"Mereka hanya merekrut perempuan-perempuan cantik yang nggak punya otak." Perkataan itu menggema, terdengar meremehkan. Selama sepuluh tahun bekerja, pontang-panting melompat dari satu agensi ke agensi lain, baru kali ini aku merasa direndahkan di hari pertama bekerja. Tapi itu tidak mengherankan, sebab yang berkata adalah Gun Saliba, seorang celebrity Chef yang terkenal perfeksionis. Miris karena dari semua hal, pria itu terdengar masih sama, suaranya menggelegar, otoriter dan tidak bisa dibantah, meski belum resmi bertemu, aku sudah bisa membayangkan wajah Gun yang terdiri dari tiga J: judes, julid, jumawa. "Siapa lagi kali ini yang kalian bawa Ed? Saya nggak membutuhkan manajer, yang saya butuhkan adalah asisten yang bisa bekerja." "Bapak berniat menggantikan posisi saya?" Seorang pria yang dipanggil Ed itu terdengar menyahut. Aku merasa salut, meski sedari tadi sudah dibentak, suara laki-laki itu tetap tenang, tidak terpancing sang atasan. Gun mendengus. "Kamu lihat saya m
Aku menarik oksigen sebanyak-banyaknya setelah pamit undur diri dari ruangan Gun, sadar bahwa sedari tadi telah menahan diri."Gimana Mit?" Mba Niken menyongsong di depan pintu ganda kantin khusus karyawan ketika aku baru kembali, lalu terduduk lemas di kursi. "Dia nerima lo kan?"Boleh tidak aku kabur saja? Laki-laki itu sengaja menjebakku!Lima tahun kami tidak pernah bertemu, dan tiba-tiba berhadapan dengan Gun seperti ini, jelas membawa pengaruh buruk bagi mental.Karena aku diam saja, Mba Niken mengguncang lenganku dengan heboh. "Mita, ngomong dong, sumpah lo bikin gue takut, dia nggak ngapa-ngapain lo di sana kan?""Mba, lo sengaja jadiin gue tumbal ya?"Dia meringis tidak enak hati, sayang belum sempat menjawab sebuah suara mendayu nan merdu sudah mendahuluinya."Hai Mit, apa kabar?"Punggungku langsung tegak, siaga.Seorang perempuan dalam balutan bodycon dress merah menyala masuk dalam sudut penglihatanku, wajahnya yang cantik terpoles makeup tebal tampak tersenyum ceria.Dia
Suaranya rendah dan berat, dari aroma musk tubuhnya secara insting aku langsung tahu milik siapa, namun aku kesulitan untuk menggeliat karena cengkeramannya yang seakan ingin meremukkan kepalaku."Pak!" sebutku serak dan ngeri."Kamu sengaja mengikuti saya?""B-bukan." Kucoba-coba untuk meraba jemarinya agar terlepas tapi lengan Gun yang bebas malah membelit perutku, aku praktis tidak bisa bergerak."Jawab," bisiknya mendesak."Sa-saya cari toilet, Pak.""Apa ini kekurangan kamu yang ketiga? Berpura-pura, padahal kamu penguntit?" serang Gun tanpa ampun. "Atau kamu sudah nggak sabar bekerja bersama saya?""Pak, bisa lepasin dulu nggak, saya nggak bisa napas," kataku megap-megap.Gun mendengus, kupikir dia tidak akan menuruti permintaanku begitu saja, tapi perlahan dia mengurai pelukan, dan cengkeramannya mengendur, aku langsung mengambil dua langkah menghindar lalu terbatuk-batuk heboh, sambil berbalik menatapnya, kuraba-raba leher, memastikan kepalaku masih utuh."Apa yang terjadi?"
"Tolong Ma, kali ini aja, sambil aku cari day care yang dekat rumah, untuk sementara aku titip Hiro dan Naga di sini." "Mama nggak melarang Mit, tapi kamu tau sendiri Mama juga bukan pengangguran, silakan aja mereka di sini asalkan bayarannya sesuai." "Berapa?" "Lima puluh juta aja." Mataku melotot sempurna, yang benar saja? Aku hanya meminta beliau menjaga Hiro dan Naga hari ini sebelum aku menemukan day care pengganti yang lokasinya terjangkau dari apartemen, tapi Mama seperti aji mumpung, mengambil keuntungan dalam kesempitan. "Ini kan weekend Mit, wajar kalau Mama minta segitu, sepadan sama waktu liburan yang Mama luangkan. Lagian anak-anak kamu itu tingkahnya di luar nalar, apa kamu nggak ingat apa yang mereka lakukan ketika terakhir dititipkan di sini?" tanya Mama emosi. Bagaimana aku bisa lupa? Ketika sedang terlelap mereka mengikat kedua tangan dan kaki Mama dengan mulut yang dibungkam lakban. Saat aku menanyakan hal tersebut Hiro dan Naga beralasan bahwa mereka s
"Scene satu, shot dua, take sebelas. Action!" Sang asisten sutradara memberi aba-aba, membunyikan sebuah clapper, papan hitam putih sampai bunyi cletak!"Sebentar, poni gue berantakan.""Cut!"Suara Pak Wisnu, sutradara menggema memenuhi ruangan, membuyarkan adegan yang sedang dijalani Gun dan Prily, aktris cilik yang kini sudah beranjak dewasa. "Duh, kemarin di workshop talent nggak gini, lo kebanyakan mengkhawatirkan hal yang nggak perlu Pril, muka lo juga terlalu datar," tegurnya. "Walaupun harus sesuai naskah tapi gue butuh lo improvisasi, lo kan bukan amatir! Kita bahkan masih di adegan pertama, kalau seperti ini terus kapan selesainya?"Perempuan cantik bertubuh semampai itu tampak meringis. "Sorry Mas, bisa kita ulangin lagi?"Seorang tim wardrobe buru-buru mendekati mereka dan melakukan touch up pada Prily dan Gun, wajah laki-laki itu kelihatan kecut, sudah hampir dua jam adegan iklannya diulangi, dan semakin lama, Gun semakin kehilangan kesabaran."Kita break dulu aja, lo pe
Sebenarnya aku berharap Gun akan lupa, setelah dua jam take video iklannya menemui jalan buntu, mungkin saja moodnya yang berantakan membuatnya jadi tidak ingin berhadapan denganku, tapi tentu saja itu adalah harapan yang terlalu muluk."Kenapa kamu terlambat?" tanyanya. Apa itu basa-basi? Sepertinya kalimat itu memang sudah menguap dari kamus seorang Gun.Dia duduk di kursi kebesaran, di ruangannya yang tampak tertata, rapi dan kinclong."Begini Pak..." Aku berdeham, merapikan rambut panjangku, menyelipkannya ke balik daun telinga kemudian mengulurkan paper bag yang kubawa. "Ini bathrobe yang kemarin Bapak pinjamin ke saya." Kuletakkan di atas meja. "Makasih Pak, saya terbantu sekali kemarin dengan handuk itu, Bapak benar, saya nggak mungkin berkeliaran di kantor dengan pakaian basah, apalagi di hari pertama saya kerja, walaupun ukurannya besar sekali dan bikin saya kelihatan melayang seperti kunti--""Apa kamu mau menghabiskan waktu saya?" Suaranya yang tajam segera menyela.Aku mer
"Masa begitu sih Pak?" Aku langsung protes karas. Bahu Gun terangkat santai. "Pilihannya hanya itu atau silakan angkat kaki." Ya Tuhan, bahuku merosot lemas. "Kamu keberatan?" Bagaimana aku akan mengeluh kalau dia sudah memutuskan dan tidak bisa dibantah?! Aku harus secepatnya melaporkan keluhan ini pada Mba Niken, aku yakin dia tidak bisa berbuat apa-apa, tapi dialah yang mendorongku menerima tawaran manajer ini, jadi aku perlu dukungannya untuk meneruskan keluhanku pada Pak Punjab agar pria tua itu berubah pikiran, lalu menggantikan posisiku menjadi manajer selebriti yang sifatnya normal. Persetan dengan gaji berkali-kali lipat, lebih baik menjaga kewarasan daripada aku harus bekerja di bawah tekanan yang tidak masuk akal. Karena aku diam saja, laki-laki itu bangkit, menganggapku telah setuju. "Bagus, sekarang kamu singkirkan ini, saya nggak mengambil kembali barang yang sudah saya berikan ke orang lain," katanya menggedikkan kepala pada paper bag di atas meja. "Sebentar Pa
Karena macet aku baru sampai di rumah Mama sekitar pukul sepuluh malam. Tempat itu sangat sunyi dan gelap, halamannya ditumbuhi tanaman lebat seperti rumah tidak berpenghuni."Hiro, Naga?" tanyaku pada Mama ketika beliau membukakan pintu."Udah tidur, kenapa nggak sekalian kamu pulang di jam cinderlella aja? Bukannya kamu udah dipecat sama Roy Dihan?""Dari mana Mama tau?""Jadi benar?""Kenyataannya aku yang mengundurkan diri.""Dan Zara menggantikan posisi kamu. Dari dulu dia memang bisa diandalkan, nilai sekolahnya selalu bagus, membanggakan, sekarang juga dia mengalahkan kamu dalam pekerjaan.""Nggak ada yang dikalahkan Ma, aku dan Zara nggak sedang berkompetisi." Kupilih untuk melewati tubuhnya dan terkejut menemukan anak-anakku yang sedang tertidur di sofa dalam posisi duduk. "Kenapa mereka nggak dipindahin di kamar?""Kamar di rumah ini cuma satu, Mama nggak mau mereka ngacak-ngacak kamar Mama, di sana banyak makeup dan barang penting.""Barang penting itu lebih penting dari an
Sesuai dugaan, aku memang tidak bisa begitu saja memutus kontrak menjadi manajer Gun, apalagi pindah dengan entengnya menjadi asisten chef. Stres. Aku merasa seolah baru saja dioper dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Tapi apa daya, aku cuma cungpret (kacung kampret) yang bisa disuruh-suruh. Gun bahkan tidak ambil pusing meskipun dia sepertinya kesal, namun raut wajahnya tetap santai tanpa minta maaf. "Sama saja kan, mau kamu jadi manajer ataupun asisten chef saya. Kalau nggak ada syuting kamu bisa balik menjadi asisten. Kalau ada syuting kamu bisa menemani saya. Fleksibel, semua aman." Gila, kenapa sejak awal dia tidak mengatakan ini? Dan justru membuatku terperosok dalam jurang? "Masalah libur gimana?" "Kita akan tetap pada kesepakatan awal Mita." Aku menahan diri untuk tidak mengumpat. Lemas sebadan-badan. Merasa baru saja dipermainkan. Apakah Gun sengaja melakukannya? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi masalah lain yang lebih memdesak adalah posisiku pun terancam.
"Apa maksudnya ditolak Pak, bukannya Bapak sendiri yang menawarkan saya buat jadi asisten chef dan bisa pindah?" Aku merasa seperti terombang-ambing. Kemarin kami ke Lumeno tapi tidak ada hasil apapun. Hari ini, pagi-pagi sekali kami kembali lagi ke agensi itu. Tapi aku merasa seolah sedang dikerjai habis-habisan. Belum ada 2x24 jam aku menjadi asistennya, mendadak sekarang aku harus kembali menjadi manajer Gun. "Ini masalah birokrasi agensi. Kamu harus bayar pinalti kalau tiba-tiba mau pindah." Begitulah penjelasan Gun, karena secara teknis aku masih terikat kontrak bersama Lumeno Ent, dan kontrak itu berlaku sampai setahun ke depan, jika aku mengundurkan diri, maka akan ada konsekuensinya Demi Tuhan. Aku sadar masalah ini sejak awal, itulah kenapa aku sempat skeptis dengan tawaran tiba-tiba Gun. Namun dia membujuk dengan iming-iming gaji tinggi, libur, dan kelebihan lain, itu sebabnya aku menyerah. Tapi sekarang aku harus mendapati kenyataan kalau semua ini salah? "K
"Kamu bilang, mereka nggak bisa didakwa dengan tuntutan pengerusakan?" "Saya sudah bilang, kalau untuk menyerahkan semuanya pada Jerikho, dia sudah terbiasa mengurus kasus seperti ini." Jujur, aku merasa lega sekaligus bertanya-tanya. Sayangnya pertanyaan itu tidak bisa terjawab karena Gun tidak mengizinkan aku untuk menemui pelaku. "Setidaknya aku harus tau gimana orang-orang yang udah nyaris mencelakakan aku," kataku beralasan setelah kami beradu argumen. "Untuk apa Mita? Yang penting mereka sudah ditangkap, terbukti melakukan pengrusakan dan penyalahgunaan wewenang dengan bertindak semena-mena. Itu sudah lebih dari cukup." Gun membalas tegas. "Untuk apa kamu harus menemui mereka lagi? Hanya menghabiskan waktu." Gun benar, dan tidak benar di saat yang bersamaan. Aku kesal, ingin melihat bagaimana tampang seseorang yang sudah membuat si kembar ketakutan. Tapi pendapat Gun juga tidak salah. "Itu berarti, apa aku dan anak-anak udah bisa pulang ke apartemen sekarang?" Hiro dan Na
"Aku janji akan ajarin Dimas lagi, kalau dia udah bisa, aku akan suruh dia ngerjain tugas-tugas di buku cetak Chef Gun." Aku hanya bisa meringis ketika dengan semangat Naga membawa buku-buku milik Gun, lalu melompat turun dan berlari ke gerbang TK, sementara Hiro dengan santai mengekori adiknya. Di sisi lain aku senang mereka nurut, tapi perasaan was-was karena mereka berada di sekitar Gun semakin menggebu-gebu. Kuputuskan untuk cepat-cepat ke De Luca. Setelah semalam menolak Gun dengan terang-terangan, aku yakin mood laki-laki itu kini dalam keadaan berantakan. Maksudku, hei... dia kan punya Prily, bagaimana dia bersikap kurang ajar padaku sementara memiliki hubungan dengan perempuan lain? Mohon maaf, aku belum mau dicap sebagai pelakor. Dapur sangat hethic, baru masuk, aku langsung dilempar berbagai pekerjaan. Mulai dari membuat risotto, sampai harus gesit berada di sisi Gun ketika dibutuhkan. "Kurang seasoning," komentarnya ketika aku mengambil alih ravioli dan menyajikan maka
Kenapa identitas suamiku sangat penting untuk Gun? Beberapa waktu lalu dia menanyakan kapan dan kenapa suamiku bisa meninggal. Sekarang dia menanyakan masalah pekerjaannya. Lantas aku harus jawab apa? Masalahnya aku ngeri, menumpuk satu kebohongan di atas kebohongan lain, akan menimbulkan kekacauan. Jadi dengan sangat terpaksa aku lagi-lagi harus memutar otak mencari sebuah nama. "Mita? "Abi..." sebutku akhirnya. Memilih satu nama yang mudah. "Abi Las." "Abi Las?" Gun mengulangi, hidungnya mengernyit, seolah nama tersebut meninggalkan aroma tidak sedap di udara. "Kenapa kamu harus tanya ini Gun?" "Kamu nggak memberikan informasi ini di resume profil kamu." "Apa itu penting?" "Saya perlu memastikan dia memang ada dan bukan hanya sekedar halusinasi." Mulutku membuka menutup, tangan berkeringat. Apakah entah bagimana dia bisa membaca pikiranku? "Kamu pikir Hiro dan Naga anak siapa kalau aku nggak punya suami? Kamu nggak berpikir aku melendung sendiri, kan?" "Mu
Aku benci bagaimana Gun selalu punya dampak seperti ini tiap kali dia menyebutkan namaku. Tubuhku akan merespon dengan getaran halus, dan detak jantungku langsung melonjak. Masalahnya dia kini berdiri di depan pintu ruangan tempat menyambut Prily. Laki-laki itu masih menggenakan kacamata baca. Dengan pakaian yang sama. Selain kemampuan memasaknya yang di atas rata-rata, Gun juga suka sekali membaca. Aku ingat dia punya ruang khusus perpustakaan di apartemennya dulu. Laki-laki ini sebenarnya adalah seorang nerd, atau lebih tepatnya hot nerd. Kalau bukan karena harus serumah, aku pasti tidak akan memiliki kesempatan untuk melihatnya seperti ini lagi. "Ini baru mau tidur, Pak." "Kenapa kamu malah berkeliaran? Kamu tahu jam berapa sekarang?" "Saya abis temenin anak-anak ngerjain tugas sekolah buat besok." Alisnya terangkat, lalu perlahan berjalan mendekat. "Mereka sudah tidur?" "Iya." "Biar saya lihat." "Sebaiknya jangan." Gun mengernyit karena aku menahan knop pintu.
Aku penasaran apa sekiranya jawaban Gun, tapi sayang pendengaranku terinterupsi dengan Hiro yang mendorong kursi lalu melompat turun. Hingga tidak ada yang bisa kudengar selain gumaman. Namun Naga pun diam saja, dia cenderung tidak merespon, dan seperti orang yang mematung menatap perempuan itu. "Aku mau ngerjain tugas," kata Hiro melenggang masuk ke kamar. "Naga sebaiknya kita selesain PR hari ini." Naga masih ragu-ragu di depan pintu. "Naga, ayo cepat." "Hallo?" Prily menyapa, dia menaiki undakan lalu dengan gemas mengacak rambut Naga diikuti Gun di belakangnya. "Siapa nama kamu, anak manis?" Naga segera menepisnya. "Duh, gemasnya. Jangan malu-malu ya, kamu bisa panggil Aunty Prily." "Mohon maaf saya nggak punya Uncle yang menikah sama kamu." "Uhm." Prily tampak terkejut karena sikap lancang Naga. "Memanggil orang lain Aunty bukan berarti harus karena menikah dengan Uncle kok, kamu bisa—" Naga langsung melengos, berlari masuk, menabrak tubuhku yang melangkah mendekati mer
"Diam sebentar." Dia meremas pinggulku supaya aku berhenti bergerak-gerak di atas tubuhnya. Laki-laki itu mengerang lagi. Ya Tuhan. Aku benar-benar ngeri, tubuhku yang mungil mungkin tidak ada apa-apanya bagi Gun, tapi posisi jatuhnya mengkhawatirkan. Aku takut bahwa dia akan cedera. "Saya udah boleh bergerak?" "Belum." Gun merebahkan kepala, kedua matanya terpejam, keningnya mengernyit samar. Dari jarak sedekat ini, aku bisa memindai dengan jelas wajahnya. Pada bulu matanya yang lentik, rahangnya yang mulus dan sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus. Hidungnya yang bangir, lalu bibirnya yang ranum dan merah muda. Tanpa sadar pipiku terasa merona. Aku pun bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, atau itu adalah detak jantungku sendiri? Aku tidak yakin, tapi tubuh kami yang menempel, membuatku bahkan bisa merasakan sebagaian tubuhnya. Wajahku semakin gosong. "Pak? "Hm? "Saya sudah boleh bangun?" "Belum." "Kita harus cari bantuan." "Benar." "Bapak bisa bergerak
"Asisten Chef?" Aku tergagap di saat dia langsung masuk ke ruangan lalu dengan wajah puas duduk di kursi kebesarannya. "Terus gimana dengan kerjaan saya? Bukannya dwi jabatan sama nggak diperbolehkan? Saya nggak mungkin double jadi manajer dan asisten chef juga, Pak." "Siapa yang bilang kamu akan punya dua jabatan?" katanya santai. "Kamu nggak perlu jadi manajer saya, saya nggak butuh itu sekarang, semua pekerjaan syuting sudah ditangani Ed, dan kamu sepertinya lebih cocok jadi asisten chef." "Bapak bahkan nggak tau saya bisa masak atau nggak!" kataku melotot. Tapi alis Gun terangkat, kutelan kembali semua kalimat protesku. Tentu saja Gun tahu, pernah menjalin hubungan selama tiga tahun, jelas sedikit banyak dia sudah mengenalku. Dia tahu, meski bukan profesional dan tidak pernah sekolah masak sepertinya, aku diam-diam memiliki passion pada dunia kuliner. Dan Gun sepertinya sedang berusaha memanfaatkan impian yang sudah kupendam itu dalam-dalam. "Memang ada perbedaan besar menja