“Saya tanya sekali lagi, di mana Gami?”
Gita membeku dan kepayahan menelan ludah. Harus menjawab apa?
“Tidur, Mas. Di kamarnya.” Gita tergagap.
Kalau sudah terperosok dalam situasi seperti ini, jangan salahkan degup jantung yang bekerja ekstra cepat.
“Mau saya panggilkan?” tawarnya.
Saat itu, simulasi yang dibayangkan Gita adalah:
Wira mengangguk, Gita ngacir ke kamar, melepas cincin dan berganti dengan pakaian normal, mengacak rambut agar terlihat seperti orang tidur, barulah kembali ke kamar Wira.
Sayangnya, simulasi hanyalah ilusi. Kenyataannya, Wira malah menggeleng dan berupaya bangun. Membuat Gita sigap memberikan bantuan.
Gita tidak menyadari sama sekali bahwa Wira sempat membeku dan membelalak. Itu terjadi saat Gita membantu Wira bangun dan merapikan layout bantal yang akan disandari. Ketika itu, bibir Wira nyaris mencium belahan dada Gita yang terangsur ke depan wajahnya.
&ldq
“Maaf, ya. Kayaknya kita harus gelap-gelapan dulu. Enggak tau sampai kapan. Soalnya bahan bakar genset habis.”Itulah yang dikatakan Wira dengan suara seraknya ketika kembali ke kamar. Kemunculannya membuat Gita beranjak dari bibir ranjang. Tersenyum girang.“Enggak apa-apa, Mas.” Gita cengengesan.‘Malah bagus. Semoga aja orang PLN enggak sok-sok kerajinan buat nyalain lampunya. Biar aku bisa lebih lama gelap-gelapan sama Mas Ganteng.’“Namanya juga cuaca buruk kayak gini. Mungkin sengaja dipadamkan supaya enggak--”“Mau saya antar ke kamar Gami?” tanya Wira saat merapatkan pantat ke pinggir ranjang. Posisinya bersebelahan dengan Gita. Jaraknya mungkin tidak sampai sejengkal.Oh my God. Gita mendadak manyun. Lenyap sudah senyum semringahnya.‘Mas Wira ngeselin, ih! Kenapa enggak menikmati momen dulu coba? ‘Kan, gelap-gelapan gini enak buat ....’&ldq
Teringgung? Ya, tentu saja Gita tersinggung.Tidak ada angin dan hujan--ralat, di luar memang hujan deras yang disertai guntur dan angin kencang--tiba-tiba Wira mengatainya gila dan tidak waras. Apa salahnya? Apa makian itu hadiah karena sudah menyentuh pundaknya tanpa izin?“Salah saya apa, Mas?” tanya Gita agak keras.Sebenarnya Gita tidak ingin kelepasan seperti ini. Seharusnya dia tetap kalem dan bertanya dengan halus. Sabar. Tetap menjaga image demi karakter Gita. Namun, entah kenapa kali ini dia amat-sangat tersinggung.“Maksud saya bukan kamu.”Gita mengerutkan kening. “Terus Mas ngatain siapa? Hantu? Di kamar ini enggak ada orang selain--”“May I ...?”“Hah?” Kedua alis Gita terangkat. “May I ... apa?”Tidak ada jawaban dari Wira. Pria itu malah begitu intens menatap tepat ke manik mata Gita. Membuat Gita kesulitan memahami apa isi kepalanya.
Kaget? Ya, tentu saja Wira kaget. Matanya sampai membeliak.Wira mengira setidaknya akan mendapat tamparan keras di pipi karena merobek hymen seorang wanita sampai berdarah. Minimal, dia diliputi perasaan bersalah setengah mati karena melihat wanita itu menangis sesegukan.Kenyataannya, jangankan menangis, sepanjang bangun tidur, Wira dapat menangkap dengan jelas senyum yang dikulum wanita itu. Apakah menyerahkan keperawanan akan semenyenangkan itu? Apakah sejak awal, memang ini yang dia inginkan?Anehnya, setelah Wira bersumpah akan bertanggung jawab, Gita malah terlihat kesal. Suara yang biasa rendah, lembut, dan halus, mendadak meninggi. Tatapan yang biasanya berbinar, kini malah berkobar.Ada apa ini? Apa yang salah dengan bentuk pertanggungjawaban yang dijanjikan Wira?“Jawab, Mas!” tuntut wanita itu. Membuat Wira gelagapan.Apa yang harus dijawab?Oh, astaga! Wira sampai lupa dengan pertanyaan Gita gara-gara saking b
Gita ngacir ke kamar Gami tanpa pakaian yang sempurna. Wanita itu hanya mengenakan celana dalam dan bra yang tidak terkait sempurna. Kimono lingerie-nya hanya ditenteng, lalu dilempar ke kasur.Begitu hendak mengempaskan pantat ke kasur, dia memekik sambil merapatkan paha. Area di antara selangkangannya terasa nyeri dan perih.“Astaga, sakit banget!” keluhnya sambil menekan area kewanitaan dengan paha dan tangan.“Ini siksaan namanya. Siksaan!” dumalnya sambil menelungkupkan wajah ke kasur.“Belum mati aja rasanya udah di neraka,” racaunya sebelum menangis keras tanpa air mata. Kemudian memukul kasur secara brutal.“Kenapa, sih? Kenapa-kenapa-kenapaaaaa?” jeritnya saat menegakkan tubuh, lalu mendongak menatap langit-langit kamar.“Kenapa Mas Wira musti sekejam itu? Kenapa dia enggak bisa cinta sama aku, padahal aku udah kayak gini? Kenapa?” tanyanya denganintonasi gemas, gusar
“Packing, Mas?” tanya Gami begitu masuk kamar Wira. Dia membawa nampan berisi mangkuk bubur dan secangkir kopi.Butuh persiapan yang cukup lama untuk Gami menyambangi kamar itu. Dia harus mandi dulu, lalu memakai pakaian lusuh ala Gami. Bahkan sengaja mengucir rambut yang masih basah, seperti yang biasa dilakukan Gami.Selain itu, Gami juga menghabiskan waktu cukup lama di depan pintu. Dia bertengkar dengan pikiran sendiri. Bahkan berniat mundur dan kembali ke kamar. Belum siap berhadapan dengan Wira.Setelah meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja, Gami pun akhirnya masuk. Begitu membuka pintu, fokusnya langsung terpusat ke arah koper di ranjang yang tengah terbuka. Koper itu sudah berisi beberapa potong pakaian.“Mas Wira mau nyusul Bang Dira atau ke mana, nih? Kok, bawaannya banyak banget,” kicaunya sambil melangkah menuju nakas.Sebenarnya, Gami mati-matian menjaga pita suaranya agar tidak gemetar. Saat ini, jant
“Heh! Ngapain di sini?” tanya Adisti yang berdiri di ambang pintu. Tangannya bertahan di gagang seolah sewaktu-waktu pintu itu siap ditutup kembali atau didorong lebih melebar lagi.“Mau tidur, lah. Emangnya mau ngapain lagi?”Gami menjawab sambil memeluk guling. Mengulum senyum. Memejamkan mata. Menghidu aroma yang menguar dari sarung guling itu.‘Aromanya Mas Wira banget, nih.’Saat ini, Gami membaringi ranjang Wira. Nostalgia dengan momen panas yang terjadi pada subuh dan pagi tadi. Ingin mengingat dan membayangkan lagi, bagaimana sensasi degupan jantung saat berada di bawah tindihan Wira. Memandang dan menikmati ketampanan wajah Wira dari sudut terdekat.“Jangan ‘ngadi-ngadi’, deh, ya! Bangun! Balik ke kamar kamu sana!” pinta Adisti dengan tegas.“Enggak mau! Saya mau tidur di sini.”Gami bersikukuh. Semakin erat memeluk guling. Membuat Adisti berdecak kesal.
“Bang!”Gami mencolek lengan Dira. Berdiri di sebelah kursi pria itu. Bibirnya manyun lima senti.“Apa?”Dira bertanya tak acuh. Melirik pun tidak. Keasyikan melahap makaroni schotel buatan Adisti.“Si Mas Ganteng kapan pulang?” Tentu saja orang yang dimaksud adalah Wira. “Ini udah seminggu, loh, Bang. Kenapa dia enggak balik-balik?”Beberapa hari ini Gami uring-uringan karena Wira tak kunjung pulang. Padahal Dira sudah pulang empat hari yang lalu.“Ini pasti gara-gara Abang bawa pulang mobilnya, ‘kan? Jadinya Mas Wira susah pulang,” tuduhnya serta merta.Ini bukan kali pertama Gami menuduh seperti itu. Makanya tidak heran kalau Dira hanya menanggapi dengan decakan lidah. Jengah.“Berapa kali, sih, musti saya bilangin? Dia itu enggak pulang gara-gara kecantol sama tetangga sebelah yang baru pindahan.”“Keji sekali dustamu, Rhoma! Bisa-bis
“Loh? Kok, bikin kopi sendiri, sih, Mas?”Gami baru saja masuk dapur setelah membersihkan rumah kucing. Tadinya dia ingin membuatkan Wira kopi, seperti kebiasannya setiap pagi. Sayang, dia kalah cepat dengan Wira yang ternyata sudah menyeduh kopinya sendiri.Pria itu hanya tersenyum tipis dan singkat. Tidak sedetik pun menatap Gami. Tangannya sibuk memutar sendok, mengaduk seduhan kopinya.Gami menghampiri dalam keadaan manyun. “Yaaaah, kalau Mas Wira udah bikin kopi, saya bikin apa, dong?”“Bikin aja buat diri kamu sendiri,” sahut Wira kalem. Kemudian menjauh meninggalkan dapur.Sikap Wira membuat kening Gami berkerut. Kepalanya teleng ke kiri dan kanan. “Kayaknya ada yang aneh sama Mas Wira, tapi apa, ya?”Tidak ingin menyimpan pertanyaan lebih lama lagi, Gami pun beranjak mengejar Wira. Mengintilinya sampai ke ruang keluarga."Mas Wira kapan sampai?" tanyanya basa basi, meskipun seben
"Okay." Gita manggut-manggut."Apanya yang okay?" Wira menatap bingung."Kita pacaran."Hening. Lebih tepatnya, keheningan itu hanya menyelimuti mereka berdua. Sementara itu, orang-orang di sekitar mereka tetap berbincang dan tertawa. Meriuhkan suasana menjelang makan siang.Gita memutuskan untuk menerima Wira. Selain karena tidak ingin kehilangan kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu, Gita juga yakin bahwa alasan-alasan yang diutarakan Wira hanya bualan.Pria itu pasti sudah jatuh cinta dengannya. Itulah sebabnya dia repot-repot mengaku kepada Gami, meminta Gami mengawasinya, menerima usulan Gami untuk bertemu dengannya, lalu sekarang mengajaknya berpacaran. Menurutnya, tidak ada alasan paling valid dan logis selain cinta."Berapa nomor kamu?" tanya Wira sembari mengeluarkan HP dari saku celana jeans.'Mampus!' Gita melebarkan mata. 'Ini maksudnya nomor Gita, 'kan? Sial! Aku belum nyiapin!'Gita menelan ludah. Ot
"Kita mau ke mana, Mas?"Gita bingung ketika mobil meluncur ke jalan raya. Meninggalkan tempat janjian yang seharusnya."Saya udah enggak mood makan di situ," jawab Wira datar.Pria itu sedang menyalip mobil box dengan kecepatan di atas rata-rata. Kebetulan jalanan memang sedang lengang karena bukan jam makan siang. Saat ini masih jam 10 lewat."Kenapa?" tanya Gita sambil mengulum senyum.Sebenarnya dia tahu jawabannya. Dia yakin alasan Wira tidak mood lagi makan di kafe itu karena kejadian sebelumnya--kejadian di mana dirinya nyaris tertabrak motor.Mungkin--tapi ini hanya sebatas dugaan Gita saja--Wira trauma dengan tempat itu. Ah, bisa juga Wira benar-benar mengira bahwa Gita shock setelah nyaris berurusan dengan marabahaya.Apakah benar Gita merasa shock seperti yang dikatakan Wira kepada pemotor tadi? Hohoho! Tentu saja ... tidak. Alih-alih shock, Gita malah terpegun menyaksikan ketampanan paras Wira dari angle yang berbeda.
Setelah kemarin malam Wira mengiakan tawarannya, hari ini Gami tersenyum sepanjang hari. Bahkan ketika berubah menjadi Gita pun deretan giginya yang rapi, tapi kekuningan itu masih saja terkena angin.Maksudnya, dia terus tersenyum lebar. Tak peduli deretan giginya mengering terkena angin."Kayaknya lagi bahagia banget, ya, Mbak?" tanya sopir taksi online sambil tersenyum penuh ledekan. Dia melirik Gita yang duduk di kursi belakang melalui pantulan cermin yang menggantung di dashboard atas.Sepengamatan si sopir, sejak masuk mobil hingga seperempat perjalanan, penumpangnya yang menawan itu terus saja semringah. Bahkan kadang menyenandungkan lagu riang."Mau ketemu cowok terkasih, ya?" tebaknya. Hapal dengan jenis senyuman orang kasmaran.Gita terkekeh. "Tau aja si Bapak. Keliatan banget, ya?""Waaah, jadi benar, ya, udah ada yang punya? Padahal tadi cuma iseng nebak. Kalau gini, berarti saya enggak bisa ...."Sopir itu sengaja menggan
"Saya minta maaf."Gami merapatkan kedua pangkal alisnya. "Buat apa?" tanyanya tak mengerti, apa yang membuat Wira merasa perlu meminta maaf."Ya, karena saya udah menodai kakak kamu. Saya tau minta maaf aja enggak cukup, tapi ... semuanya udah terjadi. Saya enggak bisa apa-apa."Kerutan di kening Gami terurai. Tadinya dia ingin tersenyum lebar dan berkata, "Enggak apa-apa kali, Mas. Toh, kalian udah sama-sama dewasa. Umur kalian juga udah saatnya menikah. Jadi, ya, wajar kalian penasaran pengin nyoba begituan."Namun, setelah berpikir ulang, Gami urung menyalurkan kalimat demikian. Menurutnya, respons seperti itu sangat tidak wajar mengingat selama ini dirinya begitu gentol mengejar Wira. Respons paling wajar yang terlintas di kepalanya adalah mendengus kesal atau memaki sesekali.Sayangnya, Gami telanjur bersikap lembek di awal. Jadi, rasanya akan semakin aneh jika dia mengamuk dan memaki.'Jadi sekarang aku musti gimana?'Soal mene
"Ngomong, Mas!" pinta Gami sambil menarik tatakan kayu berisi chicken cheese burger ke hadapannya."Nanti aja! Makan dulu!" Wira sudah lebih dulu memotong dan menyuap chicken steak-nya. Makan dengan gerakan dan kunyahan yang cepat."Sambil menyelam minum air. Sambil makan, 'kan, bisa cerita.""Saya enggak mau dimuncratin kunyahan burger.""Emangnya semengejutkan apa, sih, cerita yang mau Mas omongin sampai udah bisa prediksi kalau saya bakalan muncrat?"Bungkam. Pria itu lebih tertarik mengunyah makanannya dalam keadaan bibir mengatup daripada harus menanggapi pertanyaan Gami.Semakin ke sini, menguatlah kecurigaan Gami. Hampir 90% keyakinannya mengarah pada topik 'kesalahan' sepuluh hari yang lalu.Anehnya, Gami tidak merasa se-excited sebelumnya. Dia malah was-was melihat gelagat Wira yang mengkhawatirkan."Apa, sih, Mas?" Gami mencoba kembali mendesak. Namun, nada desakan serta ekspresi wajahnya dibuat sesantai mungkin. Bahk
"Harusnya Mas Wira ngomong dulu kalau mau ngajakin nge-date." Gami mengulum senyum sambil melepaskan sabuk pengaman."Tau kayak gini, 'kan, saya pakai baju bagus," tambahnya. Kemudian terkikik sendiri.Gami sadar ini bukan kencan. Dia hanya menggoda Wira karena sejak tadi, pria itu menyetir dalam keadaan tegang. Kekakuan wajahnya mungkin sudah mengalahkan kanebo kering.Saat ini mobil telah menepi di parkiran kafe. Sebelumnya, Wira mengajak Gami pergi karena ingin membicarakan sesuatu. Namun, dia tidak mengatakan ke mana tujuannya dan apa topik yang akan dibahas.Gami pikir mereka akan pergi ke petshop. Makanya dia hanya memakai pakaian ala kadarnya. Bahkan tidak berdandan. Dia hanya merapikan kuciran, menabur bedak bayi ke wajah, lalu mengusap tissue parfum ke leher dan baju.Seandainya dia tahu akan merapat ke kafe dan berbaur bersama pemuda-pemudi gaul, dia tidak akan ragu memakai kaus dan jeans baru yang baru dibeli melalui marketplace.
“Loh? Kok, bikin kopi sendiri, sih, Mas?”Gami baru saja masuk dapur setelah membersihkan rumah kucing. Tadinya dia ingin membuatkan Wira kopi, seperti kebiasannya setiap pagi. Sayang, dia kalah cepat dengan Wira yang ternyata sudah menyeduh kopinya sendiri.Pria itu hanya tersenyum tipis dan singkat. Tidak sedetik pun menatap Gami. Tangannya sibuk memutar sendok, mengaduk seduhan kopinya.Gami menghampiri dalam keadaan manyun. “Yaaaah, kalau Mas Wira udah bikin kopi, saya bikin apa, dong?”“Bikin aja buat diri kamu sendiri,” sahut Wira kalem. Kemudian menjauh meninggalkan dapur.Sikap Wira membuat kening Gami berkerut. Kepalanya teleng ke kiri dan kanan. “Kayaknya ada yang aneh sama Mas Wira, tapi apa, ya?”Tidak ingin menyimpan pertanyaan lebih lama lagi, Gami pun beranjak mengejar Wira. Mengintilinya sampai ke ruang keluarga."Mas Wira kapan sampai?" tanyanya basa basi, meskipun seben
“Bang!”Gami mencolek lengan Dira. Berdiri di sebelah kursi pria itu. Bibirnya manyun lima senti.“Apa?”Dira bertanya tak acuh. Melirik pun tidak. Keasyikan melahap makaroni schotel buatan Adisti.“Si Mas Ganteng kapan pulang?” Tentu saja orang yang dimaksud adalah Wira. “Ini udah seminggu, loh, Bang. Kenapa dia enggak balik-balik?”Beberapa hari ini Gami uring-uringan karena Wira tak kunjung pulang. Padahal Dira sudah pulang empat hari yang lalu.“Ini pasti gara-gara Abang bawa pulang mobilnya, ‘kan? Jadinya Mas Wira susah pulang,” tuduhnya serta merta.Ini bukan kali pertama Gami menuduh seperti itu. Makanya tidak heran kalau Dira hanya menanggapi dengan decakan lidah. Jengah.“Berapa kali, sih, musti saya bilangin? Dia itu enggak pulang gara-gara kecantol sama tetangga sebelah yang baru pindahan.”“Keji sekali dustamu, Rhoma! Bisa-bis
“Heh! Ngapain di sini?” tanya Adisti yang berdiri di ambang pintu. Tangannya bertahan di gagang seolah sewaktu-waktu pintu itu siap ditutup kembali atau didorong lebih melebar lagi.“Mau tidur, lah. Emangnya mau ngapain lagi?”Gami menjawab sambil memeluk guling. Mengulum senyum. Memejamkan mata. Menghidu aroma yang menguar dari sarung guling itu.‘Aromanya Mas Wira banget, nih.’Saat ini, Gami membaringi ranjang Wira. Nostalgia dengan momen panas yang terjadi pada subuh dan pagi tadi. Ingin mengingat dan membayangkan lagi, bagaimana sensasi degupan jantung saat berada di bawah tindihan Wira. Memandang dan menikmati ketampanan wajah Wira dari sudut terdekat.“Jangan ‘ngadi-ngadi’, deh, ya! Bangun! Balik ke kamar kamu sana!” pinta Adisti dengan tegas.“Enggak mau! Saya mau tidur di sini.”Gami bersikukuh. Semakin erat memeluk guling. Membuat Adisti berdecak kesal.