BAB 21: SERANGAN DI MALAM HARIMalam itu, udara di Kerajaan Gilingwesi terasa lebih dingin dari biasanya. Bulan purnama yang seharusnya menerangi istana hanya tampak sebagai cahaya redup di balik awan tebal yang menggantung rendah. Angin berdesir pelan melewati pepohonan di halaman istana, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak wajar.Raka sedang duduk di tepi jendela kamarnya, memandangi kegelapan malam sambil memutar-mutar cermin perunggu kuno di tangannya. Ia masih belum bisa memahami bagaimana artefak ini berhasil membawanya melintasi waktu. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban: Mengapa ia dipilih? Apa hubungannya dengan kerajaan ini? Dan yang paling penting, apakah ia benar-benar bisa kembali ke masa depan?Namun, ketenangan malam tiba-tiba pecah oleh suara gemeretak kayu dan jeritan panik dari arah gerbang utama istana. Raka tersentak, matanya beralih ke luar jendela. Dari kejauhan, ia melihat bayangan-bayangan hitam bergerak c
BAB 22: PERTARUNGAN PERTAMA RAKASuara jeritan dan dentingan senjata masih menggema di seluruh istana. Api yang berkobar di beberapa sudut halaman menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak liar di dinding-dinding istana. Udara dipenuhi oleh aroma asap, keringat, dan ketegangan yang nyaris tak tertahankan. Raka berdiri di ambang pintu kamar pelayan wanita yang ia selamatkan, napasnya memburu, tangannya gemetar memegang tongkat kayu yang mulai retak akibat benturan keras dengan pedang penyerang.Prajurit istana yang tadi menyelamatkannya sudah pergi ke medan pertempuran lain, meninggalkan Raka sendirian di koridor yang sepi. Ia tahu bahwa ia tidak bisa hanya berdiam diri di sini. Ada sesuatu yang salah—sesuatu yang lebih besar dari sekadar serangan biasa. Dan entah bagaimana, ia merasa bahwa penyerang-penyerang itu mungkin sedang mencari dirinya .Menghadapi Penyerang KeduaTiba-tiba, suara langkah-langkah berat terdengar mendekat dari ujung koridor. Raka menoleh cepat, jantun
BAB 23: ARYA KERTAJAYA CURIGAMatahari mulai terbit di cakrawala, menyapu sisa-sisa kekacauan malam sebelumnya. Asap tipis masih mengepul dari beberapa sudut istana yang hangus akibat serangan pasukan bayangan. Bau asap yang menyengat memenuhi udara, menciptakan rasa tidak nyaman bagi para penduduk istana. Suara tangisan keluarga korban terdengar dari kejauhan, menambah beban emosional pada suasana yang sudah penuh ketegangan. Prajurit-prajurit tampak sibuk membersihkan reruntuhan dan menghitung korban. Namun, ketegangan di udara belum sepenuhnya hilang. Di tengah suasana yang masih penuh waspada, Arya Kertajaya berjalan dengan langkah cepat melewati halaman istana, wajahnya muram dan matanya tajam seperti elang yang sedang memburu mangsa.Raka Dituduh sebagai Dalang SeranganDi ruang pertemuan utama istana, Rakai Wisesa duduk di singgasananya, wajahnya tegang namun tetap tenang. Para pembesar kerajaan berkumpul di sekitarnya, termasuk Resi Agung Darmaja dan Ki Jagabaya. Raka berdiri
BAB 24: DYAH SULASTRI MEMPERCAYAI RAKAMatahari mulai tenggelam di balik pegunungan, menciptakan siluet lembut yang menyelimuti istana Gilingwesi. Cahaya senja yang hangat perlahan memudar, digantikan oleh bayang-bayang malam yang semakin pekat. Suasana di istana masih tegang setelah serangan pasukan bayangan semalam, tetapi ada juga rasa kebersamaan yang tumbuh di antara para penghuni istana—terutama bagi mereka yang merasa terhubung oleh rasa saling melindungi.Di halaman dalam istana, Dyah Sulastri berdiri di bawah pohon kenanga besar, matanya menatap jauh ke arah cakrawala. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya mengungkapkan beban berat yang ia tanggung. Di sampingnya, Raka duduk di bangku batu, tangannya masih terbalut perban akibat luka ringan dari pertempuran semalam. Ia memperhatikan Dyah dengan diam, mencoba membaca emosi yang tersembunyi di balik ketenangannya.Dyah Membela RakaPagi itu, Rakai Wisesa kembali mengumpulkan para pembesar kerajaan di ruang sidang utama un
BAB 25: RESI AGUNG DARMAJA MENGUNGKAP RAHASIAMatahari mulai terbit di cakrawala, menyapu sisa-sisa kegelapan malam dengan sinar lembutnya. Udara pagi yang segar membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang dibasahi embun. Namun, ketenangan alam ini tidak sebanding dengan ketegangan yang masih menyelimuti istana Gilingwesi. Setelah serangan pasukan bayangan semalam, suasana di istana dipenuhi oleh rasa waspada dan curiga. Di tengah semua itu, Raka merasa dirinya seperti seorang asing yang terjebak dalam pusaran misteri yang semakin dalam.Pertemuan dengan Resi Agung DarmajaRaka duduk sendirian di tepi kolam istana, memandangi air yang tenang sambil memikirkan kejadian-kejadian belakangan ini. Ia masih mencoba memahami bagaimana ia bisa terseret ke dunia yang penuh mistis ini—dunia yang jauh dari logika dan akal sehat. Tiba-tiba, suara langkah kaki pelan mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh dan melihat Resi Agung Darmaja berdiri di sana, wajahnya tertutup bayangan topi kerucutnya yang
BAB 26: KUTUKAN KERAJAANMatahari terik menyengat tanah Gilingwesi yang kering dan retak. Udara panas membawa aroma debu dan tanah tandus, menciptakan suasana yang semakin menyesakkan bagi penduduk kerajaan. Di kejauhan, ladang-ladang yang dulunya subur kini tampak layu dan mati, sementara sungai-sungai yang pernah mengalir deras kini hanya meninggalkan aliran air yang keruh dan dangkal. Bau asap yang masih tersisa dari serangan malam sebelumnya bercampur dengan aroma tanah gersang, menciptakan rasa tidak nyaman yang sulit diabaikan. Semua ini adalah bukti nyata dari kutukan yang melingkupi kerajaan—sebuah kutukan yang tidak bisa diabaikan lagi.Raka berdiri di tepi salah satu ladang yang gersang, matanya memandangi pemandangan yang suram itu dengan rasa ngeri. Ia merasa seperti sedang menyaksikan akhir dari sebuah peradaban. Pikirannya dipenuhi oleh kata-kata Resi Agung Darmaja tentang ritual gelap yang mengundang kutukan dari dunia gaib. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam yang memb
BAB 27: NAGA NISKALA BERBICARAMatahari mulai tenggelam di balik pegunungan, menciptakan siluet lembut yang menyelimuti istana Gilingwesi. Cahaya senja yang hangat perlahan memudar, digantikan oleh bayang-bayang malam yang semakin pekat. Udara dingin mulai menyelimuti kerajaan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang dibasahi embun. Suasana di istana masih tegang setelah serangan pasukan bayangan semalam, tetapi ada juga rasa kebersamaan yang tumbuh di antara para penghuni istana—terutama bagi mereka yang merasa terhubung oleh rasa saling melindungi.Raka berjalan sendirian menuju sungai suci, tempat ia pertama kali bertemu dengan Dyah Sulastri. Sungai itu tampak lebih tenang dari biasanya, airnya mengalir pelan dengan kilauan cahaya bulan yang memantul di permukaannya. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini—seolah-olah sungai itu memiliki jiwa yang hidup, menunggu untuk berbicara. Bau asap yang masih tersisa dari serangan malam sebelumnya bercampur dengan aroma tanah basah, men
BAB 28: ARYA KERTAJAYA MENYELIDIKI Matahari mulai tenggelam di balik pegunungan, menciptakan siluet lembut yang menyelimuti istana Gilingwesi. Cahaya senja yang hangat perlahan memudar, digantikan oleh bayang-bayang malam yang semakin pekat. Udara dingin mulai menyelimuti kerajaan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang dibasahi embun. Bau asap yang masih tersisa dari serangan malam sebelumnya bercampur dengan aroma tanah gersang, menciptakan rasa tidak nyaman bagi para penduduk istana. Suara tangisan keluarga korban terdengar samar-samar dari kejauhan, menambah beban emosional pada suasana yang sudah penuh ketegangan.Di salah satu ruangan terpencil di sayap utara istana, Arya Kertajaya duduk sendirian di balik meja kayu besar, matanya menatap selembar kertas papyrus yang dipenuhi coretan-coretan. Wajahnya tampak murung, alisnya berkerut dalam-dalam, seolah-olah beban berat ada di pundaknya. Ia telah menghabiskan sepanjang hari untuk menginterogasi para pelayan istana, mencari
BAB 67: PASUKAN ASING MENYERANG HUTANSuasana Tegang di Hutan MistisPagi mulai menyingsing, namun hutan mistis masih diselimuti kabut tebal yang membuat pandangan menjadi terbatas. Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan Ksatria Wibawa (mantan Buto Ijo) sedang beristirahat setelah malam yang penuh ketegangan. Api unggun kecil telah padam, meninggalkan jejak-jejak abu di tanah.Tiba-tiba, suara gemerisik dedaunan terdengar dari kejauhan. Udara dingin yang tadinya tenang kini dipenuhi dengan aroma logam dan kegelapan—pertanda bahwa sesuatu yang tidak wajar sedang mendekat. Genderuwo muncul di pinggir hutan, wajahnya muram seperti biasa. "Mereka datang," katanya dengan suara rendah. "Pasukan asing... dan penyihir gelap."
BAB 66: ARYA KERTAJAYA MENYATAKAN CINTANYASuasana Hening di Tepi SungaiSetelah pertemuan dengan Naga Niskala, suasana hutan mistis kembali tenang. Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan Ksatria Wibawa duduk di tepi sungai suci, mencoba mencerna pesan penting yang baru saja mereka terima. Api unggun kecil telah dinyalakan untuk menghangatkan tubuh mereka dari udara dingin malam itu.Cahaya bulan yang lembut memantul di permukaan sungai, menciptakan kilauan biru keperakan yang menenangkan. Namun, ketenangan ini hanya ilusi. Udara dingin berhembus kencang, membawa aroma segar dari sungai suci yang berada tidak jauh dari sana. Kabut tipis mulai merayap di antara pepohonan, seolah menyelimuti mereka dalam misteri.
BAB 65: NAGA NISKALA MENGIRIM PESANKemunculan Naga NiskalaSetelah kepergian Genderuwo dan redupnya api unggun, suasana hutan mistis menjadi semakin tenang. Namun, ketenangan ini tidak berlangsung lama. Dari arah sungai suci yang mengalir di tepi hutan, muncul cahaya biru kehijauan yang lembut. Air sungai mulai bergolak meskipun tidak ada angin atau aliran deras, dan dari kedalaman air itu, sosok besar Naga Niskala muncul.Tubuhnya yang bersisik biru keperakan memantulkan cahaya bulan yang samar, sementara matanya yang bersinar tajam menatap langsung ke arah Raka. Suara gemuruh halus terdengar dari sungai, seolah-olah alam itu sendiri sedang menyambut kemunculan makhluk gaib ini."Kalian telah melakukan
BAB 64: BUTO IJO BEBAS Transformasi Buto IjoCahaya biru keperakan dari Kristal Niskala perlahan memudar, meninggalkan jejak-jejak energi spiritual yang masih berdenyut di udara. Tubuh besar dan hijau Buto Ijo mulai berubah, menghilang seperti kabut yang tersapu angin. Dalam sekejap, sosok itu bertransformasi menjadi seorang ksatria kuno dengan senjata lengkap—pedang panjang yang bersinar redup di bawah cahaya api unggun.Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya terdiam, menatap sosok baru ini dengan campuran rasa takjub dan waspada. Wajah ksatria itu tampak gagah namun penuh kesedihan, matanya mencerminkan beban berat yang telah ia tanggung selama berabad-abad."Terima kasih," kata Ksatria Wibawa&
BAB 63: RITUAL PEMBEBASAN Persiapan Ritual di Hutan MistisMalam semakin larut, dan hutan mistis yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan energi spiritual yang luar biasa. Udara dingin menyelimuti setiap sudut, sementara kabut tebal mulai merayap di antara pepohonan raksasa. Di tengah hutan, sebuah altar batu kuno telah disiapkan untuk ritual pembebasan Buto Ijo. Api unggun kecil berkedip-kedip di sekitar altar, memberikan cahaya lembut yang memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding pepohonan. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya berdiri di sekitar altar, masing-masing dengan perasaan tegang dan penuh harap. Di belakang mereka, sosok besar Buto Ijo—masih dalam wujud makhluk mitologi—menatap altar dengan mata penuh kerinduan. Ia tampak seperti makhluk yang sudah lama menunggu momen ini.
BAB 62: KUTUKAN BUTO IJOPenemuan Rahasia Buto IjoMatahari mulai tenggelam, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya jingga yang lembut. Udara semakin dingin, dan kabut tipis mulai merayap di antara pepohonan raksasa. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya berdiri di depan sebuah altar batu kuno yang tersembunyi di dalam hutan. Di atas altar itu, ada relief tua yang menggambarkan seorang ksatria bersenjata lengkap dikelilingi oleh simbol-simbol dewa."Buto Ijo pernah menjadi manusia?" tanya Arya, suaranya penuh ketidakpercayaan saat ia menatap relief tersebut. "Aku selalu menganggapnya hanya makhluk mitologi."Dyah mengangguk pelan, matanya memindai relief dengan penuh konsentrasi. "Ini lebih dari sekada
BAB 61: SYARAT BUTO IJOPertemuan di Tepi Sungai SuciMatahari mulai terbit, menyinari hutan mistis dengan cahaya keemasan yang lembut. Udara pagi terasa dingin dan segar, namun ketegangan masih membayangi setiap langkah Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya saat mereka mendekati tepi sungai suci. Air sungai itu tampak jernih seperti kristal, memantulkan sinar matahari dengan kilauan aneh, seolah menyimpan rahasia besar di dalamnya."Apakah ini sungai yang dimaksud Buto Ijo?" tanya Arya pelan, matanya menyipit mencermati lingkungan sekitar.Dyah mengangguk, tangannya meraba permukaan air yang dingin. "Ya, aku bisa merasakan energi spiritual yang kuat di sini. Ini pasti tempatnya."Raka berdiri agak jauh dari sungai, matany
BAB 60: HUTAN MISTISAdegan Pembuka: Memasuki Hutan MistisMatahari mulai tenggelam di balik pegunungan, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya oranye yang redup. Udara di sekitar terasa lebih dingin dan berat, seolah membawa beban misteri yang tak terucapkan. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya melangkah hati-hati melewati pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, cabang-cabangnya saling bertautan membentuk kanopi alami yang menutupi langit."Tempat ini... penuh dengan energi aneh," gumam Raka pelan, tangannya erat mencengkeram cermin perunggu kuno yang selalu ia bawa. Cermin itu mulai bersinar redup, seolah merespons kekuatan gaib di sekitarnya.Dyah mengangguk, matanya waspada. "Ini adalah wilayah makhluk gaib. Kita harus berhati-hati."
BAB 59: PENGKHIANATAN KI JAGABAYA TERUNGKAPArya Menyelidiki Lebih DalamMatahari mulai terbit di balik pegunungan, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya keemasan yang lembut. Namun, suasana di dalam kelompok Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya tetap tegang. Setelah berlari semalaman, mereka akhirnya mencapai tempat perlindungan rahasia yang ditunjukkan oleh peta Arya—sebuah gua kecil yang tersembunyi di antara tebing curam dan pepohonan rimbun.Raka duduk di sudut gua, tangannya erat mencengkeram cermin perunggu kuno. Matanya menatap api kecil yang mereka nyalakan untuk menghangatkan tubuh. "Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi," gumamnya pelan.Dyah mendekatinya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa maksudmu, Raka?"