Tubuh Aksa sedikit terlonjak begitu mendengar bentakan dibarengi raungan mengerikan yang keluar dari mulut papanya. Sekarang papanya tak ubahnya seperti orang yang kemasukan siluman harimau.
Pun Kala yang juga duduk dengan hati resah gundah gulana. Sang gadis yang akan menjadi tunangan Aksa benar-benar melarikan diri entah ke mana meninggalkan kedua hak sepatu yang sengaja dipatahkan sebagai tanda kalau gadis itu totalitas kabur meninggalkan tunangannya yang tidak normal.Belum lagi ditambah dengan mama Aksa yang sedari tadi menangis sembari menyeka airmatanya dengan sapu tangan. Keadaan di ruang makan tampak begitu mencekam dan seolah dipenuhi dengan gas beracun yang membuat sesak nafas.“Apa? Kamu menolak pertunangan ini, Aksa!!!” Pria berwajah garang itu kembali berteriak hingga membuat lampu di langit-langit bergetar. Ruang makan seperti terkena gempa bumi lokal di mana hanya mereka saja yang bisa merasakan getarannya.Aksa memijit pelipisnya. Kepalanya sakit karena mendengar teriakan dari papanya dan juga isak tangis ala drama yang dari tadi dilakukan mamanya. Saputangan yang sedari tadi digunakan mamanya untuk menyeka air mata bahkan sudah tampak basah kuyup.“Pa....”Belum sempat Aksa menyelesaikan perkataannya, papanya sudah memotong perkataan Aksa dengan bengis. “Tidak bisa! Papa sudah memutuskan kamu hanya boleh bertunangan dan menikah dengan....”“Aku sudah punya orang yang aku sukai. Mana mungkin aku bertunangan dengan orang lain.” Kali ini Aksa yang memotong perkataan papanya.“Hiks.” Suara tangis sang mama kembali mengudara. Dengan suara serak karena terlalu lama menangis, Mama Aksa mulai menghiba. “Jadi, Aksa lebih suka melihat Mama mati kena serangan jantung karena melihat Aksa menikah dengan sesama laki-laki? Jantung Mama ini lemah, lho, Aksa?" tanya Mama sedih.“Ma,” sela Aksa pelan. Rasa bersalah memenuhi hatinya setiap kali melihat mamanya menangis. Tapi, sayangnya rasa bersalahnya tidak cukup besar untuk mengabulkan keinginan kedua orangtuanya yang ngotot ingin punya mantu perempuan.“Mama maunya punya menantu perempuan yang cantik, bukannya menantu laki-laki yang tampan. Gimana caranya Mama pamer ke teman-teman Mama, Aksa? Aksa tega kalau Mama jadi bahan gosip waktu lagi arisan? Mulut emak-emak itu kejam, lho, Aksa.” Mama meratap sedih. “Kala, tolong beritahu Aksa supaya nggak menolak permintaan Tante,” pinta Mama Aksa pada keponakannya yang sedari tadi hanya duduk pasrah.“Aksa.”“Kamu nggak usah ikut campur, Kal!” hardik Aksa kesal. Dirinya benar-benar dikeroyok dari segala sisi dan tidak ada satu orang pun membelanya. Iya, sih, dirinya yang salah karena pilihannya sendiri. Tapi, tetap saja Aksa berharap ada yang mau mengerti tentang dirinya.Aksa menggeram pelan. Ah, seandainya dirinya bukan anak tunggal, kedua orangtuanya pasti tidak akan sengotot ini memaksanya untuk menikah. Padahal, kan, ia bisa saja mengadopsi anak. Tidak perlu anak darah dagingnya sendiri, kan?“Papa nggak mau tahu. Pokoknya kamu harus mau. Kamu anak papa mama bukan, sih? Masih mau dianggap anak nggak?” tanya Papa keras.“Kenapa jadi maksa, sih?” geram Aksa sembari menjambak rambutnya sendiri karena kalau dia sampai menjambak rambut mama atau papanya, bisa-bisa Aksa beneran dikutuk jadi batu.Dengan hati dongkol, Aksa menenggak air untuk membasahi kerongkongannya. Ia hampir kehabisan suara karena berdebat dengan kedua orangtuanya yang tidak mau kalah. Mama dan papanya sama-sama kompak membuatnya frustasi. Terlebih mamanya yang menangis semakin keras. Meratap seperti ibu-ibu teraniaya hingga membuat Aksa tak ubahnya seperti anak durhaka yang coba menyaingi kedurhakaan Malin Kundang. Yah, walaupun pada kenyataannya Aksa merasa dirinya memang masuk golongan anak durhaka karena pilihan hidupnya nyaris membuat kedua orangtuanya terkena serangan jantung.“Kesalahan apa yang sudah kuperbuat sampai anak laki-lakiku jadi seperti ini? Aku sudah salah mendidik anak. Rasanya Mama sudah nggak sanggup untuk hidup lagi,” ratap Mama Aksa pilu, menangis tersedu-sedu. Memohon ampun pada Tuhan atas kekhilafan yang dilakukan putra semata wayangnya.“Ma, stop meraung-raung begitu!” pinta Aksa lemah."Sudahlah, Sa. Ikuti saja maunya Om dan Tante. Jangan jadi anak durhaka!" ujar Kala ikut angkat bicara.Aksa mendelik sewot ke arah Kala. "Nggak mau! Kenapa bukan kamu saja yang menikah? Aku nggak mau punya anak," tolak Aksa tegas, berusaha melemparkan tanggung jawab pada sepupunya yang jomblo."Kalau begitu biarkan Mama matiiiii!!!" Mama berteriak semakin histeris. Saking histerisnya, wanita itu sampai nekat menarik kalung berlian di lehernya seolah ingin mencekik dirinya sendiri. Aksa yang melihat adegan itu sampai terkaget-kaget. Ternyata mamanya serius dengan ancaman melukai diri sendiri."Iya. Iya. Aku akan ikuti mau Mama dan Papa," seru Aksa pada akhirnya meski dengan hati yang tidak ikhlas. Dirinya memang termasuk berkepala batu, tapi mana tega ia melihat leher mamanya terluka. Bagi Aksa, yang terpenting sekarang adalah membuat mamanya berhenti melukai diri sendiri. Urusan dengan gadis yang akan menjadi tunangannya bisa dipikir belakangan."Beneran?" tanya kefua orang tua itu berbarengan.Aksa mendengus kesal melihat rona wajah bahagia yang terpancar dari kedua orangtuanya. Mamanya bahkan menatap Aksa dengan tatapan yang penuh binar, sama sekali tidak ada tanda-tanda kalau tadi mamanya hampir melakukan percobaan bunuh diri.Aksa menarik nafas pendek, berusaha untuk tetap tenang. Walaupun tadi mulutnya mengiyakan, bukan berarti ia akan menerima pasrah begitu saja. Aksa yakin pertunangannya tidak akan bisa dilakukan dalam waktu dekat, terlebih karena ia tahu kalau gadis bergaun putih yang dipenuhi noda tanah tadi sudah melarikan diri."Tapi, kurasa pertunangan ini nggak mungkin bisa berjalan lancar karena bocah menyebalkan itu memutuskan untuk kabur," kata Aksa santai.Ujung bibirnya terangkat ke atas. Gadis itu sepertinya juga tidak berminat untuk bertunangan dengannya sehingga tanpa pikir panjang mematahkan hak sepatunya dan melarikan diri entah ke mana. Aksa tersenyum senang sembari mengingatkan dirinya untuk berterima kasih pada calon tunangannya yang memilih untuk kabur meninggalkannya. Aksa berharap semoga gadis itu sudah mendapat taksi dan pergi ke bandara."Huweeee. Aku nggak mau. Kenapa aku diseret-seret begini?" jerit Ayana panik sembari berusaha menggapai pintu. Tapi, sekuat apapun usaha Ayana untuk bertahan berpegangan di daun pintu, tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tarikan tangan bundanya yang tiba-tiba punya kekuatan seperti Gatot Kaca hingga akhirnya Ayana hanya bisa berdiri pasrah di dekat meja makan sembari membiarkan dirinya menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang sepertinya memang sedang menunggunya.Sedangkan Aksa yang tidak bisa mempercayai penglihatannya hanya bisa membuka mulut tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Gadis bergaun putih kotor itu sudah berdiri dengan canggung di dekat meja makan. Gadis yang akan menjadi tunangannya."Wow. Mereka menemukannya dalam waktu secepat ini? Syukurlah," ucap Kala dengan penuh rasa syukur.Berbanding terbalik dengan Kala yang tampak sumringah, Aksa justru mulai panik sendiri. Senyum tipis di bibirnya tadi dalam sekejap berpindah tempat ke bibir mamanya. Mamanya yang tanpa memikirkan image langsung berseru girang menyambut kedatangan calon menantu idaman sampai-sampai mengabaikan wajah Aksa yang memucat."Anak perempuankuuuuu... akhirnya kamu datang juga," seru Mama Aksa seraya menarik Ayana ke dalam pelukannya tanpa peduli dengan penampilan Ayana yang tak ubahnya seperti kuntilanak tercebur di kolam berlumpur."Ehem."Kala berdehem setelah berhasil menelan potongan daging yang entah kenapa mendadak terasa alot di dalam mulutnya. Ucapkan terima kasih pada dua anak manusia di depan dan di sampingnya yang saling menatap dengan tatapan membunuh hingga membuat Kala tidak bisa menikmati steak daging sapi kesukaannya. Kalau kedua orang itu didiamkan lebih lama lagi, Kala khawatir baik Aksa maupun Ayana akan saling melemparkan garpu ke wajah mereka masing-masing."Kenapa kalian saling menatap dengan tatapan membunuh begitu?" tanya Kala was-was. Sepertinya yang menyadari tatapan sengit itu hanya dirinya saja. Para orang tua yang ada di ruang makan itu masih tampak asyik dengan obrolan tentang pertunangan anak mereka tanpa mempedulikan wajah kusut sang calon mempelai."Jadi kapan kita bisa meresmikan pertunangan Aksa dan Ayana? Mama sudah nggak sabar, lho, mau pamer ke teman-teman arisan mama," ujar mama
"Uhuk."Kala yang sedari tadi menyantap makanan dengan damai tanpa ada niatan untuk melibatkan diri dalam keriuhan para orang tua yang ngotot ingin menjodohkan putra putri mereka, nyaris menelan garpunya sendiri mendengar ocehan Ayana. Kalau dirinya tidak salah dengar, gadis itu baru saja memproklamirkan kalau Kala dan Ayana adalah sepasang kekasih. Gadis itu benar-benar membuat Kala nyaris berakhir dengan menelan garpu.Sambil menepuk dadanya, Kala yang megap-megap melirik ke arah Aksa dengan panik, berharap sepupunya itu mewakili Kala untuk mengatakan sesuatu. Kala yang masih terbatuk-batuk sama sekali tidak bisa berkata apa-apa untuk membela diri sedangkan semua mata sudah tertuju padanya menuntut penjelasan."Ngomong apa, sih, kamu ini?" sergah bunda Ayana jengkel. Sedari tadi putri bungsunya itu terus saja mengatakan sesuatu yang bisa menjatuhkan nilai dirinya sebagai menantu id
Karin yang tengah menyendok bubur ayamnya sontak mengerutkan kening begitu melihat Ayana berjalan ke arahnya dengan susah payah karena tas backpack segede gaban yang dipanggulnya."Tumben bawaan kamu sebanyak itu? Mau ngapain?" tanya Karin heran. Biasanya Ayana selalu datang ke kampus dengan bawaan seminimal mungkin. Bahkan saking kecilnya tas yang dibawa Ayana, gadis itu sering kali terlihat seperti mahasiswi yang tak berniat untuk ngampus. Tapi, hari ini Ayana datang dengan bawaan bak orang yang akan mendaki gunung Himalaya."Otakku sedang dipenuhi banyak inspirasi untuk menulis novel. Outline dan premis sudah matang, tinggal eksekusi," jawab Ayana sambil nyengir kuda. Ia sudah tidak sabar untuk segera menulis kisah cinta tak biasa antara dua anak Adam dan mengazab mereka di dalam novel yang akan Ayana tulis. Ayana sudah bertekad akan memberikan ending yang tragis untuk kedua orang itu sebagai bentuk balas dendam at
Tap. Ayana tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Padahal hanya tinggal selangkah ia menuju atap dan membuka pintu, tapi entah kenapa Ayana seperti merasakan firasat buruk. Dari arah pintu yang menghubungkan dengan atap, Ayana seperti merasakan adanya hembusan aura negatif yang sangat kuat. Tiba-tiba Ayana merasa dirinya seperti menjelma menjadi Sara Wijayanto yang bisa mendeteksi keberadaan makhluk halus. "Setiap kali aku menulis cerita, atap selalu menjadi tempat laknat yang membawa sial. Biasanya bakalan ada adegan-adegan mengerikan di atap, mending aku putar arah, deh!" desis Ayana was-was menghindari petaka yang mungkin saja akan terjadi. Sedari tadi firasat buruk terasa menggerayangi hatinya. "Eits, tunggu dulu!" Ayana berseru pada dirinya sendiri, mencegah dirinya untuk kabur begitu saja. Berdasarkan cerita-cerita yang sudah berhasil ia tulis di dalam nove
Ayana masih terus memelototi penampakan wajahnya yang terpantul di cermin dengan gunting di tangan kanannya. Sedari tadi Ayana membulatkan tekad dan mengumpulkan kekuatan untuk menggunting pendek rambutnya agar bisa terlihat seperti potongan rambut anak laki-laki. Tapi, yang Ayana takutkan adalah rambut cepak akan membuat wajahnya semakin terlihat buruk rupa. Ayana tentu belum lupa dengan keadaan parasnya yang tak segood looking Karin."Aduh, aku nggak sanggup." Ayana mengeluh lesu seraya menundukkan kepalanya. "Mana bisa aku memotong rambutku yang berharga. Rambut itu, kan, mahkota perempuan. Huhuhu," ratap Ayana sembari merebahkan kepalanya ke wastafel dan menjatuhkan gunting yang ada di tangannya."Hey!" tegur Kala sembari menepuk pundak Ayana pelan-pelan."Kamu kenapa ada di sini?" tanya Kala begitu Ayana menolehkan kepalanya. Gadis itu menatap Kala dengan ekspresi tanpa dosa, sama sekali ti
"Sebenarnya dia ngapain, sih?" tanya Aksa jengah. Begitu ia masuk ke dalam toilet, penampakan suram Ayanalah yang tertangkap oleh matanya. Gadis itu berjongkok tidak jelas di pojok toilet seperti mahasiswi sengsara yang setiap harinya diomeli dosen killer dan dibully teman sekelas."Kenapa dia jadi kayak hantu penunggu toilet begitu?"Kala ikut bertanya, tapi tatapan para penghuni toilet membuat Aksa maupun Kala dalam sekejap melupakan pertanyaan mereka sendiri. Bulu kuduk Aksa tiba-tiba berdiri dan tengkuknya terasa kaku, entah karena kolesterolnya yang tiba-tiba naik atau memang tatapan teman-temannya yang terasa tajam menusuk. Tatapan tajam, sinis dan kepo semua tertuju kepada Aksa yang berdiri bingung."Kenapa kalian menatapku begitu?" tanya Aksa merinding."Perasaanku nggak enak, lho, Sa." Kala menyeletuk. "Jangan-jangan...."
"Kak Aksara!!!" Cassie berteriak histeris sembari mengacung-acungkan ponsep pintarnya ke depan kedua mata Aksa. Aksa yang tengah menyeret Ayana terlonjak kaget karena serangan tiba-tiba adik tingkatnya itu. Nyaris saja mata Aksa kecolok hape Cassie yang sebesar telapak tangan. Cassie heboh memperlihatkan video pendek berisikan kejadian di toilet tadi."Apa lagi?" gerutu Aksa. Tapi, dalam hitungan detik ia ingat untuk segera mengubah ekspresi wajahnya. Topengnya jangan sampai terlepas untuk kedua kalinya. Ia harus tampak tenang, elegan dan manis seperti malaikat yang tak pernah tersentuh dosa."Kak Aksa, pleaseeee. Bilang kalau ini semua nggak benar. Masa model pangeran kayak kakak tunangannya sama upik abu begini? Aku pernah dengar cerita Beauty And The Beast, tapi aku enggak rela kalau posisinya sampai dibalik. Kakak pantas dapat yang lebih baik," pekik Cassie nyaris melolong. Mata Cassie mendelik ke arah Ayana yang berdir
"Ya ampun, kamarnya rapi banget. Ini kamar punya cowok apa cewek, sih?" Pujian itu keluar begitu saja dari mulut Ayana begitu ia membuka pintu kamar Aksa.Dirinya baru saja mendapat mandat dari calon mertua untuk membantu membangunkan Aksa yang tumben hari ini tidur kayak kerbau habis dipaksa kerja rodi membajak sawah. Sepanjang perjalanan menuju rumah Aksa tadi Ayana habiskan dengan mengomel dan menguap. Bisa-bisanya ia yang rumahnya dengan rumah Aksa jauhnya dari ujung ke ujung ditelpon, dipaksa dan diiming-imingi ajakan makan malam dengan mengemban tugas mulia, yakni membangunkan si Tuan Muda seolah-olah di rumah Aksa sudah tidak ada lagi makhluk hidup lain yang bisa disuruh-suruh.Karena jengkel dan dongkol tidurnya terganggu, Ayana bertekad akan langsung menendang Aksa begitu sampai di kamar pria itu. Tapi, niat jelek itu auto buyar begitu Ayana melongokkan kepalanya ke dalam kamar Aksa. Kamar serba putih bersih nan ra
"Canggung banget," ucap Yusa buka suara. Beberapa menit sudah berlalu, tapi baik Aksa ataupun Saga, tidak ada satupun dari kedua orang itu yang membuka mulut. Padahal kedua orang itulah yang mengajak Yusa, lebih tepatnya lagi memaksa untuk bertemu di atas atap. Bukannya berbicara, mereka bertiga malah saling melempar tatapan tidak nyaman satu sama lain. "Kalian berdua masih nggak tahu apa yang mau dibicarakan? Kalau memang nggak ada yang mau dibicarakan, kenapa mengajakku ketemu di sini? Kan, buang-buang waktu. Mana panas lagi. Mending aku menemani Ayana di ruang kesehatan," kata Yusa pelan. Ia yang sudah merasa bosan ingin secepatnya angkat kaki meninggalkan tempat itu."Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Aksa to the point, mencegah Yusa yang tidak sabar ingin menyelonong pergi."Kenapa aku ada di sini?" ulang Yusa dengan ekspresi mencemooh. "Ini kampus, Aksa. Tentu saja aku ada di sini untuk belajar. Memangnya aku mau apa lagi? Nggak mungkin mau jual
"Kalian itu ngapain, sih?" tanya Aksa bingung melihat kelakuan Ayana dan Karin di depan pintu kelas. Karin dengan gigihnya berusaha menyeret Ayana untuk masuk kelas, begitupun dengan Ayana yang tidak kalah gigih bertahan di daun pintu. Saking gigihnya, Ayana nyaris menggigit pintu. Bosan berlagak seperti kelinci yang suka loncat ke sana ke mari, sepertinya Ayana ingin berubah menjadi tikus yang menggerogoti kayu."Kak Aksa, lihat 'nih kelakuan tunangan Kakak. Dia nggak mau menuntut ilmu dengan baik dan benar," lapor Karin dengan tangan masih menarik tali tas punggung Ayana."Kamu itu kenapa? Masa stress hanya gara-gara aku nggak mau ke kampus bareng?" tanya Aksa pada Ayana."Mas Aksa, Mas Aksa bisa merasakan atau ngelihat hantu nggak?" tanya Ayana tidak nyambung, membuat Aksa semakin yakin kalau Ayana benar-benar mabok akibat kebanyakan makan daging sapi. Sepertinya otak Ayana ketutupan lemak sampai-sampai hari ini Ayana semakin menggila dan bersikap tidak
"Pagi-pagi anak itu sudah membuatku sakit kepala," sungut Aksa.Ia berjalan dengan tergesa sambil menyugar kasar rambutnya sendiri. Setelah kemaren ia nyaris mati kebosanan menunggu lama bunda Ayana berbelanja daging, pagi-pagi buta Ayana kembali berbuat ulah dengan menelponnya. Sepertinya gadis itu mabok kebanyakan makan daging sapi sampai-sampai tidak ada angin tidak ada hujan merengek minta berangkat ke kampus bareng. Sejak kapan coba mereka punya hubungan semesra itu?"Ayo, kita ke kampus bareng!"Begitu Aksa mengangkat panggilan telpon dari Ayana, suara cempreng itulah yang menerobos gendang telinga Aksa. Tidak ada ucapan salam ataupun basa basi. Bahkan sekedar say halo pun tidak diucapkan Ayana, apalagi ucapan Assalamualaikum yang jauh lebih panjang. Aksa yang masih mengantuk bahkan langsung sadar dari alam bawah sadarnya. Matany
"Akhirnya aku sehat dan bisa bersih-bersih rumah," ujar Ayana berbicara sendiri.Ia menyapu lantai ruang tamu dengan begitu bersemangat. Setelah mendapat pelatihan memasak dari Tante Anna yang tidak juga membuahkan hasil, Ayana berinisiatif untuk latihan beberes rumah yang baik dan benar. Meskipun kemungkinan untuknya menjadi istri Aksa sangatlah kecil, Ayana tetap bersemangat berlatih menjadi ibu rumah tangga. Karena itu dengan senang hati Ayana mengambil alih pekerjaan asisten rumah tangganya untuk bersih-bersih teras."Tapi, kenapa lantai yang kusapu nggak bersih-bersih juga, ya?" tanya Ayana bingung."Arah sapuanmu salah, Yan!" tegur seseorang.Ayana sontak menoleh ke arah suara yang menegurnya. Kakak sulungnya berdiri sambil menutup hidung dengan sapu tangan, menghindari debu yang beterbangan agar tidak masuk ke dalam hidungnya
Sreeet.Aksa merobek bungkus obat pereda demam yang baru saja ia beli di apotek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Begitu bangun dari pingsannya, Ayana tiba-tiba terserang demam sehingga membuat Aksa terpaksa singgah ke apotek dalam perjalanan pulang.Apa di tubuh Yusa tertempel jin sehingga bisa membuat seseorang yang dipeluknya terserang demam tinggi? Aksa bertanya-tanya dalam hati.“Kenapa kamu malah terkena demam begini? Segitu senangnya, ya, dapat pernyataan cinta dari cowok tadi?” tanya Aksa, tentu saja dengan maksud untuk menyindir Ayana yang duduk di sampingnya. Ayana yang masih menggigil mengabaikan Aksa dan sibuk menenggak air untuk mengenyahkan rasa pahit yang tertinggal di lidahnya.Aksa ingin fokus dengan setir kemudi di depannya, tapi suara gigi Ayana yang bergemeletukan membuat Aksa terpaksa menolehkan kepalanya k
"Lebih baik kita pulang sekarang," ajak Aksa."Lho, kenapa? Mas Aksa bahkan belum berbincang-bincang dengan Saga," tanya Ayana bingung. Disuguhkan minum pun belum, tapi Aksa sudah mengajak untuk pulang. Padahal tadi butuh waktu hampir dua jam mereka berdua berdebat karena Ayana yang ngotot ingin ikut dan Aksa yang juga bersikeras menolak membawa Ayana berkunjung ke rumah Saga. Masa belum apa-apa mereka sudah mau pulang? Kepala Ayana saja masih pusing karena pingsan tadi."Nggak ada gunanya juga aku bertemu Saga kalau ada kamu dan orang menyebalkan itu di sini," ujar Aksa dongkol.Ayana menggelengkan kepalanya. "Kenapa Mas Aksa selalu menganggap semua orang menyebalkan? Nggak boleh, lho, berburuk sangka kayak gitu mulu" tukas Ayana menasehati Aksa.Aksa mendengus. Ingin balas melemparkan nasehat pada Ayana yang dinilainya selalu berpikir kelewat positif terhadap orang
"Ngik!" Ayana yang baru sadar dari pingsannya sontak menutup hidungnya sendiri, berusaha menyamarkan suara nafasnya yang tak ubahnya seperti babi yang menguik. Ia kaget sendiri mendengar suara bunyi nafasnya yang mendadak terdengar seperti orang terserang asma. Dengan gugup, Ayana melirik seseorang yang duduk di tepi tempat tidur dan langsung menghembuskan nafas lega begitu tahu kalau orang yang menunggunya adalah Aksa, bukan orang lain. Ia tidak perlu malu karena Aksalah yang mendengar bunyi nafasnya yang terdengar seperti suara babi, bukan pria tampan yang tadi tiba-tiba memeluknya. "Bodoh," ejek Aksa. "Kenapa kamu malah pingsan?" "Mas Aksa?" "Dan wajahmu itu terus-terusan memerah. Jangan bilang kalau kamu tergoda dengan tampangnya itu!" sindir Aksa dengan wajah tidak percaya. &nb
"Bersaing?" desis Saga sinis. "Sayang sekali, selera kita berdua beda. Jadi lupakan saja!""Kamu benar-benar membuatku ingin tertawa," ledek Yusa dengan senyum terkulum. "Padahal aku punya banyak cewek can..."Lagi-lagi Saga berdecak dan menganggap perkataan Yusa tak lebih dari angin lalu. Angin lalu yang lebih baik jika diabaikan. Saga meraih ponselnya yang tergeletak di meja dan berjalan ke arah pintu menuju ruang tamu."Ga!!!" Yusa berteriak. "Kamu mau pergi ke luar?""Ya. Aku ada janji dengan seseorang," jawab Saga acuh."Kamu mau meninggalkan aku? Padahal hari ini aku mau mengajakmu ke cafe favoritnya ayah dan ibu," kata Yusa dengan nada memelas."Jangan harap aku mau!" tandas Saga cuek. Lagipula ibu yang Yusa maksud adalah ibunya, bukan ibu Saga. Lalu untuk apa ia peduli? Saga mendesah pelan. Ia dan Yusa
"Shit!"Saga mengumpat pelan sembari meremas rambutnya sendiri. Sedari tadi ia terus saja merasa gelisah. Ah, lebih tepatnya semenjak kejadian ia melihat Aksa menyentuh rambut Ayana di taman ria kemaren, Saga mulai merasakan kegelisahan yang sangat mengganggu. Ia seperti sedang diusik dan sialnya Saga tidak tahu di antara dua orang itu siapa yang sudah mengusik ketenangannya. Aksa atau Ayana?Saga memejamkan matanya, berusaha mengenyahkan adegan yang menggentayangi otaknya. Adegan yang membuatnya marah, kesal dan juga gelisah."Entah kenapa rasanya aku jadi kesal," desis Saga dengan mata terpejam. Ia bersandar di sofa yang seharusnya terasa nyaman, tapi sayangnya rasa nyaman itu tidak terasa sama sekali."Kamu mencemburui seseorang?"Saga menghela nafas panjang mendengar suara bisikan yang singgah di telinganya. Itu bukan suara ibun