Sekitar sepuluh menit kemudian, Robin kembali lagi dengan makanan dan minuman untuk Vivian. Sekali lagi, gadis itu menggumamkan ucapan terima kasih hingga Robin merasa jengah. Dia tidak merasa sudah melakukan sesuatu yang hebat. Dia hanya memesan dan membawakan makan malam untuk gadis itu.
Robin lebih banyak mengatupkan bibirnya saat Vivian menghabiskan mi instan yang beraroma menggoda itu. Gadis itu makan dengan lahap meski tetap hati-hati karena mi berkuah yang disantapnya masih mengepulkan asap.
“Enak, ya?” Robin tak tahan menyimpan rasa penasarannya. Vivian mengangguk tanpa suara. “Seharusnya aku pesan dua porsi sekalian. Soalnya kamu kayaknya lapar banget. Ngeliat kamu makan, aku juga jadi pengin makan mi juga,” imbuh pria itu.
Gadis itu malah tertawa mendengar gurauan Robin. Vivian menaruh mangkuknya yang sudah kosong di atas meja. Lalu, meraih gelas minumannya. “Makasih sekali lagi ya, Bin. Ini makanan paling enak yang pernah
Itu berita yang mengejutkan bagi Robin. Tak hanya ahli bersikap kasar dengan kaum hawa, Eric ternyata juga seorang pengadu. “Seburuk itu yang namanya Eric, ya? Nggak nyangka banget.”“Nggak apa-apa,” kata Vivian menenangkan. “Semua memang ada hikmahnya. Paling nggak, sekarang ini aku bisa ada di Nepal dan ngobrol sama kamu. Kalau nggak dipecat, pasti aku lagi ngegantiin Cynthia di suatu acara sambil menahan lapar karena berat badanku nggak boleh nambah.”Mereka berdua tertawa geli. “Selalu ada hikmah dari satu peristiwa yang nggak ngenakin. Kata orang bijak, sih. Tapi memang bener, menurutku.” Robin bersuara setelah tawanya berhenti.“Tapi ingat lho, Bin. Ceritaku barusan itu rahasiantingkat tinggi. Kamu nggak boleh bocorin sama siapa pun,” pinta gadis itu sungguh-sungguh.“Pasti! Kalau aku bongkar rahasia ini, maka aku akan berubah jadi kodok.”Vivian tertawa geli. Saat itu, B
Vivian bertepuk tangan. “Astaga, cuma kamu yang bisa paham. Aku sering dianggap aneh, bahkan sama sahabatku sendiri. Namanya Leona, dia keponakan Tante Debby, istri papaku. Dia bilang, aku ini aneh dan....”Vivian tak melanjutkan kata-katanya karena suara ribut dari sebelah kamarnya itu kian meningkat. Kini, pintu kamar malah terbuka dan sang istri berjalan keluar dengan cepat sembari menjeritkan sesuatu yang tak terdengar jelas. Tanpa pikir panjang, Robin melompat dari tempat duduknya.“Ada apa?” tanyanya dengan suara sesantai yang dia bisa. Perempuan itu nyaris melewati Robin sambil memegangi pipi kanannya.“Dia sudah gila. Dia kira aku akan diam saja di—"“Hei! Aku belum selesai bicara! Kamu nggak bisa seenaknya pergi,” si suami tahu-tahu sudah mencekal lengan istrinya. Sempat terjadi aksi saling tarik dan dorong yang cukup kasar. Robin berusaha menengahi tapi tubuhnya malah nyaris terjengkang ke belakang
“Pria misterius itu kayak lagi ngawasin gerak-gerik Fida. Pokoknya, dia nggak pernah keluar dari unitnya sebelum Fida juga melakukan hal yang sama,” kata Robin pada teman-temannya. Dia memegang ponsel. Paman Fida baru saja memberi kabar tentang penyelidikan yang masih berjalan.“Berarti memang semuanya udah direncanakan,” sahut Adam.Jika cuma terjadi beberapa kali, mungkin bisa dianggap sebagai kebetulan. Akan tetapi ternyata hal itu terulang selama seminggu. Yang paling mencolok, saat Fida baru meninggalkan apartemennya menjelang tengah hari, lelaki itu melakukan hal yang sama. Karena merasa terusik, detektif mencari tahu siapa lelaki yang tinggal di depan unit yang dihuni Fida. Informasi yang didapat membuat polisi makin curiga. Si penghuni membayar tunai dengan menggunakan identitas curian. Pengurus apartemen pun mengaku tidak pernah melihat dengan jelas wajah si penyewa. Alasannya, lelaki itu sengaja menutupi wajahnya dengan masker karena m
Vivian benar-benar lega saat akhirnya orang-orang melerai Robin dan lelaki dari Australia tersebut. Ada tiga pria yang menarik orang yang sudah memukul Robin itu. Sementara Ben, Alex, dan Rudi memegangi Robin agar tak merangsek maju.“Bin, udah!” tukas Ben dengan nada tegas. “Jangan diladeni lagi,” tambahnya. Saat itu, Robin berniat kembali maju karena si pria asal Australia itu masih memaki-maki sambil menendang-nendangkan kakinya ke arah Robin.Ada dua pria bule lain yang baru datang dan mengingatkan si Australia agar menahan diri dan tak membuat keributan. Salah satu guide yang bertugas menemani rombongan dari Italia menuju Annapurna Base Camp pun akhirnya maju dan bicara.“Kalau Anda terus membuat keributan di sini, mungkin kami akan meminta Anda menginap di tempat lain saja. Karena tingkah Anda sudah mengganggu para tamu.”Kata-kata itu yang membuat pria pemarah itu akhirnya menutup mulut. Pasangan pengant
Vivian yang baru saja hendak duduk, berdiri mematung saking kagetnya. “Hah?”Tatapan Alex dialihkan ke arah gadis itu. “Urusan suami istri itu nggak ada gunanya dicampuri. Belum tentu istrinya berterima kasih sama Robin karena udah dibelain.”“Lho, kok gitu? Prinsip yang aneh menurutku. Si bule itu memang kelewatan, kok! Istrinya ditarik, dipaksa balik ke kamar. Pas istrinya nolak, dia malah mau mukul. Ditahan sama Robin, sampai akhirnya pipinya kena bogem.” Gadis itu menyipitkan mata ke arah Alex. “Kalau kamu ngeliat ada cewek mau dipukul, apa bakalan diam aja? Lebih suka pura-pura nggak tau? Kalau iya, prinsip itu beneran aneh.”Alex tampak serbasalah, tidak mengira kalimatnya akan mendapat respons cukup pedas dari Vivian. Namun sebelum cowok itu bereaksi, Robin sudah bersuara.“Aku nggak bermaksud ikut campur. Tapi aku juga nggak mungkin diam aja kalau ada cewek yang dipukul. Karena kalau cowo
Robin menaikkan alisnya. “Eric itu suka mukul pacarnya, ya?” tanyanya kaget.“Nggak tau,” jawab Vivian jujur. “Cynthia nggak pernah bilang. Tapi setelah ngeliat apa yang dia lakuin sama aku, rasanya nggak bakalan kaget kalau dia suka main tangan, kan?”“He-eh,” Robin membenarkan. Cowok itu menurunkan handuk kecil itu dari wajahnya. Dengan sigap, Vivian meraih benda itu dari tangan Robin dan mencelupkannya ke dalam air dingin di dalam baskom. Jari-jarinya terasa nyaris membeku tiap kali menyentuh air dingin itu.“Cowok yang suka kasar, mulai dari omongan sampai berani mukul, sebaiknya buru-buru dijauhi. Kecil peluang untuk berubah. Yang ada, biasanya malah makin parah dari hari ke hari. Udah banyak kejadian kayak begitu.”Vivian menyerahkan handuk kecilnya ke tangan Robin lagi. “Aku sih nggak pernah ketemu cowok model kayak gitu kecuali Eric. Sebenarnya, itu bikin shock. Kok ada cow
“Aku sering nyalahin si korban karena nggak mau membela diri,” cetus Vivian.”“Bukannnya nggak mau membela diri, Vi. Tapi karena korbannya udah kesulitan untuk pakai logikanya. Contohnya temanku itu. Belakangan ketahuan gimana cara cowoknya memanipulasi. Dan jurus-jurus yang dipakai itu memang klasik banget. Artinya, memang para tukang bully itu punya cara-cara yang sama.”“Detailnya gimana, Bin? Aku pengin tau,” komentar Vivian.“Awalnya, si korban dikritik. Dari hal-hal sepele sampai yang memang nggak bisa diubah. Intinya, bikin yang dikritik jadi frustrasi. Ujung-ujungnya berusaha nyenengin pasangannya. Ada yang sampai nekat mengubah penampilan supaya cowoknya nggak komplain lagi. Nyatanya, apa pun yang dilakuin, nggak akan bisa memuaskan orang yang suka menyiksa pasangannya. Kritik-kritik itu seringnya cuma dicari-cari. Cuma untuk bikin dia punya kuasa dan membuat pacarnya jadi kehilangan rasa percaya
“Aku nggak bisa bayangin ada orang yang tega ngelakuin itu sama pacarnya sendiri,” Vivian bersuara. Gadis itu mengusap tengkuknya. “Aku beneran merinding, Bin. Serem amat.”Robin pun menceritakan bagaimana Fida menghilang yang berujung pada penyelidikan pihak berwajib. Lalu, jenazahnya yang ditemukan belakangan. Penyelidikan intensif oleh polisi mengerucut pada satu tersangka, yaitu Jim.“Jim mencekik Fida sampai mati. Setelah itu, dia ninggalin apartemen Fida dan bilang ke polisi kalau itu kali terakhir mereka ketemu. Katanya, Fida pengin ngabisin waktu sama keluarganya. Gara-gara itu, mereka menunda acara kencan untuk ulang tahun itu. Jim awalnya ngaku Fida ngontak dia lewat WhatsApp selama beberapa hari, bilang masih bareng keluarganya. Karena ada saudara Fida yang baru datang dari Jakarta.“Ketika Jim nggak bisa jelasin kenapa ada sidik jarinya di unit yang letaknya pas di depan apartemen Fida, dia akhirnya ngaku. Setelah
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat