Sebelas tahun silam.
Vivian mencari-cari ayahnya sepulang sekolah, kebiasaan yang melekat sejak kecil. Belakangan dia baru ingat jika Barry sedang keluar. Minggu depan mereka berdua akan terbang ke Bali, agenda rutin setiap tiga bulan. Barry biasanya mengajak serta Vivian meski itu berarti harus menyesuaikan dengan jadwal sekolah putrinya. Di Bali, mereka akan menginap di resor milik keluarga besar Barry, Nayanika.
Barry memiliki saham sebesar 25 persen, sisanya menjadi hak ketiga saudara kandungnya. Vivian selalu menantikan perjalanan ke Bali. Nayanika yang berada di daerah Kintamani adalah tempat yang begitu disukainya. Meski biasanya dia dan ayahnya cuma menginap selama dua atau tiga hari saja.
Kendati ada tenaga profesional yang mengelola termasuk ketiga saudaranya, juga mendapat laporan rinci setiap bulan, Barry tak mau lepas tangan begitu saja. Setiap tiga bulan, lelaki itu akan mendatangi resor. Barry memilih tetap fokus mengurusi toko roti yang merupakan
“Aku nggak benci sama Mama, Pa,” bantah Vivian buru-buru. “Tapi Papa tau sendiri hubungan kami kayak apa. Aku nggak bisa bermanja-manja sama Mama. Dulu, Mama yang bikin jarak, kan? Kalau sekarang mau diperbaiki, rasanya udah telat banget. Aku udah terbiasa ditolak, disuruh jauh-jauh dan nggak mengganggu Mama. Kalau dekat Mama, ada rasa cemas malahan. Takut Mama akan meledak dan marah-marah nggak keruan lagi.”Barry melipat tangan di atas meja, memandang Vivian dengan sungguh-sungguh. “Vi, kenapa kamu nggak nyoba sekali aja untuk memenuhi keinginan Mama? Kalau mau, Papa bisa mengantarmu ke apartemen Mama. Papa bisa nungguin juga di sana biar kamu nyaman. Atau, kita makan malam bertiga? Mama sengaja belum balik ke Bali sampai kamu mau meluangkan waktu untuk dia.”Itu berita yang mengejutkan bagi Vivian. Mengingat betapa selama ini Serena tak pernah peduli padanya. Dulu, Vivian kerap bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang ibu mengabaika
Beberapa minggu kemudian.Robin menurunkan dua buah ransel dari dalam sebuah mobil jip. Kendaraan itu yang membawanya dari Pokhara menuju Siwai. Dia berada satu mobil dengan Nania, Alex, dan Rudi. Ketiganya dikenal Robin sejak dia menjadi relawan di Fit dan Bugar.Di antara mereka berempat, hanya Robin yang memiliki sejarah ketergantungan alkohol. Rudi dan Alex sudah lama saling kenal dan diajak seorang teman untuk menjadi relawan. Sementara Nania mengikuti kakaknya yang lebih dulu menjadi relawan.Jalanan yang berdebu menyambut rombongan itu begitu mereka keluar dari jip. Robin menggendong ransel berukuran kecil yang memuat keperluan pribadinya untuk hari ini. Sementara yang berukuran lebih besar dan cukup berat itu ditenteng dengan tangan kanan. Ransel itu nanti akan dibawa oleh porter yang akan menemani perjalanan mereka selama seminggu penuh.Kemarin, Robin dan orang-orang yang mengikuti tur menuju Nepal itu berangkat dari Jakarta. Transit di
Sebenarnya, tidak ada keharusan untuk menggunakan jasa guide lokal. Namun pihak travel tempat Bob bekerja menerapkan aturan sendiri. Mereka menilai bahwa memakai jasa pemandu asal Nepal akan memuluskan perjalanan. Membuat para peserta trekking lebih mudah membaur dengan penduduk setempat. Lagi pula, para guide itu sudah mendapat lisensi dari lembaga resmi, terlatih melakukan pertolongan pertama, menangani gejala AMS, hingga menguasai metode penyelamatan bila diperlukan.Setelahnya, Bob mengarahkan semua orang untuk mengambil tempat di sebuah restoran sederhana. Letaknya tepat di tepi jalan, dengan meja dan bangku panjang seadanya. Matahari bersinar terang meski suhu cukup rendah. Maklumlah, saat itu awal Oktober, sudah memasuki musim gugur atau biasa disebut juga post monsoon.Robin memesan dal bhat, satu set makanan khas Nepal. Ketika bepergian ke suatu tempat, hal pertama yang dilakukannya adalah mencicipi kuliner khas dae
Sebenarnya, liburan ke Nepal dengan tujuan utama trekking ke Annapurna Base Camp, tak pernah terpikir sekali pun oleh Vivian. Seumur hidup dia belum pernah mendaki gunung, apalagi yang termasuk jajaran Himalaya. Membayangkannya saja pun rasanya terlalu berdosa. Karena itu, awalnya ajakan Allan itu cuma ditanggapinya dengan tawa geli.“Seumur hidup aku nggak pernah naik gunung, Lan. Masa tau-tau malah nekat ke Nepal dan mendaki Himalaya? Gila itu,” tolak Vivian dengan senang hati.“Bukan mendaki, Vi. Tapi trekking.”“Sama aja!”“Kadang kita bisa bikin semuanya jadi lebih mudah dipahami kalau mengganti istilah,” sahut Allan, sok tahu.Vivian mencebik. “Terserah apa katamu, Lan. Yang jelas, aku nggak tertarik.”“Kalau mendaki, pasti bayangan yang ada di kepala adalah kita naik gunung sambil menggendong ransel berat berisi berbagai peralatan. Tiap kali mau bermal
Mereka baru berjalan sekitar satu jam ketika Nania mengeluh lagi dan ingin beristirahat. Ini yang kedua kalinya. Ben menyetujui tanpa bertele-tele. Sementara para porter tetap melanjutkan perjalanan. Kekuatan fisik mereka benar-benar membuat Vivian kagum. Keempatnya bahkan tidak terengah-engah meski medan cukup terjal dan harus membawa beban yang berat.Walau Vivian sudah berusaha menyiapkan mental, nyatanya dia kaget juga menghadapi medan yang lumayan berat dan menguras kekuatan fisik. Mereka baru menempuh setengah perjalanan ketika Vivian mulai merasa kaki dan betisnya pegal. Untungnya kelelahan gadis itu nyaris menguap saat mereka melewati sungai berwarna toska yang luar biasa indah.Nania? Jangan ditanya keluhan yang dilontarkannya nyaris tiap lima menit. Belum lagi upayanya untuk menarik perhatian Robin yang begitu transparan dan membuatnya mendapat respons senyum penuh makna dari yang lain. Vivian yang awalnya merasa tingkah gadis itu cukup menghibur, ak
Setelah berjalan kaki selama tujuh jam lebih dan hari benar-benar gelap, rombongan itu baru tiba di Jhinu Danda. Jika nekat meneruskan perjalanan hingga ke Chomrong, mereka membutuhkan waktu minimal dua jam lagi. Semua orang tampaknya kelelahan dan tidak ada yang menolak saat Pravin dan Ben memutuskan untuk menginap di Jhinu Danda saja.“Aku sekamar sama Vivian? Lho, bukannya dia tidur bareng pacarnya?” Nania bersuara saat Ben memberi tahu pembagian kamar. Vivian tak kuasa menahan tawa meski ada rasa malu mendengar kalimat blak-blakan itu.“Aku sepupunya, bukan pacar Vivian,” Allan menjawab. “Pantesan sejak tadi ada aja yang merhatiin dengan ekspresi aneh. Pasti kalian mikirnya kami ngapa-ngapain pas nginep di Pokhara, kan? Woi, kami pesan dua kamar. Bisa dicincang babenya Vivian kalau nekat nyolek anak gadisnya,” tambah cowok itu. “Lagian, Vivian nggak demen cowok tatoan. Katanya kurang jantan. Padahal, urusan yang satu itu ng
Vivian tak pernah menyangka jika kelak dia akan mendorong ayahnya untuk bercerai.Seharusnya, Vivian menginap di rumah Leona hari itu. Dia sudah membawa baju ganti dan segala keperluannya. Dia sengaja menolak ajakan Barry untuk terbang ke Bali. Vivian sangat senang karena Debby juga akan berada di rumah sahabatnya. Hari itu menjadi spesial karena Debby berulang tahun dan memutuskan akan menghabiskan waktu dengan keluarganya. Rumah Leona dijadikan pilihan karena ukurannya paling besar dan nyaman.Vivian menjadi satu-satunya orang luar yang diundang Debby. Hubungan mereka memang makin dekat. Awalnya, Debby menjadi teman mengobrol yang mengasyikkan dan penuh pengertian. Tak pernah perempuan itu bersuara dengan kalimat dan nada menghakimi. Ketika mereka bersama, gadis itu bisa bermanja-manja, hal yang tak pernah dilakukannya pada orang lain kecuali Barry. Vivian juga bisa mengobrol tentang apa saja dengan Debby.Belakangan,Vivian malah tak tahan untuk menyimpan send
Serena menyahut dengan suara dipenuhi kebencian yang membuat Vivian bergidik. “Kalian kan tau sendiri alasanku nikah sama Barry. Aku dipaksa almarhum Papa. Menurut Papa, Barry adalah laki-laki terbaik yang cocok untukku. Kalau aku nolak, Papa akan mastiin karierku ikut mati. Papa juga mengancam nggak akan mengakuiku sebagai anak setelah … yah … kalian tau sendiri. Waktu itu, aku ngerasa buntu dan nggak punya pilihan.”Vivian mulai merasa keringat dingin membuat kausnya mulai lembap. Dia tidak pernah tahu jika pernikahan orangtuanya berdasarkan paksaan kakeknya. Namun dia tak terlalu kaget dengan fakta itu mengingat sikap dingin Serena kepada Barry.“Kamu terlalu ceroboh, sih! Punya karier cemerlang, dikenal se-Indonesia, tapi bisanya nggak hati-hati. Udah tau selalu ada wartawan yang menguntitmu, tapi malah bikin kesalahan fatal. Sampai akhirnya ketauan punya hubungan terlarang,” respons perempuan dengan rambut dicepol. “Kala
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat