Gita menyengir dan tertawa garing. “Ya, jelas saya tau, lah, Mas. Saya, ‘kan, pernah menginap di rumah Mas. Waktu itu Gami ngajakin saya ke rumah belakang. Terus dikenalin, deh, sama kucing imut yang satu ini.”
Gita mati-matian menjaga ekspresi dan suaranya agar kegugupannya tidak terekspos. Hatinya merapalkan doa, semoga Wira percaya.
Rupanya, doa Gita tidak dikabulkan dengan mudah. Tatapan pria itu masih kelihatan menyelidik.
“Emangnya udah berapa kali kamu menginap tanpa sepengetahuan saya?”
“Baru satu kali, Mas--yang waktu itu kita ketemu pas saya selesai mandi.” Gita mengingatkan momen pertemuan pertamanya dengan Wira.
“Kalau yang Jumat kemarin enggak jadi. Soalnya, ‘kan, enggak dapat izin,” sambungnya.
Niatnya, sih, ingin memancing Wira. Lebih tepatnya ingin melihat reaksi Wira setelah tahu dirinya batal menginap gara-gara sikap kasarnya kemarin.
Gita ingin melihat, ada
“Tau gini saya enggak bakal biarin dia sendirian.”Kali ini, Gita mulai mengulum senyum mendengar keluh kesah Wira. Dia mulai menyadari, seberapa besar kekhawatiran yang membungkus perasaan Wira untuk Gami yang asli.Kekhawatiran itu terlihat alami. Tidak fake dan dibuat-dibuat.“Nyusahin.”Walaupun dibilang menyusahkan, Gita tak keberatan sama sekali. Dia masih mengulum senyum, berusaha menyembunyikan wajah agar tidak ketahuan.Namun, wanita itu diserang kepanikan saat melihat Wira mengeluarkan HP dan menempelkan ke telinga. Jantungnya mulai berdebar kencang. Jangan-jangan Wira menelepon ....“Tck! Kok, malah di-reject, sih?”Garis kekesalan tergambar jelas di wajah Wira. Pria itu menatap layar HP-nya, seolah benda itulah yang menjadi biang kerok kemelut di hatinya.“Nelepon Gami, ya, Mas?” Gita menebak dengan suara bergetar.Kali ini kegugupannya tidak dapat ditutupi. Kal
“Maaf, ya. Saya udah keliling pasar, tapi enggak ketemu juga sama copetnya.”Wira mengacak pinggang. Berdiri di hadapan Gita dengan napas terengah.“Kemungkinan copetnya udah pindah ke kawasan car free day. Saya mau ke sana, tapi keingat kamu sama Gami, jadi terpaksa balik dulu ke sini. Sekarang kamu mau gimana, nih? Lapor polisi atau kita cari sendiri?”“Lapor polisi aja, Mas. Korban yang tadi juga udah ke pos polisi. Bareng aja sekalian. Biar copetnya cepat ditindak.”Ibu di sebelah Gita memberikan usul dengan antusias. Namun, tentu saja Wira tidak menggubrisnya. Keputusan ada di tangan Gita.Pada akhirnya, Gita malah menggeleng lemah. Berusaha tersenyum, meskipun sangat tipis.“Enggak usah, deh, Mas. Saya mau pulang aja.”Sebenarnya, Gita tidak bisa merelakan HP dan dompetnya begitu saja. Namun, mencari pencopet tanpa bekal apa pun sangatlah sulit. Lagipula dia tidak tahu di mana mark
“Terus ini gimana ceritanya, Mas?” Gami menatap barang di pangkuannya. Kantong plastik berisi kotak sneakers baru.“Cerita apa? Saya enggak bisa ngedongeng.” Wira memutar setir karena mengitari bundaran.“Bukan itu, Mas. Maksud saya, ini gimana ceritanya? Mas Wira, ‘kan, minta belikan sneakers, tapi kok, bayar sendiri?”Sebelumnya, setelah Gami meminta ampun di parkiran, Wira mengajukan syarat. Dia bersedia memaafkan kesalahan Gami, asalkan dibelikan sepatu baru.Gami setuju. Namun, dia tidak tahu harus membayar pakai apa, sementara dompetnya sudah raib di tangan pencopet.Ketika itu, Wira kelihatan tidak peduli. Dia kembali ke pasar dan memilih sneakers dengan harga tertinggi. Membuat Gami panik setengah mati.Namun, kepanikan itu hanya terjadi selama beberapa saat sebelum Wira mengeluarkan dompet. Ternyata, dia membeli sepatu itu dengan dana pribadi.“Mas! Kok, malah diam, sih? Ini gim
“Bye! Hati-hati, ya, Dis! Jangan ngebut!”Gami membungkuk di depan kaca jendela mobil yang terbuka. Di dalamnya ada Dira dan Adisti di balik kemudi.“Iya. Doain selamat sampai tujuan, ya,” kata Adisti, lalu melambaikan tangan dengan jemarinya.“Amin.”“Titip rumah, ya, Mi. Bilangin ke Wira, langsung susulin kalau kerjaannya udah selesai,” pesan Dira.“Siap, komandan!” Gami berdiri tegak dan memasang gesture hormat ala tentara.Setelah itu, mobil Dira melaju pelan meninggalkan halaman rumah. Gami menutup gerbang, lalu pergi ke rumah belakang.“Hai, guys!” sapanya pada makhluk-makhluk berbulu yang tengah tidur siang. Mereka bergelimpangan di sembarang tempat. Ada yang tidur di dalam kandang dan di atasnya. Ada pula di bawah kolong meja, di atas lemari, di sudut ruangan, dan di belakang pintu.Sebagian dari anabul itu terbangun mendengar sapaan G
Sampai detik ini--di detik ke 3.666 alias satu jam lebih satu menit enam detik--Gita masih lupa kalau identitasnya bukan lagi sebagai Gami. Dia lupa tengah mengenakan cincin permata hitam di jari manis. Dia lupa tengah mengenakan lingerie kimono transparan yang memperlihatkan celana dalam dan bra-nya.Semua kesadarannya terlepas begitu saja ketika menyambangi kamar Wira. Dia lupa segalanya begitu melihat wajah Wira yang pucat dan menggigil di dalam lilitan selimut.“Duh, Maaaas .... Ke rumah sakit aja, yuk!” rengek Gita setelah mendapati angka 41 derajat selsius pada termometer. Angka ini malah meningkat dari sebelumnya yang masih 39.Gita mengalami kebuntuan. Dia bingung, bagaimana cara menurunkan suhu tubuh Wira, padahal sudah dikompres dan minum obat. Sialnya lagi, sejak tadi, Wira menggumam dan menggeleng--menolak ajakannya ke rumah sakit.“Kenapa, sih, Mas enggak mau ke rumah sakit? Saya bingung, nih, mau ngapain lagi. Kalau Mas Wir
Gita tertidur dengan kening berkerut. Pipinya bertopang di bantalan yang tidak biasa. Agak keras, tapi tidak sekaku papan kayu. Bantalan itu bergerak naik dan turun secara teratur.Ada yang bisa menebak, bantalan apa yang dia gunakan?Dada Wira. Ya. Wanita itu tertidur dengan pipi membantali dada Wira.Untung saja si pemilik dada juga terlelap, sehingga tidak menyadari bahwa dadanya dialihfungsikan sebagai alas kepala.“Astaga!”Gita terbangun dalam keadaan terkejut. Dia mimpi kecebur di got bau PUP naga.Awalnya, kedua matanya terbuka sempurna saat menegakkan badan. Namun, dalam hitungan mundur sejak detik ke lima, kelopak matanya kembali redup secara perlahan. Kemudian berbaring lagi di atas dada Wira.Tangannya meraba-raba. Dalam alam bawah sadarnya, kaus yang dikenakan Wira mungkin adalah sarung bantal. Namun, begitu mendapati tonjolan aneh dan kecil, keningnya pun berkerut. Jemarinya memencent-mencet tonjolan itu.
“Saya tanya sekali lagi, di mana Gami?”Gita membeku dan kepayahan menelan ludah. Harus menjawab apa?“Tidur, Mas. Di kamarnya.” Gita tergagap.Kalau sudah terperosok dalam situasi seperti ini, jangan salahkan degup jantung yang bekerja ekstra cepat.“Mau saya panggilkan?” tawarnya.Saat itu, simulasi yang dibayangkan Gita adalah:Wira mengangguk, Gita ngacir ke kamar, melepas cincin dan berganti dengan pakaian normal, mengacak rambut agar terlihat seperti orang tidur, barulah kembali ke kamar Wira.Sayangnya, simulasi hanyalah ilusi. Kenyataannya, Wira malah menggeleng dan berupaya bangun. Membuat Gita sigap memberikan bantuan.Gita tidak menyadari sama sekali bahwa Wira sempat membeku dan membelalak. Itu terjadi saat Gita membantu Wira bangun dan merapikan layout bantal yang akan disandari. Ketika itu, bibir Wira nyaris mencium belahan dada Gita yang terangsur ke depan wajahnya.&ldq
“Maaf, ya. Kayaknya kita harus gelap-gelapan dulu. Enggak tau sampai kapan. Soalnya bahan bakar genset habis.”Itulah yang dikatakan Wira dengan suara seraknya ketika kembali ke kamar. Kemunculannya membuat Gita beranjak dari bibir ranjang. Tersenyum girang.“Enggak apa-apa, Mas.” Gita cengengesan.‘Malah bagus. Semoga aja orang PLN enggak sok-sok kerajinan buat nyalain lampunya. Biar aku bisa lebih lama gelap-gelapan sama Mas Ganteng.’“Namanya juga cuaca buruk kayak gini. Mungkin sengaja dipadamkan supaya enggak--”“Mau saya antar ke kamar Gami?” tanya Wira saat merapatkan pantat ke pinggir ranjang. Posisinya bersebelahan dengan Gita. Jaraknya mungkin tidak sampai sejengkal.Oh my God. Gita mendadak manyun. Lenyap sudah senyum semringahnya.‘Mas Wira ngeselin, ih! Kenapa enggak menikmati momen dulu coba? ‘Kan, gelap-gelapan gini enak buat ....’&ldq
"Okay." Gita manggut-manggut."Apanya yang okay?" Wira menatap bingung."Kita pacaran."Hening. Lebih tepatnya, keheningan itu hanya menyelimuti mereka berdua. Sementara itu, orang-orang di sekitar mereka tetap berbincang dan tertawa. Meriuhkan suasana menjelang makan siang.Gita memutuskan untuk menerima Wira. Selain karena tidak ingin kehilangan kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu, Gita juga yakin bahwa alasan-alasan yang diutarakan Wira hanya bualan.Pria itu pasti sudah jatuh cinta dengannya. Itulah sebabnya dia repot-repot mengaku kepada Gami, meminta Gami mengawasinya, menerima usulan Gami untuk bertemu dengannya, lalu sekarang mengajaknya berpacaran. Menurutnya, tidak ada alasan paling valid dan logis selain cinta."Berapa nomor kamu?" tanya Wira sembari mengeluarkan HP dari saku celana jeans.'Mampus!' Gita melebarkan mata. 'Ini maksudnya nomor Gita, 'kan? Sial! Aku belum nyiapin!'Gita menelan ludah. Ot
"Kita mau ke mana, Mas?"Gita bingung ketika mobil meluncur ke jalan raya. Meninggalkan tempat janjian yang seharusnya."Saya udah enggak mood makan di situ," jawab Wira datar.Pria itu sedang menyalip mobil box dengan kecepatan di atas rata-rata. Kebetulan jalanan memang sedang lengang karena bukan jam makan siang. Saat ini masih jam 10 lewat."Kenapa?" tanya Gita sambil mengulum senyum.Sebenarnya dia tahu jawabannya. Dia yakin alasan Wira tidak mood lagi makan di kafe itu karena kejadian sebelumnya--kejadian di mana dirinya nyaris tertabrak motor.Mungkin--tapi ini hanya sebatas dugaan Gita saja--Wira trauma dengan tempat itu. Ah, bisa juga Wira benar-benar mengira bahwa Gita shock setelah nyaris berurusan dengan marabahaya.Apakah benar Gita merasa shock seperti yang dikatakan Wira kepada pemotor tadi? Hohoho! Tentu saja ... tidak. Alih-alih shock, Gita malah terpegun menyaksikan ketampanan paras Wira dari angle yang berbeda.
Setelah kemarin malam Wira mengiakan tawarannya, hari ini Gami tersenyum sepanjang hari. Bahkan ketika berubah menjadi Gita pun deretan giginya yang rapi, tapi kekuningan itu masih saja terkena angin.Maksudnya, dia terus tersenyum lebar. Tak peduli deretan giginya mengering terkena angin."Kayaknya lagi bahagia banget, ya, Mbak?" tanya sopir taksi online sambil tersenyum penuh ledekan. Dia melirik Gita yang duduk di kursi belakang melalui pantulan cermin yang menggantung di dashboard atas.Sepengamatan si sopir, sejak masuk mobil hingga seperempat perjalanan, penumpangnya yang menawan itu terus saja semringah. Bahkan kadang menyenandungkan lagu riang."Mau ketemu cowok terkasih, ya?" tebaknya. Hapal dengan jenis senyuman orang kasmaran.Gita terkekeh. "Tau aja si Bapak. Keliatan banget, ya?""Waaah, jadi benar, ya, udah ada yang punya? Padahal tadi cuma iseng nebak. Kalau gini, berarti saya enggak bisa ...."Sopir itu sengaja menggan
"Saya minta maaf."Gami merapatkan kedua pangkal alisnya. "Buat apa?" tanyanya tak mengerti, apa yang membuat Wira merasa perlu meminta maaf."Ya, karena saya udah menodai kakak kamu. Saya tau minta maaf aja enggak cukup, tapi ... semuanya udah terjadi. Saya enggak bisa apa-apa."Kerutan di kening Gami terurai. Tadinya dia ingin tersenyum lebar dan berkata, "Enggak apa-apa kali, Mas. Toh, kalian udah sama-sama dewasa. Umur kalian juga udah saatnya menikah. Jadi, ya, wajar kalian penasaran pengin nyoba begituan."Namun, setelah berpikir ulang, Gami urung menyalurkan kalimat demikian. Menurutnya, respons seperti itu sangat tidak wajar mengingat selama ini dirinya begitu gentol mengejar Wira. Respons paling wajar yang terlintas di kepalanya adalah mendengus kesal atau memaki sesekali.Sayangnya, Gami telanjur bersikap lembek di awal. Jadi, rasanya akan semakin aneh jika dia mengamuk dan memaki.'Jadi sekarang aku musti gimana?'Soal mene
"Ngomong, Mas!" pinta Gami sambil menarik tatakan kayu berisi chicken cheese burger ke hadapannya."Nanti aja! Makan dulu!" Wira sudah lebih dulu memotong dan menyuap chicken steak-nya. Makan dengan gerakan dan kunyahan yang cepat."Sambil menyelam minum air. Sambil makan, 'kan, bisa cerita.""Saya enggak mau dimuncratin kunyahan burger.""Emangnya semengejutkan apa, sih, cerita yang mau Mas omongin sampai udah bisa prediksi kalau saya bakalan muncrat?"Bungkam. Pria itu lebih tertarik mengunyah makanannya dalam keadaan bibir mengatup daripada harus menanggapi pertanyaan Gami.Semakin ke sini, menguatlah kecurigaan Gami. Hampir 90% keyakinannya mengarah pada topik 'kesalahan' sepuluh hari yang lalu.Anehnya, Gami tidak merasa se-excited sebelumnya. Dia malah was-was melihat gelagat Wira yang mengkhawatirkan."Apa, sih, Mas?" Gami mencoba kembali mendesak. Namun, nada desakan serta ekspresi wajahnya dibuat sesantai mungkin. Bahk
"Harusnya Mas Wira ngomong dulu kalau mau ngajakin nge-date." Gami mengulum senyum sambil melepaskan sabuk pengaman."Tau kayak gini, 'kan, saya pakai baju bagus," tambahnya. Kemudian terkikik sendiri.Gami sadar ini bukan kencan. Dia hanya menggoda Wira karena sejak tadi, pria itu menyetir dalam keadaan tegang. Kekakuan wajahnya mungkin sudah mengalahkan kanebo kering.Saat ini mobil telah menepi di parkiran kafe. Sebelumnya, Wira mengajak Gami pergi karena ingin membicarakan sesuatu. Namun, dia tidak mengatakan ke mana tujuannya dan apa topik yang akan dibahas.Gami pikir mereka akan pergi ke petshop. Makanya dia hanya memakai pakaian ala kadarnya. Bahkan tidak berdandan. Dia hanya merapikan kuciran, menabur bedak bayi ke wajah, lalu mengusap tissue parfum ke leher dan baju.Seandainya dia tahu akan merapat ke kafe dan berbaur bersama pemuda-pemudi gaul, dia tidak akan ragu memakai kaus dan jeans baru yang baru dibeli melalui marketplace.
“Loh? Kok, bikin kopi sendiri, sih, Mas?”Gami baru saja masuk dapur setelah membersihkan rumah kucing. Tadinya dia ingin membuatkan Wira kopi, seperti kebiasannya setiap pagi. Sayang, dia kalah cepat dengan Wira yang ternyata sudah menyeduh kopinya sendiri.Pria itu hanya tersenyum tipis dan singkat. Tidak sedetik pun menatap Gami. Tangannya sibuk memutar sendok, mengaduk seduhan kopinya.Gami menghampiri dalam keadaan manyun. “Yaaaah, kalau Mas Wira udah bikin kopi, saya bikin apa, dong?”“Bikin aja buat diri kamu sendiri,” sahut Wira kalem. Kemudian menjauh meninggalkan dapur.Sikap Wira membuat kening Gami berkerut. Kepalanya teleng ke kiri dan kanan. “Kayaknya ada yang aneh sama Mas Wira, tapi apa, ya?”Tidak ingin menyimpan pertanyaan lebih lama lagi, Gami pun beranjak mengejar Wira. Mengintilinya sampai ke ruang keluarga."Mas Wira kapan sampai?" tanyanya basa basi, meskipun seben
“Bang!”Gami mencolek lengan Dira. Berdiri di sebelah kursi pria itu. Bibirnya manyun lima senti.“Apa?”Dira bertanya tak acuh. Melirik pun tidak. Keasyikan melahap makaroni schotel buatan Adisti.“Si Mas Ganteng kapan pulang?” Tentu saja orang yang dimaksud adalah Wira. “Ini udah seminggu, loh, Bang. Kenapa dia enggak balik-balik?”Beberapa hari ini Gami uring-uringan karena Wira tak kunjung pulang. Padahal Dira sudah pulang empat hari yang lalu.“Ini pasti gara-gara Abang bawa pulang mobilnya, ‘kan? Jadinya Mas Wira susah pulang,” tuduhnya serta merta.Ini bukan kali pertama Gami menuduh seperti itu. Makanya tidak heran kalau Dira hanya menanggapi dengan decakan lidah. Jengah.“Berapa kali, sih, musti saya bilangin? Dia itu enggak pulang gara-gara kecantol sama tetangga sebelah yang baru pindahan.”“Keji sekali dustamu, Rhoma! Bisa-bis
“Heh! Ngapain di sini?” tanya Adisti yang berdiri di ambang pintu. Tangannya bertahan di gagang seolah sewaktu-waktu pintu itu siap ditutup kembali atau didorong lebih melebar lagi.“Mau tidur, lah. Emangnya mau ngapain lagi?”Gami menjawab sambil memeluk guling. Mengulum senyum. Memejamkan mata. Menghidu aroma yang menguar dari sarung guling itu.‘Aromanya Mas Wira banget, nih.’Saat ini, Gami membaringi ranjang Wira. Nostalgia dengan momen panas yang terjadi pada subuh dan pagi tadi. Ingin mengingat dan membayangkan lagi, bagaimana sensasi degupan jantung saat berada di bawah tindihan Wira. Memandang dan menikmati ketampanan wajah Wira dari sudut terdekat.“Jangan ‘ngadi-ngadi’, deh, ya! Bangun! Balik ke kamar kamu sana!” pinta Adisti dengan tegas.“Enggak mau! Saya mau tidur di sini.”Gami bersikukuh. Semakin erat memeluk guling. Membuat Adisti berdecak kesal.