak kenal saya?”Pertanyaan macam apa itu? Jelas Wira tidak mengenalnya. Bertemu saja baru pertama kalinya.Wira ingin sekali membalasnya sarkas. Namun, sisi lembut hatinya melarang. Dia memilih bungkam. Membebaskan wanita itu berspekulasi sesuka hati.“Saya ... kakaknya Gami, Mas. Gita.”Benarkah? Wira baru tahu kalau Gami memiliki saudara, padahal sudah setahun wanita itu bekerja di rumahnya.Ah! Wira baru sadar bahwa selama ini jarang menanyakan hal-hal yang menyangkut
Gami masih mengagumi kecantikan sendiri ketika ketukan pintu berbunyi. Dia refleks meniarapkan cermin dengan keras sampai terdengar bunyi rengat. Namun, dia mengabaikan bunyi itu dan bergegas menggapai pintu.Ternyata, sang pengetuk pintu masihlah orang yang sama. Pria tampan dengan perawakan tinggi yang rambut gondrongnya sering dikuncir rapi.“Kenapa balik lagi, Mas? Udah kangen, ya, sama saya?” godanya sambil tersipu malu. Bahkan menghantamkan dahi sendiri ke papan pintu.Gandi yang semula berekspresi biasa saja berubah ‘ilfeel’ dalam sekejap. “Please, jangan ngarang, ya, Mbak. Saya ke sini mau cari Gami.”Mbak? Gami?Astaga! Gami lupa bahwa dia masih mengenakan cincin. Itu artinya, jati dirinya masih sebagai Gita. Pantas saja Gandi terlihat ‘ilfeel’. Bagaimana mungkin wanita cantik yang baru berkenalan dengannya sudah menggodanya sedemikian menjijikkan?Ah! Belum apa-apa dia sudah menghancu
Hidung kucing kampung berwajah lonjong tengah bergerak-gerak. Mengendus aroma asap yang bergoyang-goyang di atas genangan pekat.“Usro mau kopi juga?” tanya si pemilik kopi sambil mengangkat kucingnya dari nakas.“Tolong bawain ke balkon, ya, Gami,” pintanya sambil melangkah menuju tempat yang diinginkan. Juga mengelus lembus kepala anabulbetina yang meraung-raung entah karena apa.“Katanya Mas Wira ketemu sama kakak saya, ya?” pancing Gami yang mengekor sambil membawa cangkir kopi. Dia penasaran, apa yang dipikirkan Wira setelah bertemu Gita yang mulus dan jelita. Apakah tanda-tanda jatuh cinta sudah ada?“Itu yang mau saya omongin ke kamu,” kata Wira. Duduk bersila di kursi kayu. Membenahi tata letak pantat Usro agar nyaman duduk di pangkuannya.“Kamu lupa aturan di rumah ini?” lanjutnya dengan pertanyaan retoris. “Enggak boleh bawa siapa pun menginap di sini tanpa izin saya
Memble. Masam. Kusut. Kehilangan semangat hidup. Begitulah keadaan Gami usai mengobrol dengan Wira.“Kalau seorang Gita aja enggak bisa bikin Mas Wira terkesan, terus seleranya yang kayak gimana?” erangnya frustrasi sampai tega memberantakkan rambut sendiri. Kuncirannya pun kini tak lagi berbentuk.“Buat apa, sih, punya wajah cantik kalau enggak bisa bikin orang lain nyaman?” tirunya sambil bertandak. Meledek ucapan Wira yang menurutnya telah membunuh asa--asa untuk terlahir kembali sebagai Gita.“Sebenarnya kamu, tuh, maunya cewek yang kaya mana, Mas Wira?” tanyanya gemas seolah lawan bicaranya duduk di hadapan.“Saya harus berubah jadi apa supaya bisa mendapatkan hati kamu? Jadi guling biar bisa dipeluk tiap malam? Mungkin jadi baju biarbisa nempel terus sama kamu? Atau ... jadi jok mobil biar bisa nyium pantat kamu? Saya mau, kok, jadi benda mati apa aja asalkan bisa terus sama kamu. Masalahnya, saya haru
“Wira itu paling enggak suka sama cewek yang keganjenan kayak kamu.”Bibir Gami maju lima senti. Manyun. Kecewa karena usahanya untuk meraih perhatian Wira selama ini justru menjadi nilai minus.“Masa, sih, Bang?” Berharap Dira akan berkata ‘bercanda’.“Yeee, dibilangin enggak percaya. Ngapain nanya kalau begitu?”Sekarang Dira ikut memutar badan, sepenuhnya menghadap Gami. Berhubung masih dalam keadaan jongkok, pria itu melipat kedua tangan dan menopangkan di atas lutut.“Kalau mau mendekati Wira itu harus dengan cara yang elegan. You know elegant? Jangan flirting terus! Kamu harus jaga image! Aturannya begini: cewek itu dikejar, bukan mengejar; cewek itu dicintai, bukan mencintai; cewek itu ditembak, bukan menembak.”“Tapi, ya, Bang, kalau saya enggak gerak duluan, Mas Wira enggak akan--”“Itulah kesalahan kamu,” potong Dira. “Kamu pikir semua
“Tolongin, dong, Maaaas.” Gami memelas. Memasang wajah butuh pertolongan. “Saya enggak kuat, nih.”Ketika itu, posisinya tengah membungkuk. Memegang karung makanan kucing yang terbaring di pijakan motor metic.Gami baru pulang dari pet shop, membeli dua karung makanan kucing hingga perlengkapan mandi. Di teras, dia bertemu dengan Wira yang hendak joging sore. Pertemuan itu dia manfaatkan untuk flirting dengan Wira.“Biasanya kamu bisa, tuh, angkat sendiri sampai ke rumah belakang,” kata Wira sambil berpegangan pada kedua buncu handuk yang terkalung di leher. Tak ada niatan membantu. Wajah memelas Gami tidak membuatnya iba sama sekali.“Yah, Mas. Masa nolongin sekali doang enggak mau, sih? Saya ini cewek, loh, Mas. Masa Mas tega, sih, lihat saya angkat yang berat-berat kayak gini?”Gami menurunkan karung itu dari motor. Pura-pura kepayahan. Padahal biasanya dia mampu memanggul dua karung sekaligus.
Gami berdiri di depan cermin besar dan kinclong. Cermin itu memperlihatkan pantulan diri seutuhnya, mulai dari ujung kaki sampai kepala.Melalui cermin itu, Gami memandangi cincin permata hitam yang dipungutnya sekitar dua setengah minggu yang lalu. Cincin milik salah satu pengantin yang tewas dalam kecelakaan beruntun.“Maaf, ya, Mbak, kalau saya lancang memakai cincin ini tanpa seizin kalian. Tapi, saya membutuhkan kekuatan cincin ini untuk meraih cinta sejati saya,” ucapnya sambil mengusap-usap permata hitam. Memandang permata itu membuatnya merasa berhadapan langsung dengan arwah pengantin wanita.“Jangan marah, ya. Mbak sama Masnya, ‘kan, udah tenang di alam sana. Kalian enggak butuh lagi sama benda duniawi kayak gini. Nah, daripada enggak terpakai dan jadi barang rongsokan, mending saya yang pakai, ‘kan?” pungkasnya. Ditutup dengan cengirang lebar, seolah mengajak pemilik cincin bercanda dengan bujukannya.Selesai
Dira melongo seperti orang bego. Matanya yang membulat itu hanya menyorot satu titik, yakni wajah Gita.Dalam penglihatannya, wajah Gita seperti disiram cahaya, benar-benar berkilau. Namun, kilauan yang terpancar di wajah gadis itu tidak membuat matanya menyipit kesilauan. Kilauan indah itu justru membuat pandangannya terasa nyaman dan tak sanggup berkedip sedetik pun.“Bang Dira? Habis dari mana?” tanya Gita yang bodoh. Ya, dia benar-benar bodoh. Dia lupa kalau seharusnya dia berakting tidak mengenal Dira.“Kamu kenal saya?” tanya Dira sambil menunjuk wajah sendiri.Gita memalingkan muka dalam keadaan terpejam. Lidahnya mendecak sangat pelan. Memaki diri sendiri dalam hati. Kemudian bersumpah tidak akan gegabah, mengontrol mulut dengan ekstra hati-hat, dan tidak akan bicara duluan sebelum pria itu membuka obrolan.“Emh, saya minta maaf kalau terkesan sok kenal sama Abang. Saya tau nama Abang dari Gami, adik saya,&rdqu
"Okay." Gita manggut-manggut."Apanya yang okay?" Wira menatap bingung."Kita pacaran."Hening. Lebih tepatnya, keheningan itu hanya menyelimuti mereka berdua. Sementara itu, orang-orang di sekitar mereka tetap berbincang dan tertawa. Meriuhkan suasana menjelang makan siang.Gita memutuskan untuk menerima Wira. Selain karena tidak ingin kehilangan kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu, Gita juga yakin bahwa alasan-alasan yang diutarakan Wira hanya bualan.Pria itu pasti sudah jatuh cinta dengannya. Itulah sebabnya dia repot-repot mengaku kepada Gami, meminta Gami mengawasinya, menerima usulan Gami untuk bertemu dengannya, lalu sekarang mengajaknya berpacaran. Menurutnya, tidak ada alasan paling valid dan logis selain cinta."Berapa nomor kamu?" tanya Wira sembari mengeluarkan HP dari saku celana jeans.'Mampus!' Gita melebarkan mata. 'Ini maksudnya nomor Gita, 'kan? Sial! Aku belum nyiapin!'Gita menelan ludah. Ot
"Kita mau ke mana, Mas?"Gita bingung ketika mobil meluncur ke jalan raya. Meninggalkan tempat janjian yang seharusnya."Saya udah enggak mood makan di situ," jawab Wira datar.Pria itu sedang menyalip mobil box dengan kecepatan di atas rata-rata. Kebetulan jalanan memang sedang lengang karena bukan jam makan siang. Saat ini masih jam 10 lewat."Kenapa?" tanya Gita sambil mengulum senyum.Sebenarnya dia tahu jawabannya. Dia yakin alasan Wira tidak mood lagi makan di kafe itu karena kejadian sebelumnya--kejadian di mana dirinya nyaris tertabrak motor.Mungkin--tapi ini hanya sebatas dugaan Gita saja--Wira trauma dengan tempat itu. Ah, bisa juga Wira benar-benar mengira bahwa Gita shock setelah nyaris berurusan dengan marabahaya.Apakah benar Gita merasa shock seperti yang dikatakan Wira kepada pemotor tadi? Hohoho! Tentu saja ... tidak. Alih-alih shock, Gita malah terpegun menyaksikan ketampanan paras Wira dari angle yang berbeda.
Setelah kemarin malam Wira mengiakan tawarannya, hari ini Gami tersenyum sepanjang hari. Bahkan ketika berubah menjadi Gita pun deretan giginya yang rapi, tapi kekuningan itu masih saja terkena angin.Maksudnya, dia terus tersenyum lebar. Tak peduli deretan giginya mengering terkena angin."Kayaknya lagi bahagia banget, ya, Mbak?" tanya sopir taksi online sambil tersenyum penuh ledekan. Dia melirik Gita yang duduk di kursi belakang melalui pantulan cermin yang menggantung di dashboard atas.Sepengamatan si sopir, sejak masuk mobil hingga seperempat perjalanan, penumpangnya yang menawan itu terus saja semringah. Bahkan kadang menyenandungkan lagu riang."Mau ketemu cowok terkasih, ya?" tebaknya. Hapal dengan jenis senyuman orang kasmaran.Gita terkekeh. "Tau aja si Bapak. Keliatan banget, ya?""Waaah, jadi benar, ya, udah ada yang punya? Padahal tadi cuma iseng nebak. Kalau gini, berarti saya enggak bisa ...."Sopir itu sengaja menggan
"Saya minta maaf."Gami merapatkan kedua pangkal alisnya. "Buat apa?" tanyanya tak mengerti, apa yang membuat Wira merasa perlu meminta maaf."Ya, karena saya udah menodai kakak kamu. Saya tau minta maaf aja enggak cukup, tapi ... semuanya udah terjadi. Saya enggak bisa apa-apa."Kerutan di kening Gami terurai. Tadinya dia ingin tersenyum lebar dan berkata, "Enggak apa-apa kali, Mas. Toh, kalian udah sama-sama dewasa. Umur kalian juga udah saatnya menikah. Jadi, ya, wajar kalian penasaran pengin nyoba begituan."Namun, setelah berpikir ulang, Gami urung menyalurkan kalimat demikian. Menurutnya, respons seperti itu sangat tidak wajar mengingat selama ini dirinya begitu gentol mengejar Wira. Respons paling wajar yang terlintas di kepalanya adalah mendengus kesal atau memaki sesekali.Sayangnya, Gami telanjur bersikap lembek di awal. Jadi, rasanya akan semakin aneh jika dia mengamuk dan memaki.'Jadi sekarang aku musti gimana?'Soal mene
"Ngomong, Mas!" pinta Gami sambil menarik tatakan kayu berisi chicken cheese burger ke hadapannya."Nanti aja! Makan dulu!" Wira sudah lebih dulu memotong dan menyuap chicken steak-nya. Makan dengan gerakan dan kunyahan yang cepat."Sambil menyelam minum air. Sambil makan, 'kan, bisa cerita.""Saya enggak mau dimuncratin kunyahan burger.""Emangnya semengejutkan apa, sih, cerita yang mau Mas omongin sampai udah bisa prediksi kalau saya bakalan muncrat?"Bungkam. Pria itu lebih tertarik mengunyah makanannya dalam keadaan bibir mengatup daripada harus menanggapi pertanyaan Gami.Semakin ke sini, menguatlah kecurigaan Gami. Hampir 90% keyakinannya mengarah pada topik 'kesalahan' sepuluh hari yang lalu.Anehnya, Gami tidak merasa se-excited sebelumnya. Dia malah was-was melihat gelagat Wira yang mengkhawatirkan."Apa, sih, Mas?" Gami mencoba kembali mendesak. Namun, nada desakan serta ekspresi wajahnya dibuat sesantai mungkin. Bahk
"Harusnya Mas Wira ngomong dulu kalau mau ngajakin nge-date." Gami mengulum senyum sambil melepaskan sabuk pengaman."Tau kayak gini, 'kan, saya pakai baju bagus," tambahnya. Kemudian terkikik sendiri.Gami sadar ini bukan kencan. Dia hanya menggoda Wira karena sejak tadi, pria itu menyetir dalam keadaan tegang. Kekakuan wajahnya mungkin sudah mengalahkan kanebo kering.Saat ini mobil telah menepi di parkiran kafe. Sebelumnya, Wira mengajak Gami pergi karena ingin membicarakan sesuatu. Namun, dia tidak mengatakan ke mana tujuannya dan apa topik yang akan dibahas.Gami pikir mereka akan pergi ke petshop. Makanya dia hanya memakai pakaian ala kadarnya. Bahkan tidak berdandan. Dia hanya merapikan kuciran, menabur bedak bayi ke wajah, lalu mengusap tissue parfum ke leher dan baju.Seandainya dia tahu akan merapat ke kafe dan berbaur bersama pemuda-pemudi gaul, dia tidak akan ragu memakai kaus dan jeans baru yang baru dibeli melalui marketplace.
“Loh? Kok, bikin kopi sendiri, sih, Mas?”Gami baru saja masuk dapur setelah membersihkan rumah kucing. Tadinya dia ingin membuatkan Wira kopi, seperti kebiasannya setiap pagi. Sayang, dia kalah cepat dengan Wira yang ternyata sudah menyeduh kopinya sendiri.Pria itu hanya tersenyum tipis dan singkat. Tidak sedetik pun menatap Gami. Tangannya sibuk memutar sendok, mengaduk seduhan kopinya.Gami menghampiri dalam keadaan manyun. “Yaaaah, kalau Mas Wira udah bikin kopi, saya bikin apa, dong?”“Bikin aja buat diri kamu sendiri,” sahut Wira kalem. Kemudian menjauh meninggalkan dapur.Sikap Wira membuat kening Gami berkerut. Kepalanya teleng ke kiri dan kanan. “Kayaknya ada yang aneh sama Mas Wira, tapi apa, ya?”Tidak ingin menyimpan pertanyaan lebih lama lagi, Gami pun beranjak mengejar Wira. Mengintilinya sampai ke ruang keluarga."Mas Wira kapan sampai?" tanyanya basa basi, meskipun seben
“Bang!”Gami mencolek lengan Dira. Berdiri di sebelah kursi pria itu. Bibirnya manyun lima senti.“Apa?”Dira bertanya tak acuh. Melirik pun tidak. Keasyikan melahap makaroni schotel buatan Adisti.“Si Mas Ganteng kapan pulang?” Tentu saja orang yang dimaksud adalah Wira. “Ini udah seminggu, loh, Bang. Kenapa dia enggak balik-balik?”Beberapa hari ini Gami uring-uringan karena Wira tak kunjung pulang. Padahal Dira sudah pulang empat hari yang lalu.“Ini pasti gara-gara Abang bawa pulang mobilnya, ‘kan? Jadinya Mas Wira susah pulang,” tuduhnya serta merta.Ini bukan kali pertama Gami menuduh seperti itu. Makanya tidak heran kalau Dira hanya menanggapi dengan decakan lidah. Jengah.“Berapa kali, sih, musti saya bilangin? Dia itu enggak pulang gara-gara kecantol sama tetangga sebelah yang baru pindahan.”“Keji sekali dustamu, Rhoma! Bisa-bis
“Heh! Ngapain di sini?” tanya Adisti yang berdiri di ambang pintu. Tangannya bertahan di gagang seolah sewaktu-waktu pintu itu siap ditutup kembali atau didorong lebih melebar lagi.“Mau tidur, lah. Emangnya mau ngapain lagi?”Gami menjawab sambil memeluk guling. Mengulum senyum. Memejamkan mata. Menghidu aroma yang menguar dari sarung guling itu.‘Aromanya Mas Wira banget, nih.’Saat ini, Gami membaringi ranjang Wira. Nostalgia dengan momen panas yang terjadi pada subuh dan pagi tadi. Ingin mengingat dan membayangkan lagi, bagaimana sensasi degupan jantung saat berada di bawah tindihan Wira. Memandang dan menikmati ketampanan wajah Wira dari sudut terdekat.“Jangan ‘ngadi-ngadi’, deh, ya! Bangun! Balik ke kamar kamu sana!” pinta Adisti dengan tegas.“Enggak mau! Saya mau tidur di sini.”Gami bersikukuh. Semakin erat memeluk guling. Membuat Adisti berdecak kesal.