"Aku tak lagi bercanda, Fatimah Zahra. Aku ingin menjadikanmu ratu dalam istana hatiku. Aku ingin kamu menjadi ibu untuk anak-anak kita kelak. Merajut mahligai pernikahan yang hanya ada kamu dan aku." Pak Aziz menatapku lekat. Aku lihat sorot kejujuran di sana. Namun entah mengapa aku tak percaya. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Wanita yang duduk di sampingku itu tampak kebingungan. Beberapa kali menatapku penuh tanda tanya. Aku sendiri memilih diam, bingung harus menjawab apa. "Saya meminta Fatimah untuk menjadi istri saya. Apa Bapak mengizinkan?" tanyanya lagi karena aku membisu, tenggelam dalam rasa kebimbangan. "Saya menyerahkan semua keputusan pada Fatimah, Nak Aziz dan ibu." Bapak menatapku, "bagaimana, Nduk? Kamu menerima lamarannya atau tidak?"Perlahan aku mengatur napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Kembali kutatap Pak Aziz. Lelaki itu menatapku penuh harap. "Bagaimana, Ara? Kamu menerima lamaranku, kan?""Maaf, Pak Aziz. Saya belum siap menikah lag
"Siapa, Fat?" tanya Mbak Mimi dan Hani bersamaan. Keduanya menyikut lenganku. Tak lupa sorot tanda tanya tergambar jelas di mata keduanya. "Kenalkan saya Toni, mantan suami Fatimah."Tangan mengepal di samping. Dalam hati beristigfar, agar amarah tak meledak. Ah, kenapa juga harus bertemu lagi dengan Mas Toni? Di tempat ini pula. "Beneran, Fat?"Sebuah anggukan seketika membungkam pertanyaan mereka. "Sekarang kamu kerja di sini, Fat?" tanyanya seraya mendekat ke arahku. "Iya, permisi, aku buru-buru!" Aku membalikkan badan, dengan cepat melangkah meninggalkan lobi kantor. Aku terdiam beberapa saat di atas motor. Mengatur napas yang terasa sesak. Lagi sebuah tanda tanya tergambar jelas di kepala. Namun entah kutanyakan pada siapa. Apa kepala Dia yang Maha Mengetahui segalanya. Tetapi aku bisa apa... Jika kenyataannya skenario ini yang harus kumainkan. Aku hanya lelah, bertatap muka dengannya untuk beberapa waktu yang cukup lama. Pengkhianatan yang ia berikan menjadikan luka yang s
"Kamu mau makan dengan siapa, Ra? Aku atau dia?" tanya Pak Aziz seraya menunjuk Mas Toni. "Maaf, aku mau makan dengan teman-temanku saja. Permisi," ucapku seraya menarik tangan Mbak Mimi. Kami berjalan tergesa menuju lantai bawah. Meninggalkan dua lelaki yang masih berdiri di dekat pintu. Aku tahu mereka menatapku tapi aku pura-pura tak mengetahuinya. "Gila, keduanya ngejar kamu, Fat.""Satu pengen rujuk, satunya pengen jadian. Mau pilih mana?" tanya Mbak Mimi saat kami berada di kantin kantor. Aku menghela napas, bingung harus menanggapi bagaimana. Jika mereka tahu Rio juga menaruh hati padaku. Entah bagaimana ekspresi mereka nanti. Terkejut apa mungkin pingsan? "Gak bisa mikir aku, Mbak. Aku pengennya sendiri dulu. Trauma dikhianati.""Tapi gak semua lelaki seperti mantan suami kamu, Fat."Aku mengangguk, memang tak semua lelaki sama. Namun tak menjamin Pak Aziz atau Rio tak melakukan yang hal yang sama. Aku hanya membutuhkan waktu untuk kembali percaya dengan lelaki. Kami men
"Kamu mau apa, Mas?" Aku mundur beberapa langkah hingga punggung menempel di dinding kamar. Mas Toni tersenyum menyeringai, melangkah mendekat padaku. "Kamu tidak merindukan aku, Fat? Bukankah sudah lama kita tidak melakukannya? Aku saja sangat merindukan setiap sentuhan yang selalu kamu berikan, dulu.""Pergi! Jangan mendekat!" Aku lempar bantal, guling dan semua barang yang ada di sekitarku. Namun Mas Toni dengan lihai menangkis setiap seranganku. "Percuma, Fat. Kamu lupa seperti apa aku ini."Aku menelan ludah dengan susah payah. Pikiran buruk seketika mendominasi. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Bagaimana kuhajar setan berwujud manusia itu? "Istighfar, Mas. Aku dan kamu sudah berpisah. Tak seharusnya kamu melakukan ini.""Aku tak perduli, Fatimah. Aku hanya ingin kamu. Kenapa kamu semakin menarik setelah kita berpisah? Kenapa tak dari dulu, saat kamu masih menjadi istriku?" "Bagaimana mau cantik, jika kamu hanya memberi nafkah seuprit. Kamu biarkan aku mengurus ini dan it
"Apa-apaan ini, Bu?" Aku lirik wanita di sebelahku. Namun dia justru memintaku diam."Mari masuk, Bu," ucap ibu ramah. Pak Aziz menyalami kedua orang tuaku dengan ramah, tak lupa mencium punggung tangan mereka dengan takzim. Aku melongo saat memperhatikan tingkah mereka. Di sini aku seperti penonton, tak tahu cerita yang tengah dipertontonkan. Kali ini bukan hanya Pak Aziz dan Bu Saida. Ada pula dua orang wanita yang datang membawa buah tangan. Dari raut wajah, mereka berdua masih remaja, mungkin sekitar tujuh belas dan dua puluhan. Namun aku tak tahu siapa mereka. Kami duduk saling berhadapan. Entah kenapa perasaanku tak enak. Ini seperti acara lamaran, bukan bertamu pada umumnya. "Perkenalkan ini Sahkila dan Salwa," ucapnya seraya menunjuk dua gadis yang duduk di sebelah kanan dan kirinyaGadis yang berumur dua puluhan itu bernama Sahkila, dan yang satunya bernama Salwa. Keduanya adalah adik kandung Pak Aziz. Baru kali ini aku tahu, karena memang kami tak saling kenal sebelumnya
Aku mundur ketika wajahnya kian mendekat. Hingga tubuh menempel di pintu mobil. Namun lelaki itu terus saja mendekat. "Mas Aziz jangan macam-macam, ya! Ingat kita belum halal!"Lelaki justru tersenyum sambil mendekatkan tubuhnya. Awas saja kalau dia menyentuhku. Akan kutendang pusaka miliknya. "Kalau makan, nasi dimasukkan. Jangan dibiarkan menempel di pipi," ucapnya seraya mengambil sebutir nasi yang tertinggal di pipiku. Seketika aku menundukkan kepala, malu. Bahkan aku ingin menenggelamkan tubuhku ke dasar bumi. Aku tak sanggup beradu pandang dengan dia. Astaga, kenapa kepala traveling ke mana-mana? "Sepertinya kamu ingin segera dihalalkan, ya, Ra?"Aku mendongakkan kepala, menatap tajam lelaki yang kini menertawakan diriku. Dia pikir aku komedian yang pantas diapresiasi dengan sebuah tawa dan senyuman. Ah, menyebalkan. Tak tahukan jika aku menahan malu saat menatap wajahnya. Malu atas kecerobohanku sendiri. "Ra, kita menikah minggu depan, ya," ucap Pak Aziz seraya menatap ke
Pov AzizSegera kulangkahkan kaki menuju ruangan. Sesekali menatap kiri dan kanan, mencari keberadaan Zahra yang terlebih dahulu masuk ruangan. Namun tak nampak batang hidungnya. Dia pasti sudah berada di depan meja kerja, menatap layar komputer dengan seksama. Fatimah Zahra, gadis biasa yang mampu membuatku jatuh cinta. Entah karena apa, aku sendiri tidak mengetahui alasannya. Aku hanya selalu ingin menatap wajah dan senyum manis yang terukir di sana. Cinta memeng membutakan mata dan logika. Itu yang aku rasakan kini. Pintu ruangan kubuka perlahan. Seketika mata membola melihat seorang wanita duduk manis di sofa. Dia menatap lekat netra ini. Tatapan yang membuatku merasa tak nyaman, tatapan mengintimidasi. "Dari mana saja kamu, Mas?" "Dari makan siang."Aku terus melangkah dan duduk di kursi. Tak kupedulikan kehadiran Trisha di sini. Kembali kukerjakan laporan yang ada di atas meja. Memeriksa setiap angkat yang tertera di sana. Apakah telah sesuai atau ada perbedaan. "Aku lagi
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Menyesuaikan cahaya yang tertangkap retina. Sebuah ruangan dengan warna putih dan bau obat-obatan menyengat di hidung. "Aku di mana?" lirihku. "Kamu udah siuman, Ra?" tanya dua orang lelaki yang berdiri di hadapanku. Aku pijit kepala yang terasa berdenyut. Gerakan tubuhku terhenti saat kepala semakin berputar-putar. "Kamu kenapa bisa terkunci di kamar mandi, Ra?" tanya Rio. Kembali kupaksakan kepala untuk berpikir. Ya, aku sempat terkunci di kamar mandi. Kemudian terpeleset karena tak hati-hati melangkah. "Gak tahu, tau-tau pintunya gak bisa dibuka. Mungkin rusak.""Atau mungkin ada orang yang iseng ngerjain kamu, Ra."Aku mengernyitkan dahi, sedikit bingung dengan ucapannya. Siapa juga yang iseng denganku? Aku saja tidak memiliki musuh di sini. Setelah diperiksa dan diberi vitamin, aku pun diantar pulang oleh Pak Aziz. Sementara Rio dan Hani pulang kembali ke kantor terlebih dahulu. Hening, sepanjang jalan tak ada kata yang keluar dari mulu