Mata Veronica mengerjap, tidak mempercayai apa yang baru saja ia lihat saat ini, terus memandangi sosok pria setinggi 185 sentimeter yang menatapnya sambil menyunggingkan senyum hangat yang sanggup menyilaukan mata siapa pun yang melihatnya. Seperti dia yang sekarang berusaha mati-matian menenangkan jantungnya yang berisik hanya karena melihat senyuman pria asing itu. Senyuman itu anehnya, jauh lebih menyilaukan dari senyuman yang selalu diperlihatkan Bianca pada semua wanita yang ditemuinya.
“Ya?” ujarnya, setelah ia berhasil mengendalikan diri, mengontrol debaran jantungnya yang tidak lagi sekencang tadi. “Dari mana Anda tahu nama saya?”
Pria itu tanpa sungkan menarik kursi itu sebelum meminta izin pada mereka semua, duduk di kursi dengan kedua matanya yang masih menatap Veronica, meletakkan kembali buku menu itu di atas meja. Erna juga tampak syok mendapati kehadiran sosok pria itu, karena temannya itu sama sekali tidak mengatakan apa pun dengan mulut yang setengah terbuka, sebelum mata Erna dihalangi oleh tangan Bianca yang sudah melemparkan tatapan tajam ke pria itu.
“Siapa kamu!? Apa kamu nggak tahu kalau di sini wilayah kekuasaan Pedrosa?”
Erna yang kini sudah berhasil menguasai diri, kebingungan mendengar pertanyaan Bianca yang menurut wanita itu aneh, begitu juga dengannya yang mengernyit, tidak mengerti kenapa Bianca menyinggung nama keluarganya yang jarang dibicarakan.
“Woah, tenang, tenang. Aku nggak maksud menyerang wilayah kalian. Aku masih punya etika. Aku di sini hanya untuk menjemput orang yang diminta temanku,” ujar pria itu, tampak tidak terganggu oleh tatapan Bianca. Pria itu kini menggenggam tangannya, tidak mempedulikan Bianca dan Erna, “Nggak nyangka, kamu sudah tumbuh jadi wanita secantik ini.”
“Jangan mengabaikanku, Bedebah!” Bianca menarik kerah pakaian pria itu, seketika menarik perhatian pengunjung kafe yang memang tidak banyak orang saat ini. “Menjemput, menjemput! Dari baumu saja sudah mencurigakan! Mau bawa Veronica ke mana kamu!”
“Mencurigakan? Aku?”
“Memangnya ada siapa lagi selain kamu di sini, Bajingan!”
“Ah, benar juga. Aku terlalu langsung, ya?” Pria itu tertawa pelan, melepaskan cengkeraman Bianca dengan mudahnya. “Oh, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Stephen Laurent. Aku di sini atas permintaan temanku, Karl Smith. Kamu sudah menerima sepatunya, kan?”
“Sepatu?” Veronica melirik ke arah tasnya yang ada di sampingnya, hendak mengeluarkan sepatu itu dari tasnya saat tangan pria itu bergerak menghentikan gerakannya. “No, no. Jangan sekarang.”
Amarah Bianca mereda seketika begitu mendengar alasan pria bernama Stephen. “Hanya itu alasannya? Tidak lebih?”
“Ya. Aku datang buru-buru, jadi baru lima menit yang lalu mengonfirmasi keluargamu.”
“Akan kucek.” Bianca meraih smartphonenya, sibuk menghubungi seseorang, mengabaikan Erna yang masih tidak memahami situasi yang terjadi. Berkali-kali temannya itu memandang ke arahnya, menunggu penjelasan, tapi ia sendiri juga tidak mengerti.
“Ya, cukup sampai di sini saja pembicaraan kita,” ujar Stephen setelah melirik arloji yang terpasang di pergelangan tangan kirinya, menampilkan struktur tulang tangannya yang tegas. “Waktuku nggak banyak karena masih banyak yang harus kuurus. Bisa kita pergi sekarang, Nona Veronica Darren?”
Ia agak ragu, memandang ke Bianca yang masih mengobrol dengan seseorang di ujung telepon. Wajah wanita itu awalnya tegang, lalu berubah lega sambil sesekali mengangguk.
“Aku mengerti. Sampai nanti.”
Temannya itu menutup telepon, tidak lagi seketus tadi. “Oke, Laurent. Aku baru saja mengonfirmasi perkataanmu tadi. Sebagai bayaran karena mendadak datang, izinkan aku dan Erna bertemu dengan temanmu itu. Kami ingin lihat seperti apa pria yang mengincar teman kami ini.”
“Akan kuusahakan—bukan, akan kupaksa dia melakukannya. Sebagian besar juga salahnya,” sahut Stephen, santai, seraya menarik pergelangan tangan Veronica. “Kami pergi dulu. Tidak apa, kan?”
“Tentu. Tapi antar dia pulang setelah urusan temanmu itu selesai. Tahu kan apa konsekuensinya kalau berani berbuat yang tidak-tidak di teritori orang lain?”
“Aku tahu. Pasti akan kuantar pulang. Kamu bisa pegang kata-kataku.”
Agak enggan, ia mengambil tasnya yang segera diambil alih oleh Stephen yang mempersilakannya untuk berjalan mendahului pria itu. Benar-benar sikap seorang gentleman sejati. Pria itu berjalan di sampingnya, membukakan pintu kafe itu dan menuntunnya menuju mobil hitam yang terparkir rapi di depan kafe. Begitu mereka tiba di depan mobil itu, Stephen membukakan pintu mobilnya, mempersilakannya masuk dengan tangan pria itu yang berada di atas kepala Veronica, memastikan ia tidak terantuk langit-langit mobil. Lalu setelah ia masuk, pria itu menutup pintu mobilnya, berlari kecil menuju kursi kemudi dan meninggalkan area kafe itu.
***
Veronica mengenggam erat roknya, tidak berani menatap Stephen yang fokus menyetir. Matanya terus menunduk ke bawah, memainkan kedua kakinya, lalu meringis, menyadari ia terlalu berlebihan menggerakkan kaki prostetiknya hingga menggores lututnya.
“Kenapa!? Apa ada yang sakit? Apa mau berhenti dulu?” Perhatian Stephen teralih dari kemudinya, memandang Veronica khawatir.
“Tidak, bukan hal besar. Lututku hanya tergores.”
“Ah.” Pria itu menggumam lega, kembali memfokuskan pandangannya ke arah jalan. Menggunakan tangan kirinya yang bebas, pria itu membuka laci mobil di depan Veronica, mencari sesuatu sampai akhirnya menemukan krim salep.
“Pakai ini untuk meredakan nyeri di lututmu. Pasti berat kan, berjalan dengan kaki prostetik seharian?”
Matanya mengerjap keheranan, tapi ia tetap menerima krim salep itu. “Anda tahu?”
“Tentu. Panggil saja aku Stephen. Kita nggak perlu bersikap formal, karena dalam waktu dekat kita akan sering bertemu.”
“O-oh…” Veronica melepaskan kedua kaki prostetiknya, menyadari bahwa pria itu menurunkan kecepatan laju mobilnya agar bisa memberinya kesempatan untuk mengoleskan krim itu di lututnya. Pelan-pelan, ia mengoles krim itu.
“Nama yang indah. Tidak keberatan kan, kalau kupanggil Nikki?”
“Tidak.”
“Bagus.” Pria itu tersenyum puas. “Aku memang tertarik padamu sejak melihatmu di kafe tadi, tapi yah, temanku sudah lebih dulu menyukaimu dan aku bukan tipe orang yang menusuk sahabatnya sendiri dari belakang, jadi aku mundur dulu. Untuk sekarang.”
“Maksudnya?”
“Tidak apa jika tidak mengerti. Aku hanya berbasa-basi,” ujar pria itu lagi.
“Oh.” Veronica mengangguk, walaupun tidak mengerti maksud perkataan pria itu tadi. “Ngomong-ngomong, maaf soal tadi.”
“Hm, soal apa?”
“Temanku tadi sudah tidak sopan, membentakmu seperti tadi. Tapi dia bukan orang jahat, kok! Biasanya dia orang yang lembut. Tipe yang suka tebar pesona sana-sini, sih, tapi bukan orang yang mudah marah. Jadi aku minta maaf, mewakili temanku tadi.”
“Minta maaf? Untuk apa? Wajar, kok.” Stephen terkejut mendengar perkataannya. “Aku masuk ke wilayahnya secara mendadak. Wajar dia merasa awas.”
“Masuk ke wilayah? Dari tadi aku tidak mengerti pembicaraan kalian berdua soal wilayah. Apa sebenarnya yang kalian maksud dengan wilayah?”
“Wilayah, ya wilayah. Teritori masing-masing kelompok yang harus dijaga.” Stephen menjawabnya lugas.
“Makanya kutanya. Maksudnya wilayah itu apa? Aku nggak ngerti.”
Stephen menoleh sekilas, menaikkan sebelah alisnya. “Loh, kamu nggak tahu sama sekali atau pura-pura nggak tahu?”
“Menurutmu?”
“Bener-bener nggak tahu, nih? Kujelasin aja deh, biar nggak rumit.” Stephen menepikan mobilnya ke tempat yang sepi, lalu mematikan mesin mobilnya, mendekat ke arahnya. Hidungnya menangkap aroma parfum yang dikenakan pria itu, membuatnya entah kenapa merasa nyaman. Memunculkan perasaan aman yang sudah lama tidak ia rasakan.
“Begini. Kamu tahu legenda soal vampir, manusia serigala, warlock, dan naga, bukan?”
Ia mengangguk, mencoba menebak arah pembicaraan mereka saat ini.
“Mereka semua itu nyata. Dan tunggu, aku tahu apa yang kamu pikirkan sekarang. Mungkin menurutmu ini aneh, tapi mereka semua itu nyata. Contohnya, aku yang ada di depanmu saat ini. Aku ini manusia serigala, begitu juga dengan Bianca yang vampir.”
“Serigala? Vampir?”
“Lalu temanku yang sebentar lagi akan kamu temui itu adalah naga. Umurnya sudah delapan ratus tahun, tapi bukan berarti dia tipe naga yang konservatif seperti naga pada umumnya yang harus kuakui, menjengkelkan sekali.”
Kepalanya mendadak pusing mendengar penjelasan aneh yang baru saja diucapkan pria itu tadi. Ia mengangkat tangan kanannya, meminta pria itu memberi waktu sejenak padanya untuk mencerna informasi absurd yang baru saja ia terima dari pria itu tadi.
“Bisa kita lanjut? Waktuku nggak banyak.”
“Tunggu.” Veronica menyusun semua kepingan informasi yang baru ia dapatkan tadi, lalu mengangguk. “Ya, silakan lanjutkan.”
“Bagus. Berbeda dengan cerita legenda urban yang selalu mengatakan bahwa kaum vampir dan serigala itu saling bermusuhan, vampir dan serigala dalam kehidupan nyata sama sekali tidak bermusuhan. Justru kami itu malah satu aliansi. Yang membedakan hanya kaum vampir lebih peka terhadap sinar matahari dan suka sesuatu yang berbelit-belit. Semakin tinggi peringkat mereka, pesona mereka akan semakin meningkat. Kaum serigala, di lain pihak, jauh lebih fleksibel. Kami sangat membenci kaum naga karena kesombongan mereka yang bisa bertahan hidup lebih lama daripada kami. Pengecualian pada temanku yang kukatakan tadi. Nanti kamu akan tahu setelah bertemu dengannya. Sampai di sini, kamu mengerti?”
“Ng… ya. Mungkin.”
“Kuanggap iya. Udah selesai? Kalau gitu pasang lagi kaki prostetikmu dan gunakan sepatu pemberian temanku tadi. Karena itu tanda agar kamu bisa masuk ke wilayah temanku nanti. Atau perlu kupakaikan?”
“Nggak. Aku bisa pakai sendiri,” jawab Veronica, menunduk, menyembunyikan raut wajahnya yang merona karena membayangkan pria itu memakaikan sepatu itu padanya.
“Sayang sekali. Padahal aku mau.”
Veronica mengepalkan kedua tangannya, mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mewujudkan apa yang baru saja ia bayangkan tadi. “Ka-kalau begitu, kalau tidak keberatan…”
Pria itu bergeming sesaat, tampak syok, sebelum pria itu tersenyum lembut padanya. “Tentu. Aku nggak keberatan. Sama sekali nggak. Akan kupakaikan begitu kita sampai di tempat temanku nanti.”
Suasana mendadak canggung. Pria itu mengelus belakang lehernya, tampak sedikit merona, tidak berani menatapnya. Begitu juga dengannya. Tidak ada satu pun dari mereka yang mencoba berinisiatif untuk memecah suasana hening yang mereka ciptakan sendiri. Lalu pria itu berdehem, menyalakan mesin mobilnya dan kembali melajukan mobilnya meninggalkan tempat mereka.
***
Veronica tidak mampu lagi menyembunyikan keterkejutannya begitu memasuki apa yang disebut Stephen sebagai rumah dari temannya yang bernama Karl Smith. Butuh waktu lima belas menit mengitari halaman depan kediaman Karl Smith. Sesekali ia melihat beberapa pria berseragam hitam yang sama sekali tidak menyembunyikan ketidaksukaan mereka saat melihat kehadiran Stephen. Pria itu sendiri tampaknya tidak menggubris respon mereka yang tidak sopan itu, malah bersiul pelan, seolah tidak menyadarinya.Ah, ralat. Pria itu jelas-jelas menyadarinya. Buktinya, tanpa ragu Stephen menabrakkan mobil yang dikendarainya tadi ke tiga orang pria yang berdiri menghadang mobil mereka. Dengan santainya Stephen membuka kaca jendelanya, menyembulkan kepalanya dari kaca jendela sambil tertawa pelan.
Veronica terus bengong. Membiarkan Stephen yang baru saja kembali setelah urusannya selesai itu mengantarkannya pulang ke rumah. Mentalnya terguncang setelah pernyataan cintanya yang menurutnya terlalu mendadak sehingga ia tidak menyimak kata-kata Karl selanjutnya. Otaknya seketika kosong. Seperti sebuah buku ukuran F4 yang masih berwarna putih, kehilangan semua coretan yang sempat menghiasi buku itu. Tidak bisa memproses apa yang baru saja ia dengar dari pria rambut hitam berwajah oriental itu. Bahkan ia lupa mengucapkan terima kasih pada Stephen yang sudah mengantarkannya pulang.“Nikki? Halo?”Tepukan keras di bahunya berhasil menyadarkannya. Ia berbalik, memandangi Stephen yang berdiri di belakangnya, tertawa pelan melihatnya.
Baru kali ini ia, Stephen Laurent, gugup.Membawa sebuket bunga mawar merah yang biasanya selalu disukai oleh semua wanita yang menjadi pacarnya, Stephen terus menunggu penuh cemas sambil menekan tombol bel apartemen Veronica.Kemarin, Nikki marah padanya, dan ia tidak mengerti alasan kenapa wanita itu marah. Ia tidak merasa mengatakan sesuatu yang membuat wanita itu tersinggung. Justru ia memilih dengan cermat setiap ucapannya agar tidak menyakiti perasaan Nikki, mengingat kondisi wanita itu yang spesial. Walaupun ia masih belum mengerti alasan di balik kemarahan Nikki, lebih baik ia meminta maaf. Biasanya, buket bunga mawar yang masih segar dan organik ini akan selalu berhasil menyelesaikan semuanya.
Setelah menurunkannya di depan gedung kampusnya, Stephen langsung meninggalkannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Padahal pria itu berjanji akan menjelaskan semuanya saat di mobil. Sesaat, ia melihat wajah Stephen yang begitu cemas, sehingga ia berusaha memaklumi sikap Stephen.Ia menghela napas panjang, merapikan barang-barangnya yang ada di atas meja. smartphonenya yang ia ubah ke mode getar agar tidak mengganggu konsentrasinya saat ia di kelas tadi bergetar beberapa kali, menandakan ada panggilan masuk. Ia menghentikan sejenak aktivitas merapikan barang-barangnya, meraih smartphonenya yang berada di sebelah kanannya, menekan tombol hijau begitu melihat nama yang tertera di layar smartphonenya.“Halo, Kak,” ujarnya, sambil menj
Mata Bianca sekilas melirik ke arah luar, melihat Veronica yang mengobrol dengan pria yang kemarin, Stephen Laurent. Bukan tipe pria yang bisa ia percaya untuk menjaga Veronica sebenarnya. Tapi kakak laki-lakinya—Theodore Pedrosa, memintanya untuk mempercayai pria itu. Kalau kakaknya percaya pada pria itu, berarti ia harus percaya. Ia tidak mengerti kenapa Theo bisa dengan mudahnya memberi izin pada pria itu tanpa mempedulikan protokol izin masuk teritori seperti yang biasanya selalu ditekankan pada semua serigala dan vampir yang berniat masuk ke dalam wilayah Pedrosa. Pria itu meminta izin lima menit sebelum memasuki wilayah keluarganya. Lima menit. Padahal seharusnya, jika pihak asing ingin memasuki wilayah Pedrosa, izin itu baru bisa diperoleh paling cepat sehari sebelumnya.Tidak, tidak. Lebih baik ia tidak memikirkannya la
Veronica menatap layar smartphonenya, penuh cemas. Ini sudah seminggu sejak Bianca mengatakan akan menyelidiki vampir-vampir yang mendatangi apartemennya itu, dan sampai sekarang ia belum mendapat kabar dari sahabatnya itu. Berulang kali ia mengirim chat pada Bianca, berharap sahabatnya itu akan membalas pesannya. Sayangnya, tidak ada jawaban. Bahkan dibaca pun juga tidak. Begitu juga dengan Stephen. Sejak hari itu ia tidak mendapat kabar apa pun dari pria itu, membuatnya menyesal karena tidak meminta ID LINE pria itu di hari pertama pertemuan mereka. Sekarang, bagaimana cara menghubungi pria itu?Urgh …Kenapa ia tolol sekali, sih?Ia mengaca
Setibanya di kediaman keluarga Pedrosa—tempat Bianca tinggal, ia segera keluar dari mobilnya sebelum Karl membukakan pintunya. Ia berlari, mencegat salah satu pelayan wanita bermata sendu yang berdiri di samping pintu masuk rumah itu, meminta pelayan itu mengantarkannya ke kamar Bianca. Pelayan itu tampak ragu saat melihatnya, namun begitu Karl yang sudah berhasil menyusulnya berdiri di belakangnya, pelayan itu akhirnya mau mengantarkannya ke kamar Bianca.Tempatnya berada saat ini tampak megah, walaupun tidak seluas mansion Karl. Sedari tadi ia tiba di kediaman Pedrosa, ia melihat banyak orang berjalan keluar-masuk. Kondisi mereka sangat mengerikan. Matanya sempat menangkap dua orang yang memegang tandu, membawa jasad seorang pria yang sudah tidak bergerak lagi masuk ke dalam rumah. Luka yang dialami pria itu sangat para
Sebulan berlalu sejak ia tinggal di rumah Karl setelah mengunjungi upacara pemakaman ibu Bianca. Ia tidak bisa mengundang Erna karena alasan identitas Bianca yang seorang vampir, sehingga mau tidak mau ia terpaksa baru memberitahu Erna beberapa hari setelahnya. Tentunya tidak mungkin berakhir baik-baik. Erna kecewa padanya dan juga Bianca, memutus kontak dengan mereka berdua, membuatnya merasa bersalah. Sama sekali tidak mau menyapanya saat di kampus. Bianca sendiri juga belum menunjukkan batang hidungnya. Mengingat betapa syoknya Bianca waktu itu, ia rasa Bianca masih membutuhkan waktu untuk menerima kematian ibunya. Agak mengejutkan memang, mengingat Bianca sama sekali tidak pernah mengungkit keluarganya. Hanya sekali temannya itu membicarakan keluarganya, itu pun penuh emosi dan kejengkelannya pada kedua orangtuanya yang terus mengasingkan Theo, saat mereka baru saja lulus SMA. Setelah itu, Bianca tidak pernah lag
Nicholas tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar dari bibir Schneider barusan karena dia baru saja selesai makan siang yang disiapkan Askarovich beberapa menit yang lalu. Matanya melebar, berkedip tak percaya, menatap sosok yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi di wajahnya yang menciptakan rasa takut yang kuat dalam dirinya. Semua sel di tubuhnya seakan berhenti bergerak dengan otaknya sulit mencerna situasi saat ini. "Aku sudah selesai denganmu. Apa yang baru saja kukatakan cukup jelas untukmu, Nicholas Southampton?" Pria itu mengulangi kata-kata yang berhasil memberikan efek serangan yang kuat padanya. Dia menundukkan kepalanya, berusaha untuk tidak menangis di depannya. Apakah itu berarti mereka dibuang oleh William, seperti benda, setelah apa yang dia berikan kepada William Schneider — termasuk semua kekayaannya serta rumah besar miliknya milik pria itu? "Apa yang kamu lakukan di belakangku adalah mengacaukan rencana kita. Aku juga tidak ingin melakukannya karena ba
Ketika Erna membuka kedua matanya, dia menemukan bahwa dia tidak lagi berdiri di kamar tidurnya seperti yang terakhir dia ingat, tetapi sedang berbaring di tempat tidurnya dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Pusing menyerangnya saat dia memaksa dirinya untuk bangun dari tempatnya. Dia melihat sekeliling, tidak melihat Bianca bersamanya di sini. Ingatannya yang hilang memang telah kembali, berhasil mengisi kekosongan yang dia rasakan selama ini. Dari saat ia dan Alec terpaksa meninggalkan kediaman setelah menemukan keberadaan monster dengan wujud yang sulit untuk dideskripsikan, ia berhasil membunuh semua penjaga yang ditempatkan di kediamannya, serta para pelayannya. Darah menggenang di hampir setiap sudut ruangan, dengan ekspresi masing-masing mayat yang dipenuhi rasa takut hingga sulit untuk dilupakan. Dia tidak bisa membayangkan rasa sakit yang mereka rasakan sebelum menghadapi kematian mereka sendiri. Mungkin mereka berteriak kesakitan. Atau mungkin monster itu membunuh mereka
Stephen meletakkan jarinya di sisi kanan tabletnya, membuka kunci layar. Sekarang layar tidak lagi menampilkan layar hitam kosong, menunjukkan kepada mereka titik-titik lokasi terjadinya serangan. Jari-jari Karl menggerakkan layar, sesekali mencubit untuk memperbesar atau memperkecil ukuran denah area Laurent, dan untungnya, Karl berbaik hati memberinya lebih banyak ruang sehingga dia juga bisa melihat apa yang ada di layar tablet. Ada banyak titik merah di sana—pertanda bahwa area tersebut telah berhasil diambil alih oleh kelompok musuh, menyisakan dua titik hijau yang menjadi satu-satunya area yang tersisa.Artinya, Schneider berada di balik serangan ini, gumamnya pada dirinya sendiri.Perhatian Stephen kemudian beralih padanya, menatapnya dengan tatapan bersalah. "Dan untuk informasi Anda, saya memberi tahu Anda bahwa tidak ada sesi latihan dengan Isabella hari ini, bukan karena saya melarang Anda--seperti yang mungkin Anda pikirkan--""Dan itulah yang kupikirkan," dia menyela, seka
Pria itu masih menatapnya dengan alis terangkat ketika dia mendengar kata-katanya, sementara dia berdehem, mencoba menghentikan suasana canggung yang tercipta begitu dia selesai berbicara. "Kamu bilang apa? Kamu sudah tahu tentang itu?" Dia mengangguk, membenarkan kata-kata pacarnya. Pria itu bergumam dengan suara yang lebih rendah pada dirinya sendiri, berbicara dalam bahasa yang terdengar asing di telinganya sebelum wajahnya berubah muram. "Apakah kamu baik-baik saja?" "Daripada itu, kenapa kamu tidak memberitahuku tentang kakak laki-laki Stephen?" dia meludah, berusaha menahan amarah yang dia tidak tahu mengapa mulai muncul di dalam dirinya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku bahwa makhluk yang menyerangku berumur dua belas tahun bukanlah serigala biasa, tapi manusia serigala?" Pria itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Diam saja, seolah laki-laki itu ingin memberinya kesempatan melampiaskan seluruh amarahnya pada laki-laki itu. Sikap pacarnya saat ini sedikit mengingatkannya pa
Sejak hari itu, semuanya telah berubah. Itu tidak seperti dulu.Mata Veronica tertuju pada Stephen yang sedang berbicara dengan beberapa orang di depan pintu masuk dengan wajah tegang, tidak langsung mengajak mereka masuk ke dalam mansion. Tangannya mencengkeram smartphone-nya erat-erat, membiarkan saluran TV di ruang tamu memutar serial N*****x favoritnya, Shadowhunters, dengan episode terakhir Season 4 yang tak lagi menarik baginya."Situasinya terlalu berisiko bagi kami, Bos."Dia mendengar salah satu orang berbicara dengan nada yang sedikit lebih tinggi daripada yang lain di sekitarnya yang berbicara dengan nada setengah berbisik — kemungkinan besar permintaan Stephen untuk memastikan dia tidak mendengar apa yang mereka diskusikan di pintu masuk mansion. . Lagipula, Stephen sudah aneh sejak awal. Jika pria itu tidak ingin dia mendengar seluruh percakapan 'rahasia', mengapa dia tidak membawa 'tamu' ke ruang pertemuan dan mengunci ruangan dengan rapat agar dia tidak mendengar semuany
Agak bingung dengan apa yang dikatakan Bianca atau apa yang terjadi, dia tetap menuruti permintaan Bianca yang sudah berjalan di depannya dengan langkah cemas melewati koridor. Dia merasa sedikit keberatan dengan alasan harus meninggalkan teh yang baru saja diisi ulang oleh salah satu pelayan yang bertugas mengisi ulang tehnya jika teh di cangkirnya habis tanpa perlu memberi tahu pelayan apa yang harus dilakukan. lakukan (berbeda dengan pelayan di rumahnya yang kurang responsif ketika datang ke hal seperti ini), dan harus meninggalkan jajanan lokal yang dia tidak tahu namanya tetapi dia tetap menyukainya karena rasanya yang tidak biasa dan berhasil membuatnya ingin terus menggigitnya lagi dan lagi. Selama dia mengenal Bianca sejak mereka bertemu di sekolah menengah hingga sekarang, satu hal yang dia ketahui dengan baik dari Bianca adalah bahwa sahabatnya tidak akan menjelaskan apa yang dia alami atau apa yang mengganggunya, seberapa besar masalahnya atau seberapa besar masalahnya. kua
Erna menyilangkan tangan di depan dadanya, menyembunyikan kekesalannya. Sudah hampir tiga jam sejak mereka dipaksa untuk kembali ke kediaman keluarga Zhang, diam-diam di ruang tamu ditemani oleh para pelayan keluarga Zhang – keluarga besar kakak Bianca, Erick Zhang – yang berdiri di sekitar mereka, menemani oleh aneka jajanan lokal dan teh hangat yang dari baunya saja ia langsung tahu bahwa itu adalah teh Biluochun, tanpa mendengarkan penjelasan apapun dari Bianca yang mondar-mandir di ruang tamu. Yang menahannya untuk tidak melampiaskan kekesalannya adalah ekspresi Bianca yang tampak gelisah, tidak seperti Bianca yang selalu bisa menghadapi situasi apapun dengan santai sebesar apapun masalahnya. Misalnya saat mereka duduk di bangku kelas tiga SMA dan pusing karena harus memikirkan ujian akhir dan juga persiapan masuk universitas dengan seleksi nilai yang sangat ketat. Alih-alih memfokuskan perhatiannya untuk belajar dan merencanakan masa depan seperti yang dia dan Vero lakukan, wanit
Tidak ada yang bisa dilakukan olehnya saat ini selain membiarkan Stephen berada di dalam pelukannya sampai perasaan pria itu membaik. Tiba-tiba ia merasa menyesal karena sudah memaksa pria werewolf itu untuk menjawab pertanyaan yang pasti bagi pria itu membuka luka lama yang tertanam di dalam hati pria itu. "I am sorry, Nikki ..." Again, Nikki menemukan Stephen kembali menggumamkan kata-kata yang membuat perasaan bersalah di dalam dirinya semakin bertambah. Tangannya bergerak mengusap puncak kepala Stephen, berharap bahwa apa yang ia lakukan barusan berhasil membuat Stephen merasa lebih baik. "It's not your fault--" "No, Nikki. It's my fault," Stephen menyela perkataannya sebelum ia sempat menyelesaikan perkataannya, melepaskan pelukannya sambil menyeka air matanya yang sedikit keluar membasahi pipi pria itu. Kedua mata pria itu menatap sayu ke arahnya, membuatnya sedikit lega karena akhirnya pria itu tidak lagi menghindar bertatapan mata dengannya. "Half of them was my fault," u
Erick memandangi sosok Theo yang kini duduk meringkuk di sudut ruangan dengan bibir gemetar, menggumamkan kalimat yang tidak bisa tertangkap jelas oleh telinganya saking kecilnya suara pria itu. Ia mengulum bibir bawahnya. Ia paham. Bagi Theo, ini pasti adalah fakta yang memukul telak pria yang selama ini hidup dengan membenci ibu tirinya tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya. Memang, ia tidak akan bisa memahami apa yang dirasakan oleh pacar laki-lakinya saat ini, karena semua hal itu tidak terjadi padanya. Dibandingkan dengannya yang hidup di keluarga latin yang selalu menjunjung tinggi keluarga dan mementingkan satu sama lain, keluarga besar Pedrosa di Waterford city jauh lebih rumit. "Tetap kondisikan dia agar tetap tenang saat menerima kenyataan yang sebenarnya. Aku tahu ini tugas yang sulit, tapi kurasa ini saat yang tepat untuk memberitahunya. Aku tidak mau semua usaha yang dilakukan Indri untuk melindungi anak-anaknya lenyap begitu saja." Kemarin, saat mereka tiba di kedia