Ketika ia membuka mata, tiba-tiba sinar terang menerpa penglihatan. Menghalangi pandangannya hingga ia harus menyipitkan mata agar bisa melihat seluruh ruangan yang ia tempati.Sebuah ruangan sepi yang didominasi warna putih dan cokelat. Tiba-tiba fokusnya teralihkan pada sesosok cewek yang berdiri membelakanginya. Cewek itu terlihat melihat ke luar jendela.Saat ia akan berdiri atau sekadar bergerak, tiba-tiba ia baru menyadari kedua tangannya telah diikat dengan tali dalam keadaan duduk di kursi.Berusaha sekuat tenaga untuk lepas dari ikatan, namun sia-sia belaka. Tali itu mengikat erat tangannya di kedua sisi pegangan kursi kayu yang ia duduki dan juga kakinya.Ia panik. Apakah ia diculik? Pasti cewek itu pelakunya. Siapa dia? Apa salah dia sehingga ia harus mengalami kejadian semacam ini?Dari postur tubuhnya ia merasa tidak asing dengan cewek tersebut. Tetapi ia merasa ragu jika cewek yang ia tebak dalam pikirannya akan tega melakukan ini semua."Siapa lo? Apa kita saling kenal?
Sebelum pulang ke rumah, Ari memang meminta waktu sebentar untuk berbicara. Dara kira pangerannya ini akan mengajaknya berkencan atau membicarakan hal-hal yang romantis. Tapi ternyata di luar perkiraan, Ari memaksanya untuk jujur tentang penyebab dirinya tiba-tiba meminta cowok itu untuk menciumnya tepat di bibir. Sesuatu yang sangat dihindari Ari.Awalnya Dara senyam-senyum kayak orang yang lagi kesambet. Bukan mengatakan yang sejujurnya, tuh cewek malah sengaja menggoda Ari dan mengeluarkan rayuan andalannya. Dasar Dara nggak peka, bisa ditebak saat itu juga Ari langsung marah dan hampir memutuskan hubungan mereka.Dara terkejut bukan main. Ia tak tahu begitu besar pengaruh yang timbul hanya karena permintaannya itu. Mau tak mau akhirnya ia menceritakan yang sejujurnya dari mana ia bisa memiliki ide tersebut. Minus soal Andin. Ya, Dara belum mau mengutarakan apa pun yang pernah dilontarkan Andin kepadanya.Sementara itu hampir setengah jam, Ari dan Rian berbicara empat mata. Mereka
"Bener cuma mau diantar sampai di sini doang?" tanya cowok tampan itu sambil menggenggam kedua tangan kekasihnya. Inez mengangguk. Meski letih bekerja lantaran hari ini restoran begitu ramai hingga membuatnya harus pulang larut malam, tetapi tidak menjadikannya manja kepada Rian. Ia tahu cowok tampan di depannya itu terlihat lelah seperti dirinya. Ia tak tega jika harus merepotkannya terus-menerus, walaupun ia juga yakin sang pacar melakukan apa pun untuknya selalu dengan senang hati. "Gang di sini sempit, mobil kan nggak bisa masuk. Lagian udah malem," ucap Inez dengan suara lembutnya. "Gue bisa jalan. Gue nggak pernah keberatan—" "Gue tau," sela Inez cepat. "Tapi kali ini gue mau lo tidur lebih awal. Gue nggak mau lo sakit, Yan," ucapnya lagi dengan raut khawatir. Cowok itu tersenyum hangat. "Ya, udah. Lo juga janji tidur lebih awal, ya." Inez mengangguk sembari tersenyum. Sebelum pergi, Rian mengecup kening sang kekasih dan mengacak pelan puncak kepala gadis itu. Inez melamba
Nah, loh! Kenapa? Ada apa ini? Kok nangis? " tanya Beni begitu melihat Inez yang datang pagi-pagi ke restoran, sedangkan hari ini yang ia tahu Inez kebagian shift siang, apalagi tuh cewek langsung nyelonong ke lantai atas dan menyerbu masuk ke ruang kerjanya."Sorry, Ben. Gue pinjam ruangan lo bentar," ucapnya sembari mengusap air mata yang meleleh di pipinya."Berantem sama Rian?"Cewek itu duduk di sofa, lalu menggeleng seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangan.Beni terdiam. Ia melirik jam yang menggantung di dinding, waktu menunjukkan pukul delapan dan itu berarti shift pagi sudah berjalan dari satu jam yang lalu. Tak biasanya cewek itu datang sepagi ini, tentunya masalah yang ia hadapi bukanlah perkara yang mudah.Beni menghela napas panjang. "Oke, lo bisa pakai ruangan ini buat tenangin diri lo. Gue keluar dulu.""Makasih, Ben."Beni mengangguk singkat, kemudian meninggalkan Inez sendirian.Sejujurnya Beni sangat terenyuh sejak mendengar penuturan Rian tentang apa saja yang d
"Halo, Tante," sapa Rian ramah. "Halo juga, Nak Rian. Makasih sudah antar Inez pulang. Tante benar-benar khawatir, nggak biasanya Inez keluar pagi-pagi sekali." "Sama-sama. Apa tante nggak tau? Dalam minggu ini Inez mendapatkan shift pagi untuk menggantikan temannya yang lagi cuti kerja. Mungkin juga nanti bisa sampai lembur." "Benarkah? Inez belum mengatakannya pada Tante," kata Devita sambil menatap Inez yang saat ini tampak memalingkan mukanya ke arah lain, menghindari tatapan beliau. Dalam hal ini Rian sengaja berbohong untuk mengantisipasi Inez jika ingin keluar pagi lagi. Itu supaya kekasihnya mempunyai alasan kuat agar terhindar dari kecurigaan sang mama tentang rentetan pertanyaan yang tidak ingin didengar gadis itu. Tentu saja juga untuk mengurangi interaksi antara Inez dan ayah tiri brengseknya. "Melihat kini tante disibukkan oleh seseorang yang telah kembali ke rumah, mungkin Inez belum ada kesempatan untuk menyampaikannya sama tante." "Jadi begitu," balas Devita gugup
"Kamu nggak akan meninggalkanku kan, Sayang? Kamu nggak akan mengkhianatiku, kan?""Kenapa? Apa kamu takut aku akan mengkhianatimu seperti kamu mengkhianati suamimu yang dulu?"Devita terperangah. Hatinya mendadak getir. Ia meneguk ludahnya kasar, lalu mengangguk pelan.Fery mendengkus. Ia mengangkat tangannya, menjepit dagu Devita sambil tersenyum sinis. "Tenang saja. Aku nggak akan meninggalkanmu selama kamu menuruti semua yang aku mau."Setelahnya, ia beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Devita yang menatapnya sedih.Melewati dapur, Fery melihat Inez sedang meraih teko di meja makan. Gadis itu menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya. Gerakan gadis itu sangat tenang dan terlihat tak menyadari kedatangannya. Tiba-tiba Fery tertegun. Ia merasa leher jenjang itu sangat mulus, indah dan cantik. Setiap tegukan yang Inez minum, Fery merasa tubuhnya bereaksi tak normal.Ini adalah reaksi kesekian kalinya tiap ia menatap Inez. Dari dulu dan sampai sekarang, tidak pernah berubah.
Sejak Dara berani berkata jujur di depan Rian, Inez, dan Ari waktu itu, kini hubungan keduanya makin adem ayem dan sejahtera. Dara tak lagi menuntut Ari untuk menciumnya ataupun melakukan sesuatu yang nyeleneh, di mana Dara selalu ingin menerkam Ari dengan khayalan tingkat tingginya.Ari juga merasa aman tatkala melihat perubahan Dara sekarang. Sejujurnya inilah yang diinginkan Ari dalam sebuah hubungan. Seperti air mengalir, tak harus terburu-buru seolah dikejar sesuatu. Bahkan Ari sangat bersyukur karena kini ia tak pernah mengalami mimpi buruk lagi.Dara yang sekarang adalah cewek yang lumayan terkendali. Ia tak pernah lagi meminta hal-hal yang tak disukai Ari, tidak memaksa melakukan suatu hal yang berlebihan dalam berpacaran. Walaupun dalam mengungkapkan sesuatu masih dengan gaya lebay, tetapi itu tak membuat Ari muak atau menjauhinya. Bisa dibilang ia udah mulai terbiasa dengan tingkah absurd Dara. Selama itu masih dalam batas wajar, Ari rasa semua bisa diterima.Siang ini tampa
Andin terperangah mendengar Ari bertanya kepadanya bahwa siapa cewek yang pantas untuk menjadi pacarnya? Dan apakah itu dirinya?Andin terdiam sambil berpikir. Apakah ia harus mengiyakan?Tentu saja siapa cewek yang nggak ingin punya pacar sebaik Ari. Selain baik, cowok itu sangat setia.Sejak ia bertemu Ari di tempat karaoke yang dipesan Alvin dan menyuruhnya serta teman-temannya untuk menjebak Ari waktu itu, ia sudah sangat terkesan dengan kesetiaannya yang notabene tidak tergoda sama sekali atas rayuan mereka. Bahkan bisa dikatakan rencana mereka gagal total.Tapi bagi Andin, jarang ada cowok yang begitu setia akan pasangannya dan tidak tergoda satu pun oleh banyaknya cewek cantik yang mengelilinginya. Apalagi menurutnya, Ari terlihat tampan, kalem dan begitu menghargai cewek.Andin membasahi bibirnya gugup. "Ar, bukan gitu maksud gue—""Lalu apa?"Tatapan Ari masih begitu dingin. Ia sebenarnya tidak mempunyai kecurigaan apa pun terhadapnya, bahwa perubahan sikap Dara ada sangkut p
Brak!Pintu itu dibuka agak kasar oleh seseorang hingga membuat Inez kaget dan terbangun dari tidurnya. Dan benar saja orang itu penculiknya, cowok brengsek yang juga adalah ayah tirinya Inez.Ari terdiam sejenak. Ia tidak boleh terlalu lama di satu titik jika tidak mau ketahuan, apalagi ada anak sekecil Tio dan Bella. Tempat persembunyian mereka terlalu berisiko dan ia tak mau terjadi sesuatu terhadap mereka semua.Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan mengajak mereka menjauh dari gudang. Ia meminta Dara menghubungi Rian, juga polisi untuk menyergap si pelaku secepat mungkin.Sementara itu, Inez yang terbangun dari tidurnya menyipitkan mata tatkala sinar matahari pagi masuk melalui pintu yang dibuka dan tepat mengenai netranya."Selamat pagi, Sayang."Mendengar suara menjijikkan yang ia kenal tersebut, seketika Inez tersadar, lalu menoleh ke arah sumber suara. Netranya membelalak panik. Saat Inez hendak bergerak ia merasa tangan dan kakinya tak bisa berfungsi. Sehingga ia haru
Hari ini demi sang kakak, Dara terpaksa bolos sekolah. Mau bagaimana lagi, semalam kakaknya pulang larut malam dalam kondisi yang mengenaskan. Baju kantor yang kusut, bau dan kotor. Belum lagi rambut yang acak-acakan dan dengan wajahnya yang begitu menyedihkan.Saat ia menyerbu kamarnya dan memaksa Rian untuk bicara, ternyata hal yang mengejutkan terjadi. Calon kakak iparnya diculik.Oh, tidak! Itu memang hanya pemikiran Dara, akan tetapi begitu sang kakak menceritakan awal mula Inez menghilang, tentu saja semua berpusat pada kemungkinan tersebut. Dan Dara sangat yakin calon kakak iparnya yang cantik itu pasti diculik oleh pria brengsek yang telah memerkosanya dulu.Membayangkan kenangan buruk dari calon kakak iparnya itu lagi, Dara merasakan kesedihan yang mendalam. Menurutnya memori tersebut sangat kejam dan memilukan.Maka dari itu, pagi-pagi meski ia pamitnya pergi sekolah—saat ia tiba di depan gerbang dan setelah menyuruh sopir pribadinya pulang—nyatanya ia tidak masuk melainkan m
Rian segera memarkirkan mobilnya di depan minimarket begitu melihat mobil yang ditumpangi Desi dan Dina telah berjalan menjauh. Cowok itu sontak berlari mengejar Devita yang berjalan tak seberapa jauh darinya.Rian sengaja menunggu sampai Devita berbelok, di sebuah gang yang cukup sepi ia memanggil Devita yang kini menoleh ke arahnya."Tante, selamat malam," sapa Rian dengan sopan saat sudah tepat di depan Devita, dan memang saat ini waktu menunjukkan pukul 6.00 malam."Nak Rian? Malam juga. Ada apa kok malam-malam ke sini?" jawab Devita, dahinya berkerut bingung."Begini, Tante. Saya cuma mau tanya, apa ... Inez sudah pulang ke rumah?"Ada sekilas kilatan kaget terlintas di mata itu. "Bukannya Inez bersama Nak Rian?" tanya balik Devita. Tiba-tiba pandangannya meredup dan berubah sedih. "Semenjak Inez memutuskan pergi dari rumah, sampai sekarang dia nggak pernah pulang, Nak," lanjutnya, lalu berubah panik. "Katakan sama tante, apa terjadi sesuatu dengan Inez?"Sejenak Rian terlihat rag
Sore hari sekitar pukul 16.45 Rian tiba di depan rumah kontrakan yang bergaya minimalis, tentu saja menemui pujaan hatinya. Ia buru-buru memarkir mobil dan turun sambil membawa dua buket bunga yaitu mawar merah dan bunga tulip putih. Inilah alasan mengapa ia telat datang. Sepulang kerja bukannya langsung menemui sang pacar sesuai janjinya, ia malah mendatangi toko bunga terlebih dahulu.Cowok itu tak tahu pacarnya menyukai bunga apa, karena ia takut salah sehingga ia memilih dua macam bunga sekaligus agar nanti sang kekasih bisa memilih sendiri di antara kedua bunga tersebut. Setahu Rian dari pengalaman dia sebagai playboy selama ini—dari banyaknya cewek yang ia kencani—mereka lebih dominan menyukai bunga mawar dan tulip putih. Tapi jika nanti Inez tidak menyukai keduanya, ia akan dengan senang hati mengantar cewek yang dicintainya itu langsung ke toko bunga untuk memilih bunga kesukaannya secara langsung. Jangan lupa ia juga membelikan cokelat berbentuk hati untuk Inez dan berharap g
Menilik raut wajah dan gelagat aneh dari kekasihnya, membuat Rian tak kuasa menahan rasa penasarannya."Siapa, Sayang?" tanya Rian.Inez tersentak."Oh, nggak siapa-siapa kok." Gugup menghinggapi. Ia menggenggam ponselnya kuat-kuat. "Cuma iklan nggak penting," lanjutnya sembari berusaha tersenyum senatural mungkin.Inez tak mau memberitahukan kepada Rian, bukan bermaksud apa-apa, ia hanya tak ingin membuatnya khawatir. Ia sudah terlalu banyak membebani dan merepotkan Rian.Meski Inez berusaha keras menampilkan wajah senormal apa pun, tetap saja senyum kaku dan gestur tubuhnya tak bisa membohongi Rian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, mencoba mengerti dan tak mau memaksa kekasihnya untuk jujur padanya. Ia yakin Inez mempunyai alasan sendiri, ketika saatnya tiba ia percaya bahwa kekasihnya akan mengutarakan semuanya."Ya udah gue cabut dulu," ujar Rian, berdiri seraya merapikan kemejanya."Kok cepat banget?" Inez berkata cepat seraya ikut berdiri, menatap kecewa ke arah cowok yang dici
Andin terperangah mendengar Ari bertanya kepadanya bahwa siapa cewek yang pantas untuk menjadi pacarnya? Dan apakah itu dirinya?Andin terdiam sambil berpikir. Apakah ia harus mengiyakan?Tentu saja siapa cewek yang nggak ingin punya pacar sebaik Ari. Selain baik, cowok itu sangat setia.Sejak ia bertemu Ari di tempat karaoke yang dipesan Alvin dan menyuruhnya serta teman-temannya untuk menjebak Ari waktu itu, ia sudah sangat terkesan dengan kesetiaannya yang notabene tidak tergoda sama sekali atas rayuan mereka. Bahkan bisa dikatakan rencana mereka gagal total.Tapi bagi Andin, jarang ada cowok yang begitu setia akan pasangannya dan tidak tergoda satu pun oleh banyaknya cewek cantik yang mengelilinginya. Apalagi menurutnya, Ari terlihat tampan, kalem dan begitu menghargai cewek.Andin membasahi bibirnya gugup. "Ar, bukan gitu maksud gue—""Lalu apa?"Tatapan Ari masih begitu dingin. Ia sebenarnya tidak mempunyai kecurigaan apa pun terhadapnya, bahwa perubahan sikap Dara ada sangkut p
Sejak Dara berani berkata jujur di depan Rian, Inez, dan Ari waktu itu, kini hubungan keduanya makin adem ayem dan sejahtera. Dara tak lagi menuntut Ari untuk menciumnya ataupun melakukan sesuatu yang nyeleneh, di mana Dara selalu ingin menerkam Ari dengan khayalan tingkat tingginya.Ari juga merasa aman tatkala melihat perubahan Dara sekarang. Sejujurnya inilah yang diinginkan Ari dalam sebuah hubungan. Seperti air mengalir, tak harus terburu-buru seolah dikejar sesuatu. Bahkan Ari sangat bersyukur karena kini ia tak pernah mengalami mimpi buruk lagi.Dara yang sekarang adalah cewek yang lumayan terkendali. Ia tak pernah lagi meminta hal-hal yang tak disukai Ari, tidak memaksa melakukan suatu hal yang berlebihan dalam berpacaran. Walaupun dalam mengungkapkan sesuatu masih dengan gaya lebay, tetapi itu tak membuat Ari muak atau menjauhinya. Bisa dibilang ia udah mulai terbiasa dengan tingkah absurd Dara. Selama itu masih dalam batas wajar, Ari rasa semua bisa diterima.Siang ini tampa
"Kamu nggak akan meninggalkanku kan, Sayang? Kamu nggak akan mengkhianatiku, kan?""Kenapa? Apa kamu takut aku akan mengkhianatimu seperti kamu mengkhianati suamimu yang dulu?"Devita terperangah. Hatinya mendadak getir. Ia meneguk ludahnya kasar, lalu mengangguk pelan.Fery mendengkus. Ia mengangkat tangannya, menjepit dagu Devita sambil tersenyum sinis. "Tenang saja. Aku nggak akan meninggalkanmu selama kamu menuruti semua yang aku mau."Setelahnya, ia beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Devita yang menatapnya sedih.Melewati dapur, Fery melihat Inez sedang meraih teko di meja makan. Gadis itu menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya. Gerakan gadis itu sangat tenang dan terlihat tak menyadari kedatangannya. Tiba-tiba Fery tertegun. Ia merasa leher jenjang itu sangat mulus, indah dan cantik. Setiap tegukan yang Inez minum, Fery merasa tubuhnya bereaksi tak normal.Ini adalah reaksi kesekian kalinya tiap ia menatap Inez. Dari dulu dan sampai sekarang, tidak pernah berubah.
"Halo, Tante," sapa Rian ramah. "Halo juga, Nak Rian. Makasih sudah antar Inez pulang. Tante benar-benar khawatir, nggak biasanya Inez keluar pagi-pagi sekali." "Sama-sama. Apa tante nggak tau? Dalam minggu ini Inez mendapatkan shift pagi untuk menggantikan temannya yang lagi cuti kerja. Mungkin juga nanti bisa sampai lembur." "Benarkah? Inez belum mengatakannya pada Tante," kata Devita sambil menatap Inez yang saat ini tampak memalingkan mukanya ke arah lain, menghindari tatapan beliau. Dalam hal ini Rian sengaja berbohong untuk mengantisipasi Inez jika ingin keluar pagi lagi. Itu supaya kekasihnya mempunyai alasan kuat agar terhindar dari kecurigaan sang mama tentang rentetan pertanyaan yang tidak ingin didengar gadis itu. Tentu saja juga untuk mengurangi interaksi antara Inez dan ayah tiri brengseknya. "Melihat kini tante disibukkan oleh seseorang yang telah kembali ke rumah, mungkin Inez belum ada kesempatan untuk menyampaikannya sama tante." "Jadi begitu," balas Devita gugup