Robin terbahak-bahak mendengar ucapan Allan. Sementara Vivian malah sengaja menyenggol bahunya. “Itu beneran, ya? Papa kamu punya toko perhiasan?”
“Iya,” balas Robin pendek di sela-sela tawanya.
Gadis itu berlagak serius saat bicara lagi. “Allan bener juga. Masa depanmu cerah, Bin. Kalau kamu memang naksir aku, jangan sungkan untuk pedekate. Karena aku memang mempertimbangkan cowok-cowok bermasa depan bagus.”
Seiring tawa teman-temannya, Allan yang duduk tak jauh dari Vivian langsung bangkit dari kursinya. Dia menjewer kedua telinga sepupunya dengan gemas. “Dasar drakula! Susah banget bikin anak ini tersipu-sipu. Padahal tadinya aku udah semangat karena dapat bahan untuk nge-bully kamu. Eh, anaknya malah adem aja.”
Vivian mengusap telinganya sambil mencibir ke arah Allan. “Kenapa kamu nggak nyari keisengan yang lain, sih? Senengnya kok nge-bully orang. Aku bilangin Tante Debby ntar. B
“Aku sudah pernah ke Everest Base Camp. Tapi, situasinya berbeda dengan perjalanan ke Annapurna Base Camp ini. Kondisi tea house-nya memang kalah bagus. Tapi, keramahan penduduk setempat dan sesama pendaki, berbeda. Riap kali ke sini, aku merasa jauh lebih nyaman dan diterima. Itulah sebabnya aku berkali-kali ke sini dan rasanya nggak akan bosan.”Lalu ada pasangan muda asal Australia yang sehari-harinya aktif di organisasi lingkungan hidup. Mereka baru menikah dan memilih berbulan madu dengan mengunjungi Annapurna Base Camp. Juga ada pasangan paruh baya asal Jepang yang mengajari semua orang membuat origami. Sang istri ternyata ahli origami yang cukup punya nama di negaranya.Hawa dingin yang memerangkap di halaman tea house itu tidak membuat orang-orang menyerah. Pemandangan yang terlalu spektakuler dan teman-teman baru dengan pengalaman menakjubkan menjadi kombinasi yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Seolah semua orang ingin menikmati hari it
Esoknya, tampaknya semua orang membuka mata dengan energi yang langsung mengalir ke pembuluh darah. Minimal, itu ditunjukkan oleh reaksi teman sekamar Robin .“Selamat pagi, Bin,” sapa Rudi penuh semangat begitu membuka mata. Robin yang juga baru bangun, tertawa kecil.“Semangat betul kamu hari ini,” ucapnya.“Karena hari ini kita akan pulang, ninggalin tempat ini. Periode mendaki udah nyaris kelar. Tinggal perjalanan menurun. Walau kalau ingat kondisi di Chomrong, lututku langsung berteriak minta diselamatkan,” oceh Rudi. “Kamu mau mandi atau nggak? Dinginnya kayak begini. Kalau aku, cukup cuci muka dan sikat gigi aja.”“Aku tetap mandi. Kan ada air hangat,” balas Robin. “Kalau kamu, aku sih nggak heran. Di Jakarta pasti jarang mandi juga. Apalagi di sini, memang dingin banget. Jadi ada alasan untuk absen mandi,” ledeknya.Ketika hendak sarapan, Vivian sudah berada di ruang ma
Meski tampaknya banyak yang tidak yakin dengan kata-kata Ben, akhirnya semua sepakat untuk tidak mendebat sang pemandu. Mereka memulai perjalanan pagi itu pukul delapan kurang seperempat karena harus menunggu David yang terlalu lama di toilet akibat sakit perut. Seperti ramalan Ben, perjalanan pulang lebih cepat dibanding pendakian ke atas. Sekitar dua jam kemudian, mereka sudah tiba di Deurali.“Namaste. Sampai jumpa lagi,” ucap salah satu pegawai tea house yang pernah mereka inapi saat mengenali rombongan itu, sembari melambai. Robin dan kawan-kawan pun membalas dengan antusiasme yang sama.“Ben ternyata bener,” kata Vivian yang berjalan di depan Robin, menoleh ke belakang lewat bahu kanannya. “Belum tengah hari dan kita udah sampai Deurali. Nggak nyangka.”“Yup! Nggak nyangka ya, Vi? Kalau kita ngebayangin gimana perjalanan dari Deurali ke Machapuchare Base Camp kemarin itu,” respons Robin.Ketik
“Aku nggak nyangka kita bisa beneran sampai di Bamboo jam segini,” kata Carlo. “Jadi, kita nggak perlu nginep di ruang makan tea house di Dovan,” candanya.Seperti biasa, kamar-kamar di tea house selalu terisi penuh. Tamu-tamu dari berbagai bangsa dan negara datang ke tempat itu untuk merasakan sendiri pengalaman menakjubkan mendaki Annapurna Base Camp. Robin sendiri tidak mengira jika perjalanan kali ini begitu menakjubkan. Nepal ternyata salah satu tempat eksotis yang kemungkinan besar akan sulit dilupakannya. Siapa sangka?Niat Robin untuk segera beristirahat akhirnya tertunda karena cowok itu mencemaskan Vivian. Tampaknya, tidak ada yang menyadari absennya gadis itu saat makan malam. Orang-orang khawatir akan Denny yang masih harus keluar-masuk toilet entah berapa kali. Pemilik tea house bahkan sengaja membuatkan ramuan khusus untuk mengatasi masalah pencernaan yang diderita oleh Denny.Karena itu, Robin pun
Sekitar sepuluh menit kemudian, Robin kembali lagi dengan makanan dan minuman untuk Vivian. Sekali lagi, gadis itu menggumamkan ucapan terima kasih hingga Robin merasa jengah. Dia tidak merasa sudah melakukan sesuatu yang hebat. Dia hanya memesan dan membawakan makan malam untuk gadis itu.Robin lebih banyak mengatupkan bibirnya saat Vivian menghabiskan mi instan yang beraroma menggoda itu. Gadis itu makan dengan lahap meski tetap hati-hati karena mi berkuah yang disantapnya masih mengepulkan asap.“Enak, ya?” Robin tak tahan menyimpan rasa penasarannya. Vivian mengangguk tanpa suara. “Seharusnya aku pesan dua porsi sekalian. Soalnya kamu kayaknya lapar banget. Ngeliat kamu makan, aku juga jadi pengin makan mi juga,” imbuh pria itu.Gadis itu malah tertawa mendengar gurauan Robin. Vivian menaruh mangkuknya yang sudah kosong di atas meja. Lalu, meraih gelas minumannya. “Makasih sekali lagi ya, Bin. Ini makanan paling enak yang pernah
Itu berita yang mengejutkan bagi Robin. Tak hanya ahli bersikap kasar dengan kaum hawa, Eric ternyata juga seorang pengadu. “Seburuk itu yang namanya Eric, ya? Nggak nyangka banget.”“Nggak apa-apa,” kata Vivian menenangkan. “Semua memang ada hikmahnya. Paling nggak, sekarang ini aku bisa ada di Nepal dan ngobrol sama kamu. Kalau nggak dipecat, pasti aku lagi ngegantiin Cynthia di suatu acara sambil menahan lapar karena berat badanku nggak boleh nambah.”Mereka berdua tertawa geli. “Selalu ada hikmah dari satu peristiwa yang nggak ngenakin. Kata orang bijak, sih. Tapi memang bener, menurutku.” Robin bersuara setelah tawanya berhenti.“Tapi ingat lho, Bin. Ceritaku barusan itu rahasiantingkat tinggi. Kamu nggak boleh bocorin sama siapa pun,” pinta gadis itu sungguh-sungguh.“Pasti! Kalau aku bongkar rahasia ini, maka aku akan berubah jadi kodok.”Vivian tertawa geli. Saat itu, B
Vivian bertepuk tangan. “Astaga, cuma kamu yang bisa paham. Aku sering dianggap aneh, bahkan sama sahabatku sendiri. Namanya Leona, dia keponakan Tante Debby, istri papaku. Dia bilang, aku ini aneh dan....”Vivian tak melanjutkan kata-katanya karena suara ribut dari sebelah kamarnya itu kian meningkat. Kini, pintu kamar malah terbuka dan sang istri berjalan keluar dengan cepat sembari menjeritkan sesuatu yang tak terdengar jelas. Tanpa pikir panjang, Robin melompat dari tempat duduknya.“Ada apa?” tanyanya dengan suara sesantai yang dia bisa. Perempuan itu nyaris melewati Robin sambil memegangi pipi kanannya.“Dia sudah gila. Dia kira aku akan diam saja di—"“Hei! Aku belum selesai bicara! Kamu nggak bisa seenaknya pergi,” si suami tahu-tahu sudah mencekal lengan istrinya. Sempat terjadi aksi saling tarik dan dorong yang cukup kasar. Robin berusaha menengahi tapi tubuhnya malah nyaris terjengkang ke belakang
“Pria misterius itu kayak lagi ngawasin gerak-gerik Fida. Pokoknya, dia nggak pernah keluar dari unitnya sebelum Fida juga melakukan hal yang sama,” kata Robin pada teman-temannya. Dia memegang ponsel. Paman Fida baru saja memberi kabar tentang penyelidikan yang masih berjalan.“Berarti memang semuanya udah direncanakan,” sahut Adam.Jika cuma terjadi beberapa kali, mungkin bisa dianggap sebagai kebetulan. Akan tetapi ternyata hal itu terulang selama seminggu. Yang paling mencolok, saat Fida baru meninggalkan apartemennya menjelang tengah hari, lelaki itu melakukan hal yang sama. Karena merasa terusik, detektif mencari tahu siapa lelaki yang tinggal di depan unit yang dihuni Fida. Informasi yang didapat membuat polisi makin curiga. Si penghuni membayar tunai dengan menggunakan identitas curian. Pengurus apartemen pun mengaku tidak pernah melihat dengan jelas wajah si penyewa. Alasannya, lelaki itu sengaja menutupi wajahnya dengan masker karena m
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat