Setelah konfrontasi dengan Ki Jagabaya dan intervensi Resi Agung Darmaja, suasana di istana semakin tegang. Rakai Wisesa duduk di singgasananya, wajahnya penuh keteguhan meskipun raut kelelahan tampak jelas di matanya. Ia menyadari bahwa waktu mereka semakin sempit—pasukan asing yang dipimpin penyihir gelap akan segera kembali, dan pasukan bayangan Ki Jagabaya sudah siap untuk melawan loyalis kerajaan.Rakai Wisesa bangkit dari singgasananya, suaranya menggema di ruangan. "Kita tidak punya waktu lagi. Kita harus bersiap untuk pertempuran akhir. Jika kita gagal, maka kerajaan ini akan lenyap selamanya."Semua orang di ruangan itu—Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan para panglima lainnya—terdiam mendengar kata-kata sang raja. Mereka tahu bahwa ini adalah momen penentuan bagi nasib Kerajaan Gilingwesi.Di luar ruangan, angin dingin berdesir pelan, membawa aroma mistis dari hutan lebat yang mengelilingi istana. Suara gemeretak senjata dan mantra-mantra spiritual yang diucapkan oleh pa
Setelah persiapan pertempuran akhir berjalan intens, suasana di istana semakin tegang. Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan para loyalis lainnya berkumpul di halaman istana untuk merencanakan langkah terakhir sebelum pasukan asing dan pasukan bayangan Ki Jagabaya tiba. Namun, ketika semua orang sibuk dengan strategi perang, Dyah Sulastri tiba-tiba menghilang tanpa jejak.Raka adalah orang pertama yang menyadari kepergian Dyah. Ia mencarinya ke seluruh sudut istana, hingga akhirnya menemukan jejak energi spiritual yang kuat mengarah ke kuil suci di dalam hutan mistis. Kuil itu adalah tempat ritual kuno kerajaan Gilingwesi, sebuah tempat yang hanya digunakan dalam situasi darurat paling ekstrem.Saat Raka tiba di kuil, ia melihat Dyah sudah berdiri di tengah lingkaran simbol-simbol magis yang bersinar redup. Cahaya lembut memancar dari tubuhnya, seolah-olah ia sedang menyerap energi dari alam gaib. Matanya tertutup, wajahnya tenang namun penuh kesedihan."Dyah!" seru Raka dengan nada
Setelah ritual suci selesai, suasana di kuil menjadi sunyi. Dyah Sulastri terbaring lemah di lengan Raka, napasnya tersengal-sengal dan wajahnya pucat seperti bulan yang tertutup awan. Tubuhnya tampak rapuh, seolah-olah semua kekuatan hidupnya telah tersedot habis oleh energi spiritual yang dilepaskan selama ritual. Namun, di balik tubuhnya yang lemah, aura kerajaan Gilingwesi kini terasa lebih kuat dari sebelumnya—pertahanan magis kerajaan telah diperkuat secara signifikan.Raka memandang wajah Dyah dengan rasa cemas yang mendalam. Ia mencoba berbicara, tetapi kata-kata tercekat di tenggorokannya. "Dyah... bangunlah," bisiknya pelan, suaranya bergetar karena ketakutan dan kemarahan bercampur jadi satu. "Kenapa harus kau yang membayar harga ini?"Resi Agung Darmaja masih berdiri di sisi kuil, wajahnya penuh dengan emosi yang sulit dibaca. Ia menghela napas panjang, seolah-olah menanggung beban berat atas apa yang baru saja terjadi. "Pengorbanan ini adalah bagian dari takdirnya, Raka,"
Setelah ritual suci Dyah Sulastri, suasana di istana semakin tegang. Pertempuran besar melawan pasukan asing dan pasukan bayangan Ki Jagabaya sudah semakin dekat. Raka, yang masih terpukul oleh kondisi Dyah yang kritis, berusaha mencari cara untuk menyelamatkannya sekaligus mempersiapkan diri menghadapi pertempuran. Namun, ia tidak sendirian—Arya Kertajaya, panglima perang kerajaan, tampil sebagai sosok yang memberikan dukungan penuh kepada Raka meskipun hatinya dipenuhi konflik batin.Di halaman istana, Arya Kertajaya berkumpul dengan para prajurit loyalisnya. Mereka adalah divisi elit yang setia kepada Rakai Wisesa dan siap mati demi melindungi kerajaan. Arya berdiri di tengah mereka, wajahnya penuh tekad namun juga kesedihan mendalam. Ia menatap Dyah Sulastri yang sedang dibawa ke tempat aman di sayap istana, tubuhnya lemah dan rapuh akibat pengorbanannya dalam ritual."Kita tidak punya waktu lagi," kata Arya dengan suara tegas. "Divisi kita memiliki satu misi utama: melindungi Putr
Malam itu, langit di atas kerajaan Gilingwesi dipenuhi awan kelabu yang bergemuruh. Udara terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah alam sendiri sedang memperingatkan akan datangnya bencana besar. Di kejauhan, cahaya merah samar mulai muncul di cakrawala—pertanda bahwa pasukan asing dan pasukan bayangan Ki Jagabaya telah tiba.Raka, Arya Kertajaya, dan Rakai Wisesa berdiri di menara pengawas istana, mengamati gerakan musuh dari kejauhan. Pasukan mereka tampak jauh lebih kecil dibandingkan dengan gelombang hitam yang mendekat, membawa aura kegelapan yang semakin kuat. Namun, yang paling mencemaskan adalah sosok penyihir gelap yang berdiri di garis depan musuh. Ia mengenakan jubah hitam panjang yang berkibar diterpa angin malam, sementara tongkat sihirnya bersinar dengan energi hitam yang menyilaukan."Penyihir gelap itu kembali," gumam Raka pelan, suaranya dipenuhi ketegangan. "Dan kali ini... ia lebih kuat."Rakai Wisesa menggenggam pedangnya erat-erat, wajahnya penuh kemarahan. "K
Di ruang perang istana, lilin-lilin besar menyala redup, menciptakan bayangan panjang di dinding-dinding batu. Udara dipenuhi aroma dupa yang membakar, memberikan nuansa spiritual yang kental. Rakai Wisesa duduk di singgasana kecil di ujung ruangan, wajahnya penuh ketegangan. Di sampingnya, Arya Kertajaya berdiri dengan pedang tergantung di pinggangnya, siap untuk bertempur. Raka duduk di meja bundar bersama para pemimpin divisi lainnya, mempelajari peta kerajaan yang terbentang di depan mereka."Kita tidak punya banyak waktu," kata Rakai Wisesa dengan suara tegas. "Penyihir gelap dan pasukan asing sudah hampir sampai di gerbang utama. Kita harus bertindak cepat."Raka menatap peta dengan ekspresi serius. Ia menyadari bahwa pertempuran ini bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi juga tentang kekuatan spiritual. "Kita tidak bisa melawan mereka hanya dengan senjata biasa," katanya pelan. "Kita butuh bantuan dari dunia gaib."Arya mengangguk setuju. "Makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika pertempuran besar dimulai. Langit yang seharusnya cerah tertutup awan kelabu tebal, dan angin dingin berhembus kencang, membawa aroma besi dari senjata-senjata yang sudah terhunus. Di luar gerbang istana Gilingwesi, pasukan loyalis bersiap menghadapi gelombang hitam yang mendekat—pasukan asing dan pasukan bayangan Ki Jagabaya yang dipimpin oleh penyihir gelap.Di garis depan, Arya Kertajaya berdiri tegak dengan pedangnya yang berkilauan di bawah cahaya redup. Di belakangnya, prajurit-prajurit loyalis bersiap dalam formasi pertahanan yang kokoh. Makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati, Buto Ijo, dan Naga Niskala juga telah tiba di medan perang, siap untuk melindungi kerajaan yang mereka anggap suci.Namun, aura kegelapan yang dibawa oleh musuh semakin kuat. Penyihir gelap berdiri di tengah pasukannya, tongkat sihirnya bersinar dengan energi hitam yang menyilaukan. Ia tersenyum sinis, seolah-olah kemenangan sudah ada di genggamannya."Serang!" ter
Pertempuran di luar istana semakin memanas. Pasukan loyalis mulai kelelahan, sementara pasukan asing dan pasukan bayangan Ki Jagabaya terus menyerang tanpa henti. Penyihir gelap berdiri di tengah medan perang, mengayunkan tongkat sihirnya dengan gerakan penuh kebencian. Setiap mantra yang ia ucapkan menciptakan ledakan energi hitam yang menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya.Raka berdiri di garis belakang, tubuhnya gemetar karena ketegangan. Ia menyadari bahwa jika ia tidak bertindak sekarang, kerajaan akan jatuh. Dengan napas dalam-dalam, ia menutup matanya dan mencoba menghubungkan dirinya dengan kekuatan spiritual yang telah berkembang di dalam dirinya sejak kedatangannya ke masa lalu.Tiba-tiba, cahaya keemasan mulai memancar dari tubuhnya. Cahaya itu membentuk pola-pola aneh di udara—simbol-simbol kuno yang tidak dikenal oleh banyak orang, tetapi sangat familiar bagi Resi Agung Darmaja. "Dia akhirnya menyadarinya," gumam Resi Agung Darmaja pelan, matanya menyipit dengan campu
Setelah pertempuran besar yang menghancurkan, pasukan asing akhirnya mundur. Penyihir gelap telah dikalahkan oleh kekuatan spiritual Raka, dan pasukan loyalis berhasil menekan sisa-sisa pasukan bayangan Ki Jagabaya. Namun, kemenangan ini tidak datang tanpa harga mahal. Kerajaan Gilingwesi terlihat seperti reruntuhan—istana utama hancur sebagian, desa-desa di sekitarnya luluh lantak, dan banyak korban jiwa berjatuhan.Angin dingin berembus di medan perang, membawa aroma darah dan abu yang masih menyelimuti udara. Asap tebal mengepul dari bangunan-bangunan yang terbakar, menciptakan suasana kelabu yang suram. Prajurit loyalis berkumpul di lapangan istana, wajah mereka lelah namun penuh rasa syukur atas kemenangan yang diraih dengan susah payah.Namun, bagi Raka, kemenangan ini terasa kosong. Ia berdiri di tengah-tengah kerumunan prajurit, tetapi pikirannya jauh dari perayaan. Matanya tertuju pada reruntu
Pertempuran besar di luar istana mulai mereda setelah kekalahan penyihir gelap. Pasukan loyalis berhasil menekan pasukan bayangan Ki Jagabaya, yang kini tercerai-berai tanpa pemimpin mereka yang menghilang bersama penyihir gelap. Namun, Arya Kertajaya tidak puas dengan hasil ini. Ia tahu bahwa Ki Jagabaya adalah otak di balik serangan mematikan terhadap kerajaan, dan ia bertekad untuk menangkap pria itu sebelum ia melarikan diri. Di tengah kekacauan medan perang, Arya Kertajaya memimpin pasukan kecil menuju lokasi rahasia di hutan lebat tempat Ki Jagabaya diketahui bersembunyi. Ia telah mendengar desas-desus dari beberapa prajurit bayangan yang tertangkap bahwa Ki Jagabaya sedang mempersiapkan langkah selanjutnya—rencana yang lebih berbahaya daripada serangan pertama. Setelah berjam-jam mencari, Arya Kertajaya dan pasukannya akhirnya menemukan Ki Jagabaya di sebuah gua tersembunyi di tepi sungai suci.
Setelah Dyah Sulastri jatuh ke dalam koma, medan perang terasa semakin sunyi bagi Raka. Tubuhnya masih gemetar karena kelelahan dan emosi yang memuncak. Ia berlutut di tanah, memegang tubuh tak berdaya sang putri dengan erat, air mata mengalir deras di pipinya."Kenapa harus seperti ini?" gumamnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah dan kemarahan. "Kenapa aku tidak bisa melindungimu?"Pasukan loyalis mencoba mendekat untuk membawa Dyah Sulastri ke tempat aman, tetapi Raka menolak mereka dengan gerakan tangan yang tegas. Matanya kosong, namun di dalam dirinya, api kemarahan mulai menyala. Ia merasakan sesuatu yang baru—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Angin dingin berdesir, membawa aroma belerang yang semakin kuat. Penyihir gelap muncul kembali, tertawa dingin di tengah kabut hitam yang menyelimuti medan perang. "Lihatlah dirimu, Raka," ejeknya. "Kau
Pertempuran besar di luar istana mencapai puncaknya. Suara senjata yang beradu, teriakan prajurit, dan raungan makhluk gaib menggema di udara malam. Api melahap beberapa sudut benteng, sementara asap hitam membumbung tinggi ke langit, menyelimuti medan perang dalam kabut pekat. Pasukan bayangan Ki Jagabaya dan sekutunya dari dunia gaib terus menyerang tanpa henti, memanfaatkan setiap celah dalam pertahanan kerajaan.Di tengah medan perang yang kacau, Raka berdiri di garis depan, menggunakan kekuatan spiritualnya untuk melindungi pasukan loyalis. Meskipun ia berhasil menahan serangan-serangan awal, kekuatannya mulai terasa melemah. Ia merasakan energinya terkuras habis dengan cepat, membuat tubuhnya semakin goyah.Penyihir gelap muncul di tengah medan perang, dikelilingi oleh kabut hitam yang pekat. Matanya bersinar seperti bara ap
Medan perang yang sudah penuh dengan kekacauan semakin memanas saat penyihir gelap muncul di tengah-tengah pertempuran. Tubuhnya dikelilingi oleh energi hitam pekat yang mengintimidasi, dan matanya berkilat merah seperti bara api. Ia melangkah maju dengan gerakan anggun namun menakutkan, seolah-olah seluruh dunia ada dalam kendalinya."Kalian semua telah bermain cukup lama," katanya dengan suara dingin yang menusuk. "Sekarang, saatnya kalian membayar harga atas perlawanan kalian."Penyihir itu mengangkat kedua tangannya, menciptakan pusaran energi hitam besar di udara. Pusaran itu mulai melepaskan serangan sihir yang menghantam barisan pasukan loyalis, menyebabkan banyak prajurit terpental dan jatuh tak bernyawa. Para makhluk gaib yang setia kepada kerajaan pun terlihat kesulitan menghadapi kekuatan gelap ini.
Langit di atas medan perang mulai menghitam, tertutup awan tebal yang menandakan kemarahan alam. Angin dingin berhembus kencang, membawa aroma darah dan belerang yang menebal seiring dengan intensitas pertempuran. Pasukan bayangan Ki Jagabaya terus melancarkan serangan brutal, sementara makhluk gaib dari kedua pihak saling bertarung tanpa ampun.Di tengah kekacauan, Raka masih mencoba mengatur napasnya setelah menggunakan kekuatan spiritualnya untuk melindungi pasukan loyalis. Namun, energinya hampir habis, dan ia merasa dirinya tidak lagi mampu melawan jika serangan baru datang. Dyah Sulastri berdiri di sampingnya, mata hijaunya penuh dengan kekhawatiran."Kau harus istirahat," bisik Dyah pelan. "Kekuatanmu sudah mencapai batasnya."Raka menggeleng lemah. "Aku tidak bisa berhenti sekarang. Jika aku berhenti, kita semua akan mati."Sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, sebuah suara raungan keras memenuhi udara. Sebuah Genderuwo raksasa muncul dari
Pertempuran di luar istana telah berubah menjadi badai kehancuran. Pasukan bayangan Ki Jagabaya yang dipersenjatai dengan senjata mistis dan sihir hitam terus menggempur pertahanan kerajaan. Makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati, Buto Ijo, dan Genderuwo juga turut berperang, masing-masing memilih pihak mereka. Di tengah kekacauan itu, Raka berdiri di garis depan, masih mencoba memahami situasi yang semakin tak terkendali. Angin malam membawa aroma belerang yang menusuk, sementara cahaya bulan redup tertutup awan kelabu. Suara gema tombak dan pedang bergesekan dengan energi spiritual memenuhi udara. Raka merasakan tubuhnya bergetar hebat. Dalam beberapa hari terakhir, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi padanya. Sejak ritual gaib yang dipimpin Dyah Sulastri di bab sebelumnya, ia merasakan aliran energi aneh di dalam dirinya—seperti gelombang panas yang melingkupi seluruh tubuhnya. Awalnya, ia mengabaikannya sebagai efek sam
Fajar baru saja menyingsing, namun langit di atas istana Gilingwesi sudah dipenuhi oleh awan kelabu yang bergulung-gulung bak ombak lautan. Udara terasa berat, seolah-olah seluruh alam sedang menahan napas. Di luar dinding istana, pasukan loyalis dan makhluk gaib telah berkumpul dalam formasi rapi, siap untuk menghadapi ancaman besar yang kini bergerak mendekat. Dari kejauhan, gema langkah kaki pasukan bayangan Ki Jagabaya dan pasukan asing mulai terdengar. Mereka bergerak cepat seperti badai yang tak terbendung, membawa aura gelap yang mencekam. Mata mereka berkilau merah dalam cahaya pagi yang temaram, sementara senjata mereka berkilau tajam, memantulkan sinar matahari yang lemah. Raka berdiri di garis depan bersama Dyah Sulastri dan Arya Kertajaya, meskipun kondisi Arya masih lemah setelah luka parah yang ia alami. Wajah Raka penuh tekad, matanya bersinar biru kehijauan, mencerminkan kekuatan spirit
Pagi mulai menyingsing, dan cahaya matahari yang lembut menembus kabut tipis di sekitar istana Gilingwesi. Di luar dinding istana, pasukan loyalis berkumpul dalam formasi yang rapi, bersiap untuk menghadapi ancaman besar yang akan datang. Para prajurit memeriksa senjata mereka, sementara para tabib dan dukun spiritual mempersiapkan ramuan serta mantra untuk mendukung pasukan. Namun, bukan hanya manusia yang hadir di medan perang ini. Makhluk-makhluk gaib juga turut berkumpul, masing-masing dengan kekuatan unik mereka. Banaspati, roh api yang melindungi kerajaan, berdiri di barisan depan dengan tubuhnya yang bercahaya merah menyala. Buto Ijo, penjaga candi yang perkasa, berdiri tegak di sisi lain, siap untuk melindungi tanah kerajaan dari musuh-musuh yang mencoba menyerang. Genderuwo, makhluk bayangan yang biasanya menghindari manusia, kini bergerak di antara pasukan, menggunakan kemampuannya untuk menyusup ke barisan musuh.